Sosok Pria tampan berdiri tegap membuka kacamatanya secara perlahan. Menatap sinis Amanda dengan raut menantang. Wanita yang sebelumnya sangat emosi itu, tiba-tiba saja meleleh seperti lilin yang tersulut api.
"Kamu punya mata gak, hah?!" sentak pria pemilik mobil hitam itu.Amanda terus menatap wajah pria berhidung mancung itu tanpa memedulikan pertanyaan sekaligus makian yang terlontar dari mulutnya. Ia memilih melempar senyum manisnya. Tak peduli jika pria itu tak membalas senyumannya."Manda!" teriak Luna, yang kemudian turun dari mobil berjalan setengah berlari menghampiri Amanda, ia langsung berdiri di samping sahabatnya.Pria yang penuh emosi itu menggeser pandanganya pada gadis pujaan hatinya yang beberapa hari lalu menolak cintanya. Mereka saling beradu pandang selama beberapa saat sebelum pria itu mencetuskan kata-kata makian berikutnya."Ini gara-gara kelakuan kalian bermain handphone di dalam mobil. Sekarang, lihat sendiri kan akibatnya?!" teriak Rayyanza seraya berkacak pinggang.Tak terima sahabatnya di maki, Luna langsung pasang badan. "Mobil kamu yang tiba-tiba saja datang menubruk kami!" sentaknya seraya menatap tajam.Dengusan kasar diiringi senyum miring tergambar di wajah pria berkemeja hitam itu. "Lihat! Mobil kalian yang masuk ke jalurku!" ucapnya dengan lantang.Manik kedua wanita itu langsung menyoroti jalan tempat terjadinya insiden kecelakaan. Benar saja. Mobil Amanda berada di lawan arah menabrak mobil Rayyanza."Eum .... Kak Rayyanza ..., aku minta maaf ya, Kak! Aku akan bertanggung jawab," ucap Amanda tersenyum nyengir.Luna yang sebelumnya berdiri menantang, kini menunduk menepuk lengan sahabatnya. Bibirnya mendekat ke telinga Amanda, kemudian berbisik. "Kamu gimana sih, nyetir kok gak bener, malu-maluin aku aja!"Amanda tak mengindahkan perkataan Luna. Ia fokus menatap wajah Rayyanza dengan intens hampir tak berkedip."Heh!" Tepukan Luna akhirnya mampu menyadarkan Amanda dari tarikan daya pikat Rayyanza."Euh, apa?!" sahut Amanda menoleh dengan bingung."Jadi, bagaimana ini? Mobil saya rusak tuh!" rutuk Rayyanza mengarahkan telunjuknya ke arah mobil."Aku boleh minta nomor telepon Kak Rayyanza gak? Nanti, aku akan kabari kaka untuk bawa mobilnya ke bengkel."Tanpa ingin berlama-lama berdebat, Rayyanza memeberikan nomor ponselnya pada Amanda. "Awas ya, kalau kamu tidak bertanggung jawab!" ancamnya dengan ketus.Amanda tersenyum dan mengangguk cepat. Ia sangat bahagia karena mendapatkan nomor telepon pujaan hatinya itu. Walaupun untuk sekedar bertanggung jawab.Rayyanza kembali masuk ke dalam mobilnya yang sebetulnya tidak terlalu rusak jika dibandingkan dengan kerusakan yang dialami oleh mobil Amanda. Mata gadis itu mengikuti arah mobil hitam yang melaju menjauhi mereka hingga badan Amanda ikut berputar ke belakang."Waaaah ..., ini luar biasa!" ucapnya dengan mata berbinar.Amanda menggenggam benda pipih yang baru saja menyimpan nomor pria tampan itu lalu menempelkannya di dada seraya tersenyum bahagia."Sadar woi!" Luna menepuk punggung Amanda pelan. Ia sangat heran mengapa sahabatnya itu sangat tergila-gila pada Rayyanza. "Apa bagusnya dia?" celetuk Luna."Ayo, kita bisa terlambat masuk kelas. Mana jam pelajaran Dosen killer lagi!" ajak Luna tergesa-gesa.Mereka kembali masuk ke dalam mobil milik Amanda. Kali ini, Ia melajukan mobilnya dengan sangat hati-hati, tak ingin kejadian seperti barusan terulang kembali.Setelah beberapa saat, akhirnya mobil yang dikemudiakan Amanda tiba di area parkir kampus. Beberapa pasang mata melirik bamper mobil yang terlihat penyok.Luna bergegas keluar dari mobil. Mengingat saat ini adalah jadwal pelajaran dosen killer yang gemar menghukum mahasiswinya."Ayo cepat!" seru Luna sembari melingkarkan tas di bahunya. Kedua tangan menggenggam map berisi tugas kuliahnya, kemudian turun dari mobil.Ia berjalan cepat, menarik tangan Amanda yang berjalan seperti siput. Wanita itu tak ingin mendapat nilai yang buruk hanya karena terlambat masuk kelas. Dosen galak yang saat ini mengajar tidak akan meberinya absensi jika sampai terlambat masuk lebih dari 5 menit."Aduuuh ..., jangan buru-buru gini donk, Lun!" keluh Amanda yang merasa tak nyaman karena ditarik-tarik oleh Luna."Kamu sih enak, gak masuk sebulan pun masih bisa kuliah di kampus ini! Sedangkan Aku? Bisa batal dapat beasiswa!" gerutu wanita yang mengenakan setelan casual itu.Untung saja, Dosen killer belum tiba di kelasnya. Mereka duduk di bangku dengan nafas yang tersengal-sengal dan bulir keringat di area kening yang hampir menetes. Semenjak berteman dengan Luna, Amanda menjadi murid yang rajin dan memiliki nilai yang cukup bagus. Padahal, sebelumnya ia hampir saja tidak naik kelas.Hari itu seperti hari-hari biasanya. Luna belajar dengan fokus. Namun, tidak dengan Amanda, ia menatap layar ponselnya dan mengetikan sesuatu disana.[Hai, Kak Rayyanza. Ini nomor hapeku. Save ya!] Ketiknya di kolom aplikasi hijau.Ia terus menatap layar ponsel, berharap Rayyanza membalas pesannya. Namun, setelah menunggu selama beberapa menit, notifikasi balasan tak juga muncul.Amanda duduk dengan wajah lesu, menggenggam ponsel dengan kedua tanganya berada di atas meja. Sesekali, ia menghidupkan layar berbentuk pipih tersebut untuk memeriksa apakah pria itu sudah membalas pesannya.Lagi-lagi ia merasa kecewa. Tidak ada notifikasi apapun di sana. Hanya foto wallpaper dirinya sedang bersama Luna yang terpajang di layar telepon genggam seri terbarunya.Kini, jam mata kuliah telah selesai. Mereka pun memutuskan untuk pergi ke bengkel sebelum ayah Amanda mengetahui kejadian tadi siang. Karena, jika sampai ayahnya tau, sudah pasti ia akan mengomel padanya.Amanda mencoba menghubungi Rayyanza setelah sebelumnya ia menengok ke dalam kelas pria itu yang ternyata sudah kosong. Jadi, jika ia menelepon pun, sudah pasti tidak akan mengganggu, karena Rayyanza sedang tidak berada di dalam kelas."Hallo ....""Siapa ini?" tanya suara bariton di sebrang sana."Aku, Amanda! Kamu belum membaca pesanku?""Oh kamu! Gimana, kapan kamu akan membawa mobilku ke bengkel?" jawab pria itu ketus."Sekarang, Kak! Kak Rayyanza dimana?"Sore itu, Amanda dan Rayyanza membuat janji pergi berdua ke bengkel. Kali ini, Luna tidak bisa menemani Amanda, karena harus segera membantu bibinya di resto."Dah Manda ..., Hati-hati ya!" seru Luna saat Amanda pergi mengendarai mobilnya meninggalkan Luna di area parkir kampus.Mobil putih yang bagian depannya penyok itu melaju hingga menghilang di ujung jalan."Hai ...!" Suara bariton tiba-tiba menyapanya dari arah belakang.Luna menoleh cepat ke arah sumber suara. "Kamu?" ucapnya kaget. "O-ya, baru saja Manda pergi ke bengkel. Bukanya, kalian janjian disana ya?" tanya Luna keheranan."Boleh minta no telepon kamu?" ucap pria yang masih penasaran dengan Luna."Kita tidak ada urusan. Urusanmu dengan Manda, bukan denganku!" jawab Luna mendadak ketus.Luna merasa sedikit kesal ketika Rayyanza terus mengganggunya. Ia pikir, setelah penolakan itu, Rayyanza tidak akan mengganggunya lagi. Tapi ternyata, ia masih saja berusaha mendekati Luna."Sorry ya, Kak. Yang suka sama kamu itu, Amanda! Bukan aku! Jadi, tolong berhenti dekati aku!"Tak lama setelah penolakan yang bertubi-tubi. Rayyanza diketahui berpindah ke Amerika. Ia tinggal bersama sang paman untuk melanjutkan study di sana. Kepindahannya yang sangat tiba-tiba, menjadi berita terpanas di kampus tersebut. Amanda merasa patah hati. Baru saja dirinya berkenalan dengan Rayyanza, kini harus menelan pil pahit karena pujaan hatinya itu meninggalkan Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Empat tahun berlalu. Setelah lulus kuliah, Luna bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang advertising. Ia menjabat sebagai staf administrasi di perusahaan tersebut. Sedangkan Amanda bekerja di perusahaan milik sang Ayah. Secara kebetulan, Amanda dan Rayyanza dipertemukan kembali ketika Amanda ditugaskan mengurusi urusan penanaman saham di perusahaan milik Ayah Rayyanza. Yang dimana Rayyanza menjabat sebagai CEO di perusahaan tersebut. Setelah pertemuan itu. Amanda mengungkapkan kekagumannya terhadap Rayyanza kepada Ibunya. Hingga akhirnya, terjadi kesepakatan di antar
Di dalam rumah yang tidak begitu luas, Nikita memeluk erat sang kakak. Mencoba membantu menenangkannya. "Nih, Kak. Sebaiknya Kakak minum dulu!" Gadis itu menyodorkan segelas teh manis hangat ke hadapan sang kakak. Kemudian, Luna meniup dan menyeruput teh yang masih mengeluarkan asap tipis itu. Setelah merasa sedikit tenang, Luna menceritakan kejadian malam itu pada Nikita. Selama ini, ia memang selalu terbuka pada adik satu-satunya itu. "Sudahlah, Kak. Kaka tidak perlu lagi merasa bersalah pada Kak Amanda. Lagi pula, semua itu terjadi karena Kakak dan dia sedang mabuk. Kejadian itu juga terjadi begitu saja tanpa ada unsur disengaja!""Tapi, Nik. Bagaimana jika sampai Manda tau? Aku takut dia akan marah dan tidak menganggapku sebagai temannya lagi!" ucap Luna dengan resah. "Selama dia dan Kak Luna bisa menyimpan kejadian ini rapat-rapat. Aku yakin Kak Manda tidak akan sampai mengetahuinya. Lagi pula, tidak ada yang melihat kalian berdua ada di sana, kan?!" Sebenarnya, Nikita merasa
Sore itu, tepat di jam biasanya Nikita pulang dari membantu Bibi Santika di cafe. Gadis itu membuka pintu pagar. Matanya menatap ke arah bawah, melihat sepasang sepatu pria yang terbuat dari bahan kulit asli dan sepertinya berharga mahal."Sepatu siapa?!" gumamnya dalam hati. Tak ingin membuang waktu, Nikita memegang handle pintu, kemudian menekannya ke bawah sembari mendorongnya. "Kamu! Mau apa kamu datang ke sini, hah?!" Teriakan Nikita memecah keheningan. Gadis itu berdiri di hadapan Rayyanza. Matanya melotot dan berkacak pinggang. Ia benar-benar tak dapat menahan amarahnya ketika melihat secara langsung pria yang telah menodai Kakaknya. Luna beranjak dari duduknya, kemudian mendekati Nikita. "Sudah Nik, biar aku yang menyelesaikannya sendiri. Sekarang, kamu masuk ke dalam kamar, oke?!" ujar Luna seraya mengelus bahu Nikita. "Tapi, kak-." "Sudaaah ..., ayo!" Luna menggerakan kepala mengarahkannya ke dalam kamar.Gadis cantik yang mengenakan kaos hitam itu mendelikan mata lalu
Mendengar pertanyaan Amanda, Luna mendadak gugup. Seperti layaknya orang yang ketahuan berbohong. Luna yang sebelumnya tidak pernah membohongi sahabatnya, kini menjadi panik karena harus mengarang cerita dengan cepat agar Amanda tidak curiga. "Eum ..., itu-," kata-katanya terhenti karena ia tidak berhasil menemukan bahan untuk berbohong. "Itu milik temanku, Kak!" cetus Nikita yang baru saja keluar dari kamarnya. "Oh ..., punya temanmu? Teman atau pacar, ayo ngaku?" ledek Amanda seraya melebarkan senyum. Wanita itu meletakkan korek elektrik yang ia pegang di atas meja ruang tamu. Luna yang merasa kesulitan untuk berbohong, akhirnya bisa bernapas lega. "O-ya, ada urusan apa kamu ke korea?""Biasalah ..., aku liburan bersama mama. Rayyan tidak ikut karena dia sedang sibuk dengan pekerjaanya!" terangnya. "Kamu mau ikut?" tanya Amanda. Luna tersenyum. "Sudah ku katakan, jika aku tidak masuk kerja, apalagi sampai dua minggu, aku akan ditendang!" "Tenang ..., perusahaan sahabatmu ini
Sore itu, Luna merasa sudah kehabisan kesabaran. Setelah sebelumnya ia menghadapi Rayyanza dengan cara yang lembut namun tidak berhasil, kali ini ia mencoba dengan cara yang kasar. "Jangan pernah kamu dekati aku lagi, mengerti!" Luna melayangkan tatapan tajam dan raut marah. Ia benar- benar bingung menghadapi sikap suami dari sahabatnya itu. Rayyanza diam mematung. Lagi-lagi, wanita itu menolaknya dengan kasar. Luna segera pergi dari hadapan Rayyanza. Ia sama sekali tak memedulikan Rayyanza yang berdiri memandanginya dengan raut sedih. Pria dengan perawakan tinggi atletis itu berbalik badan. Berjalan masuk ke dalam mobilnya. "Bagaimana mungkin aku bisa menganggap tidak pernah terjadi sesuatu diantara kita?" gerutu Rayyanza sembari tangannya menekan tombol start engine. Kendaraan berwarna merah seharga dua belas miliar melaju pelan meninggalkan pelataran parkir swalayan. Banyak pasang mata memandang mobil sedan sport tersebut dengan perasaan kagum. Luna berjalan kaki menuju rumah
Di dalam mobil yang merupakan saksi bisu kejadian satu malam panas, Luna menghela napas panjang. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran jok. "Rayyan ... dengar. Yang terpenting saat ini, Amanda tidak boleh sampai mengetahui kejadian malam itu. Aku sangat tidak siap jika harus kehilangan sahabat sebaik Amanda. Aku sangat memohon padamu Rayyan. Jangan dekati aku lagi. Aku tidak mencintaimu dan kita tidak akan mungkin bersatu." "Tapi, Luna ...." "Kamu tau? kamu itu seperti bintang di langit, aku hanya bisa memandanginya. Selebihnya, aku tidak pernah berpikir macam-macam." ucap Luna dengan wajah sendu. "Jadi, aku mohon Rayyan .... Tolonglah aku. Aku sangat memohon padamu. Mulai sekarang, jauhi aku! Aku benar-benar tidak akan memaafkanmu jika sampai Amanda mengetahuinya." Merasa tak mendapatkan jawaban dari pertanyaanya. Rayyanza mencoba kembali bertanya. "Apakah aku yang pertama melakukannya?" Luna menggeleng. "Bukan!" "Bohong! Aku tau kamu berbohong, Luna!" Rayyanza seolah tak terima
Pria yang berprofesi sebagai dokter hewan itu menatap Amanda dengan tatapan bingung. Pasalnya, wanita yang tempo hari datang mengaku sebagai pemilik puma bukanlah wanita yang saat ini berdiri di hadapannya. "Apakah benar, anda pemilik puma?!" tanyanya. "Benar, Dok! Yang tempo hari mengantar puma kesini, mereka adalah suami dan sahabat saya!" "O-yah? Maaf, saya kira mereka adalah pasangan suami istri."Mendengar perkataan Dokter tersebut, hati Amanda seperti terhenyak. Namun, langsung saja ia menepisnya. "Tidak mungkin Luna dan Rayyanza bermain di belakangku," gumamnya dalam hati. Dokter tampan itu menenteng cargo pet yang berisikan puma. Suara ngeong dari kucing hitam itu terasa menyentuh hati Amanda. Ia sangat rindu pada hewan peliharaanya. "Hai, sayang ... apakah kamu sudah sehat?!" tanyanya sembari menatap hewan berbulu itu. "Ini obat dan vitamin yang masih harus diberikan pada puma," terang Dokter. Amanda mengangguk. "Terima kasih, Dok!" Sore itu, Amanda berpamitan pada Do
Wanita yang syok itu hanya diam menatap layar USG dengan tatapan kosong. Tak terasa, bulir air yang memenuhi kelopak mata sudah mengalir di pipi mulusnya. Dokter tersenyum menatap wanita yang tengah menitikan air mata itu. Ia mengira, Luna menangis karena merasa bahagia."Sekali lagi saya ucapkan selamat ya, Bu." Luna kemudian menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Tak ingin membuat dokter yang memeriksanya menjadi kebingungan. Wanita itu melempar senyum tipis pada sang dokter, seakan-akan tangis itu adalah sebuah tangis kebahagiaan.Dokter Tampan itu membubuhkan tinta di atas kertas putih, meresepkan sebuah vitamin untuk kesehatan Luna dan bayinya. "Saya akan memberi resep vitamin. Tapi, sebaiknya Anda memeriksakan kandungan Anda ke dokter spesialis kandungan agar lebih terkontrol kedepannya," ucap Dokter berkacamata itu. Luna mengangguk pelan. "Baik, Dok. Terima kasih." Setelah selesai memeriksakan kandungannya, Luna berjalan dengan lesu meninggalkan klinik tersebut. Rasa mu