"Laluna ...! Aku menyukaimu!" Suara bariton itu terdengar dengan sangat jelas walaupun terpisah jarak beberapa meter.
"Apa?" Wanita yang tengah menunggu bus itu melotot dan langsung melihat ke sekeliling mereka. Ia khawatir ada seseorang yang akan mendengar ucapan Rayyanza. Tapi, untungnya tidak ada satu orang pun berada di sana.Luna melangkahkan kaki, mendekatkan tubuhnya pada Rayyanza. "Kamu jangan bercanda, ya!" ucapnya setengah berbisik."Tidak, Luna. Aku serius. Aku menyukaimu!" terangnya menatap luna dengan tatapan sayu. "Maukah kamu menjadi pacarku?" tanyanya lagi.Luna tersenyum miring, tentu saja ia tidak percaya dengan perkataan Rayyanza. Ia menganggap ungkapan itu hanyalah sebuah omong kosong belaka. Lagi pula, mana mungkin hanya beberapa kali bertemu di ruang himpunan pria itu bisa langsung jatuh cinta padanya."Maaf, Kak Rayyan. Saat ini, aku ingin fokus belajar di kampus ini. Aku harus mendapat nilai yang bagus agar aku bisa terus memperoleh beasiswa di kampus ini," tolak wanita berambut panjang itu secara halus."Itu masalah kecil, Luna. Aku bisa mengajukan beasiswa untukmu. Tanpa kamu harus bersusah payah."Luna tidak ingin mendapat jalan pintas seperti itu. Ia terbiasa berjuang sendiri. Apalagi jika hanya demi mendapatkan beasiswa, dirinya harus sampai memanfaatkan Rayyanza. Tentu saja ia tidak akan mau melakukannya."Sekali lagi aku minta maaf, Kak! Aku tidak bisa menerimamu!" jawabnya dengan enteng."T-tapi, Luna!" Belum selesai pria tampan itu berkata, Luna sudah masuk ke dalam bus yang baru saja berhenti di hadapannya.Rayyanza, bak pangeran terkaya di kampus itu tidak pernah merasakan ditolak oleh seorang wanita. Namun, siapa sangka, kali ini ia ditolak oleh gadis termiskin di kampus tersebut.Pria berkemeja putih itu berdiri menatap bus yang baru saja pergi berlalu membawa wanita pujaan hatinya. Setelah penolakan itu, hatinya merasa hancur berkeping-keping. Sakit, namun tidak berdarah. Ia pun tak mengerti, mengapa ia sangat tertarik pada wanita dingin itu."Ck ..., ada-ada saja. Dia pikir, aku akan percaya dengan kata-katanya? Dasar buaya," gumam Luna berdecak kesal.Banyak wanita yang mengagumi ketampanan Rayyanza. Dimata mereka, Rayyanza adalah sosok pria yang sangat sempurna. Tampan, berkharisma, dan kaya raya. Meski begitu, Rayyanza bukanlah tipikal laki-laki yang sering bergonta-ganti wanita. Jika ia sudah menautkan hatinya pada satu wanita, maka ia akan setia pada wanita tersebut.Keesokan harinya, Rayyanza memperlihatkan sikap dingin pada Luna. untuk sekedar tersenyum saja, ia enggan. Apalagi jika harus menyapanya. Baginya, Luna adalah sumber kekecewaannya.Setelah beberapa hari Amanda liburan di Swiss bersama orang tuanya. Hari ini, ia kembali masuk kuliah seperti biasa.Niiiit .... Niiit ....Suara klakson mobil memecah keheningan area pemukiman rumah Bibi Luna. Seperti biasa, Amanda menjemput sahabatnya itu sebelum ia berangkat ke kampus. Mereka selalu bersama kapan pun dan dimana pun.Empat tahun sudah mereka bersahabat. Tak jarang, Amanda yang keadaan status sosialnya jauh diatas Luna, sering kali menolong Luna ketika ia sedang merasa kesulitan.Dari semenjak orang tuanya meninggal, Luna bekerja part time di resto milik sang bibi. Saat itu usianya baru menginjak 15 tahun. Setelah pulang sekolah, ia jarang sekali bermain seperti anak-anak seusianya. Ia lebih memilih membantu Bibinya di resto. Dengan begitu, ia akan mendapatkan upah dari hasil bantu-bantu untuk kebutuhanya.Sebenarnya, Luna tidak pernah meminta imbalan. Bibinya juga tidak menganggap Luna sebagai pekerja. Hanya saja, sang bibi merasa berterima kasih pada Luna karena telah membantunya di cafe. Ia dan Nikita tinggal bersama Bibi Santika di rumahnya. Karena rumah peninggalan orang tua Luna telah disita oleh Bank.Luna dan Nikita merupakan gadis yang sangat baik. Tak hanya baik, mereka juga sangat pintar. Keduanya selalu mendapat beasiswa karena kepintarannya. Dari hasil membantu Bibi Santika di cafe, ia tabung untuk kebutuhan pribadinya dan juga Nikita."Cepat!" teriak Amanda dari dalam mobil.Laluna, duduk di atas bangku yang ada di teras rumah. Ia sibuk mengenakan sepatunya, kemudian berlari menghampiri mobil berwarna putih milik Amanda yang sedari tadi sudah terparkir menunggunya."Uugh, lama sekali!" gerutu wanita yang baru saja pulang berlibur itu."Mana oleh-olehnya?" goda Luna pada sahabatnya ketika gadis itu baru saja masuk ke dalam mobil."Tuh, dibelakang!" jawab Amanda seraya memutar setengah kepalanya ke arah belakang.Wanita yang duduk di balik kemudi itu sangat tidak pelit jika pada sahabatnya. Luna selalu mendapat banyak oleh-oleh dari Amanda ketika sahabatnya itu pergi ke luar negri bersama orang tuanya.Dengan tidak sabar, Luna meraih paper bag yang tergeletak di kursi belakang. Tangannya merogoh beberapa benda yang ada di dalam paper bag itu. Jam tangan dan beberapa box berisi cokelat khas Swiss kini berada di tanganya."Wah ..., jam tanganya bagus sekali. Pasti ini mahal?!" cetus wanita bermata hazel itu."Aku gak tau, soalnya papa yang membayarnya!" Jawab Amanda tertawa.Luna, melingkarkan jam tangan itu di pergelangan tangan kirinya. Kemudian, memandanginya selama beberapa saat. Jam tangan itu terlihat sangat pas di tangan Luna. Amanda benar-benar tau apa yang cocok untuk sahabatnya itu."Nih makan!" Luna membuka bungkusan cokelat lalu menyuapi Amanda yang sedang fokus menyetir."Enak, ya?!" cetus Luna seraya mengunyah cokelat ala Swiss tersebut.Walaupun status sosial keduanya sangat jauh berbeda, itu sama sekali tidak menjadi penghalang bagi persahabatan mereka. Justru, Luna yang lebih pintar dari Amanda sering membantu Amanda dalam hal pelajaran. Sehingga, nilai rapot wanita yang hampir tidak naik kelas itu menjadi bagus dan orang tuanya pun menjadi bangga padanya."Eh Lun, Foto dulu donk. Hari ini kita belum foto, kan? Story i***a*ram aku masih kosong nih!" celetuk wanita yang sedang memegang setir mobil itu. "Pake hape aku aja fotonya." tambahnya lagi.Luna meraih ponsel milik Amanda keluaran terbaru yang harganya mencapai dua digit. "Lihat sini! Satu ... Dua ... Tig-."BRAAAAAKKKK!!!!Benturan yang sangat keras membuat tubuh Luna yang tidak menggunakan sabuk pengaman, terhuyung ke depan seketika. Kepalanya membentur dashboard mobil hingga pelipisnya memar.Mobil berwarna putih itu menabrak sesuatu dengan sangat kencang. Amanda yang merasa sudah mengendarai mobilnya dengan benar menjadi emosi, ketika ia melihat mobil berwarna hitam bertabrakan dengan mobilnya.Amanda turun dari mobil untuk memeriksa kerusakannya. Bumper bagian depan terlihat penyok, dan kaca lampunya pun pecah."Keluar kamu!" teriak Amanda memukul kap mesin mobil hitam yang menabraknya.Dari balik kaca mobil, terlihat samar seorang pria dengan santai melepas sabuk pengamannya. Kemudian, membuka pintu mobil secara perlahan.Pria bertubuh tinggi atletis, berkaca mata hitam dan berhidung mancung berdiri dengan gagahnya di hadapan Amanda. Sehingga membuat wanita berbaju putih itu terpana dengan ketampanannya."Apa kamu tidak bisa menyetir dengan benar, Hah?!"Sosok Pria tampan berdiri tegap membuka kacamatanya secara perlahan. Menatap sinis Amanda dengan raut menantang. Wanita yang sebelumnya sangat emosi itu, tiba-tiba saja meleleh seperti lilin yang tersulut api. "Kamu punya mata gak, hah?!" sentak pria pemilik mobil hitam itu.Amanda terus menatap wajah pria berhidung mancung itu tanpa memedulikan pertanyaan sekaligus makian yang terlontar dari mulutnya. Ia memilih melempar senyum manisnya. Tak peduli jika pria itu tak membalas senyumannya. "Manda!" teriak Luna, yang kemudian turun dari mobil berjalan setengah berlari menghampiri Amanda, ia langsung berdiri di samping sahabatnya. Pria yang penuh emosi itu menggeser pandanganya pada gadis pujaan hatinya yang beberapa hari lalu menolak cintanya. Mereka saling beradu pandang selama beberapa saat sebelum pria itu mencetuskan kata-kata makian berikutnya. "Ini gara-gara kelakuan kalian bermain handphone di dalam mobil. Sekarang, lihat sendiri kan akibatnya?!" teriak Rayyanza seraya berkaca
Tak lama setelah penolakan yang bertubi-tubi. Rayyanza diketahui berpindah ke Amerika. Ia tinggal bersama sang paman untuk melanjutkan study di sana. Kepindahannya yang sangat tiba-tiba, menjadi berita terpanas di kampus tersebut. Amanda merasa patah hati. Baru saja dirinya berkenalan dengan Rayyanza, kini harus menelan pil pahit karena pujaan hatinya itu meninggalkan Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Empat tahun berlalu. Setelah lulus kuliah, Luna bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang advertising. Ia menjabat sebagai staf administrasi di perusahaan tersebut. Sedangkan Amanda bekerja di perusahaan milik sang Ayah. Secara kebetulan, Amanda dan Rayyanza dipertemukan kembali ketika Amanda ditugaskan mengurusi urusan penanaman saham di perusahaan milik Ayah Rayyanza. Yang dimana Rayyanza menjabat sebagai CEO di perusahaan tersebut. Setelah pertemuan itu. Amanda mengungkapkan kekagumannya terhadap Rayyanza kepada Ibunya. Hingga akhirnya, terjadi kesepakatan di antar
Di dalam rumah yang tidak begitu luas, Nikita memeluk erat sang kakak. Mencoba membantu menenangkannya. "Nih, Kak. Sebaiknya Kakak minum dulu!" Gadis itu menyodorkan segelas teh manis hangat ke hadapan sang kakak. Kemudian, Luna meniup dan menyeruput teh yang masih mengeluarkan asap tipis itu. Setelah merasa sedikit tenang, Luna menceritakan kejadian malam itu pada Nikita. Selama ini, ia memang selalu terbuka pada adik satu-satunya itu. "Sudahlah, Kak. Kaka tidak perlu lagi merasa bersalah pada Kak Amanda. Lagi pula, semua itu terjadi karena Kakak dan dia sedang mabuk. Kejadian itu juga terjadi begitu saja tanpa ada unsur disengaja!""Tapi, Nik. Bagaimana jika sampai Manda tau? Aku takut dia akan marah dan tidak menganggapku sebagai temannya lagi!" ucap Luna dengan resah. "Selama dia dan Kak Luna bisa menyimpan kejadian ini rapat-rapat. Aku yakin Kak Manda tidak akan sampai mengetahuinya. Lagi pula, tidak ada yang melihat kalian berdua ada di sana, kan?!" Sebenarnya, Nikita merasa
Sore itu, tepat di jam biasanya Nikita pulang dari membantu Bibi Santika di cafe. Gadis itu membuka pintu pagar. Matanya menatap ke arah bawah, melihat sepasang sepatu pria yang terbuat dari bahan kulit asli dan sepertinya berharga mahal."Sepatu siapa?!" gumamnya dalam hati. Tak ingin membuang waktu, Nikita memegang handle pintu, kemudian menekannya ke bawah sembari mendorongnya. "Kamu! Mau apa kamu datang ke sini, hah?!" Teriakan Nikita memecah keheningan. Gadis itu berdiri di hadapan Rayyanza. Matanya melotot dan berkacak pinggang. Ia benar-benar tak dapat menahan amarahnya ketika melihat secara langsung pria yang telah menodai Kakaknya. Luna beranjak dari duduknya, kemudian mendekati Nikita. "Sudah Nik, biar aku yang menyelesaikannya sendiri. Sekarang, kamu masuk ke dalam kamar, oke?!" ujar Luna seraya mengelus bahu Nikita. "Tapi, kak-." "Sudaaah ..., ayo!" Luna menggerakan kepala mengarahkannya ke dalam kamar.Gadis cantik yang mengenakan kaos hitam itu mendelikan mata lalu
Mendengar pertanyaan Amanda, Luna mendadak gugup. Seperti layaknya orang yang ketahuan berbohong. Luna yang sebelumnya tidak pernah membohongi sahabatnya, kini menjadi panik karena harus mengarang cerita dengan cepat agar Amanda tidak curiga. "Eum ..., itu-," kata-katanya terhenti karena ia tidak berhasil menemukan bahan untuk berbohong. "Itu milik temanku, Kak!" cetus Nikita yang baru saja keluar dari kamarnya. "Oh ..., punya temanmu? Teman atau pacar, ayo ngaku?" ledek Amanda seraya melebarkan senyum. Wanita itu meletakkan korek elektrik yang ia pegang di atas meja ruang tamu. Luna yang merasa kesulitan untuk berbohong, akhirnya bisa bernapas lega. "O-ya, ada urusan apa kamu ke korea?""Biasalah ..., aku liburan bersama mama. Rayyan tidak ikut karena dia sedang sibuk dengan pekerjaanya!" terangnya. "Kamu mau ikut?" tanya Amanda. Luna tersenyum. "Sudah ku katakan, jika aku tidak masuk kerja, apalagi sampai dua minggu, aku akan ditendang!" "Tenang ..., perusahaan sahabatmu ini
Sore itu, Luna merasa sudah kehabisan kesabaran. Setelah sebelumnya ia menghadapi Rayyanza dengan cara yang lembut namun tidak berhasil, kali ini ia mencoba dengan cara yang kasar. "Jangan pernah kamu dekati aku lagi, mengerti!" Luna melayangkan tatapan tajam dan raut marah. Ia benar- benar bingung menghadapi sikap suami dari sahabatnya itu. Rayyanza diam mematung. Lagi-lagi, wanita itu menolaknya dengan kasar. Luna segera pergi dari hadapan Rayyanza. Ia sama sekali tak memedulikan Rayyanza yang berdiri memandanginya dengan raut sedih. Pria dengan perawakan tinggi atletis itu berbalik badan. Berjalan masuk ke dalam mobilnya. "Bagaimana mungkin aku bisa menganggap tidak pernah terjadi sesuatu diantara kita?" gerutu Rayyanza sembari tangannya menekan tombol start engine. Kendaraan berwarna merah seharga dua belas miliar melaju pelan meninggalkan pelataran parkir swalayan. Banyak pasang mata memandang mobil sedan sport tersebut dengan perasaan kagum. Luna berjalan kaki menuju rumah
Di dalam mobil yang merupakan saksi bisu kejadian satu malam panas, Luna menghela napas panjang. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran jok. "Rayyan ... dengar. Yang terpenting saat ini, Amanda tidak boleh sampai mengetahui kejadian malam itu. Aku sangat tidak siap jika harus kehilangan sahabat sebaik Amanda. Aku sangat memohon padamu Rayyan. Jangan dekati aku lagi. Aku tidak mencintaimu dan kita tidak akan mungkin bersatu." "Tapi, Luna ...." "Kamu tau? kamu itu seperti bintang di langit, aku hanya bisa memandanginya. Selebihnya, aku tidak pernah berpikir macam-macam." ucap Luna dengan wajah sendu. "Jadi, aku mohon Rayyan .... Tolonglah aku. Aku sangat memohon padamu. Mulai sekarang, jauhi aku! Aku benar-benar tidak akan memaafkanmu jika sampai Amanda mengetahuinya." Merasa tak mendapatkan jawaban dari pertanyaanya. Rayyanza mencoba kembali bertanya. "Apakah aku yang pertama melakukannya?" Luna menggeleng. "Bukan!" "Bohong! Aku tau kamu berbohong, Luna!" Rayyanza seolah tak terima
Pria yang berprofesi sebagai dokter hewan itu menatap Amanda dengan tatapan bingung. Pasalnya, wanita yang tempo hari datang mengaku sebagai pemilik puma bukanlah wanita yang saat ini berdiri di hadapannya. "Apakah benar, anda pemilik puma?!" tanyanya. "Benar, Dok! Yang tempo hari mengantar puma kesini, mereka adalah suami dan sahabat saya!" "O-yah? Maaf, saya kira mereka adalah pasangan suami istri."Mendengar perkataan Dokter tersebut, hati Amanda seperti terhenyak. Namun, langsung saja ia menepisnya. "Tidak mungkin Luna dan Rayyanza bermain di belakangku," gumamnya dalam hati. Dokter tampan itu menenteng cargo pet yang berisikan puma. Suara ngeong dari kucing hitam itu terasa menyentuh hati Amanda. Ia sangat rindu pada hewan peliharaanya. "Hai, sayang ... apakah kamu sudah sehat?!" tanyanya sembari menatap hewan berbulu itu. "Ini obat dan vitamin yang masih harus diberikan pada puma," terang Dokter. Amanda mengangguk. "Terima kasih, Dok!" Sore itu, Amanda berpamitan pada Do