Tak lama setelah penolakan yang bertubi-tubi. Rayyanza diketahui berpindah ke Amerika. Ia tinggal bersama sang paman untuk melanjutkan study di sana.
Kepindahannya yang sangat tiba-tiba, menjadi berita terpanas di kampus tersebut.Amanda merasa patah hati. Baru saja dirinya berkenalan dengan Rayyanza, kini harus menelan pil pahit karena pujaan hatinya itu meninggalkan Indonesia untuk waktu yang cukup lama.Empat tahun berlalu. Setelah lulus kuliah, Luna bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang advertising. Ia menjabat sebagai staf administrasi di perusahaan tersebut. Sedangkan Amanda bekerja di perusahaan milik sang Ayah.Secara kebetulan, Amanda dan Rayyanza dipertemukan kembali ketika Amanda ditugaskan mengurusi urusan penanaman saham di perusahaan milik Ayah Rayyanza. Yang dimana Rayyanza menjabat sebagai CEO di perusahaan tersebut.Setelah pertemuan itu. Amanda mengungkapkan kekagumannya terhadap Rayyanza kepada Ibunya. Hingga akhirnya, terjadi kesepakatan di antara orang tua Rayyanza dan Amanda untuk menjodohkan kedua putra putrinya. Tanpa bisa menolak permintaan sang ibu, Rayyanza dengan terpaksa menikahi Amanda."Sayang ..., aku sedang malas menyetir. Bisa tolong antar aku ke rumah Luna? Aku khawatir padanya!" pinta Amanda pada Rayyanza.Pria yang baru saja terbangun dari tidurnya itu mengangguk pelan. Ini adalah kesempatan bagi dirinya untuk bisa mengetahui dimana tempat tinggal Luna yang sekarang. Karena, sedari dulu wanita itu selalu berpindah-pindah. Jika dirasa sudah tidak cocok, biasanya Luna langsung mencari rumah kontrakan yang baru."Tunggu sebentar. Aku mandi dulu!"Dengan penuh semangat, Rayyanza bersiap-siap. Namun, ia tidak ingin memperlihatkan semangat membaranya pada Amanda karena takut istrinya itu menaruh curiga padanya."Ayo, Sayang!" ajak Rayyanza yang baru saja keluar dari kamar.Amanda menoleh. Memindai penampilan Rayyanza yang menurutnya terlihat sangat keren dan tampan. Wangi parfumnya pun seketika menyeruak memenuhi indra penciuman Amanda."Tumben rapih sekali. Biasanya jika mengantarku, kamu hanya memakai celana pendek.""Eum ..., baiklah. Aku akan menggantinya."Rayyanza berbalik badan, hendak masuk kembali ke dalam kamar. Namun, belum sempat kakinya melangkah, Amanda langsung menghentikannya."Jangan! Sudah, tidak apa-apa. Lagi pula, aku sangat menyukai penampilanmu," ucapnya sembari mengelus dada bidang dengan tatapan menggoda."Ayo ...!" Pria yang terkadang bersikap dingin itu tak mengindahkan sentuhan mesra dari sang istri. Amanda pun tidak merasa heran. Karena dari semenjak menikah, sikapnya memang sudah seperti itu.Keduanya berjalan menuju area parkir, kemudian masuk ke dalam mobil. Seorang penjaga rumah dengan cepat membuka pintu pagar. Mobil sport berwarna merah milik Rayyanza melaju dengan elegan keluar dari rumah yang bernuansa minimalis namun mewah.Amanda memberi petunjuk jalan pada Rayyanza. Pria yang duduk di balik kemudi itu diam-diam mengingat jalan yang dilaluinya. Agar, jika suatu hari dirinya akan menemui Luna, ia tidak akan kesusahan untuk menemukan rumahnya."Nah ..., itu rumahnya!" tunjuk Amanda pada sebuah rumah berdinding putih dan berpagar hitam pendek. Rumah yang terlihat sangat sederhana sekali bahkan jauh dari kata mewah."Aku menunggu di mobil saja, ya!" cetus Rayyanza.Melihat rumah yang ditunjuk oleh Amanda, seketika jantungnya berdegup dengan kencang. Perasaanya menjadi sangat gelisah."Loh ..., ayo masuk. Sebentar saja, kok!" Amanda memaksa suaminya itu untuk ikut bersamannya. Masuk ke dalam rumah Luna.Rayyanza berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. Berjalan mendekati rumah dengan menundukan wajahnya.Tok. Tok. Tok."Amanda?!" Luna membuka pintu. Memasang raut tak senang."Luna, bagaimana keadaanmu?" tanya Amanda khawatir. Tangannya langsung memegang bagian kening Luna yang ternyata bersuhu normal."Aku baik-baik saja kok Man!""O-ya, aku datang kemari bersama suamiku," ucap Amanda sembari memutar setengah badannya ke belakang.Pria yang berdiri di belakang tubuh amanda itu menunduk, kemudian sedikit mengangguk.Melihat penampakan pria yang semalam telah mengagahinya. Jantungnya tiba-tiba berdegup sangat kencang. Kedua tangan mengepal dengan erat. Untung saja, Amanda tidak menyadari perubahan mimik tersebut. Ia malah menerobos masuk ke dalam rumah Luna, kemudian menjatuhkan bokongnya di atas Sofa.Rayyanza berdiri mematung. Kepalanya masih menunduk, ia merasa tak kuasa untuk menatap Luna. Sedangkan Luna tak mengalihkan pandangannya sedikitpun. Ia menatap tajam pria di hadapannya dengan raut penuh kebencian.Amanda menoleh ke arah keduanya. "Loh ..., kok kalian malah diam disitu?!"Mendengar perkataan Amanda. Luna langsung mengerjapkan kedua matanya. Mencoba menenangkan perasaanya. Ia tak ingin sahabatnya itu menaruh curiga padanya. Maka dari itu, Luna langsung berusaha terlihat biasa-biasa saja pada Rayyanza."Silahkan masuk!" Luna mempersilahkan Rayyanza untuk masuk. "Kalian mau minum apa?""Tidak perlu repot-repot, Lun. Aku hanya mampir sebentar, kok!"Seperti biasa, kedua manusia yang telah lama bersahabat itu berbincang kesana kemari membicarakan hal yang sebetulnya tidak penting.Rayyanza mengangkat wajahnya. Memberanikan diri menatap Luna yang tengah duduk di hadapannya. Matanya tertuju pada leher jenjang milik wanita cantik itu. Beberapa noda merah terlihat mengintip dari balik kerah baju yang dikenakannya."Benar. Itu semua bukan mimpi. Aku benar-benar melakukannya!" monolog pria itu dalam hati.Setelah puas berbincang, Amanda berpamitan pada Luna. "Lekas sehat ya, Lun!"Kedua pipi wanita cantik itu saling beradu. "Daaaah ...." Amanda melambaikan tangan pada Luna. Yang kemudian disambut oleh lambaian tangan Luna dan senyum tipis.Setelah mobil merah saksi bisu dari kejadian semalam menghilang di ujung jalan. Luna menutup pintu kemudian bersandar di baliknya. Kedua tangan menutup wajah cantik yang kian memerah menahan marah. Wanita itu kembali menangis terisak. Perasaannya bercampur menjadi satu. Antara merasa bersalah pada Amanda dan marah pada Rayyanza.CEKLEK ....Suara gagang pintu dibuka oleh seseorang dari luar. Luna terperanjat. Tubuhnya terdorong ketika daun pintu itu terbuka. Wanita yang tengah menangis itu langsung menyeka air matanya."Kak Luna?" Nikita mengeryitkan dahi, menatap sang kakak yang tengah menangis dengan tatapan bingung. Kedua telapak tangannya mendarat di bahu Luna. "Kak Luna kenapa? Cerita padaku, Kak?"Pertanyaan Nikita membuat tangis Luna kian pecah. Wanita itu menangis tersedu-sedu. Nikita langsung memeluk erat sang kakak kemudian mengajaknya duduk di atas sofa."Sudah, Kak. Tenang ..., tenangkan diri Kakak." Nikita mengelus pelan punggung Luna untuk menenangkannya.Setelah tangisnya mereda. Gadis cantik yang baru berumur 17 tahun itu melayangkan pertanyaan pada Luna. "Sebenarnya ada apa ini, kak? Cerita sama aku! Kaka ga boleh memendam masalah sendirian."Sembari terisak, Luna mencoba menceritakan kejadian yang tengah menimpanya."Aku-." Kata-katanya menggantung di udara. Lidahnya terasa kelu. Ia menatap Nikita sekilas sebelum kembali menundukan wajahnya.Nikita benar-benar merasa penasaran. Ia terus bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi pada Luna. Tak seperti biasanya, Kakak yang selalu tegar dan kuat itu, kini terlihat begitu rapuh."Aku sudah mengkhianati sahabat terbaiku!" ucap Luna dengan terbata-bata."Hah, bagaimana maksudnya?" Nikita menatap penuh tanya."Aku-. Aku dan Rayyanza melakukan hubungan intim semalam!" terang Luna sembari terisak.Mendengar pengakuan itu. Nikita terbelalak. Ia sama sekali tak percaya dengan perkataan Luna."Kakak tidak sedang mengarang cerita, kan?" tanyanya dengan tatapan intimidasi.Luna menggeleng. Kedua tangan langsung menutup wajahnya. Tangis yang sudah mereda, kini kembali pecah."Aku jahat! Aku adalah teman yang sangat jahat!" Teriak Luna memecah keheningan.Di dalam rumah yang tidak begitu luas, Nikita memeluk erat sang kakak. Mencoba membantu menenangkannya. "Nih, Kak. Sebaiknya Kakak minum dulu!" Gadis itu menyodorkan segelas teh manis hangat ke hadapan sang kakak. Kemudian, Luna meniup dan menyeruput teh yang masih mengeluarkan asap tipis itu. Setelah merasa sedikit tenang, Luna menceritakan kejadian malam itu pada Nikita. Selama ini, ia memang selalu terbuka pada adik satu-satunya itu. "Sudahlah, Kak. Kaka tidak perlu lagi merasa bersalah pada Kak Amanda. Lagi pula, semua itu terjadi karena Kakak dan dia sedang mabuk. Kejadian itu juga terjadi begitu saja tanpa ada unsur disengaja!""Tapi, Nik. Bagaimana jika sampai Manda tau? Aku takut dia akan marah dan tidak menganggapku sebagai temannya lagi!" ucap Luna dengan resah. "Selama dia dan Kak Luna bisa menyimpan kejadian ini rapat-rapat. Aku yakin Kak Manda tidak akan sampai mengetahuinya. Lagi pula, tidak ada yang melihat kalian berdua ada di sana, kan?!" Sebenarnya, Nikita merasa
Sore itu, tepat di jam biasanya Nikita pulang dari membantu Bibi Santika di cafe. Gadis itu membuka pintu pagar. Matanya menatap ke arah bawah, melihat sepasang sepatu pria yang terbuat dari bahan kulit asli dan sepertinya berharga mahal."Sepatu siapa?!" gumamnya dalam hati. Tak ingin membuang waktu, Nikita memegang handle pintu, kemudian menekannya ke bawah sembari mendorongnya. "Kamu! Mau apa kamu datang ke sini, hah?!" Teriakan Nikita memecah keheningan. Gadis itu berdiri di hadapan Rayyanza. Matanya melotot dan berkacak pinggang. Ia benar-benar tak dapat menahan amarahnya ketika melihat secara langsung pria yang telah menodai Kakaknya. Luna beranjak dari duduknya, kemudian mendekati Nikita. "Sudah Nik, biar aku yang menyelesaikannya sendiri. Sekarang, kamu masuk ke dalam kamar, oke?!" ujar Luna seraya mengelus bahu Nikita. "Tapi, kak-." "Sudaaah ..., ayo!" Luna menggerakan kepala mengarahkannya ke dalam kamar.Gadis cantik yang mengenakan kaos hitam itu mendelikan mata lalu
Mendengar pertanyaan Amanda, Luna mendadak gugup. Seperti layaknya orang yang ketahuan berbohong. Luna yang sebelumnya tidak pernah membohongi sahabatnya, kini menjadi panik karena harus mengarang cerita dengan cepat agar Amanda tidak curiga. "Eum ..., itu-," kata-katanya terhenti karena ia tidak berhasil menemukan bahan untuk berbohong. "Itu milik temanku, Kak!" cetus Nikita yang baru saja keluar dari kamarnya. "Oh ..., punya temanmu? Teman atau pacar, ayo ngaku?" ledek Amanda seraya melebarkan senyum. Wanita itu meletakkan korek elektrik yang ia pegang di atas meja ruang tamu. Luna yang merasa kesulitan untuk berbohong, akhirnya bisa bernapas lega. "O-ya, ada urusan apa kamu ke korea?""Biasalah ..., aku liburan bersama mama. Rayyan tidak ikut karena dia sedang sibuk dengan pekerjaanya!" terangnya. "Kamu mau ikut?" tanya Amanda. Luna tersenyum. "Sudah ku katakan, jika aku tidak masuk kerja, apalagi sampai dua minggu, aku akan ditendang!" "Tenang ..., perusahaan sahabatmu ini
Sore itu, Luna merasa sudah kehabisan kesabaran. Setelah sebelumnya ia menghadapi Rayyanza dengan cara yang lembut namun tidak berhasil, kali ini ia mencoba dengan cara yang kasar. "Jangan pernah kamu dekati aku lagi, mengerti!" Luna melayangkan tatapan tajam dan raut marah. Ia benar- benar bingung menghadapi sikap suami dari sahabatnya itu. Rayyanza diam mematung. Lagi-lagi, wanita itu menolaknya dengan kasar. Luna segera pergi dari hadapan Rayyanza. Ia sama sekali tak memedulikan Rayyanza yang berdiri memandanginya dengan raut sedih. Pria dengan perawakan tinggi atletis itu berbalik badan. Berjalan masuk ke dalam mobilnya. "Bagaimana mungkin aku bisa menganggap tidak pernah terjadi sesuatu diantara kita?" gerutu Rayyanza sembari tangannya menekan tombol start engine. Kendaraan berwarna merah seharga dua belas miliar melaju pelan meninggalkan pelataran parkir swalayan. Banyak pasang mata memandang mobil sedan sport tersebut dengan perasaan kagum. Luna berjalan kaki menuju rumah
Di dalam mobil yang merupakan saksi bisu kejadian satu malam panas, Luna menghela napas panjang. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran jok. "Rayyan ... dengar. Yang terpenting saat ini, Amanda tidak boleh sampai mengetahui kejadian malam itu. Aku sangat tidak siap jika harus kehilangan sahabat sebaik Amanda. Aku sangat memohon padamu Rayyan. Jangan dekati aku lagi. Aku tidak mencintaimu dan kita tidak akan mungkin bersatu." "Tapi, Luna ...." "Kamu tau? kamu itu seperti bintang di langit, aku hanya bisa memandanginya. Selebihnya, aku tidak pernah berpikir macam-macam." ucap Luna dengan wajah sendu. "Jadi, aku mohon Rayyan .... Tolonglah aku. Aku sangat memohon padamu. Mulai sekarang, jauhi aku! Aku benar-benar tidak akan memaafkanmu jika sampai Amanda mengetahuinya." Merasa tak mendapatkan jawaban dari pertanyaanya. Rayyanza mencoba kembali bertanya. "Apakah aku yang pertama melakukannya?" Luna menggeleng. "Bukan!" "Bohong! Aku tau kamu berbohong, Luna!" Rayyanza seolah tak terima
Pria yang berprofesi sebagai dokter hewan itu menatap Amanda dengan tatapan bingung. Pasalnya, wanita yang tempo hari datang mengaku sebagai pemilik puma bukanlah wanita yang saat ini berdiri di hadapannya. "Apakah benar, anda pemilik puma?!" tanyanya. "Benar, Dok! Yang tempo hari mengantar puma kesini, mereka adalah suami dan sahabat saya!" "O-yah? Maaf, saya kira mereka adalah pasangan suami istri."Mendengar perkataan Dokter tersebut, hati Amanda seperti terhenyak. Namun, langsung saja ia menepisnya. "Tidak mungkin Luna dan Rayyanza bermain di belakangku," gumamnya dalam hati. Dokter tampan itu menenteng cargo pet yang berisikan puma. Suara ngeong dari kucing hitam itu terasa menyentuh hati Amanda. Ia sangat rindu pada hewan peliharaanya. "Hai, sayang ... apakah kamu sudah sehat?!" tanyanya sembari menatap hewan berbulu itu. "Ini obat dan vitamin yang masih harus diberikan pada puma," terang Dokter. Amanda mengangguk. "Terima kasih, Dok!" Sore itu, Amanda berpamitan pada Do
Wanita yang syok itu hanya diam menatap layar USG dengan tatapan kosong. Tak terasa, bulir air yang memenuhi kelopak mata sudah mengalir di pipi mulusnya. Dokter tersenyum menatap wanita yang tengah menitikan air mata itu. Ia mengira, Luna menangis karena merasa bahagia."Sekali lagi saya ucapkan selamat ya, Bu." Luna kemudian menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Tak ingin membuat dokter yang memeriksanya menjadi kebingungan. Wanita itu melempar senyum tipis pada sang dokter, seakan-akan tangis itu adalah sebuah tangis kebahagiaan.Dokter Tampan itu membubuhkan tinta di atas kertas putih, meresepkan sebuah vitamin untuk kesehatan Luna dan bayinya. "Saya akan memberi resep vitamin. Tapi, sebaiknya Anda memeriksakan kandungan Anda ke dokter spesialis kandungan agar lebih terkontrol kedepannya," ucap Dokter berkacamata itu. Luna mengangguk pelan. "Baik, Dok. Terima kasih." Setelah selesai memeriksakan kandungannya, Luna berjalan dengan lesu meninggalkan klinik tersebut. Rasa mu
Di halteu bus yang tidak terlalu padat itu, Luna duduk dengan kedua kaki berayun pelan. Matanya menatap lurus kedepan. Memandangi lalu lalang kendaraan yang lewat silih berganti. Namun, disela penantiannya, tiba-tiba saja mata yang masih sembab itu menangkap penampakan kendaraan berwarna merah melintas di hadapannya. "Rayyanza?!" Wanita itu langsung mengalihkan pandangannya ke sembarang arah ketika pria yang duduk di balik kemudi itu melirik Luna. "Kak, Rayyan?!" celetuk Nikita. Gadis belia itu langsung melempar tatapan tajam. Mobil yang melaju dengan tersendat akibat jalanan yang padat itu berhenti selama beberapa saat di hadapan Luna dan Nikita. Luna yang merasa tak nyaman itu langsung beranjak, merubah posisi duduknya membelakangi Rayyanza. Namun, pria tampan yang mengenakan setelan jas itu membuang wajah, kemudian melaju menyalip kendaraan yang ada di depannya ketika jalanan terlihat sedikit renggang. "Dasar pria brengsek!" maki Nikita. "Mobilnya sudah pergi, kak. Ayo be