Ethan, setelah memuaskan hasrat yang disebabkan oleh pengaruh obat itu, terbaring lemas di kursi mobil. Nafasnya terengah-engah sebelum akhirnya ia kehilangan kesadaran, tidak menyadari kekejaman yang baru saja ia lakukan.
Sementara itu, Grace hanya bisa menangis. Hatinya hancur, tubuhnya lemah, dan air matanya mengalir deras. Kehormatannya direnggut tanpa ampun, oleh seorang pria yang tak dikenalnya. Dalam ketakutan dan rasa malu yang mendalam, Grace berusaha keluar dari mobil itu dengan langkah terseok-seok. Tubuhnya terasa seperti dihantam ribuan jarum, namun ia tak punya pilihan selain pergi secepat mungkin dari tempat itu.
Ia tak ingin mengingat atau mengetahui lebih lanjut tentang wajah pria yang telah menghancurkannya.
Ia berjalan tertatih-tatih di jalanan yang gelap, berusaha menahan sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Tangisnya semakin keras, namun tempat itu terlalu sepi, tak ada satu pun yang mendengar ratapannya. Malam itu menjadi saksi kesedihannya yang mendalam.
Keesokan harinya, di dalam mobil yang sama, Ethan membuka matanya dengan kepala yang berat. Ia memijat pelipisnya yang terasa berdenyut, berusaha memahami apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Apa yang terjadi? Kepalaku... sakit sekali," gumam Ethan pelan, suaranya terdengar parau. Matanya perlahan fokus, dan pemandangan di sekelilingnya mulai jelas. Ia menoleh dan melihat bercak darah di kursi mobil, sesuatu yang membuat dadanya berdegup kencang. Pikiran Ethan langsung dilanda kecemasan yang mendalam.
Pandangan matanya kemudian tertuju pada pakaian dalam wanita yang tergeletak di dekatnya. Tiba-tiba, ingatan samar-samar tentang malam sebelumnya mulai muncul di pikirannya. Sesuatu yang mengerikan telah terjadi, dan ia adalah penyebabnya.
"Gawat!" gumamnya, suaranya kini penuh ketakutan. "Siapa yang aku culik? Kenapa aku tidak bisa ingat apa pun?" Pikirannya kalut, mencoba menghubungkan kejadian demi kejadian, namun semua terasa buram dan tidak jelas.
Ethan menunduk, matanya menangkap sesuatu yang kecil dan berkilau di lantai mobil. Sebuah gelang tangan, sebagian talinya putus. Ia memungutnya dengan hati-hati, memperhatikannya dengan lebih seksama. Di gelang itu, terdapat tulisan yang jelas: Shin.
"Apakah ini adalah milik gadis itu?" gumamnya pelan, rasa bersalah mulai menggerogoti hati dan pikirannya. Ethan memandang gelang tersebut yang tercantim dengan nama " Shin"
"Shin? Apakah namanya adalah Shin? Apakah dia orang asia?" gumamnya lagi, kali ini suaranya lebih pelan, nyaris berbisik.
"Shin seperti sebuah marga," lanjut Ethan sambil terus memperhatikan gelang yang kini terasa berat di tangannya.
5 Tahun Kemudian
Pengadilan
Di ruang sidang yang penuh ketegangan, suasana semakin mencekam seiring berjalannya persidangan. Lampu-lampu terang menyoroti wajah Ethan Christoper, pria yang duduk di kursi terdakwa. Tangan Ethan terborgol, dan seragam tahanan yang ia kenakan menambah aura gelap yang melingkupinya. Tatapannya tak terlepas dari wajah Jaksa Shin, seorang gadis muda yang tampak begitu teguh dalam pendiriannya.
Di sisi lain, para hadirin yang memenuhi ruang sidang tak henti-hentinya mengamati jalannya persidangan. Beberapa dari mereka berbisik-bisik, mencoba menebak-nebak akhir dari kasus yang sedang diadili.
Jaksa Shin berdiri dengan tegap di hadapan Hakim, suaranya tegas saat ia membacakan semua kesalahan yang diduga dilakukan oleh terdakwa. Setiap kata yang keluar dari bibirnya seperti pisau tajam yang siap menusuk siapa saja yang bersalah.
"Jaksa Shin, apakah Anda memiliki bukti bahwa tersangka telah melakukan pelecehan dan pembunuhan terhadap korban?" tanya Hakim dengan suara lantang, menegaskan otoritasnya di dalam ruangan itu.
Tanpa ragu, Jaksa Shin mengambil beberapa lembar dokumen dari mejanya dan menunjukkannya kepada Hakim. "Yang Mulia! Senjata tajam yang ditemukan di lokasi kejadian memiliki DNA dan sidik jari tersangka," jawabnya dengan penuh keyakinan, pandangannya tak tergoyahkan.
Ethan Christoper, yang sejak tadi hanya diam, kini mengangkat kepalanya dan menatap Jaksa Shin dengan tatapan tajam yang menakutkan. "Grace Anderson Shin," katanya dengan suara rendah namun penuh kemarahan, "apa yang kau katakan sama sekali tidak benar. Saat aku tiba, mereka sudah meninggal. Mana mungkin aku begitu bodoh membunuh seseorang di Club Malam milikku!" Bantahan itu dilontarkan dengan nada tegas, seolah Ethan sedang menantang semua orang di ruangan itu untuk meragukan kesalahannya.
Namun Jaksa Shin tidak tergoyahkan. Dengan tenang, ia kembali menatap Ethan, "Ethan Christoper, semua orang bisa menyangkal kesalahan yang telah dilakukan. Akan tetapi, bukti sudah nyata," balasnya, setiap kata yang keluar dari mulutnya penuh dengan ketegasan.
Di antara kerumunan, seorang pria yang hadir sebagai tamu, Raymond Scott, tersenyum sinis. Wajahnya mencerminkan kegembiraan yang tak tertahankan, seolah ia menikmati penderitaan yang sedang dialami Ethan. Senyum licik itu tidak luput dari pandangan Ethan.
Ethan kemudian menoleh ke arah Raymond, matanya menyala penuh kemarahan. "Raymond Scott," katanya dengan suara bergetar, "kau berada di sana saat kejadian." Tuduhan itu dilemparkan dengan nada penuh kebencian.
"Silakan bertenang!" ucap Hakim dengan nada tegas, sambil mengetuk palu untuk mengembalikan ketertiban di ruang sidang.
Namun, Ethan tidak berhenti di situ. Dia menatap Hakim dengan penuh tantangan. "Apakah karena dia adalah seorang pejabat, kalian tidak berani mencurigainya?" tanyanya, suaranya penuh dengan kecurigaan.
Jaksa Shin tetap tenang, meskipun atmosfir di ruangan itu semakin panas. "Ethan Christoper, semua pelaku pasti tidak akan mengaku," katanya, "Kamu adalah pemilik Club Malam dan teganya melakukan pelecehan dan membunuh pelangganmu sendiri." Kata-kata itu keluar seperti pisau tajam yang siap menusuk hati Ethan.
Ethan mengepalkan kedua tangannya yang terborgol, tatapannya semakin penuh dengan kebencian. "Percaya atau tidak, Aku juga akan membunuhmu!" Kata-kata itu seperti api yang siap membakar apapun di hadapannya, membuat suasana ruang sidang menjadi semakin mencekam.
Jaksa Shin dan Ethan saling bertatapan dengan tajam, suasana sidang menjadi panas setelah tersangka tanpa ragu melontarkan ancaman kepada Jaksa tersebut.
Namun, tidak ada yang tahu bahwa mereka telah terjadi hubungan satu malam saat 5 tahun yang lalu. Mereka yang saling tidak mengenal hanya menaruh perasaan aneh antara satu sama lain!
Dua jam kemudian.Persidangan dilanjutkan dengan suasana yang tegang, saat sang hakim bersiap untuk membaca keputusan terhadap tersangka pembunuhan, Ethan Christopher. Di dalam ruang sidang yang penuh sesak, napas tertahan dan mata tertuju pada hakim yang memegang nasib di tangannya."Ethan Christopher," ucap hakim dengan suara lantang, "akan dijatuhkan hukuman penjara seumur hidup atas kesalahan melakukan pelecehan seksual dan pembunuhan korban. Selain itu, klub malam yang menjadi lokasi kejahatan akan ditutup dan disita oleh negara." Kata-kata itu menggema di seluruh ruangan, menebarkan keheningan yang berat.Ethan berdiri dengan gerakan cepat, wajahnya merah padam, "Aku tidak bisa terima keputusanmu!" Teriaknya dengan penuh emosi, matanya menatap tajam ke arah hakim.Namun, hakim tidak tergoyahkan. "Bukti dan saksi sudah lengkap," balasnya dengan ketegasan yang tidak bisa dibantah. "Terima atau tidak, Anda tidak memiliki hak untuk membantah putusan ini!"Meskipun berhasil menuntut
"Grace Anderson Shin, ikut kami pergi atau mati di tangan kami?" tanya Ekin dengan nada keras dan tegas. Grace tidak mundur sedikit pun. Ia balas menatap Ekin dengan pandangan penuh tekad, "Aku tidak akan menyerah walau harus mati," jawab Grace dengan nada yang penuh determinasi. "Apa yang kalian lakukan hanya akan mempersulitkan bos kalian untuk bebas."Emil yang tampak lebih emosional, melangkah maju dengan wajah merah padam. "Jangan lupa! Bukti yang ada adalah hasil dari rekasayamu," bentaknya, suaranya bergetar dengan kemarahan. "Kau menjebak bos kami demi uang. Berapa jumlah yang brengsek itu bayar?"Grace mengangkat bahu, tersenyum tipis. "Aku tidak berniat melukai kalian. Tapi kalau itu yang kalian inginkan," dia melayangkan tongkat di tangannya, siap bertarung, "akan kulayani!"Emil dan anak buahnya langsung meluncur maju, melayangkan pisau tajam ke arah Grace. Tanpa gentar, Grace menahan serangan-serangan mereka yang datang secara bersamaan. Tongkatnya memukul tangan-tangan
"1 minggu!" ucap Ethan menatap tajam pada Grace, matanya menyorot tajam seolah menusuk langsung ke dalam jiwa gadis itu. "Kalau gagal, aku tidak akan melepaskanmu!""Baiklah, tapi dalam seminggu ini kau harus pastikan keselamatanku. Andaikan aku mati, maka tidak ada keuntungan bagimu!" jawab Grace.Ethan tertawa kecil, senyumnya sinis, hampir seperti memandang rendah permintaan Grace. "Kau mengancamku?" tanyanya, nada suaranya mengintimidasi, namun bibirnya masih menyunggingkan senyuman yang meremehkan."Tentu saja, tidak! Aku butuh jaminan untuk nyawaku," Grace membalas dengan tegas, "Raymond Scott akan membunuh siapa saja yang menantangnya. Aku akan menjadi sasarannya. Hakim dan para juri ada di pihaknya. Bukti asli telah diserahkan kepada mereka. Namun, semua bukti telah dihapus," jelasnya sambil menarik napas panjang, mencoba menghilangkan ketegangan yang melingkupinya.Ethan mendengus, mengalihkan pandangannya sejenak. "Kalau sudah tahu kau akan menjadi sasarannya, kenapa ingin u
Grace berdiri di depan panti asuhan, memandang anak-anak yang sedang bermain riang di halaman. Senyum mereka seharusnya bisa membangkitkan perasaan hangat dalam hatinya, namun bayangan ancaman Raymond Scott terus menghantui pikirannya. Kata-kata pria itu, yang diucapkan dengan nada dingin dan penuh ancaman, membebani langkahnya sejak saat itu.“Pastikan Ethan Christopher dihukum mati. Kalau kau tidak melakukannya, maka anak-anak di panti asuhan ini akan menjadi penggantinya,” ancaman Raymond terngiang jelas dalam benak Grace, membuatnya mengepalkan tangan dengan erat. "Sudah saatnya aku memasukkanmu ke penjara," gumam Grace, memandang gedung panti asuhan dengan tekad yang berkobar. ***Di gedung kejaksaan, Grace melangkah cepat menuju ruangan Kepala Jaksa Robert, wajahnya penuh determinasi. Tanpa ragu, ia mengetuk pintu dengan keras sebelum masuk. Robert, yang duduk di balik mejanya, mengangkat kepala dan menatap Grace dengan tatapan waspada."Grace, jangan mencari masalah lagi. Ter
Malam di café itu semakin sunyi, hanya terdengar suara gesekan sendok yang diaduk Grace pada minumannya. Dalam benaknya, ia terus memikirkan kasus besar yang sedang ditanganinya, kasus yang membuatnya harus berhadapan dengan Raymond, seorang pejabat yang ditakuti dan berkuasa.Tak lama kemudian, Robert, Kepala Jaksa mendekatinya dan duduk di hadapannya dengan wajah serius. "Dengarkan aku sekali lagi, Grace. Tolak kasus ini!" kata Robert dengan nada mendesak.Grace memandang Robert dengan mata tajam. "Selama ini aku tidak pernah menyesal dengan keputusan yang kuambil. Walaupun harus kehilangan nyawa, aku tidak akan ragu membongkar kejahatannya," jawab Grace tegas.Robert menghela napas, berusaha mengendalikan emosinya. "Kau tahu siapa lawanmu? Ini bukan permainan, Grace.""Untuk apa kau peduli? Apapun yang terjadi, aku yang akan bertanggung jawab," Grace membalas dengan suara yang bergetar namun tegas.Robert memejamkan mata sejenak, tampak frustasi. "Aku tahu kau keras kepala dan ti
"Guru mengajarimu ilmu bela diri agar kamu bisa melindungi dirimu," kata Wang dengan suara lembut namun tegas, "Saat kamu berhasil mengalahkan penjahat, guru merasa bangga padamu. Tapi, guru tidak berharap kamu harus berkorban demi mereka. Sudah banyak usaha yang kamu lakukan demi masyarakat dan panti asuhan. Kapan kamu akan hidup untuk diri sendiri?"Grace menunduk, terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca, namun ia berusaha tegar. "Guru, jangan mencemaskan aku! Sejak dulu, kalau bukan karena ada guru, aku tidak akan bisa bertahan hingga saat ini. Papaku sendiri telah melakukan hal yang memalukan. Dan mamaku pergi hingga saat ini tidak kembali." Suaranya terdengar bergetar saat mengingat masa lalu yang kelam. "Aku sangat ingin melihatnya. Sudah 12 tahun berlalu, dan dia masih tidak ingin pulang. Aku yakin mama pasti sudah tahu kalau suaminya yang kejam itu telah meninggal dan aku adalah pembunuhnya," ungkap Grace dengan tatapan kosong."Grace, kamu telah menyelamat
Siang hari di kota Paris, cuaca buruk mengintai. Hujan deras mengguyur dan petir kuat menyambar tanpa henti. Di sebuah gedung kosong, seorang pria berambut putih sedang melakukan pelecehan terhadap seorang wanita. Wajah wanita itu terlihat putus asa, air mata mengalir deras, namun pria itu terus saja melanjutkan perbuatannya dengan desahan penuh kenikmatan hingga mencapai puncaknya.Setelah selesai, pria itu dengan santai mengenakan kembali celananya dan meninggalkan wanita itu begitu saja. Tanpa peduli pada hujan deras yang menghantam tubuhnya, dia pergi dengan tergesa, seolah takut dikenali oleh warga sekitar.Beberapa saat kemudian, pria itu tiba di rumahnya. Begitu melangkah masuk, ia langsung berteriak penuh amarah, "Sammi! Mana makan siangku? Kenapa kau tidak menyediakannya?"Suara teriakannya menggema di seluruh ruangan. Seorang gadis remaja keluar dari kamarnya dengan wajah tegang, matanya berkaca-kaca saat ia menjawab dengan nada penuh kemarahan yang ditahan, "Mama sudah perg