"Grace Anderson Shin, ikut kami pergi atau mati di tangan kami?" tanya Ekin dengan nada keras dan tegas.
Grace tidak mundur sedikit pun. Ia balas menatap Ekin dengan pandangan penuh tekad, "Aku tidak akan menyerah walau harus mati," jawab Grace dengan nada yang penuh determinasi. "Apa yang kalian lakukan hanya akan mempersulitkan bos kalian untuk bebas."
Emil yang tampak lebih emosional, melangkah maju dengan wajah merah padam. "Jangan lupa! Bukti yang ada adalah hasil dari rekasayamu," bentaknya, suaranya bergetar dengan kemarahan. "Kau menjebak bos kami demi uang. Berapa jumlah yang brengsek itu bayar?"
Grace mengangkat bahu, tersenyum tipis. "Aku tidak berniat melukai kalian. Tapi kalau itu yang kalian inginkan," dia melayangkan tongkat di tangannya, siap bertarung, "akan kulayani!"
Emil dan anak buahnya langsung meluncur maju, melayangkan pisau tajam ke arah Grace. Tanpa gentar, Grace menahan serangan-serangan mereka yang datang secara bersamaan. Tongkatnya memukul tangan-tangan yang menghunus pisau, membuat senjata tajam itu terlepas dari genggaman mereka.
Dalam hitungan detik, Grace menendang perut Emil dan memukul lengan pria itu dengan keras, membuatnya terhuyung ke belakang. Pertarungan sengit pecah di ruangan itu, di antara dua belas orang pria yang menyerang seorang gadis muda. Grace menghindari setiap tusukan yang diarahkan padanya, memutar tubuhnya dengan gesit dan melompat untuk menendang salah satu dari mereka, sambil terus mengayunkan tongkat ke arah lawan-lawannya.
Suara benturan terdengar nyaring ketika tongkat itu menghantam tubuh mereka. "Bruk! Bruk!"
Teriakan kesakitan terdengar di ruangan. "Ahh!" rintih salah satu dari mereka yang terkena pukulan keras.
Grace maju lebih dekat, menangkap tangan salah satu lawannya, dan dengan gerakan cepat, dia menarik dan membantingnya ke atas meja kaca.
"Brak!" Kaca meja pecah berkeping-keping, dan suara rintihan lagi terdengar. "Aahh!"
Beberapa dari anak buah Ekin dan Emil terkapar di lantai, meringis kesakitan. Grace berdiri di tengah mereka, tubuhnya masih tegak, napasnya teratur. "Membunuhku tidak bisa melampiaskan kemarahan bos kalian," katanya dengan nada tegas. "Kalau ingin bertarung denganku, Ethan Christopher yang harus maju. Kalian bukan lawanku!"
Emil terengah-engah, memegangi lengannya yang sakit. "Sombong sekali!" serunya dengan nada kesal. "Kau adalah seorang jaksa korup. Negara ini tidak ada lagi keadilan!"
"Pergi dari rumahku!" Grace berkata dengan nada tegas, matanya tajam menatap mereka. "Lain kali buat persiapan yang matang kalau berencana ingin menangkapku!"
"Kau hanya takut, kan?" ejek Ekin, mencoba memancing emosi Grace.
Grace tersenyum kecil. "Hanya aku yang bisa membebaskan bos kalian. Aku yang menjebaknya dan aku yang bisa membersihkan namanya."
Emil mencibir. "Apa kau sedang mencari alasan untuk melindungi diri? Kalau berani menyinggung kami, kenapa harus takut?"
Grace mendekat, menatap mereka tajam. "Menjebak Ethan Christopher untuk mengelabui Raymond Scott. Dan hanya aku yang bisa membuktikan dia adalah pelaku utama."
Ekin dan Emil saling pandang, mencoba mencerna setiap ucapan gadis itu.
Keesokan harinya, Grace melangkah masuk ke dalam penjara dengan sikap tenang, namun tegas. Di ruangan itu, ia duduk berhadapan dengan Ethan. Pria itu menatapnya dengan mata yang berkilat tajam, penuh kemarahan. Seolah-olah ia ingin menelan Grace hidup-hidup.
Tanpa peringatan, Ethan yang kesal mendorong meja di depannya dengan kasar, membuat Grace yang duduk di kursi terdorong mundur hingga menabrak tembok. Suara besi yang berderit memenuhi ruangan, tapi Grace tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun.
Ethan bangkit dari kursinya, mendekat dengan langkah cepat, wajahnya menyiratkan niat jahat. "Jaksa brengsek, berapa yang dia bayar untuk kau menjebakku? Percaya atau tidak aku akan membunuhmu di sini juga," katanya, tangannya mencengkeram leher Grace dengan kuat, jari-jarinya yang kokoh seperti penjepit baja.
Grace berusaha menghirup napas, tangannya berusaha mencakar wajah Ethan, tapi cengkeramannya tidak dilepaskan. Napasnya tersengal, namun tatapannya tetap penuh keberanian. "Bunuh aku, kau tetap akan di penjara," ucapnya, suaranya lemah namun penuh keyakinan.
Ethan mengerutkan kening, matanya semakin gelap. "Aku lebih rela dihukum setelah membunuhmu!" katanya, mengangkat tubuh Grace dengan satu tangan, membuat kakinya melayang di udara.
Dalam sekejap, Grace mengangkat kedua kakinya, melingkarkannya di leher Ethan, mencoba menahan serangan pria itu. Namun Ethan lebih cepat, membanting tubuh Grace ke lantai dingin. "Bruk!"
Ethan terkekeh sinis. "Cukup hebat juga, bukan jaksa biasa. Kalahkan aku! Kalau kau tidak sanggup maka mati saja di tanganku!" Ia mencengkeram kembali leher Grace, semakin kuat.
Dengan suara yang tertahan sakit, Grace berusaha tetap tenang. "Raymond Scott dan Rinna... berselingkuh!" ucapnya dengan nada pelan namun tajam.
Ethan terdiam seketika, terkejut mendengar ucapan Grace. Cengkeramannya sedikit melemah.
"Kau tidak penasaran siapa dalang utama yang menjebakmu? Rinna adalah pacarmu, bukan?" Grace bertanya, mencoba membaca reaksi Ethan yang kini tampak bingung dan terkejut.
"Ucapanmu tidak bisa membuktikan siapa yang bersalah. Kau mengira aku akan percaya padamu?" kata Ethan dengan suara yang dingin, penuh skeptisisme. Tatapannya menatap tajam ke arah Grace, Cengkeramannya semakin kuat, seolah ingin menghancurkan gadis itu di tempat.
Grace menarik napas dalam-dalam, menahan rasa sakit yang menjalar di lehernya, namun ia tetap memandang Ethan dengan tenang. "Ethan Christopher adalah seorang gangster yang paling ditakuti. Tidak mungkin tidak menyadari pacarnya sendiri berselingkuh dengan seorang pejabat. Hubungan gelap itu sudah berjalan selama dua bulan," ujarnya, mencoba menggoyahkan kepercayaan diri Ethan. Kata-katanya seperti sebuah pisau yang menembus pertahanan pria itu.
Ethan menyipitkan matanya, wajahnya terlihat sangat tenang seakan telah mengetahui perselingkuhan yang disebut oleh Jaksa itu.
"Untuk apa kau datang menemuiku? Kalau hanya untuk ikut campur urusanku?" sergahnya dengan nada marah, namun cengkeramannya tetap tak berkurang, menambah tekanan di sekitar leher Grace.
"Menjebak Raymond Scott," jawab Grace, "Aku butuh bantuanmu."
Ethan mendengus, senyumnya dingin dan tidak percaya. "Kau mengira aku akan membantumu? Wanita sialan!" Ia melontarkan umpatan itu sebelum melayangkan tendangan keras ke dada Grace.
Tendangan itu begitu kuat hingga membuat Grace terlempar jauh ke belakang, menghantam tembok dengan keras. Tubuhnya jatuh ke lantai, dan ia mengerang pelan, mencoba menahan sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya.
Grace berusaha menarik napas di antara rasa nyeri yang menghantam dadanya. Napasnya pendek dan terengah-engah, tapi matanya tetap menatap lurus ke arah Ethan, menolak untuk menyerah pada rasa sakit.
"Aku akan memastikan hidupmu tidak akan tenang!" kecam Ethan dengan nada ancaman, suaranya rendah dan mengerikan.
Grace tersenyum kecil meski rasa sakit masih menderanya. "Membunuhku tentu saja tidak sulit," katanya, nadanya penuh keyakinan. "Tapi kau akan menjadi tahanan seumur hidup di penjara. Namamu akan busuk di dunia bawah tanah. Sementara Raymond tidak akan ada yang tahu kebusukannya. Mereka hanya mengenal dia sebagai pejabat yang baik hati. Apakah ini hasil yang kau inginkan?"
Kata-kata Grace itu menghentikan Ethan. Dia berdiri diam, matanya memperhatikan gadis itu dengan penuh pertimbangan, keningnya berkerut. Kata-kata Grace seperti racun yang merayap ke dalam pikirannya, mengganggu tekadnya untuk membunuh gadis itu.
"Ajukan banding," lanjut Grace, melihat keraguan di mata Ethan. "Aku akan membawa semua bukti ke pengadilan. Membersihkan namamu dan menangkap Raymond Scott!"
Ethan terdiam, pikirannya berputar cepat. Di satu sisi, kemarahan dan dendamnya masih berkobar, tapi di sisi lain, ada keraguan yang kini mulai tumbuh.
"1 minggu!" ucap Ethan menatap tajam pada Grace, matanya menyorot tajam seolah menusuk langsung ke dalam jiwa gadis itu. "Kalau gagal, aku tidak akan melepaskanmu!""Baiklah, tapi dalam seminggu ini kau harus pastikan keselamatanku. Andaikan aku mati, maka tidak ada keuntungan bagimu!" jawab Grace.Ethan tertawa kecil, senyumnya sinis, hampir seperti memandang rendah permintaan Grace. "Kau mengancamku?" tanyanya, nada suaranya mengintimidasi, namun bibirnya masih menyunggingkan senyuman yang meremehkan."Tentu saja, tidak! Aku butuh jaminan untuk nyawaku," Grace membalas dengan tegas, "Raymond Scott akan membunuh siapa saja yang menantangnya. Aku akan menjadi sasarannya. Hakim dan para juri ada di pihaknya. Bukti asli telah diserahkan kepada mereka. Namun, semua bukti telah dihapus," jelasnya sambil menarik napas panjang, mencoba menghilangkan ketegangan yang melingkupinya.Ethan mendengus, mengalihkan pandangannya sejenak. "Kalau sudah tahu kau akan menjadi sasarannya, kenapa ingin u
Grace berdiri di depan panti asuhan, memandang anak-anak yang sedang bermain riang di halaman. Senyum mereka seharusnya bisa membangkitkan perasaan hangat dalam hatinya, namun bayangan ancaman Raymond Scott terus menghantui pikirannya. Kata-kata pria itu, yang diucapkan dengan nada dingin dan penuh ancaman, membebani langkahnya sejak saat itu.“Pastikan Ethan Christopher dihukum mati. Kalau kau tidak melakukannya, maka anak-anak di panti asuhan ini akan menjadi penggantinya,” ancaman Raymond terngiang jelas dalam benak Grace, membuatnya mengepalkan tangan dengan erat. "Sudah saatnya aku memasukkanmu ke penjara," gumam Grace, memandang gedung panti asuhan dengan tekad yang berkobar. ***Di gedung kejaksaan, Grace melangkah cepat menuju ruangan Kepala Jaksa Robert, wajahnya penuh determinasi. Tanpa ragu, ia mengetuk pintu dengan keras sebelum masuk. Robert, yang duduk di balik mejanya, mengangkat kepala dan menatap Grace dengan tatapan waspada."Grace, jangan mencari masalah lagi. Ter
Malam di café itu semakin sunyi, hanya terdengar suara gesekan sendok yang diaduk Grace pada minumannya. Dalam benaknya, ia terus memikirkan kasus besar yang sedang ditanganinya, kasus yang membuatnya harus berhadapan dengan Raymond, seorang pejabat yang ditakuti dan berkuasa.Tak lama kemudian, Robert, Kepala Jaksa mendekatinya dan duduk di hadapannya dengan wajah serius. "Dengarkan aku sekali lagi, Grace. Tolak kasus ini!" kata Robert dengan nada mendesak.Grace memandang Robert dengan mata tajam. "Selama ini aku tidak pernah menyesal dengan keputusan yang kuambil. Walaupun harus kehilangan nyawa, aku tidak akan ragu membongkar kejahatannya," jawab Grace tegas.Robert menghela napas, berusaha mengendalikan emosinya. "Kau tahu siapa lawanmu? Ini bukan permainan, Grace.""Untuk apa kau peduli? Apapun yang terjadi, aku yang akan bertanggung jawab," Grace membalas dengan suara yang bergetar namun tegas.Robert memejamkan mata sejenak, tampak frustasi. "Aku tahu kau keras kepala dan ti
"Guru mengajarimu ilmu bela diri agar kamu bisa melindungi dirimu," kata Wang dengan suara lembut namun tegas, "Saat kamu berhasil mengalahkan penjahat, guru merasa bangga padamu. Tapi, guru tidak berharap kamu harus berkorban demi mereka. Sudah banyak usaha yang kamu lakukan demi masyarakat dan panti asuhan. Kapan kamu akan hidup untuk diri sendiri?"Grace menunduk, terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca, namun ia berusaha tegar. "Guru, jangan mencemaskan aku! Sejak dulu, kalau bukan karena ada guru, aku tidak akan bisa bertahan hingga saat ini. Papaku sendiri telah melakukan hal yang memalukan. Dan mamaku pergi hingga saat ini tidak kembali." Suaranya terdengar bergetar saat mengingat masa lalu yang kelam. "Aku sangat ingin melihatnya. Sudah 12 tahun berlalu, dan dia masih tidak ingin pulang. Aku yakin mama pasti sudah tahu kalau suaminya yang kejam itu telah meninggal dan aku adalah pembunuhnya," ungkap Grace dengan tatapan kosong."Grace, kamu telah menyelamat
Siang hari di kota Paris, cuaca buruk mengintai. Hujan deras mengguyur dan petir kuat menyambar tanpa henti. Di sebuah gedung kosong, seorang pria berambut putih sedang melakukan pelecehan terhadap seorang wanita. Wajah wanita itu terlihat putus asa, air mata mengalir deras, namun pria itu terus saja melanjutkan perbuatannya dengan desahan penuh kenikmatan hingga mencapai puncaknya.Setelah selesai, pria itu dengan santai mengenakan kembali celananya dan meninggalkan wanita itu begitu saja. Tanpa peduli pada hujan deras yang menghantam tubuhnya, dia pergi dengan tergesa, seolah takut dikenali oleh warga sekitar.Beberapa saat kemudian, pria itu tiba di rumahnya. Begitu melangkah masuk, ia langsung berteriak penuh amarah, "Sammi! Mana makan siangku? Kenapa kau tidak menyediakannya?"Suara teriakannya menggema di seluruh ruangan. Seorang gadis remaja keluar dari kamarnya dengan wajah tegang, matanya berkaca-kaca saat ia menjawab dengan nada penuh kemarahan yang ditahan, "Mama sudah perg
Ethan, setelah memuaskan hasrat yang disebabkan oleh pengaruh obat itu, terbaring lemas di kursi mobil. Nafasnya terengah-engah sebelum akhirnya ia kehilangan kesadaran, tidak menyadari kekejaman yang baru saja ia lakukan.Sementara itu, Grace hanya bisa menangis. Hatinya hancur, tubuhnya lemah, dan air matanya mengalir deras. Kehormatannya direnggut tanpa ampun, oleh seorang pria yang tak dikenalnya. Dalam ketakutan dan rasa malu yang mendalam, Grace berusaha keluar dari mobil itu dengan langkah terseok-seok. Tubuhnya terasa seperti dihantam ribuan jarum, namun ia tak punya pilihan selain pergi secepat mungkin dari tempat itu. Ia tak ingin mengingat atau mengetahui lebih lanjut tentang wajah pria yang telah menghancurkannya. Ia berjalan tertatih-tatih di jalanan yang gelap, berusaha menahan sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Tangisnya semakin keras, namun tempat itu terlalu sepi, tak ada satu pun yang mendengar ratapannya. Malam itu menjadi saksi kesedihannya yang mendalam.K
Dua jam kemudian.Persidangan dilanjutkan dengan suasana yang tegang, saat sang hakim bersiap untuk membaca keputusan terhadap tersangka pembunuhan, Ethan Christopher. Di dalam ruang sidang yang penuh sesak, napas tertahan dan mata tertuju pada hakim yang memegang nasib di tangannya."Ethan Christopher," ucap hakim dengan suara lantang, "akan dijatuhkan hukuman penjara seumur hidup atas kesalahan melakukan pelecehan seksual dan pembunuhan korban. Selain itu, klub malam yang menjadi lokasi kejahatan akan ditutup dan disita oleh negara." Kata-kata itu menggema di seluruh ruangan, menebarkan keheningan yang berat.Ethan berdiri dengan gerakan cepat, wajahnya merah padam, "Aku tidak bisa terima keputusanmu!" Teriaknya dengan penuh emosi, matanya menatap tajam ke arah hakim.Namun, hakim tidak tergoyahkan. "Bukti dan saksi sudah lengkap," balasnya dengan ketegasan yang tidak bisa dibantah. "Terima atau tidak, Anda tidak memiliki hak untuk membantah putusan ini!"Meskipun berhasil menuntut