Grace berdiri di depan panti asuhan, memandang anak-anak yang sedang bermain riang di halaman. Senyum mereka seharusnya bisa membangkitkan perasaan hangat dalam hatinya, namun bayangan ancaman Raymond Scott terus menghantui pikirannya. Kata-kata pria itu, yang diucapkan dengan nada dingin dan penuh ancaman, membebani langkahnya sejak saat itu.
“Pastikan Ethan Christopher dihukum mati. Kalau kau tidak melakukannya, maka anak-anak di panti asuhan ini akan menjadi penggantinya,” ancaman Raymond terngiang jelas dalam benak Grace, membuatnya mengepalkan tangan dengan erat.
"Sudah saatnya aku memasukkanmu ke penjara," gumam Grace, memandang gedung panti asuhan dengan tekad yang berkobar.
***
Di gedung kejaksaan, Grace melangkah cepat menuju ruangan Kepala Jaksa Robert, wajahnya penuh determinasi. Tanpa ragu, ia mengetuk pintu dengan keras sebelum masuk. Robert, yang duduk di balik mejanya, mengangkat kepala dan menatap Grace dengan tatapan waspada.
"Grace, jangan mencari masalah lagi. Tersangka sudah dijatuhi hukuman. Kasus ini sudah tutup. Jadi, jangan selidiki lagi!" ujar Robert dengan nada tegas, berusaha menekan amarah Grace yang tampak jelas di wajahnya.
"Kalau bukan karena ancaman brengsek itu, mana mungkin aku patuh padanya. Aku akan menangkapnya dengan tanganku sendiri," jawab Grace, Ia berbalik, ingin segera pergi dari ruangan itu.
Robert menghela napas panjang, mencoba meredam ketegangan. “Grace, jangan gegabah! Seharusnya kamu patuh pada perintahku. Aku adalah atasanmu!” ucap Robert.
Grace berhenti, menoleh dengan tajam. "Masa depan satu orang hancur karena aku. Mana mungkin aku bisa patuh padamu. Jangan melarangku kalau kamu tidak ingin membantu," jawab Grace dengan nada tajam.
“Kamu akan ditimpa masalah, Grace. Jangan lupa, usahamu akan menjadi sia-sia kalau dia melawanmu,” kata Robert, suaranya melembut.
"Seorang penjahat pantas mati,” jawab Grace tegas, tanpa sedikit pun ragu dalam suaranya.
"Jangan samakan dia dengan ayahmu. Dia adalah pejabat yang bisa menjatuhkan siapa pun," Robert mengingatkan, suaranya sarat dengan keprihatinan.
Grace menghadap Robert, tatapannya begitu tajam dan dingin. “Dengan ayah sendiri aku juga tidak sungkan membunuhnya, apalagi brengsek itu. Aku tidak akan membiarkan dia berkeliaran melakukan kesalahan!” tegas Grace, sebelum melangkah keluar dari ruangan dengan langkah pasti.
Robert hanya bisa menggeleng pelan, menatap punggung Grace yang semakin jauh. “Selalu saja suka bertindak sesuka hati,” gumamnya, menyadari bahwa Grace seperti badai yang tak bisa dihentikan, bahkan oleh peringatan sekalipun.
Setelah meninggalkan kantor atasannya, Grace melajukan mobilnya dengan penuh emosi. Jalanan malam yang seharusnya tenang malah terasa penuh oleh kekacauan dalam pikirannya. Kenangan-kenangan lama bermunculan, menghantui setiap sudut benaknya setelah mendengar ucapan kepala jaksa yang menguak kembali luka lama.“Jones Walker,” gumam Grace dengan suara bergetar, menggenggam setir erat seakan ingin menghancurkannya.
“Walau aku sudah membunuhmu, perasaan bersalahku terhadap korbanmu masih belum hilang. Terutama kepada keluarga mereka.” Matanya memerah, dipenuhi air mata yang ditahan, dan dadanya terasa sesak oleh rasa benci yang tak kunjung surut. “Andaikan aku bisa mengganti darahku, aku ingin segera melakukannya. Aku merasa darahku kotor karena berasal darimu!” Suaranya pecah di akhir kalimat, seiring dengan tangisan yang akhirnya tak tertahankan.
Malam hari.
Di dalam sel penjara yang dingin dan sepi, Ethan terlelap dalam mimpi yang menyeretnya kembali ke masa lalu yang kelam. Bayangan ibunya yang tewas bunuh diri masih menghantuinya.
Kegelapan merengkuh, dan suara yang pernah ia dengar dari dokter kembali bergema di telinganya, “Ibumu bunuh diri akibat depresi, beliau dilecehkan sehingga mengalami gangguan mental.” Ucapan itu menyayat hati, seakan menggores luka lama yang belum pernah sembuh.
Ethan terbangun dengan napas tersengal-sengal, keringat dingin membasahi wajah dan lehernya. Pandangannya terpaku pada langit-langit sel yang gelap,"Jones Walker," Ethan berbisik dengan suara serak, penuh dendam yang membara.
“Kematianmu tidak bisa membayar kematian ibuku. Walau anakmu telah membunuhmu, aku tetap akan membunuhnya untuk menebus penderitaan yang aku alami!” Tangan Ethan mengepal kuat, kuku-kukunya menancap di telapak tangannya sendiri.
Dua hari kemudian.
Grace bersama dua rekannya, Billy dan Frank, sedang mengumpulkan bukti kejahatan Raymond Scott. Mereka bekerja keras, masing-masing menjalankan tugas yang telah ditentukan. Billy, seorang detektif yang bekerja sama dengan jaksa, mengikuti setiap langkah Raymond dengan cermat. Tidak ada gerakan yang luput dari pengawasannya. Di sisi lain, Frank tenggelam dalam tumpukan berkas-berkas lama, membongkar setiap kasus yang pernah melibatkan pejabat itu. Debu dan aroma kertas tua menyelimuti ruang penyimpanan dokumen.
Sementara itu, Grace memfokuskan diri pada data korban dan pelaku yang terhubung dengan Raymond, matanya tak lepas dari layar komputernya. Cahaya layar yang redup membuat wajahnya tampak semakin pucat, namun ia tetap memaksakan diri untuk bekerja. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran, waktu tidak berpihak padanya. Ia hanya memiliki satu minggu untuk memecahkan kasus ini.
Di sisi lain, Emil melangkah memasuki area penjara dengan langkah cepat, menghampiri bosnya, Ethan, yang tengah mendekam di balik jeruji besi. Ethan, dengan tatapan dingin yang tajam, menunggu kabar terbaru dari anak buahnya.
"Bos, kami sudah mendapatkan informasi," lapor Emil dengan nada serius. "Jaksa Shin dibesarkan di panti asuhan itu. Namun, masih belum tahu alasannya kenapa harus melindungi tempat itu." Emil berhenti sejenak.
Ethan memicingkan matanya, mencoba mencerna informasi yang diberikan. "Apakah dia menerima ancaman dari brengsek itu? Raymond sanggup melakukan apa saja demi menyelamatkan dirinya," ujarnya.
Emil mengangguk dengan ragu," Apa tindakan kita selanjutnya?" tanyanya dengan hati-hati.
Ethan terdiam sejenak, menimbang-nimbang rencana berikutnya. "Lakukan saja sesuai permintaannya, dan apa yang dia lakukan belakangan ini?" tanyanya sambil menatap Emil dengan tajam.
"Dia pergi ke beberapa tempat, begitu juga dengan rekannya," jawab Emil cepat. "Sepertinya mereka mulai menyelidiki secara diam-diam. Satu hal lagi, informasi yang aku dapatkan Jaksa Shin dan Kepala Jaksa, Robert. tidak pernah akur dan sering berbeda pendapat. Hal tersebut menjadi bahan gosip di satu gedung itu. Mereka selalu saja bertengkar. Namun yang anehnya adalah, walau wanita itu menantangnya. posisinya tetap aman dan tidak pernah diskors atau dipecat!"
Ethan tertawa kecil, sinis. "Luar biasa sekali wanita ini, banyak kejutan yang dia berikan. Teruskan ikuti dia," perintah Ethan dengan nada perintah yang tegas. "Aku ingin dia tetap hidup dan membersihkan namaku. Setelah itu aku akan pertimbangkan dengan cara apa aku menghukumnya. Aku adalah bos gangster malah harus jatuh ke jebakannya. Tidak peduli apa alasannya. itu tidak bisa membuatku memaafkan dia!" Ethan berkata dengan penuh dendam.
Malam di café itu semakin sunyi, hanya terdengar suara gesekan sendok yang diaduk Grace pada minumannya. Dalam benaknya, ia terus memikirkan kasus besar yang sedang ditanganinya, kasus yang membuatnya harus berhadapan dengan Raymond, seorang pejabat yang ditakuti dan berkuasa.Tak lama kemudian, Robert, Kepala Jaksa mendekatinya dan duduk di hadapannya dengan wajah serius. "Dengarkan aku sekali lagi, Grace. Tolak kasus ini!" kata Robert dengan nada mendesak.Grace memandang Robert dengan mata tajam. "Selama ini aku tidak pernah menyesal dengan keputusan yang kuambil. Walaupun harus kehilangan nyawa, aku tidak akan ragu membongkar kejahatannya," jawab Grace tegas.Robert menghela napas, berusaha mengendalikan emosinya. "Kau tahu siapa lawanmu? Ini bukan permainan, Grace.""Untuk apa kau peduli? Apapun yang terjadi, aku yang akan bertanggung jawab," Grace membalas dengan suara yang bergetar namun tegas.Robert memejamkan mata sejenak, tampak frustasi. "Aku tahu kau keras kepala dan ti
"Guru mengajarimu ilmu bela diri agar kamu bisa melindungi dirimu," kata Wang dengan suara lembut namun tegas, "Saat kamu berhasil mengalahkan penjahat, guru merasa bangga padamu. Tapi, guru tidak berharap kamu harus berkorban demi mereka. Sudah banyak usaha yang kamu lakukan demi masyarakat dan panti asuhan. Kapan kamu akan hidup untuk diri sendiri?"Grace menunduk, terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca, namun ia berusaha tegar. "Guru, jangan mencemaskan aku! Sejak dulu, kalau bukan karena ada guru, aku tidak akan bisa bertahan hingga saat ini. Papaku sendiri telah melakukan hal yang memalukan. Dan mamaku pergi hingga saat ini tidak kembali." Suaranya terdengar bergetar saat mengingat masa lalu yang kelam. "Aku sangat ingin melihatnya. Sudah 12 tahun berlalu, dan dia masih tidak ingin pulang. Aku yakin mama pasti sudah tahu kalau suaminya yang kejam itu telah meninggal dan aku adalah pembunuhnya," ungkap Grace dengan tatapan kosong."Grace, kamu telah menyelamat
Siang hari di kota Paris, cuaca buruk mengintai. Hujan deras mengguyur dan petir kuat menyambar tanpa henti. Di sebuah gedung kosong, seorang pria berambut putih sedang melakukan pelecehan terhadap seorang wanita. Wajah wanita itu terlihat putus asa, air mata mengalir deras, namun pria itu terus saja melanjutkan perbuatannya dengan desahan penuh kenikmatan hingga mencapai puncaknya.Setelah selesai, pria itu dengan santai mengenakan kembali celananya dan meninggalkan wanita itu begitu saja. Tanpa peduli pada hujan deras yang menghantam tubuhnya, dia pergi dengan tergesa, seolah takut dikenali oleh warga sekitar.Beberapa saat kemudian, pria itu tiba di rumahnya. Begitu melangkah masuk, ia langsung berteriak penuh amarah, "Sammi! Mana makan siangku? Kenapa kau tidak menyediakannya?"Suara teriakannya menggema di seluruh ruangan. Seorang gadis remaja keluar dari kamarnya dengan wajah tegang, matanya berkaca-kaca saat ia menjawab dengan nada penuh kemarahan yang ditahan, "Mama sudah perg
Ethan, setelah memuaskan hasrat yang disebabkan oleh pengaruh obat itu, terbaring lemas di kursi mobil. Nafasnya terengah-engah sebelum akhirnya ia kehilangan kesadaran, tidak menyadari kekejaman yang baru saja ia lakukan.Sementara itu, Grace hanya bisa menangis. Hatinya hancur, tubuhnya lemah, dan air matanya mengalir deras. Kehormatannya direnggut tanpa ampun, oleh seorang pria yang tak dikenalnya. Dalam ketakutan dan rasa malu yang mendalam, Grace berusaha keluar dari mobil itu dengan langkah terseok-seok. Tubuhnya terasa seperti dihantam ribuan jarum, namun ia tak punya pilihan selain pergi secepat mungkin dari tempat itu. Ia tak ingin mengingat atau mengetahui lebih lanjut tentang wajah pria yang telah menghancurkannya. Ia berjalan tertatih-tatih di jalanan yang gelap, berusaha menahan sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Tangisnya semakin keras, namun tempat itu terlalu sepi, tak ada satu pun yang mendengar ratapannya. Malam itu menjadi saksi kesedihannya yang mendalam.K
Dua jam kemudian.Persidangan dilanjutkan dengan suasana yang tegang, saat sang hakim bersiap untuk membaca keputusan terhadap tersangka pembunuhan, Ethan Christopher. Di dalam ruang sidang yang penuh sesak, napas tertahan dan mata tertuju pada hakim yang memegang nasib di tangannya."Ethan Christopher," ucap hakim dengan suara lantang, "akan dijatuhkan hukuman penjara seumur hidup atas kesalahan melakukan pelecehan seksual dan pembunuhan korban. Selain itu, klub malam yang menjadi lokasi kejahatan akan ditutup dan disita oleh negara." Kata-kata itu menggema di seluruh ruangan, menebarkan keheningan yang berat.Ethan berdiri dengan gerakan cepat, wajahnya merah padam, "Aku tidak bisa terima keputusanmu!" Teriaknya dengan penuh emosi, matanya menatap tajam ke arah hakim.Namun, hakim tidak tergoyahkan. "Bukti dan saksi sudah lengkap," balasnya dengan ketegasan yang tidak bisa dibantah. "Terima atau tidak, Anda tidak memiliki hak untuk membantah putusan ini!"Meskipun berhasil menuntut
"Grace Anderson Shin, ikut kami pergi atau mati di tangan kami?" tanya Ekin dengan nada keras dan tegas. Grace tidak mundur sedikit pun. Ia balas menatap Ekin dengan pandangan penuh tekad, "Aku tidak akan menyerah walau harus mati," jawab Grace dengan nada yang penuh determinasi. "Apa yang kalian lakukan hanya akan mempersulitkan bos kalian untuk bebas."Emil yang tampak lebih emosional, melangkah maju dengan wajah merah padam. "Jangan lupa! Bukti yang ada adalah hasil dari rekasayamu," bentaknya, suaranya bergetar dengan kemarahan. "Kau menjebak bos kami demi uang. Berapa jumlah yang brengsek itu bayar?"Grace mengangkat bahu, tersenyum tipis. "Aku tidak berniat melukai kalian. Tapi kalau itu yang kalian inginkan," dia melayangkan tongkat di tangannya, siap bertarung, "akan kulayani!"Emil dan anak buahnya langsung meluncur maju, melayangkan pisau tajam ke arah Grace. Tanpa gentar, Grace menahan serangan-serangan mereka yang datang secara bersamaan. Tongkatnya memukul tangan-tangan
"1 minggu!" ucap Ethan menatap tajam pada Grace, matanya menyorot tajam seolah menusuk langsung ke dalam jiwa gadis itu. "Kalau gagal, aku tidak akan melepaskanmu!""Baiklah, tapi dalam seminggu ini kau harus pastikan keselamatanku. Andaikan aku mati, maka tidak ada keuntungan bagimu!" jawab Grace.Ethan tertawa kecil, senyumnya sinis, hampir seperti memandang rendah permintaan Grace. "Kau mengancamku?" tanyanya, nada suaranya mengintimidasi, namun bibirnya masih menyunggingkan senyuman yang meremehkan."Tentu saja, tidak! Aku butuh jaminan untuk nyawaku," Grace membalas dengan tegas, "Raymond Scott akan membunuh siapa saja yang menantangnya. Aku akan menjadi sasarannya. Hakim dan para juri ada di pihaknya. Bukti asli telah diserahkan kepada mereka. Namun, semua bukti telah dihapus," jelasnya sambil menarik napas panjang, mencoba menghilangkan ketegangan yang melingkupinya.Ethan mendengus, mengalihkan pandangannya sejenak. "Kalau sudah tahu kau akan menjadi sasarannya, kenapa ingin u