Siang hari di kota Paris, cuaca buruk mengintai. Hujan deras mengguyur dan petir kuat menyambar tanpa henti. Di sebuah gedung kosong, seorang pria berambut putih sedang melakukan pelecehan terhadap seorang wanita. Wajah wanita itu terlihat putus asa, air mata mengalir deras, namun pria itu terus saja melanjutkan perbuatannya dengan desahan penuh kenikmatan hingga mencapai puncaknya.
Setelah selesai, pria itu dengan santai mengenakan kembali celananya dan meninggalkan wanita itu begitu saja. Tanpa peduli pada hujan deras yang menghantam tubuhnya, dia pergi dengan tergesa, seolah takut dikenali oleh warga sekitar.
Beberapa saat kemudian, pria itu tiba di rumahnya. Begitu melangkah masuk, ia langsung berteriak penuh amarah, "Sammi! Mana makan siangku? Kenapa kau tidak menyediakannya?"Suara teriakannya menggema di seluruh ruangan.
Seorang gadis remaja keluar dari kamarnya dengan wajah tegang, matanya berkaca-kaca saat ia menjawab dengan nada penuh kemarahan yang ditahan, "Mama sudah pergi, dan tidak akan kembali lagi!"
Pria itu mendengus dengan nada mengejek, "Dasar tidak tahu diri! Kalau bukan aku yang menyambutnya, mana mungkin dia bisa hidup. Sudah dapat tempat tinggal dan makan gratis, masih saja tidak puas!"
Kemarahan gadis itu tak terbendung. Dia menatap ayahnya dengan mata penuh kebencian, "Kau tidak berhak menghina mamaku!" bentaknya dengan suara yang bergetar karena menahan amarah.
Ayahnya langsung bangkit dengan wajah merah padam. Dia menampar wajah putrinya dengan keras, Plak! "Kau sama saja dengan ibumu! Kelak kau juga akan menjadi pelacur!" teriaknya penuh kebencian.
Itu adalah puncak dari segala kemarahan yang sudah lama terpendam dalam hati putrinya, Dengan tangan yang gemetar, dia mengulurkan pisau yang sejak tadi digenggamnya erat-erat. Tanpa ragu, dia menikam perut ayahnya.
"Aaahh!" Pria itu menjerit kesakitan, tapi putrinya tidak berhenti. Kebenciannya menguasai dirinya, membuatnya terus menusuk berulang kali dengan amarah yang membara.
"Ahhh!" Rintihan pria itu semakin lemah, darah mengalir deras hingga membasahi lantai.
Anak itu terengah-engah, berdiri di sana dengan pisau berlumuran darah di tangannya. Tidak ada yang tahu apa yang membuatnya tega membunuh ayahnya sendiri. Setelah kejadian itu, dia menyerahkan diri kepada polisi. Karena usianya yang baru 15 tahun, ia hanya dijatuhi hukuman tiga tahun di penjara anak-anak.
Keesokan harinya, berita dihebohkan dengan pembunuhan yang terjadi pada keluarga Jones Walker, yang dibunuh oleh putrinya sendiri. kini menjadi pusat perhatian seluruh negeri. Ketegangan memuncak di antara warga yang mendengar kabar tersebut, mengingat putri Jones Walker adalah anak yang baik dan pendiam dan akhirnya menjadi seorang pembunuh.
Sementara itu, seorang wanita korban pemerkosaan ditemukan tewas setelah melompat dari gedung lokasi kejadian pelecehan yang dilakukan oleh Jones Walker. Wanita itu, yang sempat mencoba melawan, akhirnya menyerah pada luka batin yang mendalam. Kisahnya menjadi tragis, melambangkan ketidakadilan yang sering dialami oleh para korban, yang tidak hanya menderita akibat kejahatan yang dialaminya, tetapi juga stigma yang melekat.
Di lokasi tersebut, seorang anak laki-laki remaja menangis pilu di tengah kerumunan, suaranya serak memanggil nama ibunya yang tak lagi bernyawa. Matanya yang merah dan bengkak tak mampu menahan aliran air mata, memperlihatkan luka hati yang dalam akibat kehilangan yang tak terduga.
Polisi dan reporter telah mengepung lokasi, memastikan tak ada satu pun detil yang terlewatkan. Suara kamera yang tak henti-hentinya mengambil gambar, dan gemuruh suara wartawan yang berlomba-lomba mencari informasi, menambah ketegangan di udara.
7 Tahun Kemudin
Tengah malam itu terasa dingin dan sunyi. Di sudut jalan yang remang, seorang pria berdiri dengan tubuh gemetar. Wajahnya memerah, napasnya tersengal-sengal, keringat dingin mengalir deras dari pelipisnya. Pandangannya kabur, dan rasa pusing mulai merasuki kepalanya. Lima preman mengelilinginya, masing-masing membawa senjata tajam yang berkilau di bawah sorotan lampu jalan.
"Apa yang kalian campur ke dalam minumanku?" suaranya serak, disertai kemarahan yang tak bisa ditahan lagi. Meski efek obat mulai menguasainya.
Salah satu preman menyeringai licik, matanya menyipit tajam. "Obat perangsang. Sebenarnya kami hanya membantumu saja." Nada bicaranya penuh ejekan, seolah mereka merasa telah menang.
"Kalian menggunakan cara ini untuk menjebakku," desisnya tajam.
Preman yang lain melangkah maju, tatapannya penuh kepercayaan diri. "Ethan Christoper, siapa yang tidak mengenalmu? Seorang bos gangster yang tidak bisa dikalahkan dengan mudah. Cara satu-satunya melumpuhkanmu hanyalah dengan trik ini."
Tanpa aba-aba, kelima preman itu serempak menyerang. Ethan merasakan tubuhnya seolah berontak melawan efek obat, namun dengan segenap kekuatan yang tersisa, ia mengayunkan tinjunya, menghantam wajah salah satu preman dengan keras hingga terdengar suara tulang retak.
Tubuh musuhnya terlempar ke belakang dengan suara "bruk!" yang menggema di jalanan sepi.
"Aaahhh!" teriak para preman yang terkejut dengan serangan balik Ethan. Mereka terus menyerang, namun Ethan, meski dalam keadaan setengah sadar, tetap bertarung dengan sengit. Ia membanting satu demi satu tubuh preman yang mencoba menyerangnya.
Sementara itu, di sisi lain kota, seorang gadis melangkah dengan ringan di trotoar. Ponselnya menempel di telinga, suaranya terdengar ceria.
"Guru, akhirnya aku lulus. Aku bisa menjadi jaksa yang hebat dan melindungi banyak orang," katanya sambil tersenyum lebar, kebanggaan terpancar di wajahnya.
Di ujung telepon, suara seorang pria terdengar penuh antusiasme. "Selamat untukmu, Grace. Malam ini kita akan merayakannya bersama. Datanglah ke sini."
"Baiklah, Guru. Setelah ini aku ingin meminta Guru mengajarkan aku ilmu bela diri," balas Grace, masih dengan senyum cerah.
Namun, setelah memutuskan panggilan, ia kembali fokus pada langkahnya yang tenang.Tanpa ia sadari, ketika melewati sebuah mobil yang terparkir di sudut jalan, sepasang tangan tiba-tiba merenggutnya dari belakang. Dengan gerakan cepat dan kasar, seseorang membekap mulutnya dan menariknya ke dalam mobil.
"Aaahh! Kau siapa? Hentikan!" Grace menjerit, panik dan ketakutan. Tubuhnya meronta-ronta berusaha melepaskan diri, namun cengkeraman pria itu terlalu kuat.
"Bantu aku," desah pria itu yang tak lain adalah Ethan, suaranya bergetar antara kesakitan dan ketidakberdayaan. "Aku akan bertanggung jawab!"
Tindakannya semakin tidak terkendali. Ia mencoba mencium Grace, dan dengan tangan gemetar, mulai melepaskan pakaiannya.
"Jangan! Lepaskan aku!" teriak Grace, berusaha keras melawan, namun situasinya sepi, tak ada orang yang bisa mendengar teriakannya.
Tubuhnya yang berusaha mempertahankan diri terasa semakin lemah. Dengan perlahan, pria itu mulai menanggalkan pakaian bagian bawahnya, sementara Grace menahan tangis, ketakutan mulai merayapi dirinya.
"Tidak!" teriak Grace, suaranya penuh dengan keputusasaan saat Ethan, yang sudah kehilangan kontrol atas dirinya, mulai bertindak lebih jauh. Dengan paksa, kedua kakinya dibuka lebar oleh pria itu. Mata Grace terbelalak dalam ketakutan, namun tubuhnya tak mampu melawan lebih jauh.
Ethan, yang dikuasai hasrat dan efek obat, bergerak cepat tanpa menunggu lebih lama.
"Aaahhh!" Jeritan kesakitan Grace memecah malam yang sepi. Rasa sakit luar biasa menjalari tubuhnya. Di malam yang seharusnya menjadi salah satu momen paling berharga dalam hidupnya malam kelulusannya sebagai jaksa berubah menjadi mimpi buruk yang menghancurkan kehormatannya.
Ethan, setelah memuaskan hasrat yang disebabkan oleh pengaruh obat itu, terbaring lemas di kursi mobil. Nafasnya terengah-engah sebelum akhirnya ia kehilangan kesadaran, tidak menyadari kekejaman yang baru saja ia lakukan.Sementara itu, Grace hanya bisa menangis. Hatinya hancur, tubuhnya lemah, dan air matanya mengalir deras. Kehormatannya direnggut tanpa ampun, oleh seorang pria yang tak dikenalnya. Dalam ketakutan dan rasa malu yang mendalam, Grace berusaha keluar dari mobil itu dengan langkah terseok-seok. Tubuhnya terasa seperti dihantam ribuan jarum, namun ia tak punya pilihan selain pergi secepat mungkin dari tempat itu. Ia tak ingin mengingat atau mengetahui lebih lanjut tentang wajah pria yang telah menghancurkannya. Ia berjalan tertatih-tatih di jalanan yang gelap, berusaha menahan sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Tangisnya semakin keras, namun tempat itu terlalu sepi, tak ada satu pun yang mendengar ratapannya. Malam itu menjadi saksi kesedihannya yang mendalam.K
Dua jam kemudian.Persidangan dilanjutkan dengan suasana yang tegang, saat sang hakim bersiap untuk membaca keputusan terhadap tersangka pembunuhan, Ethan Christopher. Di dalam ruang sidang yang penuh sesak, napas tertahan dan mata tertuju pada hakim yang memegang nasib di tangannya."Ethan Christopher," ucap hakim dengan suara lantang, "akan dijatuhkan hukuman penjara seumur hidup atas kesalahan melakukan pelecehan seksual dan pembunuhan korban. Selain itu, klub malam yang menjadi lokasi kejahatan akan ditutup dan disita oleh negara." Kata-kata itu menggema di seluruh ruangan, menebarkan keheningan yang berat.Ethan berdiri dengan gerakan cepat, wajahnya merah padam, "Aku tidak bisa terima keputusanmu!" Teriaknya dengan penuh emosi, matanya menatap tajam ke arah hakim.Namun, hakim tidak tergoyahkan. "Bukti dan saksi sudah lengkap," balasnya dengan ketegasan yang tidak bisa dibantah. "Terima atau tidak, Anda tidak memiliki hak untuk membantah putusan ini!"Meskipun berhasil menuntut
"Grace Anderson Shin, ikut kami pergi atau mati di tangan kami?" tanya Ekin dengan nada keras dan tegas. Grace tidak mundur sedikit pun. Ia balas menatap Ekin dengan pandangan penuh tekad, "Aku tidak akan menyerah walau harus mati," jawab Grace dengan nada yang penuh determinasi. "Apa yang kalian lakukan hanya akan mempersulitkan bos kalian untuk bebas."Emil yang tampak lebih emosional, melangkah maju dengan wajah merah padam. "Jangan lupa! Bukti yang ada adalah hasil dari rekasayamu," bentaknya, suaranya bergetar dengan kemarahan. "Kau menjebak bos kami demi uang. Berapa jumlah yang brengsek itu bayar?"Grace mengangkat bahu, tersenyum tipis. "Aku tidak berniat melukai kalian. Tapi kalau itu yang kalian inginkan," dia melayangkan tongkat di tangannya, siap bertarung, "akan kulayani!"Emil dan anak buahnya langsung meluncur maju, melayangkan pisau tajam ke arah Grace. Tanpa gentar, Grace menahan serangan-serangan mereka yang datang secara bersamaan. Tongkatnya memukul tangan-tangan
"1 minggu!" ucap Ethan menatap tajam pada Grace, matanya menyorot tajam seolah menusuk langsung ke dalam jiwa gadis itu. "Kalau gagal, aku tidak akan melepaskanmu!""Baiklah, tapi dalam seminggu ini kau harus pastikan keselamatanku. Andaikan aku mati, maka tidak ada keuntungan bagimu!" jawab Grace.Ethan tertawa kecil, senyumnya sinis, hampir seperti memandang rendah permintaan Grace. "Kau mengancamku?" tanyanya, nada suaranya mengintimidasi, namun bibirnya masih menyunggingkan senyuman yang meremehkan."Tentu saja, tidak! Aku butuh jaminan untuk nyawaku," Grace membalas dengan tegas, "Raymond Scott akan membunuh siapa saja yang menantangnya. Aku akan menjadi sasarannya. Hakim dan para juri ada di pihaknya. Bukti asli telah diserahkan kepada mereka. Namun, semua bukti telah dihapus," jelasnya sambil menarik napas panjang, mencoba menghilangkan ketegangan yang melingkupinya.Ethan mendengus, mengalihkan pandangannya sejenak. "Kalau sudah tahu kau akan menjadi sasarannya, kenapa ingin u
Grace berdiri di depan panti asuhan, memandang anak-anak yang sedang bermain riang di halaman. Senyum mereka seharusnya bisa membangkitkan perasaan hangat dalam hatinya, namun bayangan ancaman Raymond Scott terus menghantui pikirannya. Kata-kata pria itu, yang diucapkan dengan nada dingin dan penuh ancaman, membebani langkahnya sejak saat itu.“Pastikan Ethan Christopher dihukum mati. Kalau kau tidak melakukannya, maka anak-anak di panti asuhan ini akan menjadi penggantinya,” ancaman Raymond terngiang jelas dalam benak Grace, membuatnya mengepalkan tangan dengan erat. "Sudah saatnya aku memasukkanmu ke penjara," gumam Grace, memandang gedung panti asuhan dengan tekad yang berkobar. ***Di gedung kejaksaan, Grace melangkah cepat menuju ruangan Kepala Jaksa Robert, wajahnya penuh determinasi. Tanpa ragu, ia mengetuk pintu dengan keras sebelum masuk. Robert, yang duduk di balik mejanya, mengangkat kepala dan menatap Grace dengan tatapan waspada."Grace, jangan mencari masalah lagi. Ter
Malam di café itu semakin sunyi, hanya terdengar suara gesekan sendok yang diaduk Grace pada minumannya. Dalam benaknya, ia terus memikirkan kasus besar yang sedang ditanganinya, kasus yang membuatnya harus berhadapan dengan Raymond, seorang pejabat yang ditakuti dan berkuasa.Tak lama kemudian, Robert, Kepala Jaksa mendekatinya dan duduk di hadapannya dengan wajah serius. "Dengarkan aku sekali lagi, Grace. Tolak kasus ini!" kata Robert dengan nada mendesak.Grace memandang Robert dengan mata tajam. "Selama ini aku tidak pernah menyesal dengan keputusan yang kuambil. Walaupun harus kehilangan nyawa, aku tidak akan ragu membongkar kejahatannya," jawab Grace tegas.Robert menghela napas, berusaha mengendalikan emosinya. "Kau tahu siapa lawanmu? Ini bukan permainan, Grace.""Untuk apa kau peduli? Apapun yang terjadi, aku yang akan bertanggung jawab," Grace membalas dengan suara yang bergetar namun tegas.Robert memejamkan mata sejenak, tampak frustasi. "Aku tahu kau keras kepala dan ti
"Guru mengajarimu ilmu bela diri agar kamu bisa melindungi dirimu," kata Wang dengan suara lembut namun tegas, "Saat kamu berhasil mengalahkan penjahat, guru merasa bangga padamu. Tapi, guru tidak berharap kamu harus berkorban demi mereka. Sudah banyak usaha yang kamu lakukan demi masyarakat dan panti asuhan. Kapan kamu akan hidup untuk diri sendiri?"Grace menunduk, terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca, namun ia berusaha tegar. "Guru, jangan mencemaskan aku! Sejak dulu, kalau bukan karena ada guru, aku tidak akan bisa bertahan hingga saat ini. Papaku sendiri telah melakukan hal yang memalukan. Dan mamaku pergi hingga saat ini tidak kembali." Suaranya terdengar bergetar saat mengingat masa lalu yang kelam. "Aku sangat ingin melihatnya. Sudah 12 tahun berlalu, dan dia masih tidak ingin pulang. Aku yakin mama pasti sudah tahu kalau suaminya yang kejam itu telah meninggal dan aku adalah pembunuhnya," ungkap Grace dengan tatapan kosong."Grace, kamu telah menyelamat
"Jaksa Shin, sepertinya kamu sudah lupa siapa yang kamu hadapi," ujar Raymond dengan nada mengancam. Setiap katanya terdengar seperti racun yang siap menyebar.Grace Anderson Shin berdiri tegak, tidak sedikit pun goyah oleh ancaman pria di depannya. Matanya menatap lurus, penuh keyakinan. "Tuan Scott, hukum adalah hukum. Di dunia ini ada keadilan, dan aku adalah orang yang menegakkannya," balas Grace dengan tegas, suaranya penuh keteguhan yang sulit ditembus.Raymond terkekeh pelan, menyembunyikan amarah yang mulai membara di dalam dirinya. "Kamu akan menyesal, Jaksa Shin," katanya lagi, nada ancaman tak lagi terselubung.Grace tidak bergeming. Ia melangkah maju, menatap Raymond tanpa gentar. "Apa yang akan kamu lakukan padaku? Menjebakku seperti kamu menjebak Ethan Christopher atau membunuhku seperti wanita hiburan yang menjadi korbanmu? Rinna adalah pacar Ethan Christopher. Dia berselingkuh denganmu dan mengkhianati pacarnya. Hubungan kalian sungguh luar biasa
Malam itu, Grace duduk di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan yang gelap. Lampu jalan redup, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak seiring hembusan angin. Ia menatap ke arah restoran mewah di seberang jalan, di mana Raymond Scott, seorang pejabat korup, sedang menikmati makan malam. Ia tak sendiri; di sampingnya seorang wanita muda tertawa, seolah dunia adalah milik mereka berdua."Selalu saja berganti pasangan, tidak sadar kalau dia sudah tua," gumam Grace.***Keesokan harinya, Grace melangkah dengan tegas menuju ruangan Jaksa Agung, Micheal. Dinding koridor terasa dingin, namun langkahnya tak gentar sedikit pun. Setibanya di depan pintu, ia mengetuk perlahan, lalu masuk setelah dipersilakan."Grace, kenapa kamu ke sini? Apa yang terjadi?" tanya Micheal, pria paruh baya yang duduk di kursi besar di belakang meja kayu penuh dokumen. " Rekan saya, Frank dan Billy, menemukan bukti kesalahan Raymond Scott," ujar Grace sembari meletakkan setumpuk dokumen di meja Micheal
Keesokan harinya, Frank dan Billy, dua rekan kerja Grace, mendatangi apartemennya dengan raut wajah penuh penasaran. Mereka berdua terpaku saat melihat seorang anak kecil yang duduk di atas kasur, menatap mereka dengan mata bulat yang polos namun penuh rasa ingin tahu.“Grace, ini anak siapa?” Billy memecah keheningan, wajahnya penuh tanda tanya.“Anakku, namanya Wilson. Usianya empat tahun,” jawab Grace dengan nada tenang, meski ada sorot keraguan di matanya. Mendengar jawaban itu, kedua rekannya langsung menoleh ke arahnya, tercengang.“Anakmu?” mereka bertanya serentak, tak percaya.Grace menarik napas panjang, menatap mereka dengan sorot mata yang meminta pengertian. “Aku bisa jelaskan bila ada waktu,” katanya singkat.Frank mengerutkan kening, rasa penasaran membuncah di dalam dirinya. “Bukankah pernikahanmu dan Kepala Jaksa belum memiliki anak? Lalu anak ini datang dari mana?” tanyan
Ethan duduk di ruangannya, memandangi sekeliling dengan tatapan kosong, pikirannya tenggelam dalam kenangan masa lalu. Di benaknya, berulang kali terbayang saat pertama kali ia melihat Grace di pengadilan. Seperti bara api yang kembali menyala, amarahnya membuncah saat mengingat pertemuan mereka di ruang tahanan. Ia bahkan melukai wanita itu tanpa berpikir panjang."Kenapa wanita itu terasa begitu familiar sejak awal aku melihatnya?" gumam Ethan pelan, mencoba menguraikan perasaan aneh yang membebani hatinya. "Dan anak itu... anak itu sepertinya bukan milik Jaksa Robert. Kenapa aku harus repot-repot memikirkan urusan mereka?"Ethan menarik napas panjang, seakan berusaha menyingkirkan bayangan yang terus menghantui. "Setelah ini, aku tak ingin lagi berurusan dengan mereka. Bagaimanapun juga, Grace tetaplah putri dari pembunuh ibuku. Kali ini aku hanya membantunya karena anak kecil yang tak tahu apa-apa. Hanya itu," ucapnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Di gedung kejaksaan, Grace
"Kenapa kau bertanya seperti itu?" tanya Grace dengan rasa penasaran yang jelas tergambar di wajahnya. Ada sesuatu dalam suara Ethan yang membuat hatinya merasa tidak tenang.Ethan hanya menggeleng. "Tidak ada! Dia tidak mirip sama sekali dengan kepala jaksa busuk itu," jawabnya dengan nada dingin. Tanpa menunggu tanggapan dari Grace, dia bangkit dari sofa, berniat meninggalkan apartemen itu. Tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara kecil yang memanggilnya."Paman!" panggil Wilson, yang terbangun dari tidurnya. Anak itu memandang Ethan dengan senyum lelah, tetapi tulus.Ethan berbalik menatap bocah kecil itu. Tatapannya sempat melembut, meski hanya sebentar. Anak itu melambaikan tangan kecilnya, seolah tak ingin Ethan pergi."Sampai jumpa!" ucap Wilson dengan polos.Ethan menatap anak itu dengan perasaan campur aduk, ada kekhawatiran, kehangatan, dan entah kenapa, sedikit keraguan yang ia sembunyikan. "Tidurlah lebih awal!" jawabnya singkat, lalu berbalik dan melangkah keluar
Saat pisau tajam itu semakin dekat dengan Wilson, insting seorang ibu membuat Grace bertindak tanpa berpikir panjang. Dia mengangkat tangannya, menahan pisau dengan telapak tangannya yang terbuka. Rasa sakit yang tajam langsung menjalar, tapi dia menahan diri untuk tidak mengerang. Darah menetes, membasahi lantai di bawahnya, namun tekadnya tidak goyah.Dengan kekuatan penuh, Grace menendang pria itu, membuatnya terlempar ke belakang dan jatuh terkapar di lantai."Bruk!"Grace segera berbalik, menatap putranya yang tampak pucat. "Wilson, kamu tidak apa-apa?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.Wilson mengangguk, meskipun wajahnya menunjukkan ketakutan yang dalam. "Tangan Mama terluka," ucapnya dengan suara bergetar, matanya terpaku pada darah yang terus mengalir dari luka di telapak tangan ibunya.Grace tersenyum menenangkan, mencoba meredakan kekhawatiran putranya meskipun tangannya terasa berdenyut sakit. "Mama tidak apa-apa, Sayang," katanya le
Anita menundukkan wajah, suaranya lirih ketika mengingat kejadian pahit yang dialami putra jaksa itu, "Beberapa waktu lalu, Wilson sering dibully oleh teman-temannya," katanya, suara penuh penyesalan. "Mereka menjauhinya, mengejeknya, mengatakan dia dicampakkan oleh orang tuanya. Kejadian itu membuat Wilson frustrasi. Aku masih ingat tatapan terluka di matanya. Ia sampai bertengkar dengan mereka, penuh amarah, hingga akhirnya memilih untuk bungkam selama dua minggu. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Andaikan aku lebih perhatian padanya...mungkin Wilson tak akan pergi begitu saja."Grace menghela napas panjang, tatapannya jatuh pada wajah putranya yang sedang tertidur, begitu polos dan damai. "Wilson keluar untuk mencariku, Dia terluka, sedih… merasa diabaikan. Semua salahku yang selama ini terlalu fokus pada pekerjaan. Anak sekecil itu harusnya mendapatkan lebih dari sekadar kehadiran fisik. Harusnya dia tahu dia selalu ada dalam hatiku."Anita meng
Di dalam ruangan rumah sakit yang sunyi, seorang pria berdiri dengan tatapan kosong menatap anak kecil yang terbaring lemah di ranjang. Ada sesuatu yang menggelitik pikirannya, sesuatu yang sulit ia jelaskan. Wajah anak itu, yang sedang tertidur pulas dengan infus di tangannya, membuat hatinya terasa hangat dan... anehnya, familiar. Sementara itu, salah satu anak buahnya, berdiri di sampingnya, ikut memandangi anak kecil yang terlelap.Pria yang melarikan Wilson ke rumah sakit adalah Ethan dan Ekin."Bos, kenapa... Anak ini sangat mirip denganmu?" Ekin bertanya dengan nada penasaran, matanya meneliti setiap lekuk wajah anak tersebut.Ethan menelan ludah, tak bisa menutupi rasa bingung di wajahnya. "Aku juga tidak tahu," jawabnya dengan suara pelan, berusaha terdengar biasa saja. "Mungkin hanya kebetulan saja."Ekin memecah kesunyian, ekspresinya tampak serius. "Siapa anak ini, kenapa bisa pingsan di simpang jalan itu?" tanyanya dengan penasaran.Et
Grace menatap suaminya dengan senyum sinis, penuh tantangan yang jelas terbaca di matanya. "Kau mengancamku? Seorang kepala jaksa mengancamku?" Ia menegaskan ucapannya dengan nada yang begitu sarkastik, seolah menunjukkan betapa kecilnya ancaman itu di matanya.Robert membalas tatapan istrinya dengan ekspresi dingin, berusaha mempertahankan kendali meskipun ia tahu situasinya tak sepenuhnya menguntungkannya. Ia tersenyum kecil, sebuah senyum yang lebih mirip ejekan. "Kita jalani saja hidup kita masing-masing," ucapnya, suaranya rendah namun penuh ancaman terselubung. "Aku bisa menjamin tidak ada yang akan tahu keberadaan anak itu. Seorang jaksa telah memiliki anak sebelum menikah. Mereka pasti penasaran siapa ayah anak itu."Secepat kilat, Grace tanpa ragu mengayunkan tangannya, menampar wajah suaminya dengan keras."Plak!"Robert tertegun, wajahnya memerah akibat tamparan itu. Namun, sebelum ia sempat merespons, Grace sudah berbicara lagi dengan na
Grace yang penuh amarah mengayunkan tongkat baseball ke arah mobil suaminya, matanya berkilat tajam, penuh kebencian yang terpendam. Dentuman keras terdengar ketika tongkat menghantam kaca mobil, menghancurkannya hingga berkeping-keping."Prak!"Molly yang berada di dalam mobil berteriak panik. "Aahh!" Jeritannya menggema, suaranya penuh ketakutan, tubuhnya menggigil saat melihat Grace terus mengayunkan tongkatnya.Di luar, Robert tampak gelisah dan berusaha menghentikan aksi istrinya. "Grace, apa kau sudah gila? Hentikan!" serunya, mencoba mengambil alih situasi, tetapi suaranya terdengar tak berdaya di tengah kemarahan Grace.Namun, Grace tak mengindahkan perintah suaminya. Dengan tatapan tajam, ia melanjutkan aksinya, menghancurkan bagian depan mobil dengan kekuatan penuh, melampiaskan setiap rasa sakit yang selama ini dia pendam."Pasangan murahan!" Grace membentak, suaranya menggetarkan malam yang sunyi. "Ini adalah hadiah dariku!"Tong