Di dalam rumah yang tidak begitu luas, Nikita memeluk erat sang kakak. Mencoba membantu menenangkannya.
"Nih, Kak. Sebaiknya Kakak minum dulu!" Gadis itu menyodorkan segelas teh manis hangat ke hadapan sang kakak. Kemudian, Luna meniup dan menyeruput teh yang masih mengeluarkan asap tipis itu.Setelah merasa sedikit tenang, Luna menceritakan kejadian malam itu pada Nikita. Selama ini, ia memang selalu terbuka pada adik satu-satunya itu."Sudahlah, Kak. Kaka tidak perlu lagi merasa bersalah pada Kak Amanda. Lagi pula, semua itu terjadi karena Kakak dan dia sedang mabuk. Kejadian itu juga terjadi begitu saja tanpa ada unsur disengaja!""Tapi, Nik. Bagaimana jika sampai Manda tau? Aku takut dia akan marah dan tidak menganggapku sebagai temannya lagi!" ucap Luna dengan resah."Selama dia dan Kak Luna bisa menyimpan kejadian ini rapat-rapat. Aku yakin Kak Manda tidak akan sampai mengetahuinya. Lagi pula, tidak ada yang melihat kalian berdua ada di sana, kan?!"Sebenarnya, Nikita merasa sangat marah ketika mengetahui Rayyanza telah merenggut kesucian Luna. Namun, ia sadar. Jika ia marah pada Rayyanza, tentu saja semuanya akan menjadi kacau. Selain persahabatan Luna dan Amanda yang hancur, sudah tentu rumah tangga Amanda pun akan ikut hancur. Belum lagi harus menghadapi kekuasaan orang tua Rayyanza.Sepertinya memang tak ada pilihan lain selain membiarkan semua kejadian itu terkubur dalam-dalam.Keesokan harinya, Luna pergi bekerja. Sedangkan Amanda pergi bersekolah. Hari ini Luna memutuskan untuk move on dan melupakan kejadian kemarin.Walaupun kesuciannya telah hilang karena hal bodoh. Baginya itu tidak menjadi masalah. Lagi pula, di jaman modern seperti sekarang ini, sepertinya keperawanan bukanlah hal yang utama bagi pasangannya kelak."Hai Lun ..., semalam kemana? Kita mencarimu tapi kamu tidak ada di sana. Kamu kabur ya?!" cetus salah satu teman satu divisinya ketika Luna baru saja tiba di ruang kerjanya.Wanita yang mengenakan kemeja soft blue itu tersenyum ketus. "Habisnya kalian memaksaku untuk terus minum sih! Jahat ya kalian!"Kekehan terdengar sedikit meramaikan suasana kantor yang sudah seperti kuburan.Luna duduk di kursi kerjanya, menyalakan layar berbentuk pipih yang ada di atas meja kerja. Seperti hari-hari sebelumnya, wanita itu selalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, ia selalu bersemangat dan tak pernah mengeluh sedikitpun.Drrrrttt .... Drrrrttt ....Ponsel yang tergeletak di atas meja kerja tiba-tiba bergetar. Ia memeriksa notifikasi pada benda pipih tersebut.[Besok, aku akan pergi ke korea. Kamu mau ikut?] ketik Amanda.Luna mengembangkan senyum ketika membaca pesan singkat yang dikirim oleh sahabatnya melalui aplikasi hijau.[Kamu selalu saja bertanya pertanyaan yang sebenernya kamu sendiri sudah tahu jawabannya!][Siapa tau kali ini kamu bisa ikut bersamaku!][Jika aku tidak masuk bekerja selama lebih dari dua pekan. Kemungkinan atasanku akan menendangku!][Jika mereka sampai menendangmu. Ya kamu pindah saja ke perusahaan milik suamiku. Gajinya pun pasti lebih besar.]Deg ...!Setiap mendengar nama suami Amanda. Perasaanya menjadi tak menentu. Antara takut diketahui, merasa bersalah, dan merasa benci pada Rayyanza.Luna diam membatu. Menatap layar ponsel dengan tatapan kosong. Sebelum akhirnya salah satu teman yang bernama windy menegurnya."Heh ..., mengapa bengong? Nanti kesambet loh?!"Luna terkesiap. Kemudian, langsung meletakkan ponselnya di atas meja. Ia tidak ingin membalas pesan terakhir yang dikirimkan oleh Amanda.Tak terasa, saking sibuknya Luna bekerja. Benda bulat yang menggantung di dinding sudah menunjukan pukul empat sore. Saatnya seluruh staf untuk pulang.Luna berjalan menuju halteu bus yang kebetulan jaraknya tidak begitu jauh dari tempatnya bekerja. Tak berselang lama, akhirnya angkutan umum yang ia tunggu pun telah tiba. Luna masuk dan duduk di dalam bus yang sepi penumpang.Dari jarak beberapa meter, mobil sport berwarna merah terparkir di bahu jalan. Sang pengemudi terus memperhatikan wanita yang duduk di halteu bus hingga kendaraan berukuran besar itu membawanya pergi.Tak ingin tertinggal, Rayyanza menginjak pedal gas membuntuti kemana wanita itu akan pergi.Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit. Akhirnya Luna terlihat turun dari bus. Wanita bersurai panjang itu berjalan menuju komplek rumah kontrakannya."Luna ...!" seru suara bariton yang memanggilnya ketika ia akan membuka pintu pagar rumahnya.Spontan wanita bermakup flawless itu menoleh ke arah sumber suara. Ia tersentak melihat pria yang tempo hari berhasil merenggut kesuciannya."Kamu?!" Luna merubah raut wajahnya menjadi raut sinis. "Mau apa kamu kesni?! tanyanya ketus."Bisa kita bicara?!" Rayyanza memasang raut memelas."Tidak ada yang perlu kita bicarakan!" Wanita cantik itu mendelikan mata kemudian membuka pintu pagar rumahnya."Tunggu Luna! Aku mohon, sebentar saja!" Pria yang terlihat gagah dan tampan itu mencekal tangannya."Lepas Rayyan. Jangan pernah berani menyentuhku lagi!" sentak Luna."Oke, baik! Aku tidak akan menyentuhmu. Tapi, beri aku kesempatan untuk berbicara denganmu!"Luna menghela napas panjang, lalu membuangnya dengan kasar. "Masuk!" titahnya.Rayyanza masuk ke dalam rumah yang tidak terlalu besar itu. Ia duduk di Sofa yang semalam ia duduki bersama Amanda."Cepat katakan. Apa yang ingin kamu bicarakan!" tanya luna dengan nada ketus.Pria yang mengenakan setelan jas berwarna soft beige itu berdehem pelan. "Sebelumnya, aku ingin meminta maaf atas kejadian malam itu. Aku-, eum ...," kata-katanya terjeda."Aku apa?!" sentak wanita yang duduk di hadapan Rayyanza memasang wajah kesal."Aku bersedia jika harus bertanggung jawab.""Tanggung jawab? Tanggung jawab seperti apa? Menceraikan Amanda lalu menikahiku?" cetus Luna.Rayyanza mengangguk pelan. "Malam itu. Meskipun aku mabuk. Tapi aku masih ingat apa yang aku lakukan padamu. Aku tau aku adalah laki-laki pertama yang melakukannya!" ucapnya seraya menundukan wajah.Lagi, wanita itu menghela napas dalam. "Amanda adalah sahabat terbaiku. Selain Amanda, Adiku dan juga Bibiku, aku tidak memiliki siapapun lagi di dunia ini. Amanda sudah banyak berkorban dan berjasa di hidupku. Tidak mungkin aku menyakitinya!""Tapi, Luna-." Belum selesai pria tampan itu berkata, Luna langsung menyelanya."Jadi, aku harap kamu tidak akan pernah menyakiti sahabatku! Dan aku tidak mungkin menusuknya dari belakang!""Tapi, aku tidak pernah mencintai dia! Kamu tau sendiri, kan. Aku menikahinya karena terpaksa!""Jika kamu tidak mencintainya. Maka, belajarlah untuk mencintainya. Jika itu tidak berhasil, maka berpura-puralah!""Tidak bisa, Luna! Aku sudah mencobanya!""Berusahalah Rayyan. Dia sangat mencintaimu. Tolong jangan pernah sakiti hatinya.""Tapi aku mencintaimu, Luna!" Dengan lantang Rayyanza mengungkapkan perasaanya."Tidak Rayyan. Aku yakin itu bukan cinta. Kamu hanya merasa penasaran terhadapku!""Aku bersumpah, Luna. Sedari dulu, aku memang mencintaimu!""Jika itu memang benar. Maka mulai sekarang, buanglah perasaan itu jauh-jauh. Aku tidak mungkin mengkhianati sahabat terbaiku! Lagi pula, aku dan kamu tidaklah setara. Aku hanya wanita miskin sedangkan kamu berasal dari keluarga terpandang dan kaya raya. Kita tidak mungkin bersatu, Rayyan!""Tapi, Luna!" Pria itu memberanikan diri menggenggam tangan luna. Namun, wanita itu melepaskan genggamannya."Demi kebaikan semuanya. Mulai saat ini, tolong jangan pernah ganggu aku lagi!"Ceklek ....Suara pintu ruang tamu terbuka. Seseorang masuk kemudian menoleh ke arah Luna dan Rayyanza."Mau apa kamu datang kesini, hah?!" Suara teriakan itu memecah keheningan.Sore itu, tepat di jam biasanya Nikita pulang dari membantu Bibi Santika di cafe. Gadis itu membuka pintu pagar. Matanya menatap ke arah bawah, melihat sepasang sepatu pria yang terbuat dari bahan kulit asli dan sepertinya berharga mahal."Sepatu siapa?!" gumamnya dalam hati. Tak ingin membuang waktu, Nikita memegang handle pintu, kemudian menekannya ke bawah sembari mendorongnya. "Kamu! Mau apa kamu datang ke sini, hah?!" Teriakan Nikita memecah keheningan. Gadis itu berdiri di hadapan Rayyanza. Matanya melotot dan berkacak pinggang. Ia benar-benar tak dapat menahan amarahnya ketika melihat secara langsung pria yang telah menodai Kakaknya. Luna beranjak dari duduknya, kemudian mendekati Nikita. "Sudah Nik, biar aku yang menyelesaikannya sendiri. Sekarang, kamu masuk ke dalam kamar, oke?!" ujar Luna seraya mengelus bahu Nikita. "Tapi, kak-." "Sudaaah ..., ayo!" Luna menggerakan kepala mengarahkannya ke dalam kamar.Gadis cantik yang mengenakan kaos hitam itu mendelikan mata lalu
Mendengar pertanyaan Amanda, Luna mendadak gugup. Seperti layaknya orang yang ketahuan berbohong. Luna yang sebelumnya tidak pernah membohongi sahabatnya, kini menjadi panik karena harus mengarang cerita dengan cepat agar Amanda tidak curiga. "Eum ..., itu-," kata-katanya terhenti karena ia tidak berhasil menemukan bahan untuk berbohong. "Itu milik temanku, Kak!" cetus Nikita yang baru saja keluar dari kamarnya. "Oh ..., punya temanmu? Teman atau pacar, ayo ngaku?" ledek Amanda seraya melebarkan senyum. Wanita itu meletakkan korek elektrik yang ia pegang di atas meja ruang tamu. Luna yang merasa kesulitan untuk berbohong, akhirnya bisa bernapas lega. "O-ya, ada urusan apa kamu ke korea?""Biasalah ..., aku liburan bersama mama. Rayyan tidak ikut karena dia sedang sibuk dengan pekerjaanya!" terangnya. "Kamu mau ikut?" tanya Amanda. Luna tersenyum. "Sudah ku katakan, jika aku tidak masuk kerja, apalagi sampai dua minggu, aku akan ditendang!" "Tenang ..., perusahaan sahabatmu ini
Sore itu, Luna merasa sudah kehabisan kesabaran. Setelah sebelumnya ia menghadapi Rayyanza dengan cara yang lembut namun tidak berhasil, kali ini ia mencoba dengan cara yang kasar. "Jangan pernah kamu dekati aku lagi, mengerti!" Luna melayangkan tatapan tajam dan raut marah. Ia benar- benar bingung menghadapi sikap suami dari sahabatnya itu. Rayyanza diam mematung. Lagi-lagi, wanita itu menolaknya dengan kasar. Luna segera pergi dari hadapan Rayyanza. Ia sama sekali tak memedulikan Rayyanza yang berdiri memandanginya dengan raut sedih. Pria dengan perawakan tinggi atletis itu berbalik badan. Berjalan masuk ke dalam mobilnya. "Bagaimana mungkin aku bisa menganggap tidak pernah terjadi sesuatu diantara kita?" gerutu Rayyanza sembari tangannya menekan tombol start engine. Kendaraan berwarna merah seharga dua belas miliar melaju pelan meninggalkan pelataran parkir swalayan. Banyak pasang mata memandang mobil sedan sport tersebut dengan perasaan kagum. Luna berjalan kaki menuju rumah
Di dalam mobil yang merupakan saksi bisu kejadian satu malam panas, Luna menghela napas panjang. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran jok. "Rayyan ... dengar. Yang terpenting saat ini, Amanda tidak boleh sampai mengetahui kejadian malam itu. Aku sangat tidak siap jika harus kehilangan sahabat sebaik Amanda. Aku sangat memohon padamu Rayyan. Jangan dekati aku lagi. Aku tidak mencintaimu dan kita tidak akan mungkin bersatu." "Tapi, Luna ...." "Kamu tau? kamu itu seperti bintang di langit, aku hanya bisa memandanginya. Selebihnya, aku tidak pernah berpikir macam-macam." ucap Luna dengan wajah sendu. "Jadi, aku mohon Rayyan .... Tolonglah aku. Aku sangat memohon padamu. Mulai sekarang, jauhi aku! Aku benar-benar tidak akan memaafkanmu jika sampai Amanda mengetahuinya." Merasa tak mendapatkan jawaban dari pertanyaanya. Rayyanza mencoba kembali bertanya. "Apakah aku yang pertama melakukannya?" Luna menggeleng. "Bukan!" "Bohong! Aku tau kamu berbohong, Luna!" Rayyanza seolah tak terima
Pria yang berprofesi sebagai dokter hewan itu menatap Amanda dengan tatapan bingung. Pasalnya, wanita yang tempo hari datang mengaku sebagai pemilik puma bukanlah wanita yang saat ini berdiri di hadapannya. "Apakah benar, anda pemilik puma?!" tanyanya. "Benar, Dok! Yang tempo hari mengantar puma kesini, mereka adalah suami dan sahabat saya!" "O-yah? Maaf, saya kira mereka adalah pasangan suami istri."Mendengar perkataan Dokter tersebut, hati Amanda seperti terhenyak. Namun, langsung saja ia menepisnya. "Tidak mungkin Luna dan Rayyanza bermain di belakangku," gumamnya dalam hati. Dokter tampan itu menenteng cargo pet yang berisikan puma. Suara ngeong dari kucing hitam itu terasa menyentuh hati Amanda. Ia sangat rindu pada hewan peliharaanya. "Hai, sayang ... apakah kamu sudah sehat?!" tanyanya sembari menatap hewan berbulu itu. "Ini obat dan vitamin yang masih harus diberikan pada puma," terang Dokter. Amanda mengangguk. "Terima kasih, Dok!" Sore itu, Amanda berpamitan pada Do
Wanita yang syok itu hanya diam menatap layar USG dengan tatapan kosong. Tak terasa, bulir air yang memenuhi kelopak mata sudah mengalir di pipi mulusnya. Dokter tersenyum menatap wanita yang tengah menitikan air mata itu. Ia mengira, Luna menangis karena merasa bahagia."Sekali lagi saya ucapkan selamat ya, Bu." Luna kemudian menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Tak ingin membuat dokter yang memeriksanya menjadi kebingungan. Wanita itu melempar senyum tipis pada sang dokter, seakan-akan tangis itu adalah sebuah tangis kebahagiaan.Dokter Tampan itu membubuhkan tinta di atas kertas putih, meresepkan sebuah vitamin untuk kesehatan Luna dan bayinya. "Saya akan memberi resep vitamin. Tapi, sebaiknya Anda memeriksakan kandungan Anda ke dokter spesialis kandungan agar lebih terkontrol kedepannya," ucap Dokter berkacamata itu. Luna mengangguk pelan. "Baik, Dok. Terima kasih." Setelah selesai memeriksakan kandungannya, Luna berjalan dengan lesu meninggalkan klinik tersebut. Rasa mu
Di halteu bus yang tidak terlalu padat itu, Luna duduk dengan kedua kaki berayun pelan. Matanya menatap lurus kedepan. Memandangi lalu lalang kendaraan yang lewat silih berganti. Namun, disela penantiannya, tiba-tiba saja mata yang masih sembab itu menangkap penampakan kendaraan berwarna merah melintas di hadapannya. "Rayyanza?!" Wanita itu langsung mengalihkan pandangannya ke sembarang arah ketika pria yang duduk di balik kemudi itu melirik Luna. "Kak, Rayyan?!" celetuk Nikita. Gadis belia itu langsung melempar tatapan tajam. Mobil yang melaju dengan tersendat akibat jalanan yang padat itu berhenti selama beberapa saat di hadapan Luna dan Nikita. Luna yang merasa tak nyaman itu langsung beranjak, merubah posisi duduknya membelakangi Rayyanza. Namun, pria tampan yang mengenakan setelan jas itu membuang wajah, kemudian melaju menyalip kendaraan yang ada di depannya ketika jalanan terlihat sedikit renggang. "Dasar pria brengsek!" maki Nikita. "Mobilnya sudah pergi, kak. Ayo be
Luna tidak menyangka, Santika yang selalu sibuk dengan usaha restonya, kini datang mengunjunginya. "Eum ... bukan apa-apa Bi," sahut Luna masih dengan menyembunyikan vitamin kehamilannya. "O-ya, ayo masuk!" potong Nikita dengan cepat. "Bibi tidak akan lama. Hanya mengantarkan ini untuk kalian," ucapnya seraya menyodorkan jinjingan berisi buah-buahan. "Tadinya, mau Bibi titipkan pada Nikita. Tapi hari ini dia tidak datang ke cafe. Bibi kira, kalian sakit. Di telepon berkali-kali tidak menjawab. Membuat khawatir saja!" terangnya pada Luna. "Oh ... maaf, mungkin td kita sedang di jalan. Ponselnya ada di dalam tas, jadi mungkin tidak terdengar," terang Luna. "Diluar masih hujan. Ayo, Bi ... masuk dulu. Tunggu hingga hujannya reda!" ajak Luna. Santika merupakan adik satu-satunya dari mendiang Ayah Luna dan Nikita. Sedangkan mendiang Ibunya adalah anak tunggal. Sehingga, Santika menjadi keluarga satu-satunya yang mereka miliki. Wanita berusia 45 tahun itu telah berpisah dengan sua