“Jonah! Ayo cepat pakai sepatumu kita hampir terlambat, Sayang! Mama ada meeting penting pagi ini,” seru Arabella sambil memasukkan potongan roti terakhir ke dalam mulut dan memasukkan roti ke kotak bekal Jonah.
“Ya, Ma. aku sudah selesai. Hari ini aku juga punya janji penting dengan Kimiko,” balas bocah sembilan tahun dengan bangga dan suara yang mulai sedikit berubah.
“Haa? Janji apa dengan Kimiko? Kalian akan pergi ke taman hiburan seperti minggu lalu?” tanya Arabella lagi sambil berlari ke depan dan membuka pintu dengan bawaan di kedua tangannya, lalu masuk ke mobil untuk menaruh semuanya agar tidak ketinggalan.
“Rahasia, Mama Cantik,” jawab Jonah tertawa kecil, lalu naik ke mobil dan mengenakan sabuk pengaman.
Setelah mengunci pintu, Arabella mengeluarkan mobil dari garasi dan berhenti di pinggir jalan, lalu turun untuk mengunci pagar. Kemudian dia naik ke mobil dan kendaraan mini SUV itu pun melaju.
“Jonah, Mama tidak mau kau pergi tanpa sepengetahuan Mama, mengerti? Pokoknya kalau mau pergi dengan Kimiko, beritahukan pada Miss Agnes, oke? Jangan buat Mama cemas,” omel Arabella sambil terus berkonsentrasi pada jalanan yang semakin ramai.
“Tidak, Ma. Kami hanya ingin membicarakan sesuatu. Nanti Mama juga akan tahu,” ucap Jonah sambil melemparkan pandangan keluar dari kaca mobil yang melaju perlahan karena macet.
Mendekati Blessing Elementary School, Arabella mulai menepikan kendaraan ke sebelah kiri mengikuti barisan mobil yang melaju pelan memasukki areal sekolah untuk menurunkan anak-anak.
“Bye, Ma,” salam Jonah sebelum turun dari mobil dengan tas ransel di punggung serta tas bekal di tangan kanannya sambil melambaikan tangan pada Arabella.
“Ingat, Jonah ….” Arabella seperti hendak kembali menceramahi anak kecil itu tetapi satpam sekolah sudah meniup peluit agar Arabela segera maju karena melihat Jonah sudah turun dari mobil.
“Iya, Mama Cantik. Hati-hati, Ma!” seru Jonah dengan suaranya yang nyaring mengiringi mini SUV itu yang mulai melaju menjauh meninggalkan sekolah.
Hampir dua puluh menit kemudian, mini SUV itu memasukki areal parkir gedung perkantoran yang ramai. Arabela turun setelah memarkirkan mobilnya di antara puluhan mobil yang semuanya adalah pekerja di berbagai kantor yang ada di gedung itu.
Bunyi ponsel membuatnya melambatkan langkah dan meraih ponsel yang ada di kantong blazer kelabu yang dikenakannya.
Dahinya mengernyit saat melihat layar hanya nomor yang tertera di sana. Siapa yang meneleponnya pagi-pagi?
“Selamat pagi, dengan Arabela Stuart di sini. Ada yang bisa saya bantu?” sapa wanita dua puluh tujuh tahun itu dengan ramah. Kakinya melangkah memasuki lift yang sudah penuh lalu pintu menutup.
“Halo???” Sambungan ponsel terputus seketika ketika berada di dalam lift.
Sampai di lantai lima, lift berhenti dan serombongan karyawan turun termasuk Arabela. Kantornya terletak di lantai lima di sayap sebelah kanan. Tanpa menghiraukan ponsel yang terputus, dia melangkah menuju kantornya dengan penuh percaya diri.
“Ara, Tuan Blackmores sudah menunggumu,” lapor seorang wanita yang duduk di dekat pintu masuk. Arabela mengangguk ramah padanya dan terus melangkah menuju kantornya di ujung ruangan.
Bunyi ponsel membuatnya kembali melambatkan langkah dan segera mengangkatnya.
“Ya?”
“Arabella Stuart? Saya Peter Jackson. Anak saya Kimiko Jackson berteman dengan Jonah Stuart anak anda. Rencananya hari Sabtu besok saya dan Kimiko akan pergi berkemah di hutan kota. Apa Jonah boleh ikut?” suara laki-laki itu terdengar ramah dan juga lembut. Arabella terpesona dengan suaranya.
“Maaf, Arabella Stuart? Anda mendengarkan saya?”
“Ah-eh, iya ya, saya mendengarkan anda. Tapi darimana anda tahu nomor telepon saya? Jonah yang memberitahukannya?” tanya Arabella heran. Dia sudah pernah mengingatkan Jonah untuk tidak sembarang memberikan nomor telepon baik rumah maupun ponsel ke sembarang orang.
“Iya, benar. Jonah yang memberitahu saya untuk langsung menelepon anda agar mengijinkan dia ikut. Bagaimana? Apakah boleh?”
“Hari Sabtu ya? Masih tiga hari lagi. Saya akan memikirkannya,” jawab Arabella cepat karena dia sudah tiba di depan kantor dan seseorang sudah duduk di dalam menunggunya.
Segera setelah memutuskan telepon, Arabella masuk ke dalam kantor dan memulai hari dengan meeting pagi bersama Tuan Blackmores salah satu klien di kantor pengacara tempat Arabella bekerja. Kesibukannya segera membuatnya melupakan telepon dari Peter tadi.
Menjelang istirahat siang dia segera bergegas menjemput Jonah yang sudah pulang dari sekolah, lalu menyiapkan anak itu dan kemudian mengantarkannya ke beberapa tempat kursus di satu lokasi dekat gedung perkantorannya. Hingga jam pulang kantor dia akan menjemput Jonah di sana, setiap hari.
Rutinitas setiap hari yang membuat Arabella tidak lagi memikirkan suaminya yang telah tiada dua tahun lalu karena kecelakaan lalu lintas. Bekerja dan mengurus Jonah membantu Arabella untuk tidak larut dalam kesedihan.
“Jonah, apa yang sedang kau rencanakan dengan Kimiko? Apa kalian berencana pergi berkemah bersama Papa Kimiko?”
“Ah … Paman Peter sudah menelepon Mama, ya?” tebak Jonah saat naik ke mobil dan langsung mengenakan sabuk pengaman.
“Iya, tadi dia menelepon Mama. Kau sudah mengenalnya? Bagaimana orangnya? Apa dia baik padamu? Atau cuek dan acuh? Siapa yang akan ikut kalian pergi berkemah selain Kimiko dan papanya? Mama Kimiko?” tanya Arabella bertumpuk.
“Duh … Mama tanyanya satu-satu, dong. Jonah jadi bingung jawabnya,” keluh anak itu dengan gayanya yang selalu berhasil membuat Arabella tertawa.
Diusapnya pucuk kepala Jonah dengan lembut.
“Apa kau sudah pernah bertemu dengan Paman Peter? Bagaimana orangnya?” tanya Arabella mengulang pertanyaannya. Kali ini dia hanya menanyakan dua buah pertanyaan sebelum melanjutkan ke pertanyaan berikut.
“Oh ya, kau sudah makan bekalmu, Jonah? Apa kau masih lapar? Ingin sesuatu?” tanya Arabella lagi ketika melihat mini market di seberang lampu merah.
“Mama mulai lagi, deh! Jonah belum menjawab pertanyaan tentang Paman Peter, Mama sudah menanyakan yang lain. Pusing deh!” gerutu Jonah dengan gaya kekanakannya yang imut.
Arabella tertawa.
“Iya iya, maafkan Mama yang cerewet ini,” tukas Arabella dengan senyum penuh kebahagiaan.
“Aku sudah makan bekal, Ma. Tadi Kimiko membawa nasi kepal yang mirip seperti di restoran Jepang, rasanya enak sekali. Jadi sekarang sudah kenyang, Ma, tidak ingin jajan lagi,” tukas Jonah mulai menjawab pertanyaan Ibunya satu persatu.
“Paman Peter, papa Kimiko itu orangnya baik sekali, Ma. Dia selalu perhatian pada Jonah dan Kimiko, pernah beberapa kali mengajak Jonah dan Kimiko makan saat dia sedang gilirannya untuk menjemput Kimiko pulang seolah. Papa sama Mama Kimiko sudah bercerai, Ma, dan Kimiko tinggal bersama Paman Peter. Di akhir minggu Kimiko akan menginap di rumah Mama dan Paman Isaac. ”
“Ohya? Jonah tahu Papa dan Mama Kimiko bercerai? Tahu artinya?” tanya Arabela terkesima mendengar penuturan Jonah.
Bocah sembilan tahun itu mengangguk cepat.
“Kimiko pernah bercerita kalau Papa dan mamanya sering bertengkar. Sejak Kimiko punya adik lagi, mamanya pindah dan tinggal dengan Paman Isaac. Jonah belum pernah bertemu dengannya, jadi Mama jangan tanya, ya,” ucap Jonah ceria tanpa beban.
***
“Ma, Jonah boleh ikut Kimi pergi berkemah?” tanya Jonah malam sebelum tidur. Arabella baru saja membereskan pekerjaannya dan masuk ke kamar Jonah untuk mengantarnya tidur. Kebiasaan Jonah, sebelum tidur dia selalu ingin ibunya mengusap punggungnya hingga tertidur.“Kimiko minta Jonah ikut?” tanya Arabella mencari tahu.Jonah mengangguk.“Kenapa Kimiko minta Jonah ikut?” tanya Arabella lagi.Jonah mengedikkan bahunya sambil naik ke atas ranjang dan menarik selimut hingga menutupi dada kecilnya.“Pasti ada alasannya. Apa kau dan Kimiko merencanakan sesuatu?” tebak Arabella.Jonah menggeleng dan matanya mulai terlihat mengantuk setelah menguap beberapa kali.***Bunyi ponsel di samping ranjangnya mau tidak mau membuat Arabella bangkit dari rebahan untuk meraih ponsel yang terus berbunyi,“Ya, ada apa Josh? Kau di mana? Apa baru pulang dari kantor? atau kau butuh bantuan hukum dariku?” tanya Arabella seperti biasa dengan setumpuk pertanyaan.Joshua tertawa di seberang ponsel.“Tidak, Ara
Sejak matahari belum muncul di ufuk timur, Jonah sudah bangun dan bersiap dengan semangat.“Mama buatkan spaghetti dengan taburan cheddar, Jonah. Habiskan sebelum kau pergi. Mama masih harus ke kantor setelah kau pergi dengan Kimiko nanti. Apa kau ingin sesuatu?” tanya Arabella sambil bersiap ke kamar mandi setelah menyiapkan sarapan.“Cukup, Ma. Cukup spaghetti dan susu cokelat saja,” jawab Jonah sambil mengangguk senang.Tas berisi pakaian dan beberapa makanan dan camilan sudah disiapkannya di sofa depan. Juga air putih dalam kemasan besar yang sengaja dibeli Arabella agar anaknya jangan sampai dehidrasi nanti.Arabella belum pernah pergi berkemah, jadi bayangan berkemah dengan lokasi hutan yang penuh dengan serangga membuatnya khawatir. Belum lagi teringat pertanyaan Peter tentang serbuk bunga yang sering menimbulkan alergi membuatnya semakin khawatir. Wanita itu sampai mencari di mesin pencarian tentang sebuk bunga yang menimbulkan alergi serta pengobatannya. Dan untuk beberapa sa
“Josh! Kau mengejutkanku!” seru Arabella terkejut saat mengetahui sumber suara itu.“Maaf, siapa lelaki itu?” tanya Joshua dengan suara yang terdengar cemburu.“Dia ayah Kimiko, teman Jonah. Hari ini mereka akan pergi berkemah di hutan kota, Josh,” jelas Arabella dan berjalan masuk ke rumah.“Kau mau teh?” tanya Arabella lagi ketika mereka sudah duduk di meja makan.“Boleh, terima kasih, Ara,” jawab Joshua sambil kembali terkenang kejadian barusan. Dia bisa merasakan Arabella menyukai Peter, begitu juga sebaliknya dari pandangan mereka. Joshua tiba beberapa menit tadi dan tidak langsung turun, dia sempat melihat Jonah naik ke RV, lalu diikuti Kimiko dan meninggalkan dua orang dewasa itu saling berpandangan. Joshua menarik napas dalam-dalam dan mengempaskannya dengan kuat.‘Apa yang kau takutkan belum tentu terjadi, Josh. Jangan berprasangka buruk pada sesuatu yang belum terjadi.’‘Tapi, kalau sudah terjadi, bukankah itu sudah terlambat?’‘Kau harus segera bertindak kalau tidak ingin
Setelah selesai mendirikan tenda, tiba-tiba Peter teringat kedua bocah itu ke arah sungai! Air sungai akan pasang mulai tengah hari, tetapi air sungai itu berasal dari pegunungan yang jauh di belakang hutan dan kemarin hujan besar terjadi di atas gunung. Itu berarti debit air sungai akan segera naik.Dia segera berlari ke arah sungai dan menemukan kedua bocah itu sedang asyik bermain air tanpa menyadari debit air sungai yang naik.“JONAH, KIMI!!! Ayo cepat naik! Kalian tidak memperhatikan debit air sungai sudah naik sampai ke dada kalian!” seru Peter cepat dan membantu ke dua bocah yang masih terbengong mendengar teriakannya.“Kenapa airnya bisa naik, Papa?” tanya Kimiko heran dengan kepala yang miring dan alis yang hampir menyatu.“Iya, Paman. Kenapa airnya bisa naik? Tadi tidak ada hujan?” tanya Jonah ikut heran.“Kalian belum mendapat pelajaran tentang fenomena air di sekolah? Sudah sekarang kita kembali ke RV dan kalian harus segera mandi, kemudian makan siang,” putus Peter yang
“Kau suka?” tanya Kimiko pada Jonah saat peter sudah menyalakan api anggun dan hawa panas dari api anggun mampu mengalahkan dinginnya malam ini.“Tentu. Aku suka sekali. Ternyata seperti ini rasanya di depan api anggun. Jauh berbeda dari api perapian yang ada di rumah saat musim dingin. Iya kan?” jawab Jonah dengan semangat dan senyum yang terus terukir dari wajah tampan lelaki kecil itu.Kimiko terbahak mendengar jawaban Jonah. “Tentu saja berbeda, Jonah. Kau bisa rasakan panas dari lidah api yang menari-nari di udara, itu … itu, coba kau rasakan! Terasa tidak?” seru Kimiko sambil menunjuk ke arah api anggun yang bergerak-gerak seperti sedang menari.Jonah mendekati api untuk merasakan dari dekat.“Jangan terlalu dekat, Jonah! Kau bisa ikut terbakar!” teriak Kimiko melihat Jonah yang terlalu dekat dengan lidah api, tetapi yang diteriaki malah tertawa senang.“Kau benar, Kimi. Hangatnya jauh berbeda. Aku suka di dekatnya,” seru Jonah tertawa sambil menggosok kedua tangannya yang teras
“Ayo kita ke sungai!” teriak Jonah senang, bibirnya terbuka lebar dan matanya berbinar bahagia menikmati suasana pagi yang masih sepi dan sunyi. Beberapa RV sudah tidak berada di dekat mereka.“Kemana RV kelabu yang kemarin parkir di sana, Paman?” tanya Jonah sambil menunjuk sebuah pohon oak besar dan rindang di kanan mereka. Daunnya yang lebar mulai berguguran dan buah oak kering berjatuhan.Jonah berlari ke dekat pohon itu dan memungut buah oak kering. Dia ingin membuat hiasan pintu untuk menyambut natal yang tinggal beberapa bulan lagi.“Untuk apa kau memunguti buah oak kering itu Jonah?” tanya Kimiko heran melihat Jonah sudah menggunakan bajunya sebagai tempat menaruh buah-buah oak sempurna yang dipilihnya.“Kau tidak tahu? Aku akan membuat hiasan pintu untuk menyambut natal, Kimi! Mama pasti akan senang sekali!” jawab Jonah dengan binaran mata bahagia.“Oh aku tahu, kau ingin membuat hiasan seperti saat kita di kelas satu dulu? Memangnya kau masih ingat cara membuatnya?” tanya Ki
“Ya, aku bekerja sebagai penjaga perpustakaan, Arabella, kenapa?” tanya Peter sambil tertawa mendengar keterkejutan Arabella. Dia sudah biasa jika orang-orang terkejut mendengar pekerjaannya. Dulu dia mengelola studio musik-nya sendiri. Tapi sejak dia bercerai dari Kimberly dan melihat Kimiko lebih membutuhkan kehadirannya sebagai seorang ayah, dia mengundurkan diri dari jabatannya di studio musik.“Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya heran lelaki sepertimu mau bekerja di perpustakaan yang biasanya hanya didatangi oleh kaum ‘Nerd’… bukan maksudku mengejek, tapi … kau tahu kan maksudku?” jawab Arabella perlahan sambil memastikan bahwa Peter tidak tersinggung dengan ucapannya.Peter tertawa lebar.“Ya, ya, aku tahu pandangan orang terhadap seorang pustakawan,” balas Peter geli. Dia sama sekali tidak tersinggung memang seperti itulah pandangan orang-orang padanya.‘Pantas saja Kimberly berselingkuh! Pekerjaannya tidak sesuai dengan tampangnya!’ suara ejekan dari lingkungan sekitar yang menge
“Halo, Jonah, bagaimana kabarmu hari ini?” sapa Joshua ketika Jonah membukakan pintu untuknya.“Baik, Paman Josh, terima kasih. Paman baru pulang dari kantor? Mencari Mama?” tanya Jonah riang karena dia mencium bau martabak kesukaannya dari kantong kertas yang dijinjing Joshua.“Iya. Ini untukmu,” ujar Joshua sambil menyodorkan kantong kertas yang dibawanya pada Jonah, dan wajah bocah itu langsung berbinar gembira.“DImana Mama, Jonah?” lanjut Joshua yang melongokkan kepalanya ke dalam rumah dan tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Arabella.“Josh! Ayo masuk!” seru Arabella ramah dari kamar tamu disamping ruang tamu.Sementara Jonah berlari ke meja makan membawa kantong kertas yang diyakininya adalah martabak kesukaannya.“Arabella! Apa yang kau lakukan di kamar tamu?” tanya Joshua bingung melihat keberadaan Arabella. Dia mengira Arabella ada di kamar atas atau di dapur.Arabella melangkah keluar dari balik pintu yang terbuka sambil tertawa.“Aku sedang menghias kuku teman Jonah. Di
“Apa kalian sudah siap?” tanya Arabella pada Peter dan Kimiko. Hari ini mereka akan meresmikan pernikahan mereka di kantor catatan sipil.“Sudah, Ma,” jawab Kimiko bersemangat.“Jonah mana?” tanya Kimiko lagi karena tidak melihat bocah itu.“Ada, dia hampir siap. Sedang merapikan kemeja dan memakai dasi kupu-kupunya,” jelas Arabella yang sudah cantik dengan shanghai dress putih berhias bunga peoni besar dan sedikit bunga mawar sebagai pemanis. Cocok sekali dengan tubuhnya yang masih sangat ramping dengan rambut disanggul kecil menyesuaikan rambutnya yang pendek.“Mama cantik sekali,” puji Kimiko sambil memeluk pelan Arabella. Dia tidak ingin merusak tampilan Arabella yang sudah sangat perfect menurutnya.“Wah … kau cantik sekali, Ara,” puji Peter yang baru saja turun dari lantai atas.Arabella tersenyum, “Kau juga tampan sekali, Tuan Jackson.”Ketiganya terkekeh bersama menikmati kebahagiaan.Sementara di kamarnya Jonah tampak termenenung dengan dasi masih digenggamannya.Pintu kamar
“Ada apa denganmu, Sayang? Kenapa tiba-tiba kau menangis?” tanya Arabella heran. Mobil sudah masuk ke pekarangan rumah dan berhenti di depan pintu garasi.Sepi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Kimiko dan Peter di sini.“Ayo turun, Jonah. Apa kau menangis karena merindukan kamarmu? Sebentar lagik kau akan kembali ke kamarmu, Sayang,” tukas Arabella sambil membuka bagasi untuk menurunan barang-barang Jonah.“Mengapa sepi sekali, Ma? Apa Kimiko dan Papa belum kembali? Apa mereka lupa kalau aku akan pulang hari ini?” tanya Jonah sedih.Arabella tersenyum, “Mereka tidak lupa. Mungkin Papa dan Kimiko sedang membeli sesuatu.”Jonah senyum terpaksa. Dia merasa mereka tidak terlalu menganggapnya penting. Walau sedikit bersedih, tapi dia bahagia bisa pulang ke rumah setelah sekian lama di rumah sakit, rasanya sudah sangat bosan terus menerus
“Sungguh aku boleh pulang?” tanya Jonah dengan wajah berbinar menatap pada Arabella dengan senyuman lebar. DIa bahagia ketika dokter mengatakan padanya bahwa besok Jonah sudah boleh pulang ke rumah dengan janji temu tiga hari kemudian.“Iya, apa kau senang, Sayang?” Tanpa bertanya pun, Arabella sudah tahu wajah Jonah yang cerah dengan binar di mata gelapnya itu menandakan kalau dia bahagia.Jonah mengangguk anggukan kepala tanpa henti.“Tapi kau masih harus mengikuti fisioterapi sampai akhir bulan, Sayang. Dan kau belum bisa kembali ke sekolah. Jadi kau akan tetap di rumah,” jelas Arabella dengan sabar. Otomatis dia harus meminta cuti di kantor untuk menemani Jonah. Tidak mungkin meninggalkan bocah itu di rumah sendirian.“Yaaa … lalu kapan aku bisa kembali ke sekolah, Ma?” tanya Jonah sedikit kecewa mendengar hal itu. Sedangkan Kimiko bahkan sud
Psgi hari Jonah bangun dengan tubuh yang terasa lebih segar. Mungkin karena semalam bermain bersama Kimiko membuat tidurnya lebih nyenyak dan hatinya pun lebih tenang. Mimpi buruk yang kerap datang beberapa waktu lagi sejak dia terbangun di rumah sakit, semalam tidak datang lagi.“Pagi, Jonah. Kau ingat denganku?” tanya Kimiko yang terbangun dan melihat bocah itu sudah duduk di ranjangnya sambil menatap ke langit biru lewat kaca kamar.“Tentu saja aku ingat kau, Kimi. Kau tahu berkat kau, tidurku semalam sangat nyenyak. Tidak ada mimpi buruk … semalam. Ya … kuharap mimpi itu pergi untuk selamanya,” jawab Jonah tertawa kecil.“Sungguh? Kau tidak bermimpi buruk semalam?” tanya Kimiko dengan wajah berbinar.Jonah mengangguk.“Di mana Mama dan Papa?” tanya Jonah pelan, karena dia tidak melihat keduanya di kamar.“Mereka tidur di bawah ranjangmu,” jawab Kimiko terkekeh pelan takut membangunkan keduanya.“Di bawah ranjang? Mengapa?” Jonah bertanya dengan alis mata yang hampir menyatu di hid
Hari hampir gelap ketika Joshua memasuki rumah sakit tempat Jonah dirawat sejak pertama bocah itu terluka. Aroma obat langsung terhidu ketika dia naik ke lift yang akan membawanya ke lantai enam belas. Arabella sudah memberitahukan padanya di mana Jonah dirawat.Di depan pintu kamar 1631, Joshua kembali meragu untuk masuk ke dalam atau tidak. Tiba-tiba suara tawa Jonah dengan suara seorang anak perempuan yang pasti bisa dipastikannya anak Peter terdengar hingga keluar kamar. Alis matanya hampir beradu memikirkan apa yang diinginkan Jonah mencarinya? Apa bocah itu ingin meminta pertanggungjawabannya? Ataukah ingin …. Bayangan Joshua semakin liar.Langkah kakinya tidak lagi tegak, kakinya sudah mundur selangkah dari semula. Dia harus segera pulang!“Arabella, maafkan aku. Hari ini aku harus lembur, mungkin besok pagi atau sore aku akan ke sana, ya. Maafkan aku,” ucap Joshua di ponsel dari lantai bawah ru
“Tidurlah sebentar kalau lelah, Ara,” jawab Peter sambil terus mengusap lembut pucuk kepala wanita itu.“Aku takut … dia tidak akan pulih. Bagaiimana ini?” tanya Arabella dengan pilu. Hatinya bagai diiris sembilu melihat kondisi Jonah yang belum pulih sejak kecelakaan itu terjadi.“Sstt … jangan putus asa. Dia sudah bangun dari koma, kita harus bersyukur pada Tuhan, Ara. Kita masih diberi kesempatan untuk bersama dengan dia. Jadi kau tidak boleh putus asa. Kau harus lebih bersemangat dari Jonah agar mampu memberinya semangat lebih. Aku akan tetap di sini bersamamu,” ucap Peter memompa semangat pada Arabella yang putus asa.Arabela hanya diam dan makin menyurukkan kepalanya ke dada bidang Peter.Peter tahu, Arabella lelah, begitu juga dia. Lelah menghadapi ketidakpastian kondisi Jonah sejak kecelakaan itu. Dan saat dia sudah bangun, ternyata ada kenyat
“Kau tidak ingat padaku?” tanya Kimiko heran, kedua alisnya hampir menyatu karena terkejut, tidak menyangka kalau Jonah akan menderita amnesia.Jonah menggeleng pelan.“Kau siapa?” tanya Jonah mengulang pertanyaan lagi.“Aku … aku ….” Tiba-tiba air mata membanjiri wajah Kimiko, dia sedih sekali mengetahui keadaan Jonah hingga tidak bisa menahan air mata.Arabella segera mendekati Kimiko dan berusaha menenangkan gadis kecil itu. Dokter sudah pernah mengatakan padanya saat Jonah selesai dioperasi. Jadi dia tidak terkejut.“Apa yang terjadi? Kenapa kau menangis, Sayang?” tanya Peter saat masuk ke kamar rawat Jonah dan melihat Kimiko menangis tersedu-sedu.Arabella menghela napas pelan, “Jonah tidak mengenali dia, Peter.”Peter terbelalak. Apakah itu berarti bocah itu j
“Hei, Jonah, bagaimana keadaanmu? Apa sudah lebih baik?” tanya Peter ketika muncul di depan Jonah yang sedang berbaring dengan pandangan kosong. Tatapan bocah itu langsung berubah begitu melihat kedatangan Peter ke ruang ICU.“Pa-pa?” panggilnya terbata.Peter mengangguk dan mengecup pucuk kepalanya perlahan.“Kau mencari Papa, Jonah? Ada apa? Apa kau ingin menceritakan pengalamanmu pada Papa, Sayang?” tanya Peter dengan lembut.Jonah tidak mengangguk juga tidak menggeleng. Dia hanya menatap Peter sejenak, lalu sebulir air mata menetes dari sudut matanya yang sendu.Peter langsung terenyuh.“Jangan menangis, Sayang. Sekarang kau berada di tempat yang aman, tidak akan orang yang akan menganggumu lagi, ya. Jangan menangis,” ucap Peter pada bocah lelaki itu.Setelah Jonah terlelap, Peter keluar
Tiba-tiba seseorang memeluk pinggang Peter dari belakang hingga dia terkejut dan hampir saja mengempaskan pelukan itu … sesaat dia tersadar, tangan kecil itu tangan anaknya … Kimiko.“Kimi, kau membuat Papa terkejut!” seru Peter yang langsung memutuskan sambungan telepon itu.“Papa sedang menelepon siapa? Tadi aku sudah memanggilmu, Pa, tapi Papa tidak mendengarkanku. Makanya aku berinisiatif memeluk Papa,” jawab Kimiko jujur.“Haa? Kau memanggil Papa? Mengapa Papa tidak mendengarmu memanggil?” tanya Peter heran.“Mana aku tahu. Mungkin Papa terlalu serius dengan orang yang di telepon itu? Siapa dia? Apa yang dia inginkan sampai Papa tidak mendengar panggilanku?” jawab Kimiko bersungut.“Hanya teman, Kimi. DIa tadi ingin meminta Papa untuk mengantarkannya ke suatu tempat, tapi Papa belum mengiyakan dan terputus g