Kelas Sepuluh A terdiri dari 40 siswa yang rata-rata berotak cerdas. Tidak menjadi rahasia lagi kalau kelas A selalu ditempati oleh murid ber IQ lumayan, sementara kelas lain menampung para 'murid buangan' alias gagal seleksi, meski tidak bisa dikatakan bodoh.
Meski demikian, bukan berarti kelas A adalah tempat para pelajar kutu buku berkacamata tebal yang hanya peduli pada rumus matematika dan fisika.Kelas A rata-rata diisi komunitas borjuis berpenampilan menarik disamping pandai.Ketika Daniah dan Bayu masuk, kelas itu sudah cukup sesak. Bayu memilih tempat duduk pada deret ke tiga sudut sebelah kanan, sementara Daniah tepat didepan Bayu.Para murid 10 A sibuk berkenalan sana sini untuk membangun keakraban. Ada beberapa siswa maupun siswi yang menyalami Daniah sambil menyebutkan nama, dan disambuti gadis itu dengan senang hati."Asmira," seorang gadis bertubuh sedang, berkulit coklat terang dan berwajah seperti orang India mengulurkan tangannya pada Daniah."Daniah,"Gadis itu melirik Bayu yang duduk tepat di belakang Daniah. "Temanmu ya?" tanyanya dengan nada risih. Daniah mengangguk tanpa ragu. "Namanya Bayu, silakan berkenalan."Asmira melirik Bayu yang terus menunduk menatap buku kosong didepannya. Gadis itu menggeleng. "Lain kali saja," gumamnya lalu cepat-cepat menyingkir kembali ke bangkunya. Daniah menarik nafas. Sampai kapan semua orang menilai segala sesuatu dari luar saja?Daniah memutar bola matanya prihatin.Beberapa siswa cowok di barisan belakang mulai berbisik-bisik dan tertawa mengejek sambil sesekali melirik ke arah Bayu. Daniah bersumpah dapat mendengar cemoohan lamat-lamat seperti banci, memalukan, kuper, dan sebagainya.Untunglah keadaan yang membuat Daniah menjadi risih segera berhenti begitu seorang perempuan berwajah cantik dengan postur gemuk melangkah masuk dengan dinas kekinya yang ketat."Selamat pagi!""Pagi!" Para siswa menjawab dengan semangat."Namaku Dewi. Kalian bisa memanggilku Ibu Dewi. Aku adalah Guru Kimia dan aku adalah wali kelas kalian." wanita itu memperkenalkan diri. Sepasang matanya menyapu lembut ke seluruh ruangan, seolah hendak mentransfer auranya yang penuh wibawa."Aku ingin kalian memperkenalkan diri masing-masing sebelum kita memilih seorang ketua kelas!"Maka mulailah para siswa itu bangkit bergantian memperkenalkan nama."Ceilo Kevin.""Asmira Singh.""Guntur Adiwangsa."".....Fikra Dimasongko.""Indah Xavier Putri.""Dwi Daniah Fransiska.""Angin Indra Bayu."Daniah melirik Bayu yang sudah kembali duduk. Dia mencondongkan kepalanya sembari tersenyum. "Namamu sangat bagus," pujinya. Dia tidak dapat melihat reaksi Bayu, karna cowok itu sudah keburu menunduk. Daniah bahkan yakin dia tidak akan hapal garis wajah Bayu karna cowok itu terkesan selalu menyembunyikan wajahnya. Masih menyisakan senyum di ujung bibirnya, perlahan-lahan gadis berkacamata tipis itu mengalihkan perhatiannya pada murid lain yang terus memperkenalkan diri.***Jam pelajaran usai ditandai bunyi bel panjang yang diikuti sorakan dari berbagai kelas. Guru mata pelajaran terakhir telah pamit lima menit sebelumnya. Daniah lantas mengajak Bayu pulang bersama. Pemuda itu tidak menjawab, namun dia tidak menolak melangkah beriringan menuju gerbang sekolah. Para siswa yang berduyun-duyun lumayan banyak, sehingga keduanya memperlambat langkah untuk mendapatkan ruang jalan yang lebih memadai."Tadi pagi, Trio Bandit itu tidak melukaimu kan?" Daniah kembali angkat bicara. Dia membayangkan ancaman-ancaman brutal dan pemerasan yang mungkin mereka lakukan pada Bayu."Mengapa kau ingin sekali tahu?"Daniah terkejut. "Iyalah! Aku sudah menganggapmu temanku, tentu saja aku tidak senang melihatmu diseret seperti itu oleh mereka....""Mereka tidak melukaiku." tandas Bayu, masih asyik menatap jempol kakinya yang terus menapak."Bisakah kau bicara sambil melihatku? Aku tersinggung lho! Apa wajahku sedemikian buruknya sampai kau selalu mengalihkan pandangan ke tanah?" gerutu Daniah pura-pura cemberut.Bayu menghentikan langkah. Daniah turut pula berhenti, dia memandang kedepan, nun jauh disana, seolah-olah merajuk, namun diam-diam matanya sedang mengamati cogan-cogan sekolahan yang luput dari perhatiannya sejak pagi."Maaf,""Hm?" Daniah yang asyik mengintip para cogan itu tidak begitu memperhatikan ucapan Bayu."Maaf, Daniah.""Eh?" Daniah lantas berpaling memandang Bayu. Kali ini dia tertegun. Bayu memang menatapnya lurus dan lama, tidak lagi menunduk.Cewek itu meneguk salivanya. Gila! Ini mah cogan juga!Dia baru menyadari kalau wajah di balik kacamata itu memang proporsional, baik mata, bibir, alis dan hidung. Memandang begitu lama Daniah baru menyadari kalau mata dibalik lensa kaca itu berwarna hazel, tampak terang ketika irisnya terkena cahaya matahari.Tunggu dulu! Cowok ini bule?Otak terpesona Daniah mulai jalan setelah hampir mampet tadi. Dipandanginya Bayu dari ujung kaki sampai ujung rambut. Tidak, postur tubuh ini, warna kulitnya, bahkan garis wajahnya semuanya khas ras Malayan, ras yang sama dengannya. Ras Indonesia! Lalu kenapa warna rambut dan matanya seperti orang Kaukasia? Juga jangan lupakan tubuh tinggi itu!"Kamu blasteran?" Daniah tak tahan mengeluarkan pertanyaan.Bayu kembali menundukkan kepala dan melanjutkan langkah."Jawab dulu, Bayu!" si gadis cepat mengimbangi."Apa itu penting?" balas Bayu acuh tak acuh."Kamu pasti blasteran! Blasteran apa, Belanda? Amerika, atau Irlandia barangkali?"Bayu tak menjawab. Tiba-tiba dia menghentikan langkah, sehingga Daniah hampir menabraknya. Tepat saat itu sebuah mobil lamborghini hitam berhenti didepan mereka."Aku pulang dulu, Daniah. Sampai jumpa besok." putus Bayu sambil membuka pintu mobil dan duduk tenang disana. Mobil itu melaju pergi meninggalkan Daniah yang masih melotot dengan mulut setengah terbuka. "Dia sekaya itu?" Gadis itu berdecak panjang. Saat itu jemputannya telah datang. Sebuah mobil putih yang tidak begitu mencolok berhenti tepat didepannya. Daniah bergerak masuk. Tak lama kemudian, mobil itu pun melaju membawanya pulang.Para siswa yang telah meninggalkan halaman sekolah, termasuk Daniah tidak ada yang menyadari kalau Trio Bandit tidak kelihatan sejak pagi!Dimanakah mereka?Nun di toilet lama yang sudah tidak terpakai, tampak tiga pemuda terbujur pingsan dengan muka berantakan. Beberapa menit berlalu dan salah seorang dari mereka mulai bergerak menunjukan tanda-tanda kehidupan yang sempat hilang. Cowok yang sadar duluan adalah Rubby. Dia bangkit bersandar dan mengelus kepalanya yang pusing. Hidungnya membaui bau lembab dan pengap yang sangat mengintimidasi. Saat dia sedang berusaha mengumpulkan kesadaran, tampak Tio dan Fandi juga mulai bangun."Dimana ini, Rub?" keluh Fandi sambil memijit keningnya. Dia seperti melihat bintang kecil menari-nari di depan pelipisnya."Di toilet lama, bego!" kertak Rubby. Tentu saja dia hapal, tempat ini telah menjadi saksi kebuasan mereka dalam praktik pembulian di sekolah ini selama dua tahun! Bagaimana bisa mereka tidak mengenali?!"Apa yang terjadi?" gumam Tio serak."Ingat kita kesini bawa si culun agar-agar, gue udah siap buat gunting rambut blondenya sampai dia botak, kemudian...""Kemudian gue rasa ditendang di punggung..." kenang Tio."Cewek itu..." gumam Fandi dengan mata penuh geram. "Cantik juga." sambungnya dengan nada tidak berdaya, membuatnya dihadiahi pelototan mata Rubby."Kita dihajar cewek, Rub." keluh Tio dengan nada malu."Gue kenal dia. Namanya Rose. Dia dari kelas Sebelas B." desis Rubby penuh dendam. "Kita harus menuntut balas!""Yakin, Rub? Masa kita ngeroyok cewek?" Fandi tampak ragu."Shit. Sendirian lo belum pasti bisa ngalahin dia! What's wrong with ngeroyok?!" Rubby murka."Menurut gue, sasaran kita seharusnya si culun itu, Rub."Rubby tak langsung menjawab saran Tio. Wajahnya yang memar di beberapa sisi terasa berdenyut nyeri ketika dia menampilkan ekspersi marah yang menarik otot wajah."Lo benar. Dia harus di hajar duluan." gumam Rubby akhirnya.***Sebuah sepeda motor sport keluaran terbaru masuk ke parkiran Persada Bangsa pagi itu, diikuti sebuah mobil keluaran terbaru yang langsung diparkir mulus di area parkiran mobil.Jika orang yang tidak mengenal, mereka akan mengira bahwa orang yang membawa sepeda motor itu adalah seorang cowok. Nyatanya ketika si pengemudi membuka helmnya dengan dramatis, tampaklah rambut panjang hitam terurai yang tergerai lepas, itu... seorang gadis?Pengemudi sepeda motor itu turun dari joknya dan menaruh helmnya. Dua orang yang keluar dari mobil tadi cepat menghampiri si rambut panjang."Ariza, sampai kapan kamu naik motor terus? Bisa-bisa kulitmu itu hangus terkena sinar matahari," gerutu salah satu gadis yang turun dari mobil. Dia memakai pakaian seragam yang sangat rapi. Rambutnya ikal dengan model curly, menggantung lembut diatas bahunya. Seperti gadis dari kalangan atas kebanyakan, dia terlihat cantik dan terawat. Disebelahnya, tegak seorang gadis lain yang tampaknya memiliki temperamen lebih tenang dan tidak banyak bicara. Rambutnya pendek, hitam. Poninya yang menggantung tidak dapat menyembunyikan kesan tegas dan tenang yang memancar dari parasnya secara bersamaan. Dia juga memakai seragam sekolah, menunjukan bahwa dirinya adalah salah satu pelajar di SMA Persada Bangsa. Orang yang barusan turun dari jok motornya, dan di panggil Safira itu adalah seorang gadis dengan height 170 cm, jauh lebih tinggi dari rambut curly dan sedikit melampaui si rambut pendek. Rambutnya yang tergerai lepas di punggung dan menjela di bahunya membuatnya terlihat sedikit tidak terkendali namun memukau. Parasnya cantik namun dingin sekali. Aura yang dibawanya begitu kaku, seolah dia baru saja datang dari kutub utara. Gadis ini tidak memakai rok, namun celana yang dipasangkan dengan atasan seragamnya. Semua siswi SMA Persada memang diharuskan pakai rok, kecuali Ariza. Gadis ini telah mengurus izinnya memakai celana ke sekolah. Mengingat keluarganya adalah keluarga yang sangat berpengaruh, memang bukan hal sulit meminta pengecualian itu.Dengan iris matanya yang dipakaikan softlens hitam, Safira mengedarkan pandang ke seantero sekolah sambil menyugar rambutnya yang agak berantakan."Mau kubawakan tasmu?" Si rambut pendek yang bernama Riana menawarkan, hanya untuk mendapati lirikan tajam dari raut cantik namun pelit ekspresi itu."Aku sudah berulangkali bilang, Riana. Aku tidak suka kau memperlakukanku seperti ini. Bersikaplah santai seperti Saron." Ariza melirik si rambut curly."Ah ya. Aku lupa, biasanya Sapphire...""Aku Ariza, bukan Sappire." potong gadis itu sambil melangkah menuju kelasnya. Beberapa siswa senior yang sudah tahu siapa adanya 3 gadis itu memilih menyingkir dari pada berpapasan dengan mereka.Daniah yang baru datang tampak kagum bercampur penasaran melihat tiga gadis yang membawa aura kuat itu, terutama yang paling depan."Cantik sekali." Daniah berdecak melihat gadis paling depan yang melangkah acuh tak acuh sambil memasang wajah tanpa ekspresi."Siapa mereka, Kak?" tanya Daniah pada salah seorang siswi senior didekatnya."Yang paling depan, namanya Sapphire. dari kelas Sebelas A. Dia Ketua Geng Poison, anggotanya kuat, ada yang dari sekolah ini, bahkan dari sekolah lain. Dia gadis yang aneh..." jelas Lidia, cewek yang tadi ditanyai oleh Daniah."Kurasa dia keren, bukan aneh... "Lidia mengangkat alis mendengar ucapan juniornya itu. "Apanya yang keren dari seorang bakal mafia seperti itu? Malah akan semakin merusak negara...""Memangnya sejauh ini dia sudah pernah merugikan orang?" tanya Daniah lagi."Katanya sih dia membantai sebuah geng dua bulan yang lalu. Itu kasus tindakan brutal terakhirnya sejauh ini..."Daniah menelan ludah mendengar kata 'membantai' yang diucapkan Lidia. Apakah kata itu memang benar benar bermakna harfiah?"Dia... membunuh, Kak?"Lidia menggeleng. "Dia hanya menghajar mereka habis-habisan, geng itu cerai berai dan bubar karenanya. Gadis itu... mengapa demikian kuat?""Memangnya dia tidak ditegur sekolah?""Tindakannya diluar sekolah. Lagipula akan beda kejadiannya kalau dia berkelahi pakai seragam sekolah. Dia pakai baju gengnya lah, siapa yang akan tahu kalau dia murid Persada Bangsa dan berani menghubungkan? Sapphire itu bukan gadis biasa."Lidia tampak 'lelah' membicarakan Ketua Geng Poison itu, namun Daniah kembali bertanya. "Lalu dua gadis di belakangnya?""Saron dan Riana. Mereka tangan kanannya di Poison dan juga merangkap pengawal pribadinya.""Hebat," gumam Daniah."Aku sarankan," Lidia memandangnya. "Sebaiknya kau jangan berurusan dengannya. Sapphire tidak akan melepaskan orang yang cari masalah dengan dirinya."Memangnya siapa yang mau cari masalah?Daniah merutuk geli dalam hati melirik ekspresi serius Lidia. "Aku ke kelas dulu, Kak." pamitnya yang dijawab dengan anggukan kecil.***Pagi itu, Bayu kembali memasuki halaman sekolah dengan langkah pelan, kepala menatap tanah. Beberapa siswi yang sempat melihat cowok berkacamata itu keluar dari mobil mahal tak tahan untuk merumpi dan bertanya-tanya. Siapa sebenarnya si culun ini? Apakah dia putra seorang konglomerat? Atau mungkin dari golongan crazy rich?Meski begitu banyak dugaan, namun tak ada seorangpun yang mau mendekati Bayu apalagi bertanya atau mengajaknya berkenalan. Bayu sendiri tampaknya tidak peduli dengan sekelilingnya. Dia terus berjalan, naik ke lantai dua menuju kelas 10 A, dan menaruh tasnya disana. Suasana kelas masih cukup sepi, baru satu dua orang yang datang. Bayu melirik arlojinya. Masih ada waktu 20 menit sebelum bel masuk. Cowok ini membetulkan letak kacamatanya sebentar kemudian melangkah keluar dari kelas dan menuju ujung koridor lantai dua, dimana disana tampak sebuah pintu tertutup dengan papan keterangan yang menggantung di sisi kiri pintu. Perpustakaan/Library. Tempat favorit apa lagi ba
Daniah masih berdiri menunggu didepan gerbang sekolah. SMA Persada Bangsa sudah mulai sepi. Gadis berkacamata tipis itu celingak-celinguk, namun kendaraan jemputannya belum juga tiba. Sambil memasang wajah masam, dia berpaling ke halaman sekolah dan terkejut melihat sosok Bayu melangkah keluar gerbang. "Bayu!" Daniah segera mendekat. Matanya membeliak melihat penampilan cowok itu yang berantakan dan belepotan lumpur. "Kacamatamu mana?" tanya Daniah. Cowok itu mengangkat kepalanya, namun dia tidak memandang Daniah. Tanpa menjawab, Bayu mengeluarkan handphonenya, lalu menelpon seseorang."Roy, dimana?" tanyanya begitu tersambung."....""Aku menunggumu di gerbang."Bayu mematikan handphonenya, lalu berpaling pada Daniah. Gadis itu tertegun. Shit! Tanpa kacamata, wajahnya benar-benar tampan! Mata hazelnya kayak shining! O my God!"Kenapa kau belum pulang?" pertanyaan Bayu menyentakan gadis itu dari keterpukauan-nya."Ada sedikit masalah. Mungkin jemputanku masih setengah jam lagi." ja
Pemuda tampan itu tegak diatas balkon rumah mewah bernuansa klasik tersebut sambil memandang ke arah taman. Kegelapan malam yang mulai turun tampak bersanding eksotis dengan gemerlap lampu taman di bawah sana. Dibelakangnya, seorang cowok bermata coklat menunduk khidmat."Dia bertindak secara luarbiasa, diluar perintahku." kata pemuda didepannya. Dia membalik. Pencahayaan yang suram menimpa sosoknya yang tinggi sempurna, sepasang matanya bagai manik bintang yang penuh wibawa, memancarkan kekuatan dan ketenangan dalam waktu bersamaan.Meski dia memakai pakaian santai biasa, namun setiap orang akan merasakan aura seorang raja menguar dari dalam dirinya, padahal usianya masih sangat belia."Harap Yang Mulia tidak marah." Si mata coklat merapatkan telapak tangannya diatas kening, khas hamba sahaya jaman dahulu menghadap rajanya."Putri mengkhawatirkan Yang Mulia.""Dia benar. Setelah Rose masuk ke Poison, kau memang harus masuk ke Persada Bangsa untuk menggantikan perannya. Meski kurasa,
....Bayu tersenyum. "Tetap aku berterimakasih,""Siapa namamu?" Pemuda culun itu tertegun sejenak. Apa gadis populer itu sedang menanyakan namanya?"Ba...Bayu. Namaku Bayu.""Well, Bayu. Aku tidak menolongmu, dan aku tidak membutuhkan buku itu lagi. Jelas?"Bayu mengangguk. Kemudian dia mundur perlahan. Diiringi tatapan datar Ariza, pemuda itu memasang punggungnya dan berlalu.Gadis cantik yang selalu mengenakan softlens hitam itu duduk kembali di bangkunya dan kembali memasang earphone. Dia terus asyik dengan dunianya sendiri, sampai tidak menyadari kalau saat itu ada seseorang yang masuk ke dalam kelas dan memperhatikan dirinya."Dasar gadis aneh."Terdengar decak sinis.Ariza mendengar kalimat itu dengan jelas meski dirinya tengah memakai earphone. Namun dia tidak terusik, terus tenggelam dengan buku yang dibacanya. Beberapa menit kemudian bel masuk berbunyi nyaring. Para siswa kembali ke dalam kelas masing-masing. Begitu pula dengan penghuni kelas Sebelas IPA A.Tak lama kemudi
" Aku akan menghubungi Rose," Saron bersuara. Dia dan Riana masih setia mengawasi rumah Zarah yang terlihat sepi. Tanpa menunggu tanggapan Riana, Saron langsung menelpon orang yang disebutnya. "Hallo." "Ada apa?" "Kau sudah mulai mengawasi dia?" "Ya. Aku sudah mendapatkan beberapa informasi..." "Bisa kau kesini sekarang?" "Rumah Sapphire?" "Bukan. Rumah Zarah. Kau sudah tahu tentu." "Untuk apa?" "Aku akan menjelaskannya nanti." klik. Saron mengakhiri panggilannya. Hampir setengah jam mereka menunggu, dan Rose pun muncul dengan sepeda motor sport miliknya. "Ada apa?" tanyanya begitu mendapati Riana dan Saron disuatu tempat tidak jauh dari rumah Zarah. "Laporanmu." ucap Saron tanpa tedeng aling-aling." "Zarah Alexa, lahir 23 Juli 2003. Dia memiliki seorang saudara kembar laki-laki. Orangtuanya adalah Pembisnis sibuk. Di rumah itu dia tinggal bersama saudara kembarnya itu. Orangtuanya jarang pulang." "Hanya itu?" Saron mengangkat alisnya. "Siapa nama saudara kembarnya?"
"Jadi Zarah itu kembaran Zeilo?" Ariza memastikan sambil memandang Rose yang duduk didepannya. Sore itu cuaca cukup baik, anggota inti Poison masih belum pulang. Di samping Ariza duduk Kristo, memasang wajah datar. Sedang Saron dan Riana duduk tak jauh dari mereka.Rose mengangguk. "Ya, Sapphire."Ariza berdecak pelan. "Pantas saja dia begitu membenciku, ternyata dia sakit hati dengan kekalahan saudaranya..."Gadis itu teringat beberapa bulan yang lalu, saat dia membubarkan sebuah geng motor yang dikepalai Zeilo Alexandro. Dia menantang cowok itu duel dengan taruhan yang kalah akan membubarkan gengnya. Dan hasilnya, you know lah. Zeilo kalah, dia kehilangan muka. Padahal awalnya dia sudah memandang remeh gadis cantik yang mengetuai Poison itu."Apa kau tahu apa rencana Zarah dengan ini semua?""Sejauh ini dia belum tampak mencurigakan." jawab Rose. Keadaan di ruang tamu yang luas itu mendadak sepi."Awasi dia terus." titah Ariza setelah beberapa lama diam. Dari lantai satu, tampak s
Pemuda tampan itu tersenyum menatap dua orang yang duduk dihadapannya. Dua orang muda yang sama-sama berambut dan bermata coklat, hanya yang satu cewek dan yang satu cowok. "Jadi..." pemuda tampan itu memperbaiki duduknya sambil memandang ke arah yang lelaki. "Siapa prioritasmu sekarang, Chandra?" Si cowok mata coklat menelan ludahnya. "Maafkan hamba, Yang Mulia...." Pemuda beraura pemimpin itu mengangkat tangannya. "Aku dapat memahami keadaan yang terjadi. Kau tidak perlu meminta maaf..." "Namun hamba bertindak diluar perintah...." "Apakah membasmi kebatilan harus menunggu perintah dulu? Kebenaran tidak diatur. Dia bergerak dengan caranya sendiri." Chandra menunduk dengan hati lega. Sang Raja tersenyum dan berpaling pada gadis disamping Chandra. "Adirani, adakah yang hendak kau sampaikan?" Gadis yang dipanggil Adirani mempertemukan dua telapak tangannya didepan kening lalu menjawab. "Yang Mulia, hamba mohon petunjuk agar tidak salah melangkah dalam menjalankan tugas ini."
Meja makan rumah Kristo demikian sepinya. Bagaimana tidak sepi? Hanya ada dua anak manusia yang duduk disana, makan tanpa bertegur sapa. Tidak lain dan tidak bukan mereka adalah Lily dan si tuan rumah yang menyelamatkannya. "Apa kau memang sedang diet?" Pertanyaan Kristo yang tiba-tiba membuat Lily tersentak. "Tidak." jawabnya pendek. "Porsi makanmu bahkan tidak akan mengenyangkan seorang anak balita," tegur Kristo dengan frasa yang sedikit berlebihan. Lily menunduk menatap gundukan nasi tipis diatas piringnya. "Aku.. masih sedikit kenyang." Kristo mengangkat sebelah alisnya tanpa menatap gadis itu. Dia memasukkan sepotong daging ke mulutnya dan berucap lagi. "Sekarang, katakan dimana rumahmu ..." "A..apa?" Lily tercengang. Apa dia memang demikian memuakkan sampai cowok itu ingin cepat-cepat mengusirnya? "Rumahmu. Atau aku harus membuat postingan di social media tentang orang hilang?" Kristo berkata acuh tak acuh. "Kau semuak itu denganku?" Lily sudah tak mampu menahan lidah
Putri Tirza Antara, berjalan dengan wajah tersenyum menemui Pangeran Avdar. Gadis itu terlihat penuh dengan aura bangsawannya yang murni, anggun dalam pakaian putri dengan kerah tunggi dan jubah menjuntai biru di hiasi batu permata halus."Kau sudah kembali," Pangeran bermata hitam itu membalas senyum Tirza, meraih tangan gadis itu dan membimbingnya duduk di pendopo gedung putra mahkota."Semuanya berjalan dengan baik,""Aku sudah mendengarnya, dan aku turut bahagia untukmu, Tirza." Sang Pangeran menghela napas sebentar, lalu menatap Tirza dengan pandangan yang penuh damba sekaligus tak percaya, "Kau kembali padaku, sesuai janjimu." ujarnya.Tirza mengangguk. "Seorang ksatria harus memegang janjinya.""Apakah dengan ini kau bersedia..." Pangeran Avdar menggantung kalimatnya, menatap dengan lekat sepasang mata biru indah gadis di hadapannya lalu melanjutkan dengan hati -hati,"Apa kau bersedia untuk menikah denganku?"Tirza tak langsung menjawab pertanyaan penuh harap itu. Gadis itu ta
Keadaan kerajaan menjadi terkendali. Frazia Farza di jebloskan ke dalam penjara untuk menerima penghukuman besok. Semua bangsawan di perintahkan sang ratu untuk kembali ke kediaman masing-masing. Termasuk keluarga Bazlam yang kini di awasi oleh kesatria ksatria Sofraz, padahal kediaman mereka berada satu lingkungan dalam istana."Bagaimana kau bisa melepaskan diri?" tanya Angin saat di ruang pengadilan itu yang tersisa tinggalah dia, sang ratu, Tirza Antara dan kakaknya Davar Antara."Davar membantu hamba dengan Nilakandi Adavara. Dengan permata itu juga Davar menyembuhkan Ratu bersama dengan guru." jawab Tirza yang sudah mendengar penjelasan singkat kakaknya tadi ketika Pangeran tengah bertarung dengan Jelaba."Dimana guru sekarang?" tanya Angin."Guru Amba telah kembali, Yang Mulia. Dia percaya Yang Mulia dan Tirza dapat menyelesaikan ini.""Aku sudah lama tidak menjenguknya." Angin mengucapkannya dengan penuh sesal. Dia melihat pada sang ibu yang tersenyum lembut padanya, sang pange
Meski tahu, hukuman yang paling berat yang akan dilemparkan adalah hukuman mati, Tirza tetap merasakan sakit yang nyeri didadaya ketika dia mendengar Angin Nava Satra menjatuhkan hukuman itu. Pandangan gadis itu kosong.Angin Nava Satra merasa dadanya sesak, dia menahan diri untuk tidak jatuh saat itu. Tangannya mengangkat palu emas, siap mengesahkan hukuman."Pangeran."Ada yang memanggil. Angin Nava Satra mengangkat kepalanya yang tertunduk. Dia mengedarkan pandang, dan saat matanya menubruk suatu objek, sang pangeran merasa terhenyak, Ratu Sofraz Agatara Vidma berjalan masuk dari pintu ruang pengadilan diikuti Davar Antara. Sang Ratu masih memakai pakaian tidur putih bersih tanpa atribut bangsawan apapun. Perempuan itu terlihat polos, tapi langkahnya yang anggun tetap menunjukkan ketegasannya sebagai seorang ratu. Betapapun terkejutnya Pangeran Angin, yang lebih terkejut di sana adalah Frazia Farza Purdam. Lebih lebih para tetua kerajaan yang tidak menyangka bahwa sang ratu akan sem
Saat Angin Nava Satra tiba di balariung istana, rupanya para jajaran petinggi istana telah ada disana, Frazia Farza pun telah turut hadir.Nilam Rencana, Chandrafala dan Adira turut pula bergabung di balariung.Tirza berlutut, sepasang tangannya di buhul oleh rantai Zora. Dia tidak melakukan banyak gerakan, hanya menunduk saja, saat dia mendengar langkah kaki Angin, gadis itu mengangkat kepala, menyaksikan pangeran Sofraz itu berdiri di depannya.Angin Nava Satra sedikit mengernyit ketika melihat Tirza tersenyum ketika memandangnya. "Kau kembali, akhirnya kau kembali." Dia tersenyum dengan lega seolah-olah telah melepaskan beban di dadanya. "Tirza, kau melakukan banyak hal di luar batas. Apakah kau menyadari kesalahanmu?" Angin bertanya."Sebutkan kesalahanku, Yang Mulia. Aku tidak dapat mengetahui mana yang merupakan salahku dan yang bukan." jawabnya dengan berani."Kau menyusup ke Istana Sofraz, bahkan menutup portal dimensi sehingga aku aku tidak bisa secepatnya kembali ke negeri
Bukan hal sulit bagi kedua orang yang sudah mengenal seluk beluk istana Sofraz semenjak mereka kecil, untuk menyusup ke dalam benteng istana.Malam yang gelap membantu Tirza dan Davar yang memakai pakaian malam hitam menyelinap di lorong-lorong menuju gedung kerajaan.Gedung Kerajaan adalah gedung utama dari semua bangunan yang ada dalam benteng istana.Di gedung inilah terdapat Balariung istana, ruang makan kerajaan, penjamuan tamu, dan kamar raja. Hanya saja gedung ini sering kosong karna sang raja telah tiada.Davar membawa Tirza menyusup di taman gedung kerajaan, sesekali mereka merayap untuk menghindari para ksatria yang berjaga.Di taman itu rupanya ada sebuah jalan rahasia yang tertutup dengan rerumputan. Davar meraba-raba, lalu membuka bulatan logam seukuran tubuh orang dewasa yang menempel di dinding penuh rumput. "Masuk,"pintanya.Tirza masuk lebih dulu diikuti Davar yang dengan cepat menutup jalan rahasia itu dengan bulatan logam sebelumnya dari dalam.Saat masuk, Tirza d
Menutup portal hanya bisa dilakukan oleh orang yang membuka portal itu sendiri, Angin Nava Satra. Bagaimana bisa Frazia melakukan itu?"Aku bisa melakukan banyak hal," Seolah tahu apa yang ada di pikiran Tirza Antara, wanita tua yang masih terlihat muda itu bicara."Kau memang berniat mengambil alih tahta..." gumam Tirza, dengan pandangan tak habis pikir.Mendengar itu, Frazia tertawa. "Aku tidak mengambil alih, sejak awal, tahta Sofraz adalah milikku. Jangan menjadi naif.""Kau juga yang menjebakku sehingga aku difitnah sebagai orang yang meracuni Ratu, bukan?"Tanpa ragu, Frazia tertawa dan mengangguk. "Lalu, kamu mau apa? Berteriak mengatakan kalau aku yang meracun Agatara? Tidak akan ada yang mempercayai seorang pengkhianat sepertimu."Tirza sadar akan hal itu, dia tidak bisa menuding Frazia begitu saja. Dia membutuhkan bukti."Aku tidak peduli dengan urusan Fandita," akhirnya gadis itu bicara lagi. "Aku hanya memohon izin untuk bertemu dengan ibuku.""Ibumu?" Frazia mengangkat
"Pergilah bersama Galamav." Pangeran Gag melepas kepergian Tirza. Gadis itu mengenakan pakaian perjalanan sederhana, namun tetapi tak bisa menyembunyikan kecantikannya.Tirza memang menguasai kemampuan teleportasi, namun untuk melakukannya dibutuhkan energi yang besar dan cukup beresiko. Karna itu dia berpikir untuk kembali ke Sofraz jalur udara. Tirza ingin menemui gurunya lebih dulu.Gadis itu tersenyum pada pangeran Gag sebelum Galamav, gagak raksasa itu mengepakkan sayapnya membawa Tirza terbang ke awan."Kita temui Guruku, Galamav."burung itu menguik halus tanda mengerti. Selang beberapa saat kemudian, mereka mulai melintasi langit Sofraz. Galamav sepertinya tahu tempat terakhir dimana Guru Amba berada. Dia mendarat di hutan Pilaz. Hutan yang terletak di barat Sofraz itu adalah salah satu hutan terlarang yang jarang di masuki manusia.Tirza sendiri tahu bahwa hutan ini adalah tempat dimana sang guru lebih banyak bersunyi diri dan bermeditasi semenjak Angin dan Tirza telah purn
Frazia Farza Purdam melangkah memasuki ruang peraduan Ratu Sofraz. Perempuan itu berada dalam keadaan setengah koma, tak dapat bicara dan tak membuka mata. Beberapa saat, Frazia berdiri disana, lalu perlahan senyum tipis muncul di bibirnya."Sudah begitu lama eh? Padahal aku berharap kamu segera mati, Agatara Vidma. Aku menikmati peranku sekarang, semuanya berada dalam kendaliku. Aku tinggal menunggu waktu bagaimana cara menutup portal dimensi agar putramu tidak akan dapat kembali ke sini, dan aku akan berkuasa selamanya..."Perempuan berambut merah itu tertawa kecil, menahan mulutnya dengan tangan. Khawatir kalau para dayang yang berdiri di luar sana dapat menangkap suara tawanya. Frazia melangkah mengelilingi ranjang ratu."Sekarang, Sofraz berada dalam genggamanku. Namun karna para tua tua sialan itu aku terpaksa harus menahan diriku untuk duduk di kursi kebesaran. Padahal selangkah lagi, semuanya akan sempurna." Dia berdecak sinis. Lalu, wanita itu menatap ke arah Agatara Vidma, Ra
"Bukan kamu yang menentukan kepantasan seseorang untuk menjadi ratu,""Ya,"Ariza mengangguk tanpa ragu menyahuti ucapan sang Pangeran. "Tapi aku bebas menilainya.""Aku akan mengampuni perbuatanmu ini," Ucap Angin Nava Satra, berdiri dengan tenang dalam wibawa seorang raja. "Asalkan, kau dengan sukarela menyerahkan Nilakandi Adavara. Aku berjanji, aku tidak akan mengusikmu lagi."Ariza membeku beberapa saat, lalu perlahan -lahan senyum manisnya terbentuk. "Barangkali jika kau lupa, Angin Nava Satra. Kaulah yang mengusirku dari Sofraz. Lalu kenapa sekarang kau bisa melintasi dimensi hanya karna Nilakandi Adavara ada bersamaku?""Ini untuk kesembuhan ibunda." balas Angin Nava Satra. "Bagaimana...." Tirza menarik nafasnya, lalu mengangkat kepala menatap orang yang dicintainya itu. "Jika aku tidak mau?"Angin Nava Satra mengerjab dalam ketenangannya, dia maju satu langkah. Sedangkan Nilam mulai bangkit perlahan dan berusaha melakukan penyembuhan mandiri meski itu memang tidak akan banyak