"Guru mengajarimu ilmu bela diri agar kamu bisa melindungi dirimu," kata Wang dengan suara lembut namun tegas, "Saat kamu berhasil mengalahkan penjahat, guru merasa bangga padamu. Tapi, guru tidak berharap kamu harus berkorban demi mereka. Sudah banyak usaha yang kamu lakukan demi masyarakat dan panti asuhan. Kapan kamu akan hidup untuk diri sendiri?"
Grace menunduk, terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca, namun ia berusaha tegar. "Guru, jangan mencemaskan aku! Sejak dulu, kalau bukan karena ada guru, aku tidak akan bisa bertahan hingga saat ini. Papaku sendiri telah melakukan hal yang memalukan. Dan mamaku pergi hingga saat ini tidak kembali." Suaranya terdengar bergetar saat mengingat masa lalu yang kelam. "Aku sangat ingin melihatnya. Sudah 12 tahun berlalu, dan dia masih tidak ingin pulang. Aku yakin mama pasti sudah tahu kalau suaminya yang kejam itu telah meninggal dan aku adalah pembunuhnya," ungkap Grace dengan tatapan kosong.
"Grace, kamu telah menyelamat
"Jaksa Shin, sepertinya kamu sudah lupa siapa yang kamu hadapi," ujar Raymond dengan nada mengancam. Setiap katanya terdengar seperti racun yang siap menyebar.Grace Anderson Shin berdiri tegak, tidak sedikit pun goyah oleh ancaman pria di depannya. Matanya menatap lurus, penuh keyakinan. "Tuan Scott, hukum adalah hukum. Di dunia ini ada keadilan, dan aku adalah orang yang menegakkannya," balas Grace dengan tegas, suaranya penuh keteguhan yang sulit ditembus.Raymond terkekeh pelan, menyembunyikan amarah yang mulai membara di dalam dirinya. "Kamu akan menyesal, Jaksa Shin," katanya lagi, nada ancaman tak lagi terselubung.Grace tidak bergeming. Ia melangkah maju, menatap Raymond tanpa gentar. "Apa yang akan kamu lakukan padaku? Menjebakku seperti kamu menjebak Ethan Christopher atau membunuhku seperti wanita hiburan yang menjadi korbanmu? Rinna adalah pacar Ethan Christopher. Dia berselingkuh denganmu dan mengkhianati pacarnya. Hubungan kalian sungguh luar biasa
Grace yang telah terlelap, seakan sedang bermimpi buruk yang mengganggu tidurnya. Sebuah bayangan dari masa kecilnya kembali muncul, memperlihatkan saat-saat kelam di mana ia menikam ayahnya sendiri hingga tewas. Darah yang membasahi tangannya terasa begitu nyata, membuat kejadian tersebut menjadi mimpi buruk seumur hidup baginya.Grace membuka mata dengan terkejut, napasnya tersengal, dan ia langsung bangkit. Keringat dingin membasahi wajahnya, matanya melirik ke sekeliling ruangan seolah mencari perlindungan dari bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya."Kenapa kejadian itu selalu saja muncul dalam mimpiku?" ucapnya dengan suara serak, matanya berkaca-kaca. Tangannya bergetar saat mencoba menghapus air mata yang mulai menggenang, seolah menghapus dosa yang tak pernah bisa ia lupakan. Kejadian itu terus membayangi, membelenggu langkahnya meski ia terus berusaha melangkah maju.Tiba-tiba suara pecahan kaca terdengar begitu jelas. "Prang!"Grace l
Grace menahan sakit yang menjalar di tubuhnya, namun ia tetap berusaha berdiri tegap di hadapan lawannya. Matanya berkobar,"Aku harus bisa melewati rintangan ini. Kalahkan mereka dan bebaskan Ethan Christopher," batinnya, menggenggam tongkat besinya dengan lebih erat.Salah satu dari musuh yang berdiri di depannya menyeringai sinis. "Ternyata kau sudah terluka. Apakah kau mengira mampu mengalahkan kami dalam kondisi seperti ini?" tantangnya, sambil memberikan isyarat kepada yang lain untuk menyerang serempak.Mereka semua mendekat dengan niat jahat terpancar dari tatapan mata mereka.Tanpa berpikir panjang, Grace meraih vas bunga yang ada di dekatnya. Dengan sekuat tenaga, ia menghantam kepala salah satu lawannya hingga vas itu pecah berkeping-keping. "Brak!""Aahh!" Jeritan kesakitan keluar dari mulut lawannya yang terhuyung ke belakang, darah mengucur dari luka di kepalanya.Namun, tidak ada waktu untuk berpuas diri. Gerombolan penyerang masih mengelilingi
Billy menunggu di luar ruang sidang, berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Tangannya sesekali merogoh saku, melihat jam tangannya dengan penuh kecemasan. “Sudah tiba waktu persidangan. Apakah Grace baik-baik saja?” gumamnya, suaranya hampir tenggelam dalam riuh rendah suara para pengunjung yang berlalu-lalang di koridor pengadilan.Sementara itu, di dalam ruang sidang, suasana tegang. Persidangan telah dimulai dan seluruh mata tertuju pada hakim yang duduk di podium, wajahnya tegas dan penuh wibawa. Sang hakim mengetuk palu sekali lagi, mengisyaratkan dimulainya persidangan. "Tuan Ethan Christopher," suara sang hakim terdengar berat, tapi jelas. "Sebelumnya Anda mengatakan bahwa ada bukti yang bisa membuktikan bahwa Anda tidak bersalah. Bukti apa yang akan Anda tunjukkan di persidangan kali ini?"Ethan, duduk di bangku terdakwa, tetap tenang. Sorot matanya tak tergoyahkan, meski di dalam hatinya bergejolak. Ini adalah saat penentu baginya. Di sisi la
Di luar, Emil telah tiba dengan tergesa-gesa dan segera membuka pintu mobil, matanya melebar saat melihat kondisi Grace yang terluka parah. Darah yang mengalir dari luka tusukan membuat wajah Emil tegang. Namun, Grace tetap terlihat tegar meski kesakitannya jelas. Dengan hati-hati, Emil membantunya keluar dari mobil.Billy, yang baru saja menerima panggilan, keluar dari gedung dengan napas memburu. Wajahnya pucat ketika melihat darah di pakaian Grace. Tanpa banyak bicara, dia meraih sebuah jubah jaksa dari dalam mobil, menyelubungi tubuh Grace yang gemetar."Grace, kamu yakin bisa melanjutkan ini? Kondisimu sangat buruk. Kamu bisa kehabisan darah sebelum persidangan selesai!" Billy berbicara dengan cemas, matanya terus memindai luka di lengan Grace." Hakim yang kamu temui, tiba-tiba saja menarik diri. Aku yakin ini adalah perbuatan Raymond."Grace mengerang pelan, tapi sorot matanya penuh tekad. "Karena itu lah, aku harus hadir, untuk pastikan
Satu jam setelah persidangan ditunda, ruang sidang kembali dipenuhi oleh ketegangan yang sama. Grace, yang sejak tadi duduk diam di meja jaksa, kini tampak semakin lemah. Tubuhnya bergetar halus, menahan rasa sakit yang tidak tertahankan. Sekali lagi, tetesan darah jatuh ke lantai di bawah kursinya, semakin jelas di lantai yang dingin. Namun, Grace tetap teguh di tempatnya, pandangannya lurus ke depan, meski rasa sakit itu mulai melumpuhkan kesadarannya.Ethan, yang duduk di kursi terdakwa, tak lagi bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Dari kejauhan, dia memperhatikan wajah Grace yang kian memucat, bibirnya gemetar menahan perih, sementara setiap napasnya terdengar lebih berat. Hatinya tersentuh melihat pengorbanan wanita itu—seorang jaksa yang dengan segenap nyawanya berjuang membela keadilan, bahkan untuknya, seorang pria yang mungkin tidak pantas mendapatkan begitu banyak usaha dari orang seperti Grace. Di dalam dirinya muncul perasaan yang asing, simpati bercampur d
Keesokan harinya, Ethan telah dibebaskan dan dijemput oleh anak buahnya. Mereka menunggu di luar penjara, wajah-wajah mereka penuh hormat dan ketegangan. Ethan, meski baru saja bebas, tak menunjukkan tanda-tanda kelegaan. Wajahnya tetap dingin dan penuh perhitungan, mencerminkan kehidupannya yang keras sebagai bos gangster yang memiliki jaringan bisnis legal di berbagai wilayah.Anggotanya segera memberikan hormat begitu Ethan keluar. Mereka tunduk serentak, memberi ruang bagi sosok pemimpin yang ditakuti dan dihormati itu."Bos, selamat Anda sudah bebas!" ucap salah satu dari mereka dengan suara rendah, seolah takut mengganggu suasana hati Ethan yang tak bisa ditebak.Ethan hanya mengangguk pelan, ekspresinya tak berubah. "Mari kita pergi!" ujarnya dingin, seraya melangkah mantap menuju mobil yang pintunya dibuka oleh Ekin, tangan kanannya yang paling setia. Emil, sopirnya, sudah siap di belakang kemudi.Ethan masuk ke dalam mobil tanpa sepatah kata pun.
Rumah sakitKamar rumah sakit itu sunyi, hanya terdengar bunyi lembut dari mesin-mesin yang memonitor keadaan pasien. Di luar kaca, Billy, Frank, dan Guru Wang berdiri diam, menatap tubuh yang terbaring tak berdaya di ranjang. Ketegangan melingkupi mereka, mengikat suasana dengan perasaan gelisah dan tidak berdaya.Tak lama kemudian, langkah berat menggema di koridor. Ethan Christopher tiba, ditemani oleh Emil dan Ekin. Kharisma Ethan sebagai bos gangster terpancar jelas. Wajahnya tampan namun dingin, penuh dengan aura kekuasaan dan ketenangan yang mengintimidasi. Ia melangkah mendekati kelompok yang berdiri di depan kamar, tatapannya tajam seperti elang yang mengawasi mangsanya."Ethan Christopher, kenapa kamu bisa ada di sini?" Frank bertanya dengan nada penuh keheranan."Bos ingin menjenguk Jaksa Shin. Bagaimana, apakah sudah sadar?" Emil menyuarakan pertanyaan yang sama dengan kekhawatiran di matanya.Billy hanya bisa menggeleng pelan. "T
“Kenapa harus serahkan padamu, Kami yang mendapatkannya,” Grace menyuarakan penolakannya dengan nada tegas. Mata mereka saling menantang, kedua sosok itu seperti dua sisi koin yang enggan bertemu.Ethan mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Apakah kamu mengira Jaksa Agung dan Hakim akan menjatuhkan hukuman terhadap Raymond Scott? Bukti apapun yang kau miliki tidak akan bisa menjatuhkan dia lewat jalur hukum,” katanya, suaranya rendah namun jelas.Grace menghela napas, menahan rasa frustrasi yang membakar dadanya. “Aku tahu, Siapa yang mengatakan aku akan menjatuhkan dia lewat jalur hukum? Aku akan menggunakan cara apapun untuk membuatnya hancur.” Tatapannya penuh dengan tekad, seolah menantang siapa saja yang mencoba menghalanginya.Ethan mengerutkan kening, ekspresinya nyaris menyiratkan keraguan. “Kau yakin?” tanyanya pelan.“Iya,” balas Grace, “Besok kita akan tahu apa re
"Apa yang kalian lakukan, ha? Di sini adalah kawasan kami!" bentak salah satu anak buah Arnold, suaranya bergemuruh di antara kerumunan yang mulai bergerombol. Matanya melotot tajam, penuh peringatan, sementara beberapa anak buahnya bergerak maju, bersiap untuk menghadapi ancaman.Frank melangkah ke depan dengan percaya diri, Ia mengangkat kartu identitasnya tinggi-tinggi, memperlihatkan keabsahannya dengan sikap tak tergoyahkan. "Kami adalah jaksa, Harap kerja samanya. Kalau kalian juga ingin menyerang kami, akan kami layani!" Suara Frank penuh dengan keyakinan, memperlihatkan bahwa mereka siap menghadapi konsekuensi apapun.Arnold yang terkapar sambil mengelap darah yang mengalir dari kepalanya, "Ternyata kalian adalah jaksa," katanya dengan nada yang bergetar."Iya," ucapnya singkat, namun nadanya menusuk. "Semua yang kau lakukan bisa menjebloskanmu ke dalam penjara," kata Grace, membuat Arnold semakin pucat."Kau adalah seorang pecandu yan
Grace kembali ke kantornya dengan raut wajah yang hampa. Matanya yang biasanya penuh determinasi kini tampak lelah, seolah tak ada lagi cahaya yang mampu menembus kegelapan yang menyelimutinya. Langkahnya berat, dan saat ia duduk di kursi, tubuhnya terkulai lemas.Billy, yang sudah menunggu sejak tadi, memperhatikan perubahan di wajah Grace dengan cemas. Ia tahu betapa pentingnya dukungan dari Jaksa Agung untuk rencana mereka."Apakah Jaksa Agung menolak mendukung kita?" tanya Billy, suaranya bergetar tipis antara marah dan kecewa.Grace menghela napas panjang, matanya kosong saat menatap berkas-berkas di mejanya. "Iya. Semua penegak hukum sama saja," katanya pahit. "Mereka semua mendukung Raymond Scott. Mereka takut pada kekuasaan."Kata-kata itu bergema di ruangan sepi, membawa atmosfer yang semakin kelam. Frank, yang duduk bersandar di sudut ruangan dengan tangan terlipat di dada, menggelengkan kepala sambil menatap lantai. "Jaksa Agung, Kepala Jaksa,
Malam itu, Grace duduk di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan yang gelap. Lampu jalan redup, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak seiring hembusan angin. Ia menatap ke arah restoran mewah di seberang jalan, di mana Raymond Scott, seorang pejabat korup, sedang menikmati makan malam. Ia tak sendiri; di sampingnya seorang wanita muda tertawa, seolah dunia adalah milik mereka berdua."Selalu saja berganti pasangan, tidak sadar kalau dia sudah tua," gumam Grace.***Keesokan harinya, Grace melangkah dengan tegas menuju ruangan Jaksa Agung, Micheal. Dinding koridor terasa dingin, namun langkahnya tak gentar sedikit pun. Setibanya di depan pintu, ia mengetuk perlahan, lalu masuk setelah dipersilakan."Grace, kenapa kamu ke sini? Apa yang terjadi?" tanya Micheal, pria paruh baya yang duduk di kursi besar di belakang meja kayu penuh dokumen. " Rekan saya, Frank dan Billy, menemukan bukti kesalahan Raymond Scott," ujar Grace sembari meletakkan setumpuk dokumen di meja Micheal
Keesokan harinya, Frank dan Billy, dua rekan kerja Grace, mendatangi apartemennya dengan raut wajah penuh penasaran. Mereka berdua terpaku saat melihat seorang anak kecil yang duduk di atas kasur, menatap mereka dengan mata bulat yang polos namun penuh rasa ingin tahu.“Grace, ini anak siapa?” Billy memecah keheningan, wajahnya penuh tanda tanya.“Anakku, namanya Wilson. Usianya empat tahun,” jawab Grace dengan nada tenang, meski ada sorot keraguan di matanya. Mendengar jawaban itu, kedua rekannya langsung menoleh ke arahnya, tercengang.“Anakmu?” mereka bertanya serentak, tak percaya.Grace menarik napas panjang, menatap mereka dengan sorot mata yang meminta pengertian. “Aku bisa jelaskan bila ada waktu,” katanya singkat.Frank mengerutkan kening, rasa penasaran membuncah di dalam dirinya. “Bukankah pernikahanmu dan Kepala Jaksa belum memiliki anak? Lalu anak ini datang dari mana?” tanyan
Ethan duduk di ruangannya, memandangi sekeliling dengan tatapan kosong, pikirannya tenggelam dalam kenangan masa lalu. Di benaknya, berulang kali terbayang saat pertama kali ia melihat Grace di pengadilan. Seperti bara api yang kembali menyala, amarahnya membuncah saat mengingat pertemuan mereka di ruang tahanan. Ia bahkan melukai wanita itu tanpa berpikir panjang."Kenapa wanita itu terasa begitu familiar sejak awal aku melihatnya?" gumam Ethan pelan, mencoba menguraikan perasaan aneh yang membebani hatinya. "Dan anak itu... anak itu sepertinya bukan milik Jaksa Robert. Kenapa aku harus repot-repot memikirkan urusan mereka?"Ethan menarik napas panjang, seakan berusaha menyingkirkan bayangan yang terus menghantui. "Setelah ini, aku tak ingin lagi berurusan dengan mereka. Bagaimanapun juga, Grace tetaplah putri dari pembunuh ibuku. Kali ini aku hanya membantunya karena anak kecil yang tak tahu apa-apa. Hanya itu," ucapnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Di gedung kejaksaan, Grace
"Kenapa kau bertanya seperti itu?" tanya Grace dengan rasa penasaran yang jelas tergambar di wajahnya. Ada sesuatu dalam suara Ethan yang membuat hatinya merasa tidak tenang.Ethan hanya menggeleng. "Tidak ada! Dia tidak mirip sama sekali dengan kepala jaksa busuk itu," jawabnya dengan nada dingin. Tanpa menunggu tanggapan dari Grace, dia bangkit dari sofa, berniat meninggalkan apartemen itu. Tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara kecil yang memanggilnya."Paman!" panggil Wilson, yang terbangun dari tidurnya. Anak itu memandang Ethan dengan senyum lelah, tetapi tulus.Ethan berbalik menatap bocah kecil itu. Tatapannya sempat melembut, meski hanya sebentar. Anak itu melambaikan tangan kecilnya, seolah tak ingin Ethan pergi."Sampai jumpa!" ucap Wilson dengan polos.Ethan menatap anak itu dengan perasaan campur aduk, ada kekhawatiran, kehangatan, dan entah kenapa, sedikit keraguan yang ia sembunyikan. "Tidurlah lebih awal!" jawabnya singkat, lalu berbalik dan melangkah keluar
Saat pisau tajam itu semakin dekat dengan Wilson, insting seorang ibu membuat Grace bertindak tanpa berpikir panjang. Dia mengangkat tangannya, menahan pisau dengan telapak tangannya yang terbuka. Rasa sakit yang tajam langsung menjalar, tapi dia menahan diri untuk tidak mengerang. Darah menetes, membasahi lantai di bawahnya, namun tekadnya tidak goyah.Dengan kekuatan penuh, Grace menendang pria itu, membuatnya terlempar ke belakang dan jatuh terkapar di lantai."Bruk!"Grace segera berbalik, menatap putranya yang tampak pucat. "Wilson, kamu tidak apa-apa?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.Wilson mengangguk, meskipun wajahnya menunjukkan ketakutan yang dalam. "Tangan Mama terluka," ucapnya dengan suara bergetar, matanya terpaku pada darah yang terus mengalir dari luka di telapak tangan ibunya.Grace tersenyum menenangkan, mencoba meredakan kekhawatiran putranya meskipun tangannya terasa berdenyut sakit. "Mama tidak apa-apa, Sayang," katanya le
Anita menundukkan wajah, suaranya lirih ketika mengingat kejadian pahit yang dialami putra jaksa itu, "Beberapa waktu lalu, Wilson sering dibully oleh teman-temannya," katanya, suara penuh penyesalan. "Mereka menjauhinya, mengejeknya, mengatakan dia dicampakkan oleh orang tuanya. Kejadian itu membuat Wilson frustrasi. Aku masih ingat tatapan terluka di matanya. Ia sampai bertengkar dengan mereka, penuh amarah, hingga akhirnya memilih untuk bungkam selama dua minggu. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Andaikan aku lebih perhatian padanya...mungkin Wilson tak akan pergi begitu saja."Grace menghela napas panjang, tatapannya jatuh pada wajah putranya yang sedang tertidur, begitu polos dan damai. "Wilson keluar untuk mencariku, Dia terluka, sedih… merasa diabaikan. Semua salahku yang selama ini terlalu fokus pada pekerjaan. Anak sekecil itu harusnya mendapatkan lebih dari sekadar kehadiran fisik. Harusnya dia tahu dia selalu ada dalam hatiku."Anita meng