"Grace Anderson Shin, ikut kami pergi atau mati di tangan kami?" tanya Ekin dengan nada keras dan tegas.
Grace tidak mundur sedikit pun. Ia balas menatap Ekin dengan pandangan penuh tekad, "Aku tidak akan menyerah walau harus mati," jawab Grace dengan nada yang penuh determinasi. "Apa yang kalian lakukan hanya akan mempersulitkan bos kalian untuk bebas."
Emil yang tampak lebih emosional, melangkah maju dengan wajah merah padam. "Jangan lupa! Bukti yang ada adalah hasil dari rekasayamu," bentaknya, suaranya bergetar dengan kemarahan. "Kau menjebak bos kami demi uang. Berapa jumlah yang brengsek itu bayar?"
Grace mengangkat bahu, tersenyum tipis. "Aku tidak berniat melukai kalian. Tapi kalau itu yang kalian inginkan," dia melayangkan tongkat di tangannya, siap bertarung, "akan kulayani!"
Emil dan anak buahnya langsung meluncur maju, melayangkan pisau tajam ke arah Grace. Tanpa gentar, Grace menahan serangan-serangan mereka yang datang secara bersamaan. Tongkatnya memukul tangan-tangan yang menghunus pisau, membuat senjata tajam itu terlepas dari genggaman mereka.
Dalam hitungan detik, Grace menendang perut Emil dan memukul lengan pria itu dengan keras, membuatnya terhuyung ke belakang. Pertarungan sengit pecah di ruangan itu, di antara dua belas orang pria yang menyerang seorang gadis muda. Grace menghindari setiap tusukan yang diarahkan padanya, memutar tubuhnya dengan gesit dan melompat untuk menendang salah satu dari mereka, sambil terus mengayunkan tongkat ke arah lawan-lawannya.
Suara benturan terdengar nyaring ketika tongkat itu menghantam tubuh mereka. "Bruk! Bruk!"
Teriakan kesakitan terdengar di ruangan. "Ahh!" rintih salah satu dari mereka yang terkena pukulan keras.
Grace maju lebih dekat, menangkap tangan salah satu lawannya, dan dengan gerakan cepat, dia menarik dan membantingnya ke atas meja kaca.
"Brak!" Kaca meja pecah berkeping-keping, dan suara rintihan lagi terdengar. "Aahh!"
Beberapa dari anak buah Ekin dan Emil terkapar di lantai, meringis kesakitan. Grace berdiri di tengah mereka, tubuhnya masih tegak, napasnya teratur. "Membunuhku tidak bisa melampiaskan kemarahan bos kalian," katanya dengan nada tegas. "Kalau ingin bertarung denganku, Ethan Christopher yang harus maju. Kalian bukan lawanku!"
Emil terengah-engah, memegangi lengannya yang sakit. "Sombong sekali!" serunya dengan nada kesal. "Kau adalah seorang jaksa korup. Negara ini tidak ada lagi keadilan!"
"Pergi dari rumahku!" Grace berkata dengan nada tegas, matanya tajam menatap mereka. "Lain kali buat persiapan yang matang kalau berencana ingin menangkapku!"
"Kau hanya takut, kan?" ejek Ekin, mencoba memancing emosi Grace.
Grace tersenyum kecil. "Hanya aku yang bisa membebaskan bos kalian. Aku yang menjebaknya dan aku yang bisa membersihkan namanya."
Emil mencibir. "Apa kau sedang mencari alasan untuk melindungi diri? Kalau berani menyinggung kami, kenapa harus takut?"
Grace mendekat, menatap mereka tajam. "Menjebak Ethan Christopher untuk mengelabui Raymond Scott. Dan hanya aku yang bisa membuktikan dia adalah pelaku utama."
Ekin dan Emil saling pandang, mencoba mencerna setiap ucapan gadis itu.
Keesokan harinya, Grace melangkah masuk ke dalam penjara dengan sikap tenang, namun tegas. Di ruangan itu, ia duduk berhadapan dengan Ethan. Pria itu menatapnya dengan mata yang berkilat tajam, penuh kemarahan. Seolah-olah ia ingin menelan Grace hidup-hidup.
Tanpa peringatan, Ethan yang kesal mendorong meja di depannya dengan kasar, membuat Grace yang duduk di kursi terdorong mundur hingga menabrak tembok. Suara besi yang berderit memenuhi ruangan, tapi Grace tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun.
Ethan bangkit dari kursinya, mendekat dengan langkah cepat, wajahnya menyiratkan niat jahat. "Jaksa brengsek, berapa yang dia bayar untuk kau menjebakku? Percaya atau tidak aku akan membunuhmu di sini juga," katanya, tangannya mencengkeram leher Grace dengan kuat, jari-jarinya yang kokoh seperti penjepit baja.
Grace berusaha menghirup napas, tangannya berusaha mencakar wajah Ethan, tapi cengkeramannya tidak dilepaskan. Napasnya tersengal, namun tatapannya tetap penuh keberanian. "Bunuh aku, kau tetap akan di penjara," ucapnya, suaranya lemah namun penuh keyakinan.
Ethan mengerutkan kening, matanya semakin gelap. "Aku lebih rela dihukum setelah membunuhmu!" katanya, mengangkat tubuh Grace dengan satu tangan, membuat kakinya melayang di udara.
Dalam sekejap, Grace mengangkat kedua kakinya, melingkarkannya di leher Ethan, mencoba menahan serangan pria itu. Namun Ethan lebih cepat, membanting tubuh Grace ke lantai dingin. "Bruk!"
Ethan terkekeh sinis. "Cukup hebat juga, bukan jaksa biasa. Kalahkan aku! Kalau kau tidak sanggup maka mati saja di tanganku!" Ia mencengkeram kembali leher Grace, semakin kuat.
Dengan suara yang tertahan sakit, Grace berusaha tetap tenang. "Raymond Scott dan Rinna... berselingkuh!" ucapnya dengan nada pelan namun tajam.
Ethan terdiam seketika, terkejut mendengar ucapan Grace. Cengkeramannya sedikit melemah.
"Kau tidak penasaran siapa dalang utama yang menjebakmu? Rinna adalah pacarmu, bukan?" Grace bertanya, mencoba membaca reaksi Ethan yang kini tampak bingung dan terkejut.
"Ucapanmu tidak bisa membuktikan siapa yang bersalah. Kau mengira aku akan percaya padamu?" kata Ethan dengan suara yang dingin, penuh skeptisisme. Tatapannya menatap tajam ke arah Grace, Cengkeramannya semakin kuat, seolah ingin menghancurkan gadis itu di tempat.
Grace menarik napas dalam-dalam, menahan rasa sakit yang menjalar di lehernya, namun ia tetap memandang Ethan dengan tenang. "Ethan Christopher adalah seorang gangster yang paling ditakuti. Tidak mungkin tidak menyadari pacarnya sendiri berselingkuh dengan seorang pejabat. Hubungan gelap itu sudah berjalan selama dua bulan," ujarnya, mencoba menggoyahkan kepercayaan diri Ethan. Kata-katanya seperti sebuah pisau yang menembus pertahanan pria itu.
Ethan menyipitkan matanya, wajahnya terlihat sangat tenang seakan telah mengetahui perselingkuhan yang disebut oleh Jaksa itu.
"Untuk apa kau datang menemuiku? Kalau hanya untuk ikut campur urusanku?" sergahnya dengan nada marah, namun cengkeramannya tetap tak berkurang, menambah tekanan di sekitar leher Grace.
"Menjebak Raymond Scott," jawab Grace, "Aku butuh bantuanmu."
Ethan mendengus, senyumnya dingin dan tidak percaya. "Kau mengira aku akan membantumu? Wanita sialan!" Ia melontarkan umpatan itu sebelum melayangkan tendangan keras ke dada Grace.
Tendangan itu begitu kuat hingga membuat Grace terlempar jauh ke belakang, menghantam tembok dengan keras. Tubuhnya jatuh ke lantai, dan ia mengerang pelan, mencoba menahan sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya.
Grace berusaha menarik napas di antara rasa nyeri yang menghantam dadanya. Napasnya pendek dan terengah-engah, tapi matanya tetap menatap lurus ke arah Ethan, menolak untuk menyerah pada rasa sakit.
"Aku akan memastikan hidupmu tidak akan tenang!" kecam Ethan dengan nada ancaman, suaranya rendah dan mengerikan.
Grace tersenyum kecil meski rasa sakit masih menderanya. "Membunuhku tentu saja tidak sulit," katanya, nadanya penuh keyakinan. "Tapi kau akan menjadi tahanan seumur hidup di penjara. Namamu akan busuk di dunia bawah tanah. Sementara Raymond tidak akan ada yang tahu kebusukannya. Mereka hanya mengenal dia sebagai pejabat yang baik hati. Apakah ini hasil yang kau inginkan?"
Kata-kata Grace itu menghentikan Ethan. Dia berdiri diam, matanya memperhatikan gadis itu dengan penuh pertimbangan, keningnya berkerut. Kata-kata Grace seperti racun yang merayap ke dalam pikirannya, mengganggu tekadnya untuk membunuh gadis itu.
"Ajukan banding," lanjut Grace, melihat keraguan di mata Ethan. "Aku akan membawa semua bukti ke pengadilan. Membersihkan namamu dan menangkap Raymond Scott!"
Ethan terdiam, pikirannya berputar cepat. Di satu sisi, kemarahan dan dendamnya masih berkobar, tapi di sisi lain, ada keraguan yang kini mulai tumbuh.
"1 minggu!" ucap Ethan menatap tajam pada Grace, matanya menyorot tajam seolah menusuk langsung ke dalam jiwa gadis itu. "Kalau gagal, aku tidak akan melepaskanmu!""Baiklah, tapi dalam seminggu ini kau harus pastikan keselamatanku. Andaikan aku mati, maka tidak ada keuntungan bagimu!" jawab Grace.Ethan tertawa kecil, senyumnya sinis, hampir seperti memandang rendah permintaan Grace. "Kau mengancamku?" tanyanya, nada suaranya mengintimidasi, namun bibirnya masih menyunggingkan senyuman yang meremehkan."Tentu saja, tidak! Aku butuh jaminan untuk nyawaku," Grace membalas dengan tegas, "Raymond Scott akan membunuh siapa saja yang menantangnya. Aku akan menjadi sasarannya. Hakim dan para juri ada di pihaknya. Bukti asli telah diserahkan kepada mereka. Namun, semua bukti telah dihapus," jelasnya sambil menarik napas panjang, mencoba menghilangkan ketegangan yang melingkupinya.Ethan mendengus, mengalihkan pandangannya sejenak. "Kalau sudah tahu kau akan menjadi sasarannya, kenapa ingin u
Grace berdiri di depan panti asuhan, memandang anak-anak yang sedang bermain riang di halaman. Senyum mereka seharusnya bisa membangkitkan perasaan hangat dalam hatinya, namun bayangan ancaman Raymond Scott terus menghantui pikirannya. Kata-kata pria itu, yang diucapkan dengan nada dingin dan penuh ancaman, membebani langkahnya sejak saat itu.“Pastikan Ethan Christopher dihukum mati. Kalau kau tidak melakukannya, maka anak-anak di panti asuhan ini akan menjadi penggantinya,” ancaman Raymond terngiang jelas dalam benak Grace, membuatnya mengepalkan tangan dengan erat. "Sudah saatnya aku memasukkanmu ke penjara," gumam Grace, memandang gedung panti asuhan dengan tekad yang berkobar. ***Di gedung kejaksaan, Grace melangkah cepat menuju ruangan Kepala Jaksa Robert, wajahnya penuh determinasi. Tanpa ragu, ia mengetuk pintu dengan keras sebelum masuk. Robert, yang duduk di balik mejanya, mengangkat kepala dan menatap Grace dengan tatapan waspada."Grace, jangan mencari masalah lagi. Ter
Malam di café itu semakin sunyi, hanya terdengar suara gesekan sendok yang diaduk Grace pada minumannya. Dalam benaknya, ia terus memikirkan kasus besar yang sedang ditanganinya, kasus yang membuatnya harus berhadapan dengan Raymond, seorang pejabat yang ditakuti dan berkuasa.Tak lama kemudian, Robert, Kepala Jaksa mendekatinya dan duduk di hadapannya dengan wajah serius. "Dengarkan aku sekali lagi, Grace. Tolak kasus ini!" kata Robert dengan nada mendesak.Grace memandang Robert dengan mata tajam. "Selama ini aku tidak pernah menyesal dengan keputusan yang kuambil. Walaupun harus kehilangan nyawa, aku tidak akan ragu membongkar kejahatannya," jawab Grace tegas.Robert menghela napas, berusaha mengendalikan emosinya. "Kau tahu siapa lawanmu? Ini bukan permainan, Grace.""Untuk apa kau peduli? Apapun yang terjadi, aku yang akan bertanggung jawab," Grace membalas dengan suara yang bergetar namun tegas.Robert memejamkan mata sejenak, tampak frustasi. "Aku tahu kau keras kepala dan ti
"Guru mengajarimu ilmu bela diri agar kamu bisa melindungi dirimu," kata Wang dengan suara lembut namun tegas, "Saat kamu berhasil mengalahkan penjahat, guru merasa bangga padamu. Tapi, guru tidak berharap kamu harus berkorban demi mereka. Sudah banyak usaha yang kamu lakukan demi masyarakat dan panti asuhan. Kapan kamu akan hidup untuk diri sendiri?"Grace menunduk, terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca, namun ia berusaha tegar. "Guru, jangan mencemaskan aku! Sejak dulu, kalau bukan karena ada guru, aku tidak akan bisa bertahan hingga saat ini. Papaku sendiri telah melakukan hal yang memalukan. Dan mamaku pergi hingga saat ini tidak kembali." Suaranya terdengar bergetar saat mengingat masa lalu yang kelam. "Aku sangat ingin melihatnya. Sudah 12 tahun berlalu, dan dia masih tidak ingin pulang. Aku yakin mama pasti sudah tahu kalau suaminya yang kejam itu telah meninggal dan aku adalah pembunuhnya," ungkap Grace dengan tatapan kosong."Grace, kamu telah menyelamat
"Jaksa Shin, sepertinya kamu sudah lupa siapa yang kamu hadapi," ujar Raymond dengan nada mengancam. Setiap katanya terdengar seperti racun yang siap menyebar.Grace Anderson Shin berdiri tegak, tidak sedikit pun goyah oleh ancaman pria di depannya. Matanya menatap lurus, penuh keyakinan. "Tuan Scott, hukum adalah hukum. Di dunia ini ada keadilan, dan aku adalah orang yang menegakkannya," balas Grace dengan tegas, suaranya penuh keteguhan yang sulit ditembus.Raymond terkekeh pelan, menyembunyikan amarah yang mulai membara di dalam dirinya. "Kamu akan menyesal, Jaksa Shin," katanya lagi, nada ancaman tak lagi terselubung.Grace tidak bergeming. Ia melangkah maju, menatap Raymond tanpa gentar. "Apa yang akan kamu lakukan padaku? Menjebakku seperti kamu menjebak Ethan Christopher atau membunuhku seperti wanita hiburan yang menjadi korbanmu? Rinna adalah pacar Ethan Christopher. Dia berselingkuh denganmu dan mengkhianati pacarnya. Hubungan kalian sungguh luar biasa
Grace yang telah terlelap, seakan sedang bermimpi buruk yang mengganggu tidurnya. Sebuah bayangan dari masa kecilnya kembali muncul, memperlihatkan saat-saat kelam di mana ia menikam ayahnya sendiri hingga tewas. Darah yang membasahi tangannya terasa begitu nyata, membuat kejadian tersebut menjadi mimpi buruk seumur hidup baginya.Grace membuka mata dengan terkejut, napasnya tersengal, dan ia langsung bangkit. Keringat dingin membasahi wajahnya, matanya melirik ke sekeliling ruangan seolah mencari perlindungan dari bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya."Kenapa kejadian itu selalu saja muncul dalam mimpiku?" ucapnya dengan suara serak, matanya berkaca-kaca. Tangannya bergetar saat mencoba menghapus air mata yang mulai menggenang, seolah menghapus dosa yang tak pernah bisa ia lupakan. Kejadian itu terus membayangi, membelenggu langkahnya meski ia terus berusaha melangkah maju.Tiba-tiba suara pecahan kaca terdengar begitu jelas. "Prang!"Grace l
Grace menahan sakit yang menjalar di tubuhnya, namun ia tetap berusaha berdiri tegap di hadapan lawannya. Matanya berkobar,"Aku harus bisa melewati rintangan ini. Kalahkan mereka dan bebaskan Ethan Christopher," batinnya, menggenggam tongkat besinya dengan lebih erat.Salah satu dari musuh yang berdiri di depannya menyeringai sinis. "Ternyata kau sudah terluka. Apakah kau mengira mampu mengalahkan kami dalam kondisi seperti ini?" tantangnya, sambil memberikan isyarat kepada yang lain untuk menyerang serempak.Mereka semua mendekat dengan niat jahat terpancar dari tatapan mata mereka.Tanpa berpikir panjang, Grace meraih vas bunga yang ada di dekatnya. Dengan sekuat tenaga, ia menghantam kepala salah satu lawannya hingga vas itu pecah berkeping-keping. "Brak!""Aahh!" Jeritan kesakitan keluar dari mulut lawannya yang terhuyung ke belakang, darah mengucur dari luka di kepalanya.Namun, tidak ada waktu untuk berpuas diri. Gerombolan penyerang masih mengelilingi
Billy menunggu di luar ruang sidang, berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Tangannya sesekali merogoh saku, melihat jam tangannya dengan penuh kecemasan. “Sudah tiba waktu persidangan. Apakah Grace baik-baik saja?” gumamnya, suaranya hampir tenggelam dalam riuh rendah suara para pengunjung yang berlalu-lalang di koridor pengadilan.Sementara itu, di dalam ruang sidang, suasana tegang. Persidangan telah dimulai dan seluruh mata tertuju pada hakim yang duduk di podium, wajahnya tegas dan penuh wibawa. Sang hakim mengetuk palu sekali lagi, mengisyaratkan dimulainya persidangan. "Tuan Ethan Christopher," suara sang hakim terdengar berat, tapi jelas. "Sebelumnya Anda mengatakan bahwa ada bukti yang bisa membuktikan bahwa Anda tidak bersalah. Bukti apa yang akan Anda tunjukkan di persidangan kali ini?"Ethan, duduk di bangku terdakwa, tetap tenang. Sorot matanya tak tergoyahkan, meski di dalam hatinya bergejolak. Ini adalah saat penentu baginya. Di sisi la
Toko Obat WangWang sedang sibuk mengolah ramuan herbal di meja kerjanya ketika Grace datang dengan napas tersengal. Wajahnya yang tegang menandakan bahwa ada sesuatu yang mendesak.“Apa? Wilson dibawa pergi oleh Ethan? Untuk apa dia membawa anakku?” Grace bertanya dengan suara bergetar. Jelas, ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Wang menatapnya sambil melanjutkan pekerjaannya. “Anakmu itu sangat dekat dengan Ethan. Dia selalu saja mengatakan ingin pria itu menjadi ayahnya,” jawab Wang dengan nada tenang, berusaha menenangkan Grace.Grace mengerutkan kening, tidak percaya. “Anak ini... memang tidak sadar dengan apa yang dia katakan. Seharusnya dia tidak ikut dengan orang asing,” ujarnya dengan kesal, lebih kepada dirinya sendiri daripada Wang.Wang menghela napas panjang. “Tapi Wilson sangat dekat dengannya. Aku yakin Ethan juga menyayangi anakmu dan tidak akan menyakitinya. Grace,
James, yang sudah tidak tahan lagi, berdiri dengan wajah merah padam dan berbalik menghadap kaca besar di ruangan itu. Tangannya mengepal, dan matanya memandang tajam ke arah kaca yang ia tahu ada seseorang di baliknya."Hei! Bebaskan aku! Untuk apa mengurungku di sini, ha?" teriaknya penuh kemarahan, suaranya menggema di ruangan kosong itu.Di luar ruangan, Grace yang mengamati semuanya tetap tenang. Ia melirik ke arah Billy sambil memberi perintah singkat, "Bebaskan dia."Billy menatap Grace sejenak, memastikan ia mendengar dengan benar, lalu mengangguk. "Baik," jawabnya, segera beranjak menuju ruangan tempat James berada.Sesampainya di ruangan itu, Billy membuka pintu dengan santai. Klek! Suara kunci pintu yang terbuka menggema."Maaf, Tuan Hart. Kami hampir lupa karena sedang sibuk. Anda sudah bisa pulang," ucap Billy dengan nada yang datar, seolah tidak ada yang aneh.James melangkah maju dengan ekspresi tidak percaya. "Apa? Lupa? Bisanya kau bicara begitu santai," ujarnya denga
"Nyonya, mereka jumlahnya cukup banyak. Mobil kita tidak bisa bergerak!" kata sopirnya dengan nada panik, sambil melihat kerumunan reporter yang menghalangi jalan."Sialan! Untuk apa aku harus takut pada mereka?" Jamez berujar dengan kesal, membuka pintu mobilnya dengan kasar, lalu melangkah keluar tanpa memedulikan keributan di sekitarnya."Jamez, jangan!" seru Sammy, ibunya, yang mencoba menahan Jamez. Tapi usahanya sia-sia; Jamez sudah terlanjur maju ke arah kerumunan dengan ekspresi penuh amarah."Ada apa, hah? Siapa kalian? Berani sekali menghalangi jalanku! Apa kalian ingin kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran seumur hidup?" kecam Jamez dengan nada tinggi, menatap para wartawan yang kini mengerumuninya.Salah satu reporter maju, membawa mikrofon. "Tuan, kami mendengar informasi bahwa Anda berniat melarikan diri. Sementara Anda adalah tersangka. Apakah betul?" tanyanya dengan nada penuh ketegasan.Jamez tertawa sinis, lalu melip
Grace terbangun dengan kepala terasa berat dan pusing berdenyut. Ia memijat pelipisnya perlahan, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Namun, ingatannya kabur, seperti film yang terputus-putus."Sepertinya aku terlalu banyak minum," gumamnya sambil merapikan rambutnya yang kusut. Ia bangkit dari kasur dengan langkah gontai dan membuka pintu kamarnya. Pandangannya menyapu seluruh ruangan, tetapi tidak ada siapa pun di sana."Mungkin dia sudah pergi. Dia menyelamatkanku lagi," pikirnya, lalu bergumam pada dirinya sendiri, "Apa yang aku bicarakan semalam? Kenapa aku tidak ingat? Semoga saja aku tidak bicara aneh-aneh."Grace menghela napas panjang, kemudian menuju kamar mandi. Di sana, ia mencuci wajahnya dengan air dingin, berharap bisa menyegarkan pikirannya. Saat ia mengeringkan wajahnya dengan handuk, suara bel pintu mendadak terdengar, memecah keheningan.Dengan langkah cepat, Grace berjalan menuju pintu dan membukanya. Di sana berdiri Frank, meng
Ethan membawa Wilson kembali ke rumahnya, sebuah bangunan besar dan megah yang berdiri di tengah halaman luas yang terawat. Dinding-dindingnya dihiasi ukiran elegan, dan lampu-lampu kristal menggantung di sepanjang koridor. Wilson terbelalak melihat kemewahan yang jarang sekali ia temui dalam hidupnya."Wah... Paman, rumahmu luar biasa sekali," ujar Wilson dengan mata berbinar, suaranya dipenuhi kekaguman. Ia berlari kecil ke tengah ruang tamu, memutar tubuh sambil terus mengamati sekelilingnya.Ethan tersenyum kecil melihat reaksi polos bocah itu. "Kalau kamu suka, kamu bisa tinggal di sini sampai kapan pun," jawabnya, nada suaranya penuh ketulusan.Wilson berhenti berlari dan menatap Ethan dengan ragu. "Apakah benar?" tanyanya, seolah takut harapan kecilnya bisa pupus.Ethan mengangguk mantap. "Iya, Wilson. Kamu aman di sini."Namun, keraguan tetap menghiasi wajah Wilson. "Tapi Mama pasti tidak izinkan aku tinggal di sini. Mama selalu pesan janga
“Tuan, jangan simpan dalam hati dengan ucapan anak kecil. Wilson hanya merindukan papanya. Oleh karena itu, dia sangat berharap memiliki seorang papa,” ujar Wang dengan nada lembut, mencoba menjelaskan tingkah cucunya.Ethan mengangguk pelan, menatap Wilson yang duduk di sampingnya. “Tidak apa-apa, aku bisa memahaminya. Kalau tidak keberatan, apakah aku bisa membawanya ke rumahku?” tanyanya dengan suara tenang, tapi penuh keinginan untuk membuat bocah itu merasa diterima.Mata Wilson langsung berbinar. Ia mendongak ke arah Ethan, memastikan apa yang baru saja didengarnya. “Apa benar, Paman akan membawaku ke rumah Paman?” tanyanya dengan penuh harap, suaranya nyaris bergetar karena kegembiraan.“Tentu saja!” jawab Ethan sambil tersenyum, senyum yang membuat hati Wilson melompat kegirangan.Namun, Wang, meski tersenyum kecil, tetap berusaha mengingatkan cucunya. “Wilson, tidak baik mengganggu orang,” ujarnya, berusaha agar bocah itu tidak terlihat terlalu memaksa.“Tidak mengganggu sama
Grace terbaring dengan wajah sedih, aroma alkohol masih menyelimuti tubuhnya. Cahaya lampu dari apartemen yang redup menyinari rambutnya, menambah kesan lembut di wajah wanita itu. Ethan berdiri beberapa langkah darinya, matanya penuh dengan kebingungan dan rasa penasaran.Dia mengusap wajahnya, seolah mencoba menyadarkan dirinya dari pikiran yang berkecamuk. "Aku harus menemukan gelang itu. Wilson...anak ini.." gumamnya pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Pandangannya kembali tertuju pada Grace, dan untuk sesaat, ia merasakan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.Ethan menarik napas panjang, membiarkan pikirannya melayang ke kemungkinan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. "Apakah mungkin... dia adalah anakku?" tanyanya dalam hati, rasa gelisah mulai menjalar di seluruh tubuhnya. "Aku harus cari tahu," batinnya dengan tekad.Tanpa membuang waktu, Ethan berbalik dan berjalan cepat keluar dari apartemen.Setelah masuk ke mobilnya,
Grace memandang ke arah langit-langit, matanya kosong, seolah terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu. “Aku baru berusia 22 tahun,” katanya dengan suara parau, penuh rasa sakit. “Malam itu… malam itu adalah mimpi buruk yang menghancurkan seluruh duniaku. Aku tidak punya siapa-siapa untuk melindungiku. Tidak ada. Aku hanya seorang gadis muda yang bermimpi menegakkan keadilan, tapi justru keadilan itu yang mengkhianatiku.”Grace memejamkan matanya, mengambil napas dalam-dalam sebelum kembali berbicara. Suaranya kini bergetar. “Aku tidak sempat melihat wajahnya. Semuanya terlalu cepat, terlalu kacau. Dia menarikku ke dalam mobil seperti binatang buas. Nafasnya berat, matanya liar, seperti seseorang yang tidak memiliki kendali atas dirinya sendiri. Dia memohon padaku, memintaku untuk membantunya, dia seperti kerasukan. Belakangan aku baru sadar, dia mungkin di bawah pengaruh obat. Tapi saat itu… aku hanya ingin selamat.”Ethan merasa kepalanya berdenyut, dadanya terasa sesak. Ingatanny
"Siapa anak itu?" tanya Ethan, matanya penuh rasa ingin tahu, tapi juga ketegangan yang jelas terlihat.Grace menatap kosong, wajahnya suram seolah mengingat masa lalu yang tak bisa ia lepaskan. "Korban terakhir! Ibunya meninggal karena bunuh diri setelah dilecehkan oleh ayahku yang tidak tahu malu. Adil, bukan? Ayahku melakukan banyak dosa hingga merenggut nyawa mereka. Dan aku sebagai putrinya menanggung dosanya selama ini. Ini adalah karma yang tidak bisa dihindarkan," jawab Grace dengan nada yang berat, suaranya bergetar antara marah dan kesedihan.Ethan terdiam, hatinya mencelos. Kata-kata Grace mengingatkannya pada tragedi yang pernah menimpa ibunya. Ia merasa seperti terjebak dalam kebingungan, tak tahu bagaimana merespons apa yang baru saja didengarnya. "Membunuhnya membuatmu bermimpi buruk, apakah selama ini hidupmu tidak pernah tenang?" tanya Ethan.Grace menatap kosong pada kaleng minumannya, seolah minuman itu bisa menghapus bayangan kelam yang mengganggu pikirannya. "Tida