“Josh! Kau mengejutkanku!” seru Arabella terkejut saat mengetahui sumber suara itu.
“Maaf, siapa lelaki itu?” tanya Joshua dengan suara yang terdengar cemburu.
“Dia ayah Kimiko, teman Jonah. Hari ini mereka akan pergi berkemah di hutan kota, Josh,” jelas Arabella dan berjalan masuk ke rumah.
“Kau mau teh?” tanya Arabella lagi ketika mereka sudah duduk di meja makan.
“Boleh, terima kasih, Ara,” jawab Joshua sambil kembali terkenang kejadian barusan. Dia bisa merasakan Arabella menyukai Peter, begitu juga sebaliknya dari pandangan mereka. Joshua tiba beberapa menit tadi dan tidak langsung turun, dia sempat melihat Jonah naik ke RV, lalu diikuti Kimiko dan meninggalkan dua orang dewasa itu saling berpandangan.
Joshua menarik napas dalam-dalam dan mengempaskannya dengan kuat.
‘Apa yang kau takutkan belum tentu terjadi, Josh. Jangan berprasangka buruk pada sesuatu yang belum terjadi.’
‘Tapi, kalau sudah terjadi, bukankah itu sudah terlambat?’
‘Kau harus segera bertindak kalau tidak ingin kehilangan wanita yang kau cintai!’
‘Tapi, bagaimana kalau dia menolakku dan lebih memilih lelaki tadi?’
‘Kau belum mencoba sudah menyerah! Memalukan, Josh! Ingat usiamu sudah lebih dari cukup untuk menikah!’
Suara-suara itu berperang di dalam benaknya, saling memberi pendapatnya masing-masing membuat Joshua bingung dan kembali dia mengempaskan napas kasar.
“Ada apa denganmu? Kau sedang ada masalah, Josh?” tanya Arabella heran melihat Joshua yang sudah dua kali mengempaskan napas dengan kuat.
“Tidak, tidak, Ara. Kau mau ke kantor? Ayo aku antar. Lagipula kau tidak perlu menjemput Jonah kan hari ini? Bagaimana kalau kita pergi makan malam nanti?” ajak Joshua cepat. Tiba-tiba dia memikirkan peluang untuk bersama Arabella dengan lebih intens selama Jonah pergi berkemah. Bukankah ini kesempatan bagus?
Arabella diam sesaat memikirkan ajakan makan malam saat Jonah sedang tidak ada.
“Baiklah, kau akan menjemputku?” tanya Arabella sambil membersihkan meja makan setelah sarapan tadi dan menaruh secangkir teh hijau hangat di hadapan Joshua.
Joshua langsung mengangguk senang mendengar Arabella menyetujui ajakannya. Ini kesempatan yang langka!
Setelah membereskan meja makan, Arabella naik ke lantai dua mengambil tas berkas dan tas tangan untuk ke kantor, lalu turun.
“Ayo kita pergi. Kau telat, Josh,” ajak Arabella cepat sambil menuju ke depan pintu dan mengganti sandal rumah dengan sepatu berhak.
Joshua bangkit dari kursi setelah meneguk habis teh yang tiba-tiba terasa manis.
*** Sementara mobil RV yang dikendarai Peter mulai memasukki pintu taman kota, deretan pohon pinus yang menjulang tinggi nampak di kiri dan kanan jalan. Banyak petunjuk di sepanjang jalan, petunjuk ke tempat berkemah, tempat menginap, juga taman bermain. Benar-benar tempat menyenangkan dengan semilir angin yang menyegarkan.“Apa kita sudah hampir sampai, Paman?” tanya Jonah dengan mata berbinar cerah.
“Belum. Tunggu saja papan nama tempat berkemah akan terlihat setelah kau melihat hamparan rumput yang seperti permadani,” jawab Kimiko yang duduk di antara Jonah dan Peter di kursi depan.
“Belum, Jonah. Setengah jam lagi kita akan sampai di sana, oke?” jawab Peter santai. Dia menurunkan kaca jendela di samping kemudi dan angin musim semi segera terhidu, bau rumput basah yang mulai terjemur matahari membuat lelaki itu merasa senang dan tenang.
“Harum sekali bau rerumputan segar ini, ya?” tukas Jonah pada Kimiko yang duduk bersandar pada tubuh Peter.
Tak lama kemudian Peter tampak mulai mengatur RV-nya berhenti di samping sebuah RV hitam yang sudah lebih dulu berada di sana.“Apa kita sudah tiba?” tanya Jonah yang tidak percaya pada penglihatan di hadapannya. Hamparan rumput luas membentang yang diselingi pepohonan pinus dan akasia yang tumbuh liar di sana.
“Tentu, Jonah. Ayo kita turun!” seru KImiko dengan bersemangat mengajak turun dan segera berlari ke pintu samping untuk keluar.
“Hati-hati, Kimi!” teriak Peter yang tertawa melihat anaknya yang begitu bersemangat.
Jonah turun dan segera berlarian tak jauh dari mobil yang dipenuhi rumput gajah yang hijau seperti permadani. Matanya memandang jauh dan hanya terlihat rumput dan beberapa pepohonan tinggi yang cukup jauh dari mereka.
“Ayo kita ke sana, ada sungai yang jernih sekali airnya,” ajak Kimiko setelah beberapa saat berlarian dengan keringat yang mulai bercucuran.
“Apa boleh? Jauh tidak?” tanya Jonah khawatir saat teringat pesan ibunya untuk tidak bermain terlalu jauh atau pun berbahaya.
“Tidak, kau ini takut sekali, Jonah! Ayo!” Kimiko menarik tangan Jonah dan mengajaknya pergi.
“Kimi! Hati-hati jangan sampai ke dalam sungai!” teriak Peter saat sedang mengeluarkan tenda dan peralatan memasak dari bagasi bawah RV.
“Iya, Pa!” teriak Kimiko membalas seruan Peter.
Tangan Kimiko terus menarik Jonah yang berhenti sesaat mendengar teriakan Peter tadi, “Ayolah, Jonah!”
“Apa tidak berbahaya, Kimi? Apa sebaiknya kita tunggu Paman Peter saja agar bisa bersama-sama ke sungai?” Jonah terlihat ragu dan semakin khawatir. Dia bukannya takut, tapi memikirkan pesan ibunya … dia khawatir ibunya akan merasa sedih saat dia melanggar larangan Arabella.
“Kau ini anak lelaki, Jonah! Kau harus lebih berani dari aku!” seru Kimiko kesal melihat Jonah yang ragu.
“Aku … bukannya takut, Kimi. Tapi sungai itu sungguh tidak berbahaya? Aku hanya ingat pesan mamaku!” tegas Jonah yang tidak ingin Arabella sedih.
“Ck … ck … ck …. Kalau bahaya Papa pasti tidak akan mengijinkan kita pergi sendiri, Jonah! Jangan terlalu khawatir, ayo cepat!” Kimiko kembali menarik tangan Jonah agar bocah lelaki itu mengikutinya dengan lebih cepat.
Tak berapa lama mereka tiba di sebuah aliran sungai yang tidak terlalu lebar dan dalam. Airnya bersih dan jernih hingga bebatuan di dasar sungai dapat terlihat langsung.“Wah! Sungainya jernih sekali!” seru Jonah dengan mata berbinar.
“Airnya pasti segar sekali! Bagaimana kalau kita bermain air?” ujar Jonah berinisiatif. Air sungai yang jernih membuat dia ingin berenang di sungai itu, pasti segar sekali!
“Ayo, gulung dulu celanamu biar tidak basah,” tukas Kimiko sambil duduk di tepian sungai dan mulai menggulung celana yang sedengkul hingga sampai beberapa satu jengkal dari pinggang.
Jonah duduk di tepian sungai dan mulai menggulung celana panjang yang dikenakannya. Dia menyesal mengenakan celana panjang, seharusnya mengenakan celana kain pendek seperti yang biasa digunakannya jika berada di rumah. Tetapi nasi sudah jadi bubur, semakin dia bersemangat menggulung celana panjang itu, kain yang sudah tergulung terlepas lagi menjuntai ke bawah.
Hingga beberapa saat, Kimiko duduk di hadapannya dan membantu Jonah menggulung celana jeans lembut dengan menggunakan karet gelang di lengannya. Butuh beberapa saat akhirnya kain celana Jonah bisa tergulung ke atas dan mereka langsung turun ke dalam air yang hanya setinggi lutut bocah lelaki itu.
Tidak butuh waktu lama, mereka saling memercikkan air ke tubuh lawan hingga percikan air mulai membasahi baju.
Tiba-tiba aliran air sungai yang tenang menjadi lebih kencang dan air sungai yang tadinya hanya sampai selutut Jonah mulai naik hingga sampai ke pinggang. Tetapi keduanya sedang asik bermain tanpa memperhatikan debit air sungai yang mulai naik, hingga akhirnya ….
“JONAH! KIMIKO! Ayo cepat naik!”
***Setelah selesai mendirikan tenda, tiba-tiba Peter teringat kedua bocah itu ke arah sungai! Air sungai akan pasang mulai tengah hari, tetapi air sungai itu berasal dari pegunungan yang jauh di belakang hutan dan kemarin hujan besar terjadi di atas gunung. Itu berarti debit air sungai akan segera naik.Dia segera berlari ke arah sungai dan menemukan kedua bocah itu sedang asyik bermain air tanpa menyadari debit air sungai yang naik.“JONAH, KIMI!!! Ayo cepat naik! Kalian tidak memperhatikan debit air sungai sudah naik sampai ke dada kalian!” seru Peter cepat dan membantu ke dua bocah yang masih terbengong mendengar teriakannya.“Kenapa airnya bisa naik, Papa?” tanya Kimiko heran dengan kepala yang miring dan alis yang hampir menyatu.“Iya, Paman. Kenapa airnya bisa naik? Tadi tidak ada hujan?” tanya Jonah ikut heran.“Kalian belum mendapat pelajaran tentang fenomena air di sekolah? Sudah sekarang kita kembali ke RV dan kalian harus segera mandi, kemudian makan siang,” putus Peter yang
“Kau suka?” tanya Kimiko pada Jonah saat peter sudah menyalakan api anggun dan hawa panas dari api anggun mampu mengalahkan dinginnya malam ini.“Tentu. Aku suka sekali. Ternyata seperti ini rasanya di depan api anggun. Jauh berbeda dari api perapian yang ada di rumah saat musim dingin. Iya kan?” jawab Jonah dengan semangat dan senyum yang terus terukir dari wajah tampan lelaki kecil itu.Kimiko terbahak mendengar jawaban Jonah. “Tentu saja berbeda, Jonah. Kau bisa rasakan panas dari lidah api yang menari-nari di udara, itu … itu, coba kau rasakan! Terasa tidak?” seru Kimiko sambil menunjuk ke arah api anggun yang bergerak-gerak seperti sedang menari.Jonah mendekati api untuk merasakan dari dekat.“Jangan terlalu dekat, Jonah! Kau bisa ikut terbakar!” teriak Kimiko melihat Jonah yang terlalu dekat dengan lidah api, tetapi yang diteriaki malah tertawa senang.“Kau benar, Kimi. Hangatnya jauh berbeda. Aku suka di dekatnya,” seru Jonah tertawa sambil menggosok kedua tangannya yang teras
“Ayo kita ke sungai!” teriak Jonah senang, bibirnya terbuka lebar dan matanya berbinar bahagia menikmati suasana pagi yang masih sepi dan sunyi. Beberapa RV sudah tidak berada di dekat mereka.“Kemana RV kelabu yang kemarin parkir di sana, Paman?” tanya Jonah sambil menunjuk sebuah pohon oak besar dan rindang di kanan mereka. Daunnya yang lebar mulai berguguran dan buah oak kering berjatuhan.Jonah berlari ke dekat pohon itu dan memungut buah oak kering. Dia ingin membuat hiasan pintu untuk menyambut natal yang tinggal beberapa bulan lagi.“Untuk apa kau memunguti buah oak kering itu Jonah?” tanya Kimiko heran melihat Jonah sudah menggunakan bajunya sebagai tempat menaruh buah-buah oak sempurna yang dipilihnya.“Kau tidak tahu? Aku akan membuat hiasan pintu untuk menyambut natal, Kimi! Mama pasti akan senang sekali!” jawab Jonah dengan binaran mata bahagia.“Oh aku tahu, kau ingin membuat hiasan seperti saat kita di kelas satu dulu? Memangnya kau masih ingat cara membuatnya?” tanya Ki
“Ya, aku bekerja sebagai penjaga perpustakaan, Arabella, kenapa?” tanya Peter sambil tertawa mendengar keterkejutan Arabella. Dia sudah biasa jika orang-orang terkejut mendengar pekerjaannya. Dulu dia mengelola studio musik-nya sendiri. Tapi sejak dia bercerai dari Kimberly dan melihat Kimiko lebih membutuhkan kehadirannya sebagai seorang ayah, dia mengundurkan diri dari jabatannya di studio musik.“Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya heran lelaki sepertimu mau bekerja di perpustakaan yang biasanya hanya didatangi oleh kaum ‘Nerd’… bukan maksudku mengejek, tapi … kau tahu kan maksudku?” jawab Arabella perlahan sambil memastikan bahwa Peter tidak tersinggung dengan ucapannya.Peter tertawa lebar.“Ya, ya, aku tahu pandangan orang terhadap seorang pustakawan,” balas Peter geli. Dia sama sekali tidak tersinggung memang seperti itulah pandangan orang-orang padanya.‘Pantas saja Kimberly berselingkuh! Pekerjaannya tidak sesuai dengan tampangnya!’ suara ejekan dari lingkungan sekitar yang menge
“Halo, Jonah, bagaimana kabarmu hari ini?” sapa Joshua ketika Jonah membukakan pintu untuknya.“Baik, Paman Josh, terima kasih. Paman baru pulang dari kantor? Mencari Mama?” tanya Jonah riang karena dia mencium bau martabak kesukaannya dari kantong kertas yang dijinjing Joshua.“Iya. Ini untukmu,” ujar Joshua sambil menyodorkan kantong kertas yang dibawanya pada Jonah, dan wajah bocah itu langsung berbinar gembira.“DImana Mama, Jonah?” lanjut Joshua yang melongokkan kepalanya ke dalam rumah dan tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Arabella.“Josh! Ayo masuk!” seru Arabella ramah dari kamar tamu disamping ruang tamu.Sementara Jonah berlari ke meja makan membawa kantong kertas yang diyakininya adalah martabak kesukaannya.“Arabella! Apa yang kau lakukan di kamar tamu?” tanya Joshua bingung melihat keberadaan Arabella. Dia mengira Arabella ada di kamar atas atau di dapur.Arabella melangkah keluar dari balik pintu yang terbuka sambil tertawa.“Aku sedang menghias kuku teman Jonah. Di
“Tentu saja, tidak, Kimi! Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu?” tanya Jonah dengan kernyitan heran.Kimiko mengedikkan bahu, “Dia terlihat mesra dengan mamamu, Jonah.”“Dia selalu begitu sejak Papa meninggal, dia selalu datang menemani Mama,” jawab Jonah tanpa rasa.“Dia datang menemani mamamu? Fix, Jonah! Dia menyukai mamamu, apa mamamu juga menyukainya?” tanya Kimiko penasaran.“Entahlah, aku tidak pernah menanyakannya pada Mama, karena jika kutanyakan, Mama selalu bilang belum bisa melupakan Papa,” jawab Jonah lagi sambil membalik-balikkan jari jemari Kimiko.“Kenapa kuku kakimu tidak kau warnai?” tanya Jonah kemudian melihat jari kuku kaki Kimiko yang polos.“Tidak, untuk apa? bukankah aku selalu memakai kaos kaki, bahkan saat tidur. Bukankah itu sia-sia saja?” jawab Kimiko tak peduli.Kimiko lalu bangkit dari lantai rumah dan masuk ke kamar mengambil ponsel lalu menelepon ayahnya.“Papa, jam berapa Papa ada di studio?” tanya Kimiko sambil memilin rambutnya yang dikepang empat
“Ada apa, Kimi? Apa papamu akan ikut dengan kita?” tanya Arabella lembut.“Sepertinya begitu, Tante. Jadi kita akan makan apa malam ini? Spaghetti? Aku ingin makan raviolli! Bagaimana kalau ke restoran Pizza?” tanya Kimiko dengan mata berbinar.“Tapi Jonah ingin makan burger. Bagaimana kalau burger saja, Kimi?” tanya Arabella mendadak bingung melihat keinginan dua bocah yang berbeda.“Atau kita makan di mall saja, bagaimana? Di sana banyak pilihan. Bagaimana?” lanjut Arabella memberikan pilihan sambil berharap Jonah tidak marah.Kimiko diam sejenak, “Terserah Tante saja, deh. Aku bisa makan semuanya, jangan terlalu mengkhawatirkanku.”“Kau ingin makan apa, Kimi? Tadi aku sudah mengatakan pada Mama kalau aku ingin makan burger malam ini. Kau tidak mau?” tanya Jonah yang mendengar percakapan Arabella dan Kimiko dari kamarnya.“Tidak masalah, Jonah. Aku hanya ingin makan ravioli. Tapi makan burger dan steak pun aku suka. Jadi tak masalah bagiku,” jawab Kimiko santai.“Baiklah, coba nanti
“Aku tidak akan mengulanginya lagi, Pa,” jawab Kimiko sembari menunduk.Hal ini membuat Jonah merasa bersalah karena dia marah hanya karena hal kecil.“Maafkan aku, Paman, aku marah karena … karena ….” Kalimat Jonah tidak selesai karena semua mata memandangnya, membuat dia jadi serba salah untuk mengatakan yang sebenarnya. Sebaiknya dia menanyakan pada Arabella dulu.“Karena apa, Jonah?” tanya Arabella mengernyit heran sambil berpikir apakah ada hal lain selain jemari Kimiko tadi?“Tidak apa-apa, Ma. Pokoknya maafkan aku juga,” ucap Jonah cepat dan langsung memasukkan sepotong daging steak ke dalam mulutnya.Jonah tahu semua mata masih memandang ke arahnya dan dia dengan cepat melahap makanannya seolah-olah tidak terjadi apa-apa.Lagi pula Kimiko pasti sudah lupa ucapannya sendiri, pikir Jonah dalam hati. Lebih baik dia simpan sendiri sampai nanti setelah dia mendapatkan jawaban dari Arabella.“Peter, makanlah. Steakmu akan segera dingin kalau kau tidak cepat memakannya,” ucap Arabell