Luna terus menangis meraung menyesali perbuatanya. Ia tak pernah menyangka jika pria yang merenggut kesuciannya adalah suami dari sahabatnya sendiri.
"Maafkan aku Manda, aku benar-benar tidak berniat melakukannya!"Tanda merah di leher Luna terlihat sangat jelas walaupun sudah di tutupi menggunakan kerah baju yang ia kenakan.Nikita, adik Luna yang baru saja tiba dirumah, masuk ke dalam kamar untuk sekedar menyapanya. Gadis tomboy itu memperhatikan sang kakak yang terlihat murung."Kaka sakit?" tanya Nikita yang kemudian duduk di atas ranjang berhadapan dengan Luna.Luna menggelengkan kepala. Nikita merasa penasaran. Ia memegang kening sang kakak untuk memastikan jika kakaknya memang tidak demam.Nikita juga meraba bagian leher Luna, guna membandingkan suhu tubuh dengan bagian keningnya. Namun, Nikita melihat sesuatu yang membuatnya penasaran di area leher jenjang milik sang kakak.Gadis cantik itu menautkan kedua alisnya. "Kak? Semalam Kakak bersama siapa?"Luna menggoyangkkan kepala ke kiri dan kanan. Ia tidak ingin adiknya mengetahui apa yang telah terjadi di antara dirinya dan Rayyanza. Jika sampai Nikita yang emosian itu mengetahui kejadian semalam, ia pasti akan memarahi Rayyanza dan menyuruhnya untuk bertanggung jawab.Kedua telapak tangan Nikita membingkai wajah sang kakak, kemudian mengangkatnya sedikit. "Kak? Lihat aku. Kakak baik-baik saja, kan?" tanya gadis itu dengan dahi mengerut."Iya, Nik. Kaka baik-baik saja, kok!" terang Luna meyakinkan sang adik.Netra berwarna kecokelatan tak lepas dari area leher Luna. Ia benar-benar penasaran dengan noda merah berbentuk bulat agak pipih tersebut. Walaupun umurnya jauh dibawah Luna. Tetapi, gadis itu terbilang sudah dewasa. Ia juga mengerti jika tanda merah yang menempel di leher kakaknya itu adalah jejak dari sebuah n*fsu b*rahi.Seolah tak ingin memperpanjang dan mengganggu sang kakak yang terlihat sedang ingin menyendiri. Nikita keluar dari kamar yang tidak terlalu luas itu."Aku akan pergi ke resto bibi. jika terjadi sesuatu, segera hubungi aku, oke?!"Wanita yang terus menunduk itu hanya mengangguk pelan. Sebenarnya, Nikita sangat khawatir dengan Luna. Namun, ia harus membantu sang bibi di resto miliknya. Apalagi jika hari minggu seperti sekarang ini. Biasanya, resto akan dipenuhi oleh pengunjung. Karena, selain makannya yang murah dan lezat, resto bibinya memiliki tempat yang sangat cozy. Sehingga, sangat digemari oleh pasangan muda mudi atau pun keluarga.Ponsel luna berdering kencang. Terlihat nama Amanda di layar ponselnya. Rasa bersalah langsung menyeruak di hatinya. Sebenarnya, ia tidak ingin menjawab panggilan dari Amanda. Namun, ia berpikir, siapa tau itu adalah panggilan penting.Setelah dua kali ponselnya berdering dengan nama yang sama. Akhirnya, Luna menjawab panggilanya."Hallo, Lun. Kamu dimana?" sapa seorang wanita di seberang sana."Aku-, dirumah. Kenapa?""Bisa ga kita nongkrong di tempat biasa?" tanya Amanda."Sorry, Man. Aku agak kurang enak badan. sepertinya, hari ini aku akan beristirahat di rumah.""Kamu sakit? Aku jenguk kerumahmu ya!"Mendengar itu, Luna menjadi panik. Saat ini, ia benar-benar sedang tidak ingin bertemu dengan Amanda. Rasa bersalah membuatnya takut untuk bertemu dengan sahabatnya itu."Maaf, Manda. Aku hanya ingin beristirahat. Kepalaku pusing. Aku ingin tidur!" tolak Luna secara halus."Yasudah. Kalau begitu, cepat sehat ya, Lun!" ucap Amanda yang kemudian mengakhiri panggilannya.Luna menggenggam dan memandangi layar ponsel selama beberapa saat. Dadanya terasa sesak. Air mata kembali jatuh membasahi pipi mulusnya. Penyesalan atas kejadian malam itu sungguh sangat menyiksanya."Apa yang harus aku lakukan setelah ini? Apakah aku harus membohongi sahabatku seumur hidup dan berpura-pura tidak pernah terjadi sesuatu dengan Rayyan?"Luna merebahkan tubuhnya diatas ranjang dengan posisi meringkuk. Tangis penyesalan mengalir dengan deras hingga membasahi bantal tidurnya.Pikiranya benar-benar sangat lelah, ditambah efek mabuk semalam yang masih terasa hingga saat ini.Kedua tangan mencengkram kepalanya mengusir kepeningan. Ia pun mencoba memejamkan mata. Hingga akhirnya ia terlelap.****Di tempat lain. Di dalam sebuah kamar tidur bernuansa soft beige dengan interior layaknya hotel berbintang lima, sepasang suami istri tengah berbincang."Sayang ...., Sepertinya, Luna, sahabatku sakit. Aku ingin menjenguknya!" ucap Amanda."Hah?! Sakit apa dia?!" Reaksi berlebihan Rayyanza membuat Amanda mengerutkan dahi.Wanita yang tengah duduk di pinggiran ranjang itu merasa keheranan dengan sikap yang ditunjukan oleh suaminya yang lain dari biasanya. Biasanya, Rayyanza tidak akan peduli atau memberi respon dingin ketika mendengar nama Luna. Namun, kali ini Rayyanza terlihat kaget dan sangat antusias."Aku tidak tahu dia sakit apa. Tapi-, tumben kamu peduli padanya. Biasanya, kamu tidak menanggapi jika aku bahas tentang dia."Pria yang merebahkan tubuh diatas ranjang itu menghela nafas. Ia segera merubah mimik khawatirnya dengan ekspresi datar seperti biasanya, agar Amanda tidak curiga."Nanti sore, aku akan menemui dia. Aku khawatir. Jika hari minggu, dia pasti sendirian dirumah. Karena biasanya adiknya pergi membantu Bibinya di resto!""Ya, Terserah kamu saja, Sayang!" ucap Rayyanza seolah tak peduli. "Aku akan tidur, kepalaku masih terasa pusing." ucapnya lagi.Pria itu menarik selimut yang menggulung diatas ranjang. Menutupi setengah tubuhnya yang meringkuk. Amanda, memandangi wajah suaminya seraya membelai lembut rambut hitam mengkilatnya.Wanita bertubuh mungil itu sangat mencintai Rayyanza. Bahkan, dari semenjak pertama kali ia melihatnya di kampus.Amanda terus memandangi wajah tampan yang kini sudah terlelap tidur. Ingatanya seolah membawanya kembali pada enam tahun silam.Kala itu ...."Waah ..., ganteng bangeeeet!" ucap Amanda dengan mata membulat dan mulut menganga."Lihat ...!" bisiknya pada Luna. "Kamu Lihat deh, cowo yang pake kaos putih itu!" ucapnya lagi, seraya mengarahkan jari telunjuknya ke arah Rayyanza yang kala itu baru saja turun dari mobil sportnya."Biasa aja. Memangnya kenapa?!" jawab Luna dengan ekspresi datar."Dia kan anak penyumbang dana terbesar di kampus kita!" terang Amanda."Lagian, biasa aja gimana maksud kamu? Lihat donk, dia itu keren banget. Sumpah!" sanggah Amanda yang tergila-gila pada pria bertubuh tinggi atletis itu.Rayyanza baru saja keluar dari mobilnya, berjalan dengan langkah gontai melewati Luna dan Amanda yang tengah berdiri di area parkir.Pria tampan bermata kecokelatan itu menoleh ke arah Luna sesaat, sebelum dirinya melanjutkan langkah menuju kelas."Udah .... Ayo, kita ke kelas!" Luna menarik tangan Amanda yang masih berdiri dengan mulut menganga dan kedua mata memandang pria yang baru saja melintas di hadapannya."Lun .... Aku harus bisa dapetin dia!" cetus Amanda menepuk lengan Luna.Keesokan harinya, Amanda tidak masuk kuliah karena ikut bersama orang tuanya berlibur selama beberapa hari ke Swiss."Hai...! Luna? Nama kamu Luna, kan?" sapa pria tampan berkaos putih bertopi hitam, di area halaman kampus.Luna menoleh ke arah sumber suara. Ternyata, pria yang menurut sahabatnya tampan itulah yang menyapanya.Luna melempar senyum tipis, sembari terus berjalan pelan menuju gerbang kampus. Ia akan menunggu bus untuk pulang. Biasanya, ketika pulang atau pergi ke kampus, ia selalu menumpang mobil sahabatnya. Namun, karena hari ini Amanda tidak masuk kuliah, ia terpaksa pulang menggunakan bus."Bolehkah, aku mengantarmu pulang?" tawar pria tampan dan populer di kampus itu."Tidak usah. Terima kasih ...!" jawab wanita cantik pemenang beasiswa itu.Luna memang menghindari berdekatan dengan Rayyanza. Bukan lantaran dirinya membenci pria itu. Melainkan, karena ia merasa tidak pantas berteman dengan Rayyanza. Mengingat, ia adalah anak dari penyuntik dana terbesar di kampusnya. Ia bisa kuliah di kampus terkenal dan bagus tersebut berkat bantuan dari Ayah Rayyanza.Gadis berparas cantik itu terus berjalan menuju gerbang utama kampus. Namun, Rayyanza malah mengikuti dan menyelaraskan langkahnya dengan Luna.Banyak pasang mata memandang ke arah mereka. Karena ketampanan dan kekayaan yang dimiliki Rayyanza, membuatnya selalu menjadi sorotan di kampus tersebut."Maaf, lebih baik kamu menjauh. Kita menjadi pusat perhatian orang-orang. Aku jadi merasa tidak nyaman!" ucap Luna pada kaka tingkatnya itu."Loh, kenapa harus pedulikan orang-orang?" sanggah Rayyanza tak peduli.Luna tidak ingin menanggapi pria itu. Ia mempercepat langkah kakinya agar tidak terlihat berjalan beriringan dengan Rayyanza. Namun, bukannya menjauh, pria tampan dan terkenal itu malah menarik tanganya."Tunggu!"Luna menoleh ke arah Rayyanza dengan tatapan marah."Lepas! Aku tidak suka kamu menyentuhku!" Luna menghempaskan genggaman tangan Rayyanza dengan kasar.Rayyanza merasa jika wanita yang satu ini sangat berbeda dari kebanyakan wanita yang ada di kampus tersebut. Disaat semua wanita memuja dan mengatakan dirinya tampan, hanya ada satu wanita yang justru terlihat tidak tertarik padanya. Ia terkesan cuek dan menghindari Rayyanza."Laluna ...! Aku menyukaimu!""Laluna ...! Aku menyukaimu!" Suara bariton itu terdengar dengan sangat jelas walaupun terpisah jarak beberapa meter. "Apa?" Wanita yang tengah menunggu bus itu melotot dan langsung melihat ke sekeliling mereka. Ia khawatir ada seseorang yang akan mendengar ucapan Rayyanza. Tapi, untungnya tidak ada satu orang pun berada di sana. Luna melangkahkan kaki, mendekatkan tubuhnya pada Rayyanza. "Kamu jangan bercanda, ya!" ucapnya setengah berbisik. "Tidak, Luna. Aku serius. Aku menyukaimu!" terangnya menatap luna dengan tatapan sayu. "Maukah kamu menjadi pacarku?" tanyanya lagi.Luna tersenyum miring, tentu saja ia tidak percaya dengan perkataan Rayyanza. Ia menganggap ungkapan itu hanyalah sebuah omong kosong belaka. Lagi pula, mana mungkin hanya beberapa kali bertemu di ruang himpunan pria itu bisa langsung jatuh cinta padanya. "Maaf, Kak Rayyan. Saat ini, aku ingin fokus belajar di kampus ini. Aku harus mendapat nilai yang bagus agar aku bisa terus memperoleh beasiswa di kampus ini,"
Sosok Pria tampan berdiri tegap membuka kacamatanya secara perlahan. Menatap sinis Amanda dengan raut menantang. Wanita yang sebelumnya sangat emosi itu, tiba-tiba saja meleleh seperti lilin yang tersulut api. "Kamu punya mata gak, hah?!" sentak pria pemilik mobil hitam itu.Amanda terus menatap wajah pria berhidung mancung itu tanpa memedulikan pertanyaan sekaligus makian yang terlontar dari mulutnya. Ia memilih melempar senyum manisnya. Tak peduli jika pria itu tak membalas senyumannya. "Manda!" teriak Luna, yang kemudian turun dari mobil berjalan setengah berlari menghampiri Amanda, ia langsung berdiri di samping sahabatnya. Pria yang penuh emosi itu menggeser pandanganya pada gadis pujaan hatinya yang beberapa hari lalu menolak cintanya. Mereka saling beradu pandang selama beberapa saat sebelum pria itu mencetuskan kata-kata makian berikutnya. "Ini gara-gara kelakuan kalian bermain handphone di dalam mobil. Sekarang, lihat sendiri kan akibatnya?!" teriak Rayyanza seraya berkaca
Tak lama setelah penolakan yang bertubi-tubi. Rayyanza diketahui berpindah ke Amerika. Ia tinggal bersama sang paman untuk melanjutkan study di sana. Kepindahannya yang sangat tiba-tiba, menjadi berita terpanas di kampus tersebut. Amanda merasa patah hati. Baru saja dirinya berkenalan dengan Rayyanza, kini harus menelan pil pahit karena pujaan hatinya itu meninggalkan Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Empat tahun berlalu. Setelah lulus kuliah, Luna bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang advertising. Ia menjabat sebagai staf administrasi di perusahaan tersebut. Sedangkan Amanda bekerja di perusahaan milik sang Ayah. Secara kebetulan, Amanda dan Rayyanza dipertemukan kembali ketika Amanda ditugaskan mengurusi urusan penanaman saham di perusahaan milik Ayah Rayyanza. Yang dimana Rayyanza menjabat sebagai CEO di perusahaan tersebut. Setelah pertemuan itu. Amanda mengungkapkan kekagumannya terhadap Rayyanza kepada Ibunya. Hingga akhirnya, terjadi kesepakatan di antar
Di dalam rumah yang tidak begitu luas, Nikita memeluk erat sang kakak. Mencoba membantu menenangkannya. "Nih, Kak. Sebaiknya Kakak minum dulu!" Gadis itu menyodorkan segelas teh manis hangat ke hadapan sang kakak. Kemudian, Luna meniup dan menyeruput teh yang masih mengeluarkan asap tipis itu. Setelah merasa sedikit tenang, Luna menceritakan kejadian malam itu pada Nikita. Selama ini, ia memang selalu terbuka pada adik satu-satunya itu. "Sudahlah, Kak. Kaka tidak perlu lagi merasa bersalah pada Kak Amanda. Lagi pula, semua itu terjadi karena Kakak dan dia sedang mabuk. Kejadian itu juga terjadi begitu saja tanpa ada unsur disengaja!""Tapi, Nik. Bagaimana jika sampai Manda tau? Aku takut dia akan marah dan tidak menganggapku sebagai temannya lagi!" ucap Luna dengan resah. "Selama dia dan Kak Luna bisa menyimpan kejadian ini rapat-rapat. Aku yakin Kak Manda tidak akan sampai mengetahuinya. Lagi pula, tidak ada yang melihat kalian berdua ada di sana, kan?!" Sebenarnya, Nikita merasa
Sore itu, tepat di jam biasanya Nikita pulang dari membantu Bibi Santika di cafe. Gadis itu membuka pintu pagar. Matanya menatap ke arah bawah, melihat sepasang sepatu pria yang terbuat dari bahan kulit asli dan sepertinya berharga mahal."Sepatu siapa?!" gumamnya dalam hati. Tak ingin membuang waktu, Nikita memegang handle pintu, kemudian menekannya ke bawah sembari mendorongnya. "Kamu! Mau apa kamu datang ke sini, hah?!" Teriakan Nikita memecah keheningan. Gadis itu berdiri di hadapan Rayyanza. Matanya melotot dan berkacak pinggang. Ia benar-benar tak dapat menahan amarahnya ketika melihat secara langsung pria yang telah menodai Kakaknya. Luna beranjak dari duduknya, kemudian mendekati Nikita. "Sudah Nik, biar aku yang menyelesaikannya sendiri. Sekarang, kamu masuk ke dalam kamar, oke?!" ujar Luna seraya mengelus bahu Nikita. "Tapi, kak-." "Sudaaah ..., ayo!" Luna menggerakan kepala mengarahkannya ke dalam kamar.Gadis cantik yang mengenakan kaos hitam itu mendelikan mata lalu
Mendengar pertanyaan Amanda, Luna mendadak gugup. Seperti layaknya orang yang ketahuan berbohong. Luna yang sebelumnya tidak pernah membohongi sahabatnya, kini menjadi panik karena harus mengarang cerita dengan cepat agar Amanda tidak curiga. "Eum ..., itu-," kata-katanya terhenti karena ia tidak berhasil menemukan bahan untuk berbohong. "Itu milik temanku, Kak!" cetus Nikita yang baru saja keluar dari kamarnya. "Oh ..., punya temanmu? Teman atau pacar, ayo ngaku?" ledek Amanda seraya melebarkan senyum. Wanita itu meletakkan korek elektrik yang ia pegang di atas meja ruang tamu. Luna yang merasa kesulitan untuk berbohong, akhirnya bisa bernapas lega. "O-ya, ada urusan apa kamu ke korea?""Biasalah ..., aku liburan bersama mama. Rayyan tidak ikut karena dia sedang sibuk dengan pekerjaanya!" terangnya. "Kamu mau ikut?" tanya Amanda. Luna tersenyum. "Sudah ku katakan, jika aku tidak masuk kerja, apalagi sampai dua minggu, aku akan ditendang!" "Tenang ..., perusahaan sahabatmu ini
Sore itu, Luna merasa sudah kehabisan kesabaran. Setelah sebelumnya ia menghadapi Rayyanza dengan cara yang lembut namun tidak berhasil, kali ini ia mencoba dengan cara yang kasar. "Jangan pernah kamu dekati aku lagi, mengerti!" Luna melayangkan tatapan tajam dan raut marah. Ia benar- benar bingung menghadapi sikap suami dari sahabatnya itu. Rayyanza diam mematung. Lagi-lagi, wanita itu menolaknya dengan kasar. Luna segera pergi dari hadapan Rayyanza. Ia sama sekali tak memedulikan Rayyanza yang berdiri memandanginya dengan raut sedih. Pria dengan perawakan tinggi atletis itu berbalik badan. Berjalan masuk ke dalam mobilnya. "Bagaimana mungkin aku bisa menganggap tidak pernah terjadi sesuatu diantara kita?" gerutu Rayyanza sembari tangannya menekan tombol start engine. Kendaraan berwarna merah seharga dua belas miliar melaju pelan meninggalkan pelataran parkir swalayan. Banyak pasang mata memandang mobil sedan sport tersebut dengan perasaan kagum. Luna berjalan kaki menuju rumah
Di dalam mobil yang merupakan saksi bisu kejadian satu malam panas, Luna menghela napas panjang. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran jok. "Rayyan ... dengar. Yang terpenting saat ini, Amanda tidak boleh sampai mengetahui kejadian malam itu. Aku sangat tidak siap jika harus kehilangan sahabat sebaik Amanda. Aku sangat memohon padamu Rayyan. Jangan dekati aku lagi. Aku tidak mencintaimu dan kita tidak akan mungkin bersatu." "Tapi, Luna ...." "Kamu tau? kamu itu seperti bintang di langit, aku hanya bisa memandanginya. Selebihnya, aku tidak pernah berpikir macam-macam." ucap Luna dengan wajah sendu. "Jadi, aku mohon Rayyan .... Tolonglah aku. Aku sangat memohon padamu. Mulai sekarang, jauhi aku! Aku benar-benar tidak akan memaafkanmu jika sampai Amanda mengetahuinya." Merasa tak mendapatkan jawaban dari pertanyaanya. Rayyanza mencoba kembali bertanya. "Apakah aku yang pertama melakukannya?" Luna menggeleng. "Bukan!" "Bohong! Aku tau kamu berbohong, Luna!" Rayyanza seolah tak terima
Dua minggu berlalu dengan cepat. Malam itu, Amanda menginap di apartemen Luna, berniat menemani sahabatnya sebelum melepas masa lajang. "Kapan kamu dan Ryuki akan menyusul kami?" tanya Luna pada Amanda, penuh keingintahuan.Amanda tersenyum lembut, tangannya dengan lembut menyisir rambut panjang Luna. "Doakan saja, semoga kami cepat menyusul kalian."Luna melirik jam yang menggantung di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Apa kamu tidak mengantuk?" tanyanya pada Amanda."Aku belum mengantuk," balas Amanda. "Besok kamu akan menikah, sebaiknya kamu tidur agar wajahmu fresh."Luna menggeleng pelan. "Aku juga tidak bisa tidur."Amanda tersenyum maklum. "Kalau begitu, bagaimana jika kita paksakan untuk tidur?" usulnya, lalu mematikan lampu kamar. Ia memeluk tubuh Luna dengan lembut. "Sini biar aku peluk.""Lepas, Manda, geli!" Luna meronta, tawanya terdengar dalam kegelapan.Amanda tertawa kecil. "Apa kamu ingat, dulu ketika kuliah, kita sering tidur bersama seperti ini."Lu
Malam berganti pagi. Sinar mentari yang hangat mulai merayap masuk melalui celah-celah tirai, membangunkan Luna dari tidur lelapnya. Ia mengerjapkan mata, berusaha memfokuskan pandangan. Seketika, ia terkesiap mendapati dirinya berada dalam pelukan Rayyanza. Kehangatan tubuh pria itu membuatnya nyaman, tetapi juga membuat jantungnya berdegup kencang.Pergerakan Luna rupanya cukup untuk membangunkan Rayyanza. Pria itu menggeliat pelan, tangannya masih melingkar di pinggang Luna. Di samping Rayyanza, terdengar ocehan riang Arshaka yang sudah terjaga."Ah, anak mama sudah bangun?" kata Luna, menoleh pada putranya dengan senyum lembut.Rayyanza, masih setengah tertidur, dengan gerakan manja menyembunyikan wajahnya di perut Luna. "Aku masih ngantuk, Sayang," rengeknya."Lagi pula, siapa yang membangunkanmu? Aku mengajak bicara Arshaka," ujarnya. "Jika masih ngantuk, tidur lagi saja."Mata Luna melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 07.00 pagi. Perlahan, ia beranjak dari tempat tidur,
Malam itu, setelah perjalanan yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di basement apartemen. Luna turun dari mobil dengan hati-hati, kakinya yang masih terpincang membuatnya sedikit kesulitan. Ia berdiri sejenak, mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang remang-remang itu. Tanpa bisa dicegah, ingatannya melayang ke malam yang kelam, malam di mana persahabatannya dengan Amanda hancur berkeping-keping. Namun, kini segalanya telah berubah. Luna merasa sangat bersyukur, menyadari bahwa pada akhirnya, semuanya baik-baik saja.Mereka melangkah bersama-sama menuju lift. Ruangan berdinding besi itu membawa mereka naik ke lantai sepuluh dalam keheningan yang nyaman. Setibanya di depan pintu apartemen, Amanda tiba-tiba berpamitan, suaranya terdengar sedikit gugup."Maaf, aku tidak bisa lama. Aku sudah ada janji dengan seseorang," ujarnya.Semua mata tertuju pada Amanda, dan Luna pun tak bisa menahan rasa penasarannya. "Mau ke mana malam-malam begini?" tanyanya, dengan alis yang terangk
Siang menjelang sore, suasana di rumah mendiang nenek Luna terasa hangat. Bu Dona masih terus mengajak main Arshaka yang mulai mengoceh. Bayi itu juga sering melebarkan senyum, membuat ingatan Bu Dona kembali ke masa Rayyanza masih bayi."Mengapa kamu mirip sekali dengan papamu, Nak?" cetusnya, memandangi wajah polos Arshaka.Luna baru saja keluar dari kamar mandi, dengan balutan handuk, ia melangkah terpincang-pincang hendak masuk ke kamar. Rayyanza yang saat itu tengah berdiri di antara ruang tamu dan ruang tengah menoleh ke arah Luna, kemudian melangkah mendekatinya. "Sudah selesai mandinya, Sayang?" tanyanya seraya memegangi tangan Luna agar tidak jatuh.Wanita yang hanya berbalut handuk itu merasa malu dan risih. "Sudah, sana! Aku bisa sendiri.""Aku hanya ingin membantumu berjalan," Rayyanza bersikeras."Tapi aku malu!" protes Luna."Malu?" Rayyanza tertawa. "Mengapa malu? Bahkan aku pernah melihatmu tanpa sehelai kain.""Sudah hentikan, Rayyan! Itu tidak lucu sama sekali!" Lun
Rayyan langsung melepaskan pelukannya saat menoleh ke arah pintu masuk. Luna dengan ramah mengajak Irwan untuk masuk, "Ayo, masuk, Mas."Irwan, pria desa yang telah menaruh hati pada Luna itu berdiri canggung di ambang pintu. "Maaf, sepertinya sedang ada pertemuan penting. Sebaiknya saya kembali lagi nanti," ucapnya, hendak melangkah pergi."Tunggu!" panggil Luna tiba-tiba. Irwan berhenti dan kembali menghadap Luna."Masuklah, Mas. Kenalkan, ini Ayah anak saya," kata Luna tanpa menyadari betapa menyakitkan kalimat itu bagi Irwan. Seketika, harapan yang baru saja muncul di mata Irwan langsung sirna, digantikan oleh kekecewaan yang ia coba sembunyikan.Irwan memaksakan senyum dan mengangguk, melangkah masuk mendekati Luna. Tangannya terulur, mengajak bersalaman pada Rayyanza. "Saya Irwan," ucapnya dengan suara yang ia usahakan agar tetap tenang.Rayyanza menatap Irwan dari atas hingga bawah. Kali ini, ia tidak merasa cemburu seperti pada Ryuki karena Irwan tidak semenarik Ryuki. Ayah A
Sekujur tubuh Rayyanza menegang ketika melihat sosok wanita yang sangat dikenalnya. "Sayang ...," gumamnya. Pria tampan itu segera melangkah menerobos kerumunan hiruk-pikuk pasar, diikuti oleh Bu Dona, Amanda, dan Nikita yang berjalan di belakangnya. Mereka tampak tergesa-gesa, seolah-olah tengah mengejar seseorang.Sementara itu, Luna sama sekali tidak menyadari kehadiran Rayyanza. Ia masih fokus melayani pembeli, tangannya menyodorkan kantong plastik hitam berisi ikan yang baru saja ditimbangnya, sembari menerima uang pembayaran. "Terima kasih," ucapnya ramah seraya tersenyum.Baru saja ia akan memasukkan uang hasil penjualannya ke dalam dompet, tiba-tiba terdengar suara yang sangat tidak asing lagi di telinganya. "Sayang ...?!"Luna menoleh dan terhenyak kaget, matanya melebar saat melihat Rayyanza berdiri di hadapannya. Namun, begitu melihat Bu Dona berada di belakang Rayyanza, Luna segera berbalik badan dan berlari kecil menjauhi mereka, ketakutan jika Bu Dona akan kembali menga
Suasana di dalam ruangan rawat dipenuhi oleh haru. Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Bu Dona dan Amanda, sementara Nikita berusaha menahan isakan yang tertahan di tenggorokannya. "Benarkah?" tanya Rayyanza dengan mata yang berbinar, seolah mendapatkan kembali cahaya kehidupan yang telah lama redup.Nikita mengangguk, air mata menetes di pipinya. "Iya, Kak Rayyan. Pokoknya, Kak Rayyan harus sehat.""Jadi, di mana mereka tinggal?""Mereka tinggal di sebuah desa terpencil di Sukabumi," terang Nikita."Desa terpencil? Pantas sulit sekali menemukannya," cetus Amanda."Mari kita pergi ke sana!" Rayyanza tiba-tiba terlihat sangat bersemangat, berusaha bangkit dari tempat tidurnya."Kak Rayyan sedang sakit, sebaiknya aku saja yang pergi," Nikita mencoba menahan."Tidak! Aku ingin ikut," Rayyanza bersikeras.Bu Dona ikut menimpali dengan nada khawatir, "Tapi Rayyan ... sebaiknya kamu pulihkan dulu kesehatanmu.""Aku akan sehat, Ma. Aku pasti kuat. Mulai sekarang aku akan makan dengan laha
Dengan hati yang dipenuhi rasa sakit, Nikita memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka. Rasa bencinya terhadap keluarga Rayyanza telah membutakan nuraninya, membuatnya tak peduli dengan keadaan Rayyanza.Melihat situasi yang tidak menguntungkan, akhirnya Amanda mengajak Bu Dona untuk mundur. "Ayo, Ma, sebaiknya kita kembali ke rumah sakit."Bu Dona hanya bisa mengangguk pasrah, kesedihan terpancar jelas di wajahnya karena gagal membujuk Nikita. Keduanya melangkah keluar dari kafe dengan langkah berat, masuk ke dalam mobil yang terparkir di luar.Selama perjalanan kembali ke rumah sakit, Amanda melajukan mobil dengan hati-hati. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari cara lain untuk menemukan Luna.Setibanya di rumah sakit, sebuah ide muncul di benak Amanda. Ia melangkah cepat menuju ruang informasi, berniat untuk melihat rekaman CCTV saat Bu Dona keluar meninggalkan ruangan rawat Rayyanza sebelumnya.Dengan alasan keamanan, pihak rumah sakit mengizinkan Amanda dan Bu Dona untuk ma
Suasana di ruangan VVIP rumah sakit terasa begitu memilukan. Rayyanza, terbaring lemah di ranjangnya, menatap nanar ke arah Bu Dona. Matanya menyiratkan harapan yang begitu rapuh ketika ia bertanya dengan suara lirih, "Benar, Ma? Mama akan mengizinkan aku untuk bertemu dengan Luna dan juga anakku?"Bu Dona hanya bisa mengangguk, tak sanggup berkata-kata. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya menetes. Ia kemudian berbalik badan dan melangkah keluar ruangan, diikuti oleh Amanda.Di luar kamar, Bu Dona langsung menghadap Amanda. "Di mana wanita itu tinggal?" tanyanya.Amanda menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, Ma. Kemarin aku sudah berusaha mencari Luna, tetapi tidak diketahui keberadaannya," jelasnya dengan wajah sedih."Lalu kita harus mencarinya ke mana?" tanya Bu Dona lagi.Saat itulah, Bu Dona yang selama ini dikenal keras kepala akhirnya menyadari sesuatu. Satu-satunya hal yang bisa mengembalikan semangat hidup Rayyanza adalah Luna dan anaknya. Rasa takut kehilangan putranya ka