Pagi itu, Bayu kembali memasuki halaman sekolah dengan langkah pelan, kepala menatap tanah. Beberapa siswi yang sempat melihat cowok berkacamata itu keluar dari mobil mahal tak tahan untuk merumpi dan bertanya-tanya. Siapa sebenarnya si culun ini? Apakah dia putra seorang konglomerat? Atau mungkin dari golongan crazy rich?
Meski begitu banyak dugaan, namun tak ada seorangpun yang mau mendekati Bayu apalagi bertanya atau mengajaknya berkenalan. Bayu sendiri tampaknya tidak peduli dengan sekelilingnya. Dia terus berjalan, naik ke lantai dua menuju kelas 10 A, dan menaruh tasnya disana. Suasana kelas masih cukup sepi, baru satu dua orang yang datang. Bayu melirik arlojinya. Masih ada waktu 20 menit sebelum bel masuk. Cowok ini membetulkan letak kacamatanya sebentar kemudian melangkah keluar dari kelas dan menuju ujung koridor lantai dua, dimana disana tampak sebuah pintu tertutup dengan papan keterangan yang menggantung di sisi kiri pintu. Perpustakaan/Library.Tempat favorit apa lagi bagi tampang kutu buku selain perpus?"Mau kemana, Bay?" suara Daniah menyapa dibelakangnya."Perpus." jawab Bayu singkat."Aku ikut, kebetulan ada buku yang ingin aku cari," kata Daniah yang masih memakai ranselnya."Tidak ke kelas dulu, Dan?""Tidak, nanti sajalah."Keduanya kemudian melangkah masuk ke dalam ruang perpustakaan SMA Persada Bangsa itu. Keadaan sangat sepi. Tidak ada satu orang pun disana. Pengurus perpustakaan juga belum datang.Mereka berjalan ke arah deretan rak yang berbeda, Daniah menuju rak Sejarah, sedang Bayu menuju rak Science."Hmm, kamu cukup tertarik dengan Ginekologi ternyata," Daniah mengulum bibirnya menahan tawa, melihat Bayu mengulurkan tangan pada buku yang disebutnya. Bayu melirik, Daniah tampak asyik membolak balik lembar buku sejarah Indonesia dengan mata menatap kearahnya."Kamu salah," gumam Bayu sambil menarik sebuah buku dari rak, Evolusi Manusia, tepat disamping buku Ginekologi yang tadi disebut oleh Daniah."Well, kamu percaya Evolusi?"tanya Daniah."Ya. Bukankah kita semua menyaksikan evolusi? Semua orang cenderung akan percaya hal yang bisadisaksikan, bukan?"Daniah tersenyum. "Aku percaya mengenai evolusi jika contohnya adalah hal-hal remeh, mawar mekar di taman atau langit yang berubah merah ketika senja. Namun jika itu manusia..." Daniah memasang airmuka ragu sambil tersenyum miring."Hemm, kau menentang teori Darwin?" Bayu tidak memandang ke arah Daniah, matanya masih asyik memandangi jejeran buku dalam tajuk Science Biologi itu."Kau tentu tidak sudi jika dikatakan bahwa nenek moyang kita adalah kera, bukan?""Kurasa tidak mengapa. Itu hanya masalah gengsimu saja dalam mengakuinya," balas Bayu acuh tak acuh. Mereka meninggalkan rak Science, berkelana ke rak-rak yang lain."Lagipula Darwin sudah membatalkan teorinya sebelum dia meninggal, hanya sayang, pahamnya itu sudah terlanjur mempengaruhi isi dunia.""Benarkah?" Bayu masih terlihat cuek, "Kenapa aku belum pernah dengar?""Kau ketinggalan informasi."Bayu tersenyum, "Kurasa penentang setia teori Darwin tentu saja penganut agama samawi terbesar di dunia, karna manusia dalam beberapa ajaran agama tercipta sebagai manusia sempurna sejak dahulu kala." Bayu melirik sambil menunduk. "Bukan begitu?"Daniah mengangguk tanpa ragu. "Jika manusia berasal dari kera, seharusnya tidak ada lagi kera pada masa kini, karna telah berevolusi menjadi manusia." katanya membeberkan argumennya yang sederhana.Bayu mengangkat wajah, menatap buku-buku seolah dia ingin memindai dengan matanya yang berwarna hazel. "Setiap orang memiliki hak untuk berpendapat, memilih percaya atau tidak. Kebanyakan Manusia masa sekarang tentu saja lebih peduli pada karir dan uang daripada sibuk menyelidiki asal usul manusia. Karna itu, kurasa kita tidak perlu mendebatkannya."Gadis disampingnya memutar bola mata. Namun dia kembali tertarik ketika dilihatnya Bayu menarik keluar sebuah buku. Jiwa dan Reinkarnasi. Daniah baru sadar kalau mereka sudah berpindah rak sejak tadi."Sekarang kau tertarik dengan hal-hal picisan seperti itu?" komentar Daniah sinis.Terdengar detak sepatu, keduanya menoleh dengan cepat, pengurus perpustakaan telah datang."Selamat pagi, Bu." sapa Daniah pada Bu Linda, pengurus perpustakaan sekolah."Selamat pagi, kalian mau meminjam buku?""Ya." gadis itu mengangguk cepat. Dia lekas membawa buku yang dipilihnya menuju meja Bu Linda. Wanita separuh baya itu segera menyodorkan album besar untuk diisi sesuai tuntutan masing-masing kolom.Nama peminjam, tanggal, judul buku.Saat Daniah masih asyik di meja Bu Linda, masuklah tiga orang dalam perpustakaan, dua diantaranya berdiri tenang dekat pintu, sementara yang paling depan langsung menyusuri rak buku setelah mengucap salam dengan sopan pada Bu Linda.Daniah mengangkat kepala, dia tertegun. Itu Sapphire. Diliriknya Saron dan Riana yang berdiri di dekat pintu. Saron melempar senyum ramah, sedang Riana tegak memasang ekspresi abadi di wajahnya, serius.Seorang gadis seperti Sapphire mengunjungi perpustakaan? Entah mengapa Daniah berpikir itu mustahil, semustahil pemimpin negara menyambangi kolong jembatan. Ketika dilihatnya Sapphire menuju rak yang sama dengan Bayu, hatinya mendadak tidak enak.Bayu masih asyik memindai buku, dia menyadari ada orang didekatnya yang juga sedang melakukan aktivitas yang sama, namun dia bersikap cuek, dikiranya itu Daniah.Bayu tersenyum melihat buku yang dicarinya. Dia mengulurkan tangan mengambil, namun secara bersamaan, sebuah tangan dengan cat kuku biru metalik menyentuh buku itu juga.Refleks, Bayu berpaling. Seraut wajah cantik sedingin es sedang menatapnya dengan tatapan tajam.Pemuda itu tertegun. Ajaibnya, dia tidak langsung menunduk, malah menatapi wajah itu lurus dan lama."Aku yang pertama menyentuhnya." Gadis itu bersuara dengan lembut namun menusuk. Bayu berani bertaruh matanya lebih mengunci daripada perkataannya."Maaf, aku lebih dulu melihatnya," bantah Bayu pelan. Dia menatap langsung ke bola mata hitam si cantik dingin itu. Saat itu dilihatnya dua gadis yang tadi berdiri di pintu sudah datang menghampiri gadis ini."Ada masalah?" Riana bertanya."Kau sangat berani. Apa kau tahu, dibandingkan pandangan, sentuhan lebih mengklaim kepunyaan?" gadis yang dipanggil Sapphire itu berkata tanpa ekspresi pada Bayu, tak menghiraukan Riana. Kalimat itu sebenarnya bisa diperpendek dengan frasa 'siapa cepat dia dapat'.Daniah menggigit bibirnya dan cepat-cepat mendekati Bayu. "Bayu, serahkan saja buku itu, jangan cari masalah." katanya dengan hati ketar-ketir."Kalau aku tidak mau? Memangnya dia siapa?"Daniah hampir terlompat mendengar ucapan Bayu. Eh? Dimana cowok culun yang selalu menundukkan kepala itu? Saat ini dia menyaksikan sisi lain dari Bayu yang sedang menatap Sapphire penuh pembangkangan.Riana hendak bergerak. Namun dia jadi terkesiap ketika didengarnya Sapphire berucap datar. "Baik. Kau ambil buku itu." habis berkata gadis cantik beraura kuat itu memutar tubuh keluar dari ruang perpustakaan, meninggalkan Saron dan Riana yang saling pandang. Itu barusan Sapphire? Ralat, apa itu Ariza? Mengapa dia bisa begitu murah hati? Selama ini tidak ada yang dapat meloloskan diri dari kekejaman Ariza jika gadis itu merasa terganggu.Saron melirik Bayu sejenak sebelum akhirnya mengikuti langkah cepat Riana.Daniah mengusap dada. Hampir saja!"Kau cari masalah, tahu?! Kalau tadi gadis itu sampai marah, jangan salahkan diriku jika aku berpura-pura amnesia kalau kau adalah temanku.""Memangnya dia siapa?" Bayu melangkah perlahan ke arah meja Bu Linda.Daniah menelan ludah. "Nanti aku jelaskan."Bayu segera mengisi daftar peminjam. Kemudian setelah berpamitan pada Bu Linda yang masih asyik memperbaiki jejeran buku, keduanya meninggalkan perpustakaan."Namanya Sapphire, dia gadis yang paling di takuti disini," kata Daniah begitu mereka menyusuri koridor untuk kembali ke kelas.Bayu berjalan sambil menundukkan kepala. "Apanya yang menakutkan? Kurasa dia tidak lebih seram daripada Rubby dan kawan-kawannya." tanggap Bayu acuh tak acuh. "Intinya, besok-besok, jangan cari masalah dengannya.""Iya. Terimakasih." balas Bayu yang tampaknya sudah malas membicarakan Sapphire.***"Ariza!"Panggilan itu membuat langkah gadis yang dipanggil berhenti. Dia menatap ke arah kelasnya, Sebelas A yang sudah tidak seberapa jauh lagi.Saron dan Riana yang tadi memanggilnya akhirnya berhasil mengejarnya."Kau memang melepaskannya?" Saron bertanya sambil mengamati wajah tanpa riak kawan sekaligus ketuanya itu."Ya." jawab Ariza, "Ada masalah?"Mereka terdiam, tidak menyangka. Biasanya meski terlihat melepaskan mangsanya, Ariza sebenarnya sedang menyusun rencana yang lebih mengerikan.Melihat dua gadis itu diam, Ariza kembali hendak melanjutkan langkah. Namun dia teringat sesuatu. "Dan satu lagi, jangan terus-terusan mengikutiku seperti anak ayam! Aku bukan Sapphire!" kecamnya pelan."Namun itu kewajiban kami. Sapphire membutuhkan kami," ujar Riana."Ya tentu saja. Kalau dia datang, pasti dia akan menemui kalian, menyuruh kalian mengawalnya tanpa kalian minta. Jangan ikuti aku lagi. Aku bukan dia." ucap Arizq yang langsung melanjutkan langkahnya lagi. Tapi orang memandang kalian itu satu! batin Riana.Saron mengangkat bahu pada Riana, kemudian mereka pun mengikuti jejak Ariza, menuju kelas Sebelas A."Hai," Seorang gadis berambut coklat dan juga menggunakan softlens hitam menyapa Ariza di depan pintu kelas. Tak lain dan tak bukan, dia adalah Rose."Apa maumu?"Rose tersenyum mendengar nada beku tanpa tedeng aling-aling itu."Sapphire, aku ingin menjadi anggota Poison." ujar Rose ringan."Tidak."Gadis berambut hitam lepas itu melangkah masuk, namun Rose masih belum menyerah."Aku siap menjalani syarat apapun yang kau berikan, Sapphire."Ketua Poison itu memutar kepalanya sedikit, memperhatikan Rose sambil menyipitkan matanya. "Apa sebenarnya tujuanmu?""Mengapa kau begitu mencurigaiku? Seolah-olah aku ini musuh lama yang ingin menelusup dalam organisasimu," Rose membulatkan matanya kesal."Kalau kau sungguh-sungguh ingin masuk di Poison, kau tentu sudah tahu syaratnya bukan?""Aku cukup pandai berkelahi dan juga cerdas, Sapphire. Kau meragukanku?"Saat itu Saron dan Riana sudah tiba juga di pintu kelas."Riana, urus dia." perintah Ariza sambil melangkah masuk. Rose hendak mengejarnya, namun Riana sudah menghadang, sedang Saron melangkah masuk menyusul Ariza."Sapphire tidak ingin kau ganggu, Rose." tandas Riana."Aku tidak mengganggunya!" Rose menggerutu. Ya ampun! Bagaimana bisa ada pelajar merangkap pengawal pribadi seperti gadis didepannya ini?!"Kau mendekati dan ingin bicara dengannya, saat dia tidak menginginkannya. Itu adalah definisi mengganggu dalam hal ini," balas Riana tenang.Rose melotot. "Baik, tapi aku tidak akan menyerah! Akan aku buktikan kalau aku pantas masuk ke Poison!" Rose menyingkir, meninggalkan Riana yang mengerutkan keningnya singkat, hampir tidak terlihat.Rose melirik Ariza sebelum keluar dari kelas itu. Si cantik dingin asyik memasang headset sambil membaca sebuah buku tebal, bersikap apatis dengan lingkungannya."Kau memang tidak terjamah. Tapi aku tidak akan menyerah!"....Rubby memasang senyum sinis di wajah -tampan menyebalkan-nya, matanya yang hitam kelam mengikuti gerak sesosok tubuh yang sedang melangkah menuju gerbang sekolah.Tio dan Fandi ikut memandang ke arah yang sama."Muncul juga cowok agar-agar itu," gumam Tio. "Sikat sekarang, Rub?"Rubby belum menjawab. Matanya menelusuri para murid Persada Bangsa yang memadati halaman sekolah. Hmm, dimana Rose?"Rub?" panggil Fandi. Incaran mereka, si kacamata tebal sudah hampir mencapai gerbang sekolah, berpisah dari arus siswa lain yang menuju parkiran-dimana Rubby dkk sedang mengawasinya."Hajar!" titah Rubby. Mereka cepat bergerak, menyusup diantara para murid yang lain. Tio dan Fandi langsung mencengkram lengan Bayu kiri kanan. "Ikut!" ancam Fandi, seperti penjahat dalam film-film kolosal.Bayu tak berusaha melawan, dia pasrah diseret para berandal itu, menjauh dari pintu gerbang, menuju areal belakang gedung SMA Persada Bangsa.Brukkkk!!!Terdengar bunyi keras ketika tubuh Bayu menghantam tanah berlumpur, dicampakkan seenaknya seperti sampah. Saat itu mereka berada di belakang gedung, di samping bangunan lab lama yang ditinggalkan."Hari itu, lo boleh selamat, tapi jangan harap sekarang lo bisa melarikan diri!" seru Rubby dengan geramnya.Bayu berusaha bangkit, namun Tio langsung mendorongnya, sehingga dia jatuh terlentang. Belum juga dia sempat bergerak, kaki kanan Rubby telah menginjak dadanya."A...apa salahku sampai kalian memperlakukanku seperti ini...?" ringis Bayu."Ternyata lo nggak bisu ya?!" tawa Rubby. "Copot kacamatanya!"Tio dengan sigap melakukan apa yang diperintahkan. Kacamata itu diserahkan pada Rubby, yang langsung di timang-timang seolah hendak menilainya. Tiba-tiba dengan satu sentakan, alat bantu penglihatan itu dibantingnya ke tanah, kemudian diinjak dengan kaki kirinya. Terdengar suara berderak hancur. Bayu memejamkan matanya, seakan dia tiba-tiba mendadak buta."Bangun!" Rubby menurunkan kakinya, kemudian menjambak rambut keemasan pucat milik Bayu, menariknya ke atas. Dia mengepalkan tangan kanannya, siap memberikan hadiah di wajah Bayu. Pemuda culun itu masih tidak membuka matanya, parasnya meringis pasrah."Pertunjukan yang sangat menarik."Sebuah suara menyeruak ditempat itu, menghentikan niat Rubby yang hendak memberikan 'warna' di wajah pucat Bayu.Trio Bandit berpaling secara bersamaan.Di depan mereka, sejarak 2 meter, tampak seorang perempuan bertubuh tinggi semampai, nyaris setinggi Rubby.Tio dan Fandi menelan ludah, jelas terintimidasi dengan kehadiran gadis itu. Ketika mendengar suaranya, Rubby mengira itu adalah Rose. Namun ternyata bukan dia. Yang berada didepan mereka adalah gadis berambut hitam lepas sepinggang, berwajah cantik namun beku. Sepintas kehadirannya nampak kontras dengan latar semak belukar tak terurus di belakang gedung lab tua itu."Sapphire..." desis Rubby. Siapa yang tidak kenal gadis ini? Dia memiliki popularitas yang luarbiasa di Persada Bangsa, namun baik fisik maupun pembawaannya tidak dapat disentuh."Ternyata masih ada pecundang yang hanya berani berhadapan dengan orang lemah." nadanya datar, namun efek sarkasme-nya terasa sangat menusuk.Rubby melepaskan jambakannya, membuat Bayu jatuh berlutut. Cowok culun itu lekas menunduk ketakutan, tak berani menatap kemana-mana."Jangan campuri urusan gue."ketus Rubby. Meski dia merasa jerih, mana mungkin dia menampakkannya."Aku tidak ingin mencampuri urusanmu. Terlalu konyol bagiku untuk mengurusi dirimu." balas Ariza dengan suara rendah."Sebaiknya lo pergi, kita nggak suka nyakitin cewek." tukas Rubby dengan angkuh. Ariza diam saja. Hanya bibirnya yang menampilkan smirk tipis. Dari balik tembok tiba-tiba muncul Rose dengan tergesa-gesa. Dia hendak menyapa Safira, namun ketika matanya tertumbuk pada Bayu yang berlutut bagai hamba terhina, cewek ini langsung melotot pada Rubby dengan mata laksana di kobari api."Kau belum kapok juga rupanya." Rose nyaris berteriak saking geramnya."Rose, kau ingin masuk ke Poison, bukan? Sekaranglah saat pembuktian." ucap Ariza sambil melirik gadis berambut coklat itu."Dengan senang hati, Sapphire." Rose menyingsingkan lengan baju seragamnya dan maju dua langkah. Meski dia memakai rok, Rose tidak khawatir bergerak berlebihan karna dia juga memakai celana lentur di balik roknya.Rubby menggertakkan gigi. "Sombong! Jangan kira kau bisa..." cowok itu belum sempat menyudahi ucapannya, ketika satu tendangan telah mengejar ke rahang!Dia refleks berkelit dengan mata melotot, namun Rose tak memberinya kesempatan. Sapuan kaki kiri gadis itu mengincar tulang keringnya, dan berhasil dengan mulus.Bukkk!Rubby meraung. Dia jatuh diatas lumpur. Pakaian seragamnya belepotan. Dalam kondisi seperti itu dia hanya bisa melotot tak percaya. Rubby memang menguasai karate, namun kemampuannya benar-benar tidak berdaya alias kalah lincah dengan Rose. Lagipula, apa tadi... yang dinamakan ilmu silat?Tio dan Fandi buru-buru menolong Rubby berdiri. Kedua anak buahnya itu cepat menjura berkali-kali pada Rose. "Maaf. Kami tak akan berani menganggu kalian lagi..." ucap Fandi yang ingin selamat."Berjanjilah kalian tidak akan mengganggu Bayu lagi!""Ka...kami berjanji...""Aku ingin mendengarnya darimu!" Rose menuding Rubby yang diam saja.Mata pemuda itu mendelik penuh dendam. Tio dan Fandi lekas menyenggolnya memberi kode. Rubby berpikir untuk menghajar dua anak buahnya setelah ini."Apa kau bisu?" tanya Rose sambil berkacak pinggang. Pemimpin Trio Bandit itu merasa dunianya seolah runtuh ketika dia harus bertekuk lutut pada wanita!"Aku tidak akan mengganggunya lagi." ucapnya lebih terdengar seperti menahan geram daripada berjanji."Pergi!"Tio dan Bayu cepat undur diri sambil memapah Rubby yang terpincang-pincang.Selepas kepergian Trio Bandit, Bayu segera berdiri dan berbalik pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Rose hendak mengejar, namun suara Ariza menghentikan niatnya."Biarkan dia. Apakah kau menginginkan ucapan terimakasih darinya?"Rose membalik memandang Ariza. "Tidak." jawabnya pendek. Ariza dapat melihat raut aneh di wajah gadis itu. Semacam kecemasan. Dia memutuskan untuk tidak membahasnya lagi."Seharusnya kau tidak memberi ampun.""Aku..." Rose menelan ludah."Anggota Poison tidak akan membebaskan lawan dengan mudah." sambung Ariza, memberi penekanan yang mengerikan.Rose memandangi wajah cantik gadis itu. Kecantikan Sapphireadalah jenis kecantikan yang langka,tidak membosankan, namun wajahnya mengesankan kebuasan yang tak kenal ampun. Sangat sulit untuk percaya bahwa dia adalah gadis muda yang baru berusia 17 tahun!"Kau disini!"Terdengar seruan,diikuti munculnya dua gadis dari belakang. Rose tidak perlu menoleh untuk mengidentifikasi mereka. Siapa lagi kalau bukan 2 pengawal pribadi gadis yang tegak dihadapannya ini?Riana dan Saron mendekat ke arah Ariza. Gadis itu memutar tubuh, bermaksud pergi."Apa aku di terima?" Rose ingin kepastian.Ariza berpaling. Dia memandang Rose dari ujung kaki sampai ujung rambut. "Kau tidak begitu buruk." Gadis dingin itu langsung memasang punggungnya dan berlalu, diikuti Saron dan Riana. Rose masih berdiri diam ditempat. Kau tidak begitu buruk. Apa itu artinya dia diterima?Penerimaan macam apa itu? Rose berdecak. Kemudian dia pun segera meninggalkan tempat suram itu. Secercah senyum singgah di bibir tipisnya.***Daniah masih berdiri menunggu didepan gerbang sekolah. SMA Persada Bangsa sudah mulai sepi. Gadis berkacamata tipis itu celingak-celinguk, namun kendaraan jemputannya belum juga tiba. Sambil memasang wajah masam, dia berpaling ke halaman sekolah dan terkejut melihat sosok Bayu melangkah keluar gerbang. "Bayu!" Daniah segera mendekat. Matanya membeliak melihat penampilan cowok itu yang berantakan dan belepotan lumpur. "Kacamatamu mana?" tanya Daniah. Cowok itu mengangkat kepalanya, namun dia tidak memandang Daniah. Tanpa menjawab, Bayu mengeluarkan handphonenya, lalu menelpon seseorang."Roy, dimana?" tanyanya begitu tersambung."....""Aku menunggumu di gerbang."Bayu mematikan handphonenya, lalu berpaling pada Daniah. Gadis itu tertegun. Shit! Tanpa kacamata, wajahnya benar-benar tampan! Mata hazelnya kayak shining! O my God!"Kenapa kau belum pulang?" pertanyaan Bayu menyentakan gadis itu dari keterpukauan-nya."Ada sedikit masalah. Mungkin jemputanku masih setengah jam lagi." ja
Pemuda tampan itu tegak diatas balkon rumah mewah bernuansa klasik tersebut sambil memandang ke arah taman. Kegelapan malam yang mulai turun tampak bersanding eksotis dengan gemerlap lampu taman di bawah sana. Dibelakangnya, seorang cowok bermata coklat menunduk khidmat."Dia bertindak secara luarbiasa, diluar perintahku." kata pemuda didepannya. Dia membalik. Pencahayaan yang suram menimpa sosoknya yang tinggi sempurna, sepasang matanya bagai manik bintang yang penuh wibawa, memancarkan kekuatan dan ketenangan dalam waktu bersamaan.Meski dia memakai pakaian santai biasa, namun setiap orang akan merasakan aura seorang raja menguar dari dalam dirinya, padahal usianya masih sangat belia."Harap Yang Mulia tidak marah." Si mata coklat merapatkan telapak tangannya diatas kening, khas hamba sahaya jaman dahulu menghadap rajanya."Putri mengkhawatirkan Yang Mulia.""Dia benar. Setelah Rose masuk ke Poison, kau memang harus masuk ke Persada Bangsa untuk menggantikan perannya. Meski kurasa,
....Bayu tersenyum. "Tetap aku berterimakasih,""Siapa namamu?" Pemuda culun itu tertegun sejenak. Apa gadis populer itu sedang menanyakan namanya?"Ba...Bayu. Namaku Bayu.""Well, Bayu. Aku tidak menolongmu, dan aku tidak membutuhkan buku itu lagi. Jelas?"Bayu mengangguk. Kemudian dia mundur perlahan. Diiringi tatapan datar Ariza, pemuda itu memasang punggungnya dan berlalu.Gadis cantik yang selalu mengenakan softlens hitam itu duduk kembali di bangkunya dan kembali memasang earphone. Dia terus asyik dengan dunianya sendiri, sampai tidak menyadari kalau saat itu ada seseorang yang masuk ke dalam kelas dan memperhatikan dirinya."Dasar gadis aneh."Terdengar decak sinis.Ariza mendengar kalimat itu dengan jelas meski dirinya tengah memakai earphone. Namun dia tidak terusik, terus tenggelam dengan buku yang dibacanya. Beberapa menit kemudian bel masuk berbunyi nyaring. Para siswa kembali ke dalam kelas masing-masing. Begitu pula dengan penghuni kelas Sebelas IPA A.Tak lama kemudi
" Aku akan menghubungi Rose," Saron bersuara. Dia dan Riana masih setia mengawasi rumah Zarah yang terlihat sepi. Tanpa menunggu tanggapan Riana, Saron langsung menelpon orang yang disebutnya. "Hallo." "Ada apa?" "Kau sudah mulai mengawasi dia?" "Ya. Aku sudah mendapatkan beberapa informasi..." "Bisa kau kesini sekarang?" "Rumah Sapphire?" "Bukan. Rumah Zarah. Kau sudah tahu tentu." "Untuk apa?" "Aku akan menjelaskannya nanti." klik. Saron mengakhiri panggilannya. Hampir setengah jam mereka menunggu, dan Rose pun muncul dengan sepeda motor sport miliknya. "Ada apa?" tanyanya begitu mendapati Riana dan Saron disuatu tempat tidak jauh dari rumah Zarah. "Laporanmu." ucap Saron tanpa tedeng aling-aling." "Zarah Alexa, lahir 23 Juli 2003. Dia memiliki seorang saudara kembar laki-laki. Orangtuanya adalah Pembisnis sibuk. Di rumah itu dia tinggal bersama saudara kembarnya itu. Orangtuanya jarang pulang." "Hanya itu?" Saron mengangkat alisnya. "Siapa nama saudara kembarnya?"
"Jadi Zarah itu kembaran Zeilo?" Ariza memastikan sambil memandang Rose yang duduk didepannya. Sore itu cuaca cukup baik, anggota inti Poison masih belum pulang. Di samping Ariza duduk Kristo, memasang wajah datar. Sedang Saron dan Riana duduk tak jauh dari mereka.Rose mengangguk. "Ya, Sapphire."Ariza berdecak pelan. "Pantas saja dia begitu membenciku, ternyata dia sakit hati dengan kekalahan saudaranya..."Gadis itu teringat beberapa bulan yang lalu, saat dia membubarkan sebuah geng motor yang dikepalai Zeilo Alexandro. Dia menantang cowok itu duel dengan taruhan yang kalah akan membubarkan gengnya. Dan hasilnya, you know lah. Zeilo kalah, dia kehilangan muka. Padahal awalnya dia sudah memandang remeh gadis cantik yang mengetuai Poison itu."Apa kau tahu apa rencana Zarah dengan ini semua?""Sejauh ini dia belum tampak mencurigakan." jawab Rose. Keadaan di ruang tamu yang luas itu mendadak sepi."Awasi dia terus." titah Ariza setelah beberapa lama diam. Dari lantai satu, tampak s
Pemuda tampan itu tersenyum menatap dua orang yang duduk dihadapannya. Dua orang muda yang sama-sama berambut dan bermata coklat, hanya yang satu cewek dan yang satu cowok. "Jadi..." pemuda tampan itu memperbaiki duduknya sambil memandang ke arah yang lelaki. "Siapa prioritasmu sekarang, Chandra?" Si cowok mata coklat menelan ludahnya. "Maafkan hamba, Yang Mulia...." Pemuda beraura pemimpin itu mengangkat tangannya. "Aku dapat memahami keadaan yang terjadi. Kau tidak perlu meminta maaf..." "Namun hamba bertindak diluar perintah...." "Apakah membasmi kebatilan harus menunggu perintah dulu? Kebenaran tidak diatur. Dia bergerak dengan caranya sendiri." Chandra menunduk dengan hati lega. Sang Raja tersenyum dan berpaling pada gadis disamping Chandra. "Adirani, adakah yang hendak kau sampaikan?" Gadis yang dipanggil Adirani mempertemukan dua telapak tangannya didepan kening lalu menjawab. "Yang Mulia, hamba mohon petunjuk agar tidak salah melangkah dalam menjalankan tugas ini."
Meja makan rumah Kristo demikian sepinya. Bagaimana tidak sepi? Hanya ada dua anak manusia yang duduk disana, makan tanpa bertegur sapa. Tidak lain dan tidak bukan mereka adalah Lily dan si tuan rumah yang menyelamatkannya. "Apa kau memang sedang diet?" Pertanyaan Kristo yang tiba-tiba membuat Lily tersentak. "Tidak." jawabnya pendek. "Porsi makanmu bahkan tidak akan mengenyangkan seorang anak balita," tegur Kristo dengan frasa yang sedikit berlebihan. Lily menunduk menatap gundukan nasi tipis diatas piringnya. "Aku.. masih sedikit kenyang." Kristo mengangkat sebelah alisnya tanpa menatap gadis itu. Dia memasukkan sepotong daging ke mulutnya dan berucap lagi. "Sekarang, katakan dimana rumahmu ..." "A..apa?" Lily tercengang. Apa dia memang demikian memuakkan sampai cowok itu ingin cepat-cepat mengusirnya? "Rumahmu. Atau aku harus membuat postingan di social media tentang orang hilang?" Kristo berkata acuh tak acuh. "Kau semuak itu denganku?" Lily sudah tak mampu menahan lidah
Lily asyik mengamati taman dari jendela kamarnya ketika Bi Diana mengetuk pintu kamarnya."Tuan Kristo ingin Anda menemuinya, Nona." lapor pelayan rumah itu. "Dimana dia?""Dia ada di kamarnya."Lily mengangguk. Bi Diana membawanya ke kamar Kristo yang berada di lantai dua. Aroma dan nuansa nature adalah hal pertama yang menjadi kesan bagi Lily begitu dia memasuki kamar Kristo yang luas itu. Lantainya terbuat dari kayu mengkilat. Jendelanya lebar dan dari sana mereka bisa menyaksikan pemandangan taman belakang yang didominasi pohon-pohon angsana yang rindang.Bi Diana meninggalkan mereka. Lily mendekati Kristo yang setengah berbaring di ranjang. Wajah cowok itu tampak sedikit pucat. Dokter Gina, dokter pribadinya tersenyum pada Lily dan pamit keluar."Kamu sakit?" Lily mendekat ke sisi ranjang, tidak terlalu dekat, namun cukup untuk bercakap-cakap dengan suara rendah."Jelaskan padaku." Lily terkesiap menyaksikan pandangan Kristo yang beku. Dia merasa tulangnya menjadi ngilu. "Apa?
Putri Tirza Antara, berjalan dengan wajah tersenyum menemui Pangeran Avdar. Gadis itu terlihat penuh dengan aura bangsawannya yang murni, anggun dalam pakaian putri dengan kerah tunggi dan jubah menjuntai biru di hiasi batu permata halus."Kau sudah kembali," Pangeran bermata hitam itu membalas senyum Tirza, meraih tangan gadis itu dan membimbingnya duduk di pendopo gedung putra mahkota."Semuanya berjalan dengan baik,""Aku sudah mendengarnya, dan aku turut bahagia untukmu, Tirza." Sang Pangeran menghela napas sebentar, lalu menatap Tirza dengan pandangan yang penuh damba sekaligus tak percaya, "Kau kembali padaku, sesuai janjimu." ujarnya.Tirza mengangguk. "Seorang ksatria harus memegang janjinya.""Apakah dengan ini kau bersedia..." Pangeran Avdar menggantung kalimatnya, menatap dengan lekat sepasang mata biru indah gadis di hadapannya lalu melanjutkan dengan hati -hati,"Apa kau bersedia untuk menikah denganku?"Tirza tak langsung menjawab pertanyaan penuh harap itu. Gadis itu ta
Keadaan kerajaan menjadi terkendali. Frazia Farza di jebloskan ke dalam penjara untuk menerima penghukuman besok. Semua bangsawan di perintahkan sang ratu untuk kembali ke kediaman masing-masing. Termasuk keluarga Bazlam yang kini di awasi oleh kesatria ksatria Sofraz, padahal kediaman mereka berada satu lingkungan dalam istana."Bagaimana kau bisa melepaskan diri?" tanya Angin saat di ruang pengadilan itu yang tersisa tinggalah dia, sang ratu, Tirza Antara dan kakaknya Davar Antara."Davar membantu hamba dengan Nilakandi Adavara. Dengan permata itu juga Davar menyembuhkan Ratu bersama dengan guru." jawab Tirza yang sudah mendengar penjelasan singkat kakaknya tadi ketika Pangeran tengah bertarung dengan Jelaba."Dimana guru sekarang?" tanya Angin."Guru Amba telah kembali, Yang Mulia. Dia percaya Yang Mulia dan Tirza dapat menyelesaikan ini.""Aku sudah lama tidak menjenguknya." Angin mengucapkannya dengan penuh sesal. Dia melihat pada sang ibu yang tersenyum lembut padanya, sang pange
Meski tahu, hukuman yang paling berat yang akan dilemparkan adalah hukuman mati, Tirza tetap merasakan sakit yang nyeri didadaya ketika dia mendengar Angin Nava Satra menjatuhkan hukuman itu. Pandangan gadis itu kosong.Angin Nava Satra merasa dadanya sesak, dia menahan diri untuk tidak jatuh saat itu. Tangannya mengangkat palu emas, siap mengesahkan hukuman."Pangeran."Ada yang memanggil. Angin Nava Satra mengangkat kepalanya yang tertunduk. Dia mengedarkan pandang, dan saat matanya menubruk suatu objek, sang pangeran merasa terhenyak, Ratu Sofraz Agatara Vidma berjalan masuk dari pintu ruang pengadilan diikuti Davar Antara. Sang Ratu masih memakai pakaian tidur putih bersih tanpa atribut bangsawan apapun. Perempuan itu terlihat polos, tapi langkahnya yang anggun tetap menunjukkan ketegasannya sebagai seorang ratu. Betapapun terkejutnya Pangeran Angin, yang lebih terkejut di sana adalah Frazia Farza Purdam. Lebih lebih para tetua kerajaan yang tidak menyangka bahwa sang ratu akan sem
Saat Angin Nava Satra tiba di balariung istana, rupanya para jajaran petinggi istana telah ada disana, Frazia Farza pun telah turut hadir.Nilam Rencana, Chandrafala dan Adira turut pula bergabung di balariung.Tirza berlutut, sepasang tangannya di buhul oleh rantai Zora. Dia tidak melakukan banyak gerakan, hanya menunduk saja, saat dia mendengar langkah kaki Angin, gadis itu mengangkat kepala, menyaksikan pangeran Sofraz itu berdiri di depannya.Angin Nava Satra sedikit mengernyit ketika melihat Tirza tersenyum ketika memandangnya. "Kau kembali, akhirnya kau kembali." Dia tersenyum dengan lega seolah-olah telah melepaskan beban di dadanya. "Tirza, kau melakukan banyak hal di luar batas. Apakah kau menyadari kesalahanmu?" Angin bertanya."Sebutkan kesalahanku, Yang Mulia. Aku tidak dapat mengetahui mana yang merupakan salahku dan yang bukan." jawabnya dengan berani."Kau menyusup ke Istana Sofraz, bahkan menutup portal dimensi sehingga aku aku tidak bisa secepatnya kembali ke negeri
Bukan hal sulit bagi kedua orang yang sudah mengenal seluk beluk istana Sofraz semenjak mereka kecil, untuk menyusup ke dalam benteng istana.Malam yang gelap membantu Tirza dan Davar yang memakai pakaian malam hitam menyelinap di lorong-lorong menuju gedung kerajaan.Gedung Kerajaan adalah gedung utama dari semua bangunan yang ada dalam benteng istana.Di gedung inilah terdapat Balariung istana, ruang makan kerajaan, penjamuan tamu, dan kamar raja. Hanya saja gedung ini sering kosong karna sang raja telah tiada.Davar membawa Tirza menyusup di taman gedung kerajaan, sesekali mereka merayap untuk menghindari para ksatria yang berjaga.Di taman itu rupanya ada sebuah jalan rahasia yang tertutup dengan rerumputan. Davar meraba-raba, lalu membuka bulatan logam seukuran tubuh orang dewasa yang menempel di dinding penuh rumput. "Masuk,"pintanya.Tirza masuk lebih dulu diikuti Davar yang dengan cepat menutup jalan rahasia itu dengan bulatan logam sebelumnya dari dalam.Saat masuk, Tirza d
Menutup portal hanya bisa dilakukan oleh orang yang membuka portal itu sendiri, Angin Nava Satra. Bagaimana bisa Frazia melakukan itu?"Aku bisa melakukan banyak hal," Seolah tahu apa yang ada di pikiran Tirza Antara, wanita tua yang masih terlihat muda itu bicara."Kau memang berniat mengambil alih tahta..." gumam Tirza, dengan pandangan tak habis pikir.Mendengar itu, Frazia tertawa. "Aku tidak mengambil alih, sejak awal, tahta Sofraz adalah milikku. Jangan menjadi naif.""Kau juga yang menjebakku sehingga aku difitnah sebagai orang yang meracuni Ratu, bukan?"Tanpa ragu, Frazia tertawa dan mengangguk. "Lalu, kamu mau apa? Berteriak mengatakan kalau aku yang meracun Agatara? Tidak akan ada yang mempercayai seorang pengkhianat sepertimu."Tirza sadar akan hal itu, dia tidak bisa menuding Frazia begitu saja. Dia membutuhkan bukti."Aku tidak peduli dengan urusan Fandita," akhirnya gadis itu bicara lagi. "Aku hanya memohon izin untuk bertemu dengan ibuku.""Ibumu?" Frazia mengangkat
"Pergilah bersama Galamav." Pangeran Gag melepas kepergian Tirza. Gadis itu mengenakan pakaian perjalanan sederhana, namun tetapi tak bisa menyembunyikan kecantikannya.Tirza memang menguasai kemampuan teleportasi, namun untuk melakukannya dibutuhkan energi yang besar dan cukup beresiko. Karna itu dia berpikir untuk kembali ke Sofraz jalur udara. Tirza ingin menemui gurunya lebih dulu.Gadis itu tersenyum pada pangeran Gag sebelum Galamav, gagak raksasa itu mengepakkan sayapnya membawa Tirza terbang ke awan."Kita temui Guruku, Galamav."burung itu menguik halus tanda mengerti. Selang beberapa saat kemudian, mereka mulai melintasi langit Sofraz. Galamav sepertinya tahu tempat terakhir dimana Guru Amba berada. Dia mendarat di hutan Pilaz. Hutan yang terletak di barat Sofraz itu adalah salah satu hutan terlarang yang jarang di masuki manusia.Tirza sendiri tahu bahwa hutan ini adalah tempat dimana sang guru lebih banyak bersunyi diri dan bermeditasi semenjak Angin dan Tirza telah purn
Frazia Farza Purdam melangkah memasuki ruang peraduan Ratu Sofraz. Perempuan itu berada dalam keadaan setengah koma, tak dapat bicara dan tak membuka mata. Beberapa saat, Frazia berdiri disana, lalu perlahan senyum tipis muncul di bibirnya."Sudah begitu lama eh? Padahal aku berharap kamu segera mati, Agatara Vidma. Aku menikmati peranku sekarang, semuanya berada dalam kendaliku. Aku tinggal menunggu waktu bagaimana cara menutup portal dimensi agar putramu tidak akan dapat kembali ke sini, dan aku akan berkuasa selamanya..."Perempuan berambut merah itu tertawa kecil, menahan mulutnya dengan tangan. Khawatir kalau para dayang yang berdiri di luar sana dapat menangkap suara tawanya. Frazia melangkah mengelilingi ranjang ratu."Sekarang, Sofraz berada dalam genggamanku. Namun karna para tua tua sialan itu aku terpaksa harus menahan diriku untuk duduk di kursi kebesaran. Padahal selangkah lagi, semuanya akan sempurna." Dia berdecak sinis. Lalu, wanita itu menatap ke arah Agatara Vidma, Ra
"Bukan kamu yang menentukan kepantasan seseorang untuk menjadi ratu,""Ya,"Ariza mengangguk tanpa ragu menyahuti ucapan sang Pangeran. "Tapi aku bebas menilainya.""Aku akan mengampuni perbuatanmu ini," Ucap Angin Nava Satra, berdiri dengan tenang dalam wibawa seorang raja. "Asalkan, kau dengan sukarela menyerahkan Nilakandi Adavara. Aku berjanji, aku tidak akan mengusikmu lagi."Ariza membeku beberapa saat, lalu perlahan -lahan senyum manisnya terbentuk. "Barangkali jika kau lupa, Angin Nava Satra. Kaulah yang mengusirku dari Sofraz. Lalu kenapa sekarang kau bisa melintasi dimensi hanya karna Nilakandi Adavara ada bersamaku?""Ini untuk kesembuhan ibunda." balas Angin Nava Satra. "Bagaimana...." Tirza menarik nafasnya, lalu mengangkat kepala menatap orang yang dicintainya itu. "Jika aku tidak mau?"Angin Nava Satra mengerjab dalam ketenangannya, dia maju satu langkah. Sedangkan Nilam mulai bangkit perlahan dan berusaha melakukan penyembuhan mandiri meski itu memang tidak akan banyak