Siang hari di kota Paris, cuaca buruk mengintai. Hujan deras mengguyur dan petir kuat menyambar tanpa henti. Di sebuah gedung kosong, seorang pria berambut putih sedang melakukan pelecehan terhadap seorang wanita. Wajah wanita itu terlihat putus asa, air mata mengalir deras, namun pria itu terus saja melanjutkan perbuatannya dengan desahan penuh kenikmatan hingga mencapai puncaknya.
Setelah selesai, pria itu dengan santai mengenakan kembali celananya dan meninggalkan wanita itu begitu saja. Tanpa peduli pada hujan deras yang menghantam tubuhnya, dia pergi dengan tergesa, seolah takut dikenali oleh warga sekitar.
Beberapa saat kemudian, pria itu tiba di rumahnya. Begitu melangkah masuk, ia langsung berteriak penuh amarah, "Sammi! Mana makan siangku? Kenapa kau tidak menyediakannya?"Suara teriakannya menggema di seluruh ruangan.
Seorang gadis remaja keluar dari kamarnya dengan wajah tegang, matanya berkaca-kaca saat ia menjawab dengan nada penuh kemarahan yang ditahan, "Mama sudah pergi, dan tidak akan kembali lagi!"
Pria itu mendengus dengan nada mengejek, "Dasar tidak tahu diri! Kalau bukan aku yang menyambutnya, mana mungkin dia bisa hidup. Sudah dapat tempat tinggal dan makan gratis, masih saja tidak puas!"
Kemarahan gadis itu tak terbendung. Dia menatap ayahnya dengan mata penuh kebencian, "Kau tidak berhak menghina mamaku!" bentaknya dengan suara yang bergetar karena menahan amarah.
Ayahnya langsung bangkit dengan wajah merah padam. Dia menampar wajah putrinya dengan keras, Plak! "Kau sama saja dengan ibumu! Kelak kau juga akan menjadi pelacur!" teriaknya penuh kebencian.
Itu adalah puncak dari segala kemarahan yang sudah lama terpendam dalam hati putrinya, Dengan tangan yang gemetar, dia mengulurkan pisau yang sejak tadi digenggamnya erat-erat. Tanpa ragu, dia menikam perut ayahnya.
"Aaahh!" Pria itu menjerit kesakitan, tapi putrinya tidak berhenti. Kebenciannya menguasai dirinya, membuatnya terus menusuk berulang kali dengan amarah yang membara.
"Ahhh!" Rintihan pria itu semakin lemah, darah mengalir deras hingga membasahi lantai.
Anak itu terengah-engah, berdiri di sana dengan pisau berlumuran darah di tangannya. Tidak ada yang tahu apa yang membuatnya tega membunuh ayahnya sendiri. Setelah kejadian itu, dia menyerahkan diri kepada polisi. Karena usianya yang baru 15 tahun, ia hanya dijatuhi hukuman tiga tahun di penjara anak-anak.
Keesokan harinya, berita dihebohkan dengan pembunuhan yang terjadi pada keluarga Jones Walker, yang dibunuh oleh putrinya sendiri. kini menjadi pusat perhatian seluruh negeri. Ketegangan memuncak di antara warga yang mendengar kabar tersebut, mengingat putri Jones Walker adalah anak yang baik dan pendiam dan akhirnya menjadi seorang pembunuh.
Sementara itu, seorang wanita korban pemerkosaan ditemukan tewas setelah melompat dari gedung lokasi kejadian pelecehan yang dilakukan oleh Jones Walker. Wanita itu, yang sempat mencoba melawan, akhirnya menyerah pada luka batin yang mendalam. Kisahnya menjadi tragis, melambangkan ketidakadilan yang sering dialami oleh para korban, yang tidak hanya menderita akibat kejahatan yang dialaminya, tetapi juga stigma yang melekat.
Di lokasi tersebut, seorang anak laki-laki remaja menangis pilu di tengah kerumunan, suaranya serak memanggil nama ibunya yang tak lagi bernyawa. Matanya yang merah dan bengkak tak mampu menahan aliran air mata, memperlihatkan luka hati yang dalam akibat kehilangan yang tak terduga.
Polisi dan reporter telah mengepung lokasi, memastikan tak ada satu pun detil yang terlewatkan. Suara kamera yang tak henti-hentinya mengambil gambar, dan gemuruh suara wartawan yang berlomba-lomba mencari informasi, menambah ketegangan di udara.
7 Tahun Kemudin
Tengah malam itu terasa dingin dan sunyi. Di sudut jalan yang remang, seorang pria berdiri dengan tubuh gemetar. Wajahnya memerah, napasnya tersengal-sengal, keringat dingin mengalir deras dari pelipisnya. Pandangannya kabur, dan rasa pusing mulai merasuki kepalanya. Lima preman mengelilinginya, masing-masing membawa senjata tajam yang berkilau di bawah sorotan lampu jalan.
"Apa yang kalian campur ke dalam minumanku?" suaranya serak, disertai kemarahan yang tak bisa ditahan lagi. Meski efek obat mulai menguasainya.
Salah satu preman menyeringai licik, matanya menyipit tajam. "Obat perangsang. Sebenarnya kami hanya membantumu saja." Nada bicaranya penuh ejekan, seolah mereka merasa telah menang.
"Kalian menggunakan cara ini untuk menjebakku," desisnya tajam.
Preman yang lain melangkah maju, tatapannya penuh kepercayaan diri. "Ethan Christoper, siapa yang tidak mengenalmu? Seorang bos gangster yang tidak bisa dikalahkan dengan mudah. Cara satu-satunya melumpuhkanmu hanyalah dengan trik ini."
Tanpa aba-aba, kelima preman itu serempak menyerang. Ethan merasakan tubuhnya seolah berontak melawan efek obat, namun dengan segenap kekuatan yang tersisa, ia mengayunkan tinjunya, menghantam wajah salah satu preman dengan keras hingga terdengar suara tulang retak.
Tubuh musuhnya terlempar ke belakang dengan suara "bruk!" yang menggema di jalanan sepi.
"Aaahhh!" teriak para preman yang terkejut dengan serangan balik Ethan. Mereka terus menyerang, namun Ethan, meski dalam keadaan setengah sadar, tetap bertarung dengan sengit. Ia membanting satu demi satu tubuh preman yang mencoba menyerangnya.
Sementara itu, di sisi lain kota, seorang gadis melangkah dengan ringan di trotoar. Ponselnya menempel di telinga, suaranya terdengar ceria.
"Guru, akhirnya aku lulus. Aku bisa menjadi jaksa yang hebat dan melindungi banyak orang," katanya sambil tersenyum lebar, kebanggaan terpancar di wajahnya.
Di ujung telepon, suara seorang pria terdengar penuh antusiasme. "Selamat untukmu, Grace. Malam ini kita akan merayakannya bersama. Datanglah ke sini."
"Baiklah, Guru. Setelah ini aku ingin meminta Guru mengajarkan aku ilmu bela diri," balas Grace, masih dengan senyum cerah.
Namun, setelah memutuskan panggilan, ia kembali fokus pada langkahnya yang tenang.Tanpa ia sadari, ketika melewati sebuah mobil yang terparkir di sudut jalan, sepasang tangan tiba-tiba merenggutnya dari belakang. Dengan gerakan cepat dan kasar, seseorang membekap mulutnya dan menariknya ke dalam mobil.
"Aaahh! Kau siapa? Hentikan!" Grace menjerit, panik dan ketakutan. Tubuhnya meronta-ronta berusaha melepaskan diri, namun cengkeraman pria itu terlalu kuat.
"Bantu aku," desah pria itu yang tak lain adalah Ethan, suaranya bergetar antara kesakitan dan ketidakberdayaan. "Aku akan bertanggung jawab!"
Tindakannya semakin tidak terkendali. Ia mencoba mencium Grace, dan dengan tangan gemetar, mulai melepaskan pakaiannya.
"Jangan! Lepaskan aku!" teriak Grace, berusaha keras melawan, namun situasinya sepi, tak ada orang yang bisa mendengar teriakannya.
Tubuhnya yang berusaha mempertahankan diri terasa semakin lemah. Dengan perlahan, pria itu mulai menanggalkan pakaian bagian bawahnya, sementara Grace menahan tangis, ketakutan mulai merayapi dirinya.
"Tidak!" teriak Grace, suaranya penuh dengan keputusasaan saat Ethan, yang sudah kehilangan kontrol atas dirinya, mulai bertindak lebih jauh. Dengan paksa, kedua kakinya dibuka lebar oleh pria itu. Mata Grace terbelalak dalam ketakutan, namun tubuhnya tak mampu melawan lebih jauh.
Ethan, yang dikuasai hasrat dan efek obat, bergerak cepat tanpa menunggu lebih lama.
"Aaahhh!" Jeritan kesakitan Grace memecah malam yang sepi. Rasa sakit luar biasa menjalari tubuhnya. Di malam yang seharusnya menjadi salah satu momen paling berharga dalam hidupnya malam kelulusannya sebagai jaksa berubah menjadi mimpi buruk yang menghancurkan kehormatannya.
Ethan, setelah memuaskan hasrat yang disebabkan oleh pengaruh obat itu, terbaring lemas di kursi mobil. Nafasnya terengah-engah sebelum akhirnya ia kehilangan kesadaran, tidak menyadari kekejaman yang baru saja ia lakukan.Sementara itu, Grace hanya bisa menangis. Hatinya hancur, tubuhnya lemah, dan air matanya mengalir deras. Kehormatannya direnggut tanpa ampun, oleh seorang pria yang tak dikenalnya. Dalam ketakutan dan rasa malu yang mendalam, Grace berusaha keluar dari mobil itu dengan langkah terseok-seok. Tubuhnya terasa seperti dihantam ribuan jarum, namun ia tak punya pilihan selain pergi secepat mungkin dari tempat itu. Ia tak ingin mengingat atau mengetahui lebih lanjut tentang wajah pria yang telah menghancurkannya. Ia berjalan tertatih-tatih di jalanan yang gelap, berusaha menahan sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Tangisnya semakin keras, namun tempat itu terlalu sepi, tak ada satu pun yang mendengar ratapannya. Malam itu menjadi saksi kesedihannya yang mendalam.K
Dua jam kemudian.Persidangan dilanjutkan dengan suasana yang tegang, saat sang hakim bersiap untuk membaca keputusan terhadap tersangka pembunuhan, Ethan Christopher. Di dalam ruang sidang yang penuh sesak, napas tertahan dan mata tertuju pada hakim yang memegang nasib di tangannya."Ethan Christopher," ucap hakim dengan suara lantang, "akan dijatuhkan hukuman penjara seumur hidup atas kesalahan melakukan pelecehan seksual dan pembunuhan korban. Selain itu, klub malam yang menjadi lokasi kejahatan akan ditutup dan disita oleh negara." Kata-kata itu menggema di seluruh ruangan, menebarkan keheningan yang berat.Ethan berdiri dengan gerakan cepat, wajahnya merah padam, "Aku tidak bisa terima keputusanmu!" Teriaknya dengan penuh emosi, matanya menatap tajam ke arah hakim.Namun, hakim tidak tergoyahkan. "Bukti dan saksi sudah lengkap," balasnya dengan ketegasan yang tidak bisa dibantah. "Terima atau tidak, Anda tidak memiliki hak untuk membantah putusan ini!"Meskipun berhasil menuntut
"Grace Anderson Shin, ikut kami pergi atau mati di tangan kami?" tanya Ekin dengan nada keras dan tegas. Grace tidak mundur sedikit pun. Ia balas menatap Ekin dengan pandangan penuh tekad, "Aku tidak akan menyerah walau harus mati," jawab Grace dengan nada yang penuh determinasi. "Apa yang kalian lakukan hanya akan mempersulitkan bos kalian untuk bebas."Emil yang tampak lebih emosional, melangkah maju dengan wajah merah padam. "Jangan lupa! Bukti yang ada adalah hasil dari rekasayamu," bentaknya, suaranya bergetar dengan kemarahan. "Kau menjebak bos kami demi uang. Berapa jumlah yang brengsek itu bayar?"Grace mengangkat bahu, tersenyum tipis. "Aku tidak berniat melukai kalian. Tapi kalau itu yang kalian inginkan," dia melayangkan tongkat di tangannya, siap bertarung, "akan kulayani!"Emil dan anak buahnya langsung meluncur maju, melayangkan pisau tajam ke arah Grace. Tanpa gentar, Grace menahan serangan-serangan mereka yang datang secara bersamaan. Tongkatnya memukul tangan-tangan
"1 minggu!" ucap Ethan menatap tajam pada Grace, matanya menyorot tajam seolah menusuk langsung ke dalam jiwa gadis itu. "Kalau gagal, aku tidak akan melepaskanmu!""Baiklah, tapi dalam seminggu ini kau harus pastikan keselamatanku. Andaikan aku mati, maka tidak ada keuntungan bagimu!" jawab Grace.Ethan tertawa kecil, senyumnya sinis, hampir seperti memandang rendah permintaan Grace. "Kau mengancamku?" tanyanya, nada suaranya mengintimidasi, namun bibirnya masih menyunggingkan senyuman yang meremehkan."Tentu saja, tidak! Aku butuh jaminan untuk nyawaku," Grace membalas dengan tegas, "Raymond Scott akan membunuh siapa saja yang menantangnya. Aku akan menjadi sasarannya. Hakim dan para juri ada di pihaknya. Bukti asli telah diserahkan kepada mereka. Namun, semua bukti telah dihapus," jelasnya sambil menarik napas panjang, mencoba menghilangkan ketegangan yang melingkupinya.Ethan mendengus, mengalihkan pandangannya sejenak. "Kalau sudah tahu kau akan menjadi sasarannya, kenapa ingin u
Grace berdiri di depan panti asuhan, memandang anak-anak yang sedang bermain riang di halaman. Senyum mereka seharusnya bisa membangkitkan perasaan hangat dalam hatinya, namun bayangan ancaman Raymond Scott terus menghantui pikirannya. Kata-kata pria itu, yang diucapkan dengan nada dingin dan penuh ancaman, membebani langkahnya sejak saat itu.“Pastikan Ethan Christopher dihukum mati. Kalau kau tidak melakukannya, maka anak-anak di panti asuhan ini akan menjadi penggantinya,” ancaman Raymond terngiang jelas dalam benak Grace, membuatnya mengepalkan tangan dengan erat. "Sudah saatnya aku memasukkanmu ke penjara," gumam Grace, memandang gedung panti asuhan dengan tekad yang berkobar. ***Di gedung kejaksaan, Grace melangkah cepat menuju ruangan Kepala Jaksa Robert, wajahnya penuh determinasi. Tanpa ragu, ia mengetuk pintu dengan keras sebelum masuk. Robert, yang duduk di balik mejanya, mengangkat kepala dan menatap Grace dengan tatapan waspada."Grace, jangan mencari masalah lagi. Ter
Malam di café itu semakin sunyi, hanya terdengar suara gesekan sendok yang diaduk Grace pada minumannya. Dalam benaknya, ia terus memikirkan kasus besar yang sedang ditanganinya, kasus yang membuatnya harus berhadapan dengan Raymond, seorang pejabat yang ditakuti dan berkuasa.Tak lama kemudian, Robert, Kepala Jaksa mendekatinya dan duduk di hadapannya dengan wajah serius. "Dengarkan aku sekali lagi, Grace. Tolak kasus ini!" kata Robert dengan nada mendesak.Grace memandang Robert dengan mata tajam. "Selama ini aku tidak pernah menyesal dengan keputusan yang kuambil. Walaupun harus kehilangan nyawa, aku tidak akan ragu membongkar kejahatannya," jawab Grace tegas.Robert menghela napas, berusaha mengendalikan emosinya. "Kau tahu siapa lawanmu? Ini bukan permainan, Grace.""Untuk apa kau peduli? Apapun yang terjadi, aku yang akan bertanggung jawab," Grace membalas dengan suara yang bergetar namun tegas.Robert memejamkan mata sejenak, tampak frustasi. "Aku tahu kau keras kepala dan ti
"Guru mengajarimu ilmu bela diri agar kamu bisa melindungi dirimu," kata Wang dengan suara lembut namun tegas, "Saat kamu berhasil mengalahkan penjahat, guru merasa bangga padamu. Tapi, guru tidak berharap kamu harus berkorban demi mereka. Sudah banyak usaha yang kamu lakukan demi masyarakat dan panti asuhan. Kapan kamu akan hidup untuk diri sendiri?"Grace menunduk, terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca, namun ia berusaha tegar. "Guru, jangan mencemaskan aku! Sejak dulu, kalau bukan karena ada guru, aku tidak akan bisa bertahan hingga saat ini. Papaku sendiri telah melakukan hal yang memalukan. Dan mamaku pergi hingga saat ini tidak kembali." Suaranya terdengar bergetar saat mengingat masa lalu yang kelam. "Aku sangat ingin melihatnya. Sudah 12 tahun berlalu, dan dia masih tidak ingin pulang. Aku yakin mama pasti sudah tahu kalau suaminya yang kejam itu telah meninggal dan aku adalah pembunuhnya," ungkap Grace dengan tatapan kosong."Grace, kamu telah menyelamat