Grace yang telah terlelap, seakan sedang bermimpi buruk yang mengganggu tidurnya. Sebuah bayangan dari masa kecilnya kembali muncul, memperlihatkan saat-saat kelam di mana ia menikam ayahnya sendiri hingga tewas. Darah yang membasahi tangannya terasa begitu nyata, membuat kejadian tersebut menjadi mimpi buruk seumur hidup baginya.
Grace membuka mata dengan terkejut, napasnya tersengal, dan ia langsung bangkit. Keringat dingin membasahi wajahnya, matanya melirik ke sekeliling ruangan seolah mencari perlindungan dari bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya.
"Kenapa kejadian itu selalu saja muncul dalam mimpiku?" ucapnya dengan suara serak, matanya berkaca-kaca. Tangannya bergetar saat mencoba menghapus air mata yang mulai menggenang, seolah menghapus dosa yang tak pernah bisa ia lupakan. Kejadian itu terus membayangi, membelenggu langkahnya meski ia terus berusaha melangkah maju.
Tiba-tiba suara pecahan kaca terdengar begitu jelas. "Prang!"
Grace l
Grace menahan sakit yang menjalar di tubuhnya, namun ia tetap berusaha berdiri tegap di hadapan lawannya. Matanya berkobar,"Aku harus bisa melewati rintangan ini. Kalahkan mereka dan bebaskan Ethan Christopher," batinnya, menggenggam tongkat besinya dengan lebih erat.Salah satu dari musuh yang berdiri di depannya menyeringai sinis. "Ternyata kau sudah terluka. Apakah kau mengira mampu mengalahkan kami dalam kondisi seperti ini?" tantangnya, sambil memberikan isyarat kepada yang lain untuk menyerang serempak.Mereka semua mendekat dengan niat jahat terpancar dari tatapan mata mereka.Tanpa berpikir panjang, Grace meraih vas bunga yang ada di dekatnya. Dengan sekuat tenaga, ia menghantam kepala salah satu lawannya hingga vas itu pecah berkeping-keping. "Brak!""Aahh!" Jeritan kesakitan keluar dari mulut lawannya yang terhuyung ke belakang, darah mengucur dari luka di kepalanya.Namun, tidak ada waktu untuk berpuas diri. Gerombolan penyerang masih mengelilingi
Billy menunggu di luar ruang sidang, berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Tangannya sesekali merogoh saku, melihat jam tangannya dengan penuh kecemasan. “Sudah tiba waktu persidangan. Apakah Grace baik-baik saja?” gumamnya, suaranya hampir tenggelam dalam riuh rendah suara para pengunjung yang berlalu-lalang di koridor pengadilan.Sementara itu, di dalam ruang sidang, suasana tegang. Persidangan telah dimulai dan seluruh mata tertuju pada hakim yang duduk di podium, wajahnya tegas dan penuh wibawa. Sang hakim mengetuk palu sekali lagi, mengisyaratkan dimulainya persidangan. "Tuan Ethan Christopher," suara sang hakim terdengar berat, tapi jelas. "Sebelumnya Anda mengatakan bahwa ada bukti yang bisa membuktikan bahwa Anda tidak bersalah. Bukti apa yang akan Anda tunjukkan di persidangan kali ini?"Ethan, duduk di bangku terdakwa, tetap tenang. Sorot matanya tak tergoyahkan, meski di dalam hatinya bergejolak. Ini adalah saat penentu baginya. Di sisi la
Di luar, Emil telah tiba dengan tergesa-gesa dan segera membuka pintu mobil, matanya melebar saat melihat kondisi Grace yang terluka parah. Darah yang mengalir dari luka tusukan membuat wajah Emil tegang. Namun, Grace tetap terlihat tegar meski kesakitannya jelas. Dengan hati-hati, Emil membantunya keluar dari mobil.Billy, yang baru saja menerima panggilan, keluar dari gedung dengan napas memburu. Wajahnya pucat ketika melihat darah di pakaian Grace. Tanpa banyak bicara, dia meraih sebuah jubah jaksa dari dalam mobil, menyelubungi tubuh Grace yang gemetar."Grace, kamu yakin bisa melanjutkan ini? Kondisimu sangat buruk. Kamu bisa kehabisan darah sebelum persidangan selesai!" Billy berbicara dengan cemas, matanya terus memindai luka di lengan Grace." Hakim yang kamu temui, tiba-tiba saja menarik diri. Aku yakin ini adalah perbuatan Raymond."Grace mengerang pelan, tapi sorot matanya penuh tekad. "Karena itu lah, aku harus hadir, untuk pastikan
Satu jam setelah persidangan ditunda, ruang sidang kembali dipenuhi oleh ketegangan yang sama. Grace, yang sejak tadi duduk diam di meja jaksa, kini tampak semakin lemah. Tubuhnya bergetar halus, menahan rasa sakit yang tidak tertahankan. Sekali lagi, tetesan darah jatuh ke lantai di bawah kursinya, semakin jelas di lantai yang dingin. Namun, Grace tetap teguh di tempatnya, pandangannya lurus ke depan, meski rasa sakit itu mulai melumpuhkan kesadarannya.Ethan, yang duduk di kursi terdakwa, tak lagi bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Dari kejauhan, dia memperhatikan wajah Grace yang kian memucat, bibirnya gemetar menahan perih, sementara setiap napasnya terdengar lebih berat. Hatinya tersentuh melihat pengorbanan wanita itu—seorang jaksa yang dengan segenap nyawanya berjuang membela keadilan, bahkan untuknya, seorang pria yang mungkin tidak pantas mendapatkan begitu banyak usaha dari orang seperti Grace. Di dalam dirinya muncul perasaan yang asing, simpati bercampur d
Keesokan harinya, Ethan telah dibebaskan dan dijemput oleh anak buahnya. Mereka menunggu di luar penjara, wajah-wajah mereka penuh hormat dan ketegangan. Ethan, meski baru saja bebas, tak menunjukkan tanda-tanda kelegaan. Wajahnya tetap dingin dan penuh perhitungan, mencerminkan kehidupannya yang keras sebagai bos gangster yang memiliki jaringan bisnis legal di berbagai wilayah.Anggotanya segera memberikan hormat begitu Ethan keluar. Mereka tunduk serentak, memberi ruang bagi sosok pemimpin yang ditakuti dan dihormati itu."Bos, selamat Anda sudah bebas!" ucap salah satu dari mereka dengan suara rendah, seolah takut mengganggu suasana hati Ethan yang tak bisa ditebak.Ethan hanya mengangguk pelan, ekspresinya tak berubah. "Mari kita pergi!" ujarnya dingin, seraya melangkah mantap menuju mobil yang pintunya dibuka oleh Ekin, tangan kanannya yang paling setia. Emil, sopirnya, sudah siap di belakang kemudi.Ethan masuk ke dalam mobil tanpa sepatah kata pun.
Rumah sakitKamar rumah sakit itu sunyi, hanya terdengar bunyi lembut dari mesin-mesin yang memonitor keadaan pasien. Di luar kaca, Billy, Frank, dan Guru Wang berdiri diam, menatap tubuh yang terbaring tak berdaya di ranjang. Ketegangan melingkupi mereka, mengikat suasana dengan perasaan gelisah dan tidak berdaya.Tak lama kemudian, langkah berat menggema di koridor. Ethan Christopher tiba, ditemani oleh Emil dan Ekin. Kharisma Ethan sebagai bos gangster terpancar jelas. Wajahnya tampan namun dingin, penuh dengan aura kekuasaan dan ketenangan yang mengintimidasi. Ia melangkah mendekati kelompok yang berdiri di depan kamar, tatapannya tajam seperti elang yang mengawasi mangsanya."Ethan Christopher, kenapa kamu bisa ada di sini?" Frank bertanya dengan nada penuh keheranan."Bos ingin menjenguk Jaksa Shin. Bagaimana, apakah sudah sadar?" Emil menyuarakan pertanyaan yang sama dengan kekhawatiran di matanya.Billy hanya bisa menggeleng pelan. "T
Ethan dengan kasar mendorong tubuh dokter itu, membuatnya sedikit terhuyung ke belakang."Tuan," dokter itu mencoba tetap tenang meski jelas merasa tertekan oleh amarah Ethan. "Kondisi pasien sudah sangat parah. Tidak ada lagi yang bisa kami lakukan. Pasien sendiri tampaknya sudah tidak ingin berjuang lagi. Semua usaha kami menjadi sia-sia."Suara dokter itu terdengar seperti akhir dari segalanya, tetapi Ethan tidak bisa menerimanya. Wajahnya memerah oleh emosi, matanya penuh dengan penolakan dan keputusasaan. Di sampingnya, Wang menatap Ethan dengan rasa iba, lalu bicara dengan suara berat yang terbungkus kesedihan."Biarkan dia pergi, Mungkin Grace sudah merasa damai. Dia tahu kau sudah bebas sekarang," kata Wang dengan nada penuh perasaan.Ethan memutar tubuhnya dengan cepat, menatap Wang dengan mata yang berkobar. "Apa karena dia sudah putus asa, kita harus mendukungnya menyerah begitu saja? Ada begitu banyak orang di luar sana yang hidup dalam
Keesokan harinya, setelah mendapatkan laporan masa kecil Grace, Ethan segera menuju rumah sakit tempat Grace pernah dirawat. Langkahnya cepat, dibakar oleh keingintahuan yang mendalam tentang masa lalu wanita itu. Setibanya di rumah sakit, ia segera meminta bertemu dengan dokter yang menangani pasien bernama Cecillia Walker, nama yang tertulis dalam laporan tersebut.Begitu dokter itu tiba, Ethan tanpa basa-basi langsung menunjukkan sebuah foto. "Tuan, kenapa Anda memiliki foto ini?" tanyanya, Dokter itu terlihat kaget, namun cepat menguasai diri. "Apakah Anda yang merawat Cecillia Walker?" tanya Ethan, suaranya tenang namun penuh tekanan."Iya, Cecillia masuk ke sini saat usianya 15 tahun. Kondisi mentalnya terganggu," jawab dokter itu sambil duduk di hadapan Ethan, matanya sesekali melirik foto di meja.Ethan menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya mengawasi dokter itu. "Beritahu saya, apa yang membuat mentalnya terganggu?" tanyanya, nada suaranya dingin, penuh tuntutan.Dokter i
Grace mengemudikan mobilnya dengan perasaan lega. Ia baru saja menyelesaikan misi penting, menahan Dom Hart dan putranya, James, dua sosok yang selama ini selalu lolos dari kesalahan."Sammy, mungkin lebih baik kita tidak bertemu lagi. Anggap saja kita tidak pernah saling kenal. Aku sudah memiliki hidupku sendiri, dan kamu pilih jalanmu sendiri," gumamnya dengan suara penuh tekad, mencoba menghapus bayangan masa lalu yang mungkin akan mengganggu jalannya ke depan.Beberapa saat kemudian, Grace menghentikan mobilnya di depan sebuah gedung besar dengan penjagaan ketat—markas Ethan Christoper. Ia menghela napas panjang sebelum keluar dari mobilnya. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju pintu utama yang dijaga beberapa anak buah Ethan."Jaksa Shin? Kenapa Anda bisa ada di sini?" tanya Emil, dengan nada terkejut.Grace menatapnya tajam. "Aku ingin bertemu dengan Ethan. Apakah dia ada di sini?""Ada, dia sedang di kantornya. Silakan saja," jawa
Grace dan timnya melangkah masuk ke dalam ruangan, suasana menjadi tegang seketika. Matanya langsung tertuju pada Dom dan Jamez yang tergeletak di lantai, darah mengalir deras dari betis mereka, dengan senjata tajam yang menancap dalam. Pemandangan itu membuat Grace terdiam sejenak, namun ia segera menguasai diri."Bawa mereka pergi!" perintah Grace dengan suara tegas, matanya tetap tajam.Grace kemudian memandang keluar, perasaannya tiba-tiba menjadi kaku. Ia melihat sosok seorang pria yang tak asing baginya. Tubuhnya mendadak tegang."Kenapa dia bisa ada di sini?" batin Grace, matanya menyipit, mencari tahu apakah ia salah lihat atau tidak.Teriakan Sammy keras memecah ketegangan. "Lepaskan suami dan anakku! Jangan sentuh mereka!" Sammy berlari ke depan, berusaha menghalangi para jaksa yang hendak memborgol Dom dan Jamez. Suaranya penuh emosi, penuh kekhawatiran.Sammy yang kesal menoleh ke arah Grace, matanya berkilat tajam dengan kemarahan yang
Berita gempar di siang itu mengguncang masyarakat. Namun, bukan bencana alam yang menjadi perhatian, melainkan pengungkapan kasus besar yang melibatkan pejabat-pejabat korup. Nama-nama besar seperti Dom Hart dan James Hart tercantum dalam daftar penangkapan, membuat kegemparan meluas di seluruh kota.Kemarahan masyarakat memuncak. Mereka mencemooh para pejabat yang telah mengkhianati kepercayaan rakyat. Negara yang seharusnya makmur dan adil, kembali tercoreng oleh skandal korupsi. Gelombang protes mulai terlihat, baik di jalanan maupun di media sosial, menuntut keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu.Di tengah kekacauan tersebut, Grace dan timnya tidak tinggal diam. Dengan langkah tegas, mereka mendatangi gedung kementerian, membawa surat perintah penangkapan. Setiap langkah mereka mencerminkan determinasi dan keberanian.Setibanya di gedung para menteri, Grace mengetuk pintu utama dengan tangan yang mantap. "Kami dari tim penegakan hukum. Ini surat perintah pe
"Kau tidak percaya dengan kataku?" tanya dengan nada serius. Ia melipat kedua tangannya di dada, menatap Grace dengan tajam.Grace menghela napas panjang sebelum menjawab, berusaha menenangkan pikirannya. "Wilson tidak ada hubungan darah denganmu. Tidak ada alasan kau menjadikannya sebagai penerusmu," jawabnya tegas, mencoba menyampaikan logika di balik pemikirannya.Ethan mengangkat alis, senyumnya samar tapi penuh arti. "Aku dan Wilson sangat cocok. Dia juga menyukaiku!" katanya dengan percaya diri, seolah hal itu cukup untuk membenarkan tindakannya.Grace memutar bola matanya, merasa sulit untuk menerima alasan Ethan. "Aku akan segera menjemputnya," ujarnya dengan suara dingin. "Tidak baik tinggal di rumahmu begitu lama. Anak ini akan terbiasa jika dibiarkan seperti ini."Ethan mendengus kecil, tampak tidak setuju. "Jangan terlalu keras," ucapnya pelan namun tegas, nada suaranya sedikit melembut. "Lagi pula, kau sibuk seharian. Kalau dia bersamaku, dia aman. Ada anggotaku yang men
Sementara itu, di halaman belakang markas, Ethan berdiri sambil memandang pemandangan yang jarang ia nikmati—putranya, Wilson, tengah bermain dengan beberapa anggota gengnya. Suara tawa Wilson bergema di udara, membawa kehangatan yang hampir membuat Ethan lupa akan masalah-masalah berat yang menantinya. Wilson tampak begitu gembira, berlari mengejar salah satu anggota yang pura-pura menyerah. Untuk sesaat, dunia Ethan terasa lebih ringan.Namun, keheningan Ethan terusik ketika Emil mulai membuka topik pembicaraan, "Bos, hasil tes DNA sudah keluar. Bagaimana Bos akan menjelaskan ini kepada Jaksa Shin?" tanya Emil dengan nada penuh kehati-hatian.Ethan mengambil amplop itu tanpa berkata-kata, menatapnya sejenak sebelum membuka hasil yang sudah ia duga. "Dia pasti akan menyerang Bos setelah mengetahui kenyataannya," timpal Ekin, yang berdiri di samping Emil, memperhatikan ekspresi bos mereka dengan cermat.Ethan menarik napas panjang, lalu menatap mereka deng
Wilson memperhatikan keanehan pada Ethan. Pria yang biasanya terlihat tenang dan tak tersentuh itu tampak berbeda hari ini. Matanya terlihat merah, seolah sedang menahan sesuatu yang ingin tumpah.“Apakah Paman sedang menangis?” tanya Wilson dengan nada polos namun penuh rasa ingin tahu. Anak kecil itu menatap Ethan dengan pandangan tajam, seolah berusaha membaca apa yang tersembunyi di balik wajah sang pria dewasa.Ethan terdiam sejenak, menarik napas panjang sebelum menjawab. “Tidak,” katanya sambil mengusap kepala Wilson dengan lembut, mencoba menghilangkan kecemasan di wajah bocah itu.“Lalu, kenapa mata Paman merah? Apakah terjadi sesuatu?” tanya Wilson lagi. Kali ini nadanya lebih serius, seperti seseorang yang tak mudah dibohongi.Ethan tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan emosinya. “Paman hanya bangga padamu, Wilson. Di usiamu yang masih kecil, kamu sudah bisa mandiri dan bersikap dewasa,” jawabn
"Kenapa kau harus bersikap egois? Hidupku sudah hancur karena ayahmu. Dan kenapa sekarang kau tidak melepaskan aku? Cecillia, kau bisa pura-pura tidak tahu. Lupakan saja kami. Masih banyak penjahat yang harus kau tahan. Kenapa hanya kami yang menjadi sasaranmu," ujar Sammy dengan suara bergetar. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, matanya memancarkan rasa frustasi yang mendalam.Grace menatap wanita di depannya dengan tajam, napasnya memburu, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Hancur hidupmu? Sehancur apa? Setelah pergi dari rumah, kamu bertemu dengan orang kaya dan menikah dengannya. Apakah ini masih dianggap hancur?" Ia tertawa sinis, namun suaranya penuh luka yang tertahan. "Lalu, bagaimana denganku? Apakah aku tidak hancur? Ketakutan, kedinginan, bahkan bermimpi buruk selama dua belas tahun! Kau menikmati hidup mewah selama ini. Sedangkan aku menghadapi semua masalah dengan cara sendiri. Kau tidak pernah ada untukku. Kau tidak layak menyalahkan aku!"Sammy terdiam
"Cecillia, apakah kau melakukan itu untuk membalasku? Kau tahu kenapa aku pergi saat itu. Kalau aku tidak pergi, aku tidak akan hidup sampai sekarang. Papamu itu bukan manusia," ujar Sammy, suaranya terdengar getir dan penuh penyesalan. Ia menatap Grace dengan sorot mata yang tampak rapuh, seolah masih berharap bisa menjelaskan alasannya.Grace mendongak, matanya tajam menatap Sammy. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membalas dengan suara dingin, meskipun emosi di baliknya terasa kuat. "Aku tahu, Tapi kenapa kau meninggalkanku? Kau tahu aku sangat takut saat itu. Setiap dia pulang dengan wajah berseri-seri karena sudah mendapatkan korbannya, aku hanya bisa menggigil di kamar. Senyum jahatnya... itu membuatku jijik. Aku ketakutan. dan aku hanya bisa bersembunyi," katanya, suaranya pecah di akhir kalimat.Grace menatap Sammy lebih tajam, menahan emosi yang mendesak untuk tumpah. "Setiap kali dia melihatku, dia ingin memukulku. Kau ada di mana? Kau pergi begitu saja di
Dari sisi lain, Grace berdiri tegak, menatap Sammy dengan mata yang penuh arti."Apa kamu masih ingat dengan rumah ini?" tanya Grace, suaranya tenang namun menusuk.Sammy berbalik, menatap Grace dengan wajah penuh tanya. “Apa yang ingin kau katakan? Sebenarnya apa yang kau ketahui?” tanyanya, nadanya mulai tegang.Grace berjalan pelan mendekat, matanya menelusuri setiap sudut rumah itu. “Rumah lama ini telah kamu tinggalkan 12 tahun yang lalu. Dan sekarang, setelah kembali dan berdiri di depannya, bagaimana perasaanmu?” tanyanya dengan nada tajam.Sammy menelan ludah, berusaha mengendal