BRUGGH!
Suara pintu mobil ditutup di area parkir club malam, diiringi langkah kaki pria tampan bertubuh atletis yang baru saja keluar dari mobil mewahnya. Ia berjalan gontai memasuki ruang kerlap-kerlip dengan alunan musik DJ yang mengehentak jantungnya. Langkah kakinya terhenti di hadapan sekumpulan pria tampan kaum jetset kota Jakarta. Yang tak lain adalah teman semasa kuliahnya. Rayyanza Adelard Damian atau biasa dipanggil dengan sebutan Rayyan. Seorang pria tampan anak salah satu konglomerat yang tinggal di kota Jakarta. Ia menjabat sebagai CEO di perusahaan milik sang Ayah. Malam itu, ia menghadiri ajakkan reuni teman-teman semasa kuliahnya, sembari bernostalgia menghabiskan malam di salah satu club di pusat kota Jakarta. "Hallo brother, how are you?" sapa salah satu teman bergaya rambut french crop. Mereka saling adu kepalan tangan. Menyapa satu sama lain. "Sorry bro, aku agak telat. Barusan ada meeting dadakan!" terang Rayyanza setengah berteriak. Teman berambut pirang mempersilahkan pria yang baru tiba itu untuk duduk di sofa yang telah mereka pesan. Beberapa botol minuman berjenis whisky telah berjejer di atas meja yang berbentuk bundar di hadapannya. "Ayo, kita bersulang!" seru para pria tampan itu. "Pokoknya, malam ini kita akan berpesta! Cheers ...!" Mereka mengangkat gelas ke udara sebelum akhirnya menenggak cairan bening berwarna kecokelatan tersebut. Tawa menggema diiringi alunan musik jedag-jedug memeriahkan club malam tersebut. Tubuhnya bergoyang seiring tempo musik. **** Di sisi lain, wanita berpakaian formal kemeja putih bermotif bunga-bunga celingak-celinguk mengedarkan pandang ke segala arah. Ia baru saja tiba bersama rekan kerjanya yang akan merayakan pesta ulang tahun atasannya. Laluna, atau biasa dipanggil dengan sebutan, Luna. Wanita berparas cantik yang tidak pernah bergaya mewah. Ia seorang gadis yatim piatu yang harus berjuang menghidupi dirinya dan satu orang adik perempuan di tengah kerasnya kehidupan kota Jakarta. "Tempat apa ini?" tanya Luna setengah berteriak agar temannya dapat mendengar ucapan yang tersaru oleh musik DJ. "Hah? Apa?" Wanita itu tak dapat mendengar dengan jelas jawaban dari temannya. "Aku belum pernah datang ke tempat seperti ini sebelumnya!" ucapnya lagi. Wanita bertubuh semampai itu terus mengedarkan pandang untuk mengenali tempat apa itu. Namun, efek lampu kerlap kerlip menjadikan pandangan matanya tak begitu jelas. "Ayo! Sini, duduk!" ucap teman yang datang bersamanya seraya menepuk permukaan sofa dengan pelan. Luna menjatuhkan bokongnya di atas sofa. Ia duduk bersama beberapa kerabat kerja menunggu atasanya yang telah mengundang mereka datang ke tempat tersebut. "Haaai ...! Ternyata, kalian sudah datang lebih dulu!" sapa wanita berpakaian sedikit terbuka, memakai crop top dan rok mini. Diketahui, wanita itu adalah Merry, atasan mereka di tempat kerja. Semua wanita yang berada di club malam itu memakai pakaian yang sedikit terbuka. Kecuali, Luna. Para anak buah dari wanita yang baru saja tiba itu, berdiri menyambutnya. Mereka saling beradu pipi, seraya mengucapkan selamat ulang tahun pada atasannya yang cantik itu. Merry memesan beberapa botol minuman beralkohol. Malam ini, ia ingin berpesta bersama para anak buahnya. "Ayo, Luna! Kamu harus coba ini sekali-kali!" titah Merry yang kala itu sedang berulang tahun. Luna, menggelengkan kepala. Kedua telapak tangan menutup hidung sekaligus mulutnya ketika Merry menggeser gelas berisi minuman whisky yang ada di atas meja ke hadapan Luna. "Tidak, Bu! Saya tidak pernah meminum minuman itu!" tolak Luna. "Justru itu, kamu harus mencobanya!" "A-yo .... A-yo .... A-yo ...!" seru semua kerabat sembari bertepuk tangan. "Ayolah Luna, malam ini kita harus bersenang-senang setelah dua minggu kita bekerja lembur tanpa henti!" bujuk salah satu teman satu divisinya. "Iya, Luna! Ayo ...!" Jangankan untuk meminumnya, baru mencium aroma menyengatnya saja, Luna merasa sudah tidak tahan. Namun, semua teman berusaha agar wanita lugu itu mau meminum minuman yang bisa mengakibatkan kehilangan kesadaran. "Saya tidak mau, Bu! Bukankah itu minuman beralkohol yang bisa membuat kita mabuk?" "Kalau hanya sedikit, kamu tidak akan mabuk! Ayolah!" Merry terus saja menyodorkan minuman tersebut ke hadapan Luna. Hingga akhirnya, benteng pertahanan wanita bermata hazel itu runtuh di tangan atasan dan teman-temannya. Dengan terpaksa, ia menenggak minuman beraroma menyengat itu. Matanya mengernyit, saat cairan berwarna kuning kecokelatan berhasil masuk melewati kerongkongannya. Tangannya mengibas-ngibas mulut yang sedikit menganga. "Yeaaaay .... Nah, gitu donk, Luna! Mari kita party!" Seluruh teman dan atasannya bertepuk tangan bersorak gembira melihat wanita cupu itu meminum minuman yang bertulikskan Jim Beam. Dari sudut lain, pria tampan menatap sekumpulan orang yang mencuri perhatian beberapa pengunjung dengan suara gaduhnya. Rayyanza sedikit memicingkan mata, menatap salah seorang wanita yang tengah duduk di sana memakai pakaian yang tak lazim. "Luna?! Kenapa dia ada disini?" gumam Rayyanza sembari menghisap rokoknya. Malam itu, setelah seharian sibuk bekerja, Rayyanza ingin menghilangkan kepenatan dan melonggarkan otot yang tegang dengan cara minum-minum bersama rekannya. Masih di tempat yang sama. Di sudut yang berbeda. Luna menutup kedua mulutnya. "Sudah! Aku sudah tidak mau lagi meminumnya!" tolak Luna ketika Merry menyodorkan gelas yang ke tiga. "Aku ingin ke toilet! Dimana toiletnya? tanyanya pada teman yang duduk di sampingnya. "Ayo, aku antar!" "Tidak! Aku bisa pergi sendiri!" tolak wanita yang mengenakan rok span selutut itu. Sengaja ia ingin pergi sendiri karena berniat akan kabur dari tempat tersebut. Tanpa menaruh curiga, teman di sebelahnya mengarahkan telunjuknya ke arah pojok dari ruangan gemerlap itu. Luna berdiri, berjalan dengan sedikit terhuyung menuju toilet. Kedua tangannya memegangi kepala yang mulai terasa berat. Ia melangkahkan kaki menerobos sekumpulan manusia yang tengah asyik berjoget diiringi musik DJ. "Permisi ..., permisi ...!" ucapnya sembari menerobos. Beberapa pria menggoda dan mendaratkan tangannya di pinggang ramping milik Luna. "Diam. Jangan sentuh aku, sialan!" Wanita itu sibuk mengehempaskan tangan-tangan pria iseng tersebut dengan kasar. Setelah berhasil sampai di toilet. Luna menumpahkan isi lambungnya ke dalam closet duduk. Merogoh tas yang melingkar di bahunya, mengambil beberapa helai tisu, kemudian menyeka mulutnya. Wanita yang sudah mulai mabuk itu, kini tidak ingin kembali ke tempat semula. Ia merasa takut jika nantinya ia akan dipaksa untuk meneguk minuman aneh itu lagi. Luna, diam-diam berjalan menuju pintu keluar. Tangannya merayap bertumpu pada dinding agar tubuhnya tak terjatuh. Dari kejauhan, seorang pria tampan terlihat duduk dengan lemas di atas permukaan aspal bersandar pada badan mobil. Luna memicingkan mata guna memperjelas penglihatannya. "Rayyanza?!" Luna berjalan mendekati Rayyanza yang sudah mabuk berat. Kemudian, menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari seseorang yang mungkin saja tengah menemani Rayyanza di sana. Namun, tidak ada satu orang pun di area parkir tersebut kecuali mereka berdua. "Rayyanza? Sedang apa kamu disini?" Penglihatan Luna mulai berbayang. Kepalanya pun terasa pening. Namun, ia masih mampu mengendalikan dirinya. Pria tampan yang menunduk itu mengangkat sedikit wajahnya. "Laluna?!" ucapnya dengan suara parau. Luna merogoh kembali tasnya. Meraih ponsel untuk menghubungi Amanda. Ia berniat memberitahukan sahabatnya jika suaminya berada disini. Namun, ponsel miliknya mati karena kehabisan daya. Rintik hujan mulai turun membasahi area parkir. Luna segera membuka pintu mobil, yang diketahui itu adalah mobil milik Rayyanza. Ia membantu Rayyanza masuk ke dalamnya, duduk di kursi belakang. Keduanya berteduh dari derasnya air hujan. Pria yang dibawah pengaruh alkohol itu melingkarkan lengannya di pinggang Luna. Ia juga mendekatkan wajahnya pada wajah Luna. Tanpa ragu, Rayyanza menautkan bibirnya dengan bibir ranum milik Luna. Memainkan indra pengecapnya dengan lincah. Luna meronta. "Jangan Rayyan. Lepaskan!" Namun, pria itu malah semakin menjadi. Ia melepaskan kaos putih yang melekat di tubuhnya hingga terlihat dada bidang dan barisan otot perut bagai roti yang siap untuk disantap. "Luna ... selama ini aku tidak bisa menghilangkan perasaanku padamu," bisiknya yang dilanjutkan dengan menghisap leher jenjang milik Luna. Wanita yang sedang merasakan sensasi euforia itu seolah tak kuasa untuk menolak. Kepala pening dan tubuh yang terasa kian lemah membuatnya semakin tak bisa berkutik saat Rayyanza melancarkan aksinya. Pria yang tengah mabuk itu mendekap kuat tubuh Luna hingga tak memberi ruang sedikitpun untuk Luna bisa bergerak. "Ash Rayyan, sakit!" Wanita itu memekik saat Rayyanza akan merenggut kesucianya. "Sakitnya tidak akan lama, Sayang!" Pria yang sudah berpengalaman itu merasa sedikit kesulitan saat akan menerobos area inti yang belum pernah terjamah oleh siapapun itu. Namun, dengan sedikit tenaga dan dorongan, akhirnya pria itu berhasil merampas kesucian Luna. "Ssh ..., Sayang sebentar lagi aku akan-." Rayyanza mendesis tanpa memedulikan rintihan yang lolos dari mulut Luna. Pria yang berkeringat itu menggigit bibir bawahnya. Tak butuh waktu lama, Lenguhan panjang terdengar dari mulut Rayyanza. Matanya terpejam menikmati semburan di dalam area inti Luna. "Ah, Sayang. Ini sangat nikmat!" bisik suami dari sahabatnya.Di dalam mobil berkaca gelap. Sepasang pria dan wanita kembali mengenakan pakaiannya secara asal. Mereka berdua tertidur di kursi belakang setelah merasa kelelahan. Sebelum fajar menyingsing, wanita lugu itu membuka mata secara perlahan. Namun, penglihatanya seperti berbayang dan berputar. Kedua tangan meremas kepala yang masih terasa pening.Luna sedikit beranjak dari sandarannya, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Matanya mengernyit seraya mengingat kejadian semalam. Namun, mata kecoklatan itu mendadak terbelalak, saat samar-samar adegan semalam melintas di benaknya. Benar saja, Luna tersentak ketika melihat sosok pria tampan yang tak lain adalah suami dari sahabatnya tengah tertidur di sampingnya. Spontan, wanita itu membentak. "Rayyan?! Apa yang sudah kamu lakukan?!"Mendengar suara bernada tinggi, Rayyanza terbangun. "Luna, kamu ...?" PLAAAAK!! Sebuah tamparan mendarat dengan sempurna di pipi pria tampan itu. Rayyanza langsung terperanjat. Ia merasa kaget dan langsung
Luna terus menangis meraung menyesali perbuatanya. Ia tak pernah menyangka jika pria yang merenggut kesuciannya adalah suami dari sahabatnya sendiri. "Maafkan aku Manda, aku benar-benar tidak berniat melakukannya!" Tanda merah di leher Luna terlihat sangat jelas walaupun sudah di tutupi menggunakan kerah baju yang ia kenakan.Nikita, adik Luna yang baru saja tiba dirumah, masuk ke dalam kamar untuk sekedar menyapanya. Gadis tomboy itu memperhatikan sang kakak yang terlihat murung. "Kaka sakit?" tanya Nikita yang kemudian duduk di atas ranjang berhadapan dengan Luna. Luna menggelengkan kepala. Nikita merasa penasaran. Ia memegang kening sang kakak untuk memastikan jika kakaknya memang tidak demam. Nikita juga meraba bagian leher Luna, guna membandingkan suhu tubuh dengan bagian keningnya. Namun, Nikita melihat sesuatu yang membuatnya penasaran di area leher jenjang milik sang kakak. Gadis cantik itu menautkan kedua alisnya. "Kak? Semalam Kakak bersama siapa?" Luna menggoyangkkan
"Laluna ...! Aku menyukaimu!" Suara bariton itu terdengar dengan sangat jelas walaupun terpisah jarak beberapa meter. "Apa?" Wanita yang tengah menunggu bus itu melotot dan langsung melihat ke sekeliling mereka. Ia khawatir ada seseorang yang akan mendengar ucapan Rayyanza. Tapi, untungnya tidak ada satu orang pun berada di sana. Luna melangkahkan kaki, mendekatkan tubuhnya pada Rayyanza. "Kamu jangan bercanda, ya!" ucapnya setengah berbisik. "Tidak, Luna. Aku serius. Aku menyukaimu!" terangnya menatap luna dengan tatapan sayu. "Maukah kamu menjadi pacarku?" tanyanya lagi.Luna tersenyum miring, tentu saja ia tidak percaya dengan perkataan Rayyanza. Ia menganggap ungkapan itu hanyalah sebuah omong kosong belaka. Lagi pula, mana mungkin hanya beberapa kali bertemu di ruang himpunan pria itu bisa langsung jatuh cinta padanya. "Maaf, Kak Rayyan. Saat ini, aku ingin fokus belajar di kampus ini. Aku harus mendapat nilai yang bagus agar aku bisa terus memperoleh beasiswa di kampus ini,"
Sosok Pria tampan berdiri tegap membuka kacamatanya secara perlahan. Menatap sinis Amanda dengan raut menantang. Wanita yang sebelumnya sangat emosi itu, tiba-tiba saja meleleh seperti lilin yang tersulut api. "Kamu punya mata gak, hah?!" sentak pria pemilik mobil hitam itu.Amanda terus menatap wajah pria berhidung mancung itu tanpa memedulikan pertanyaan sekaligus makian yang terlontar dari mulutnya. Ia memilih melempar senyum manisnya. Tak peduli jika pria itu tak membalas senyumannya. "Manda!" teriak Luna, yang kemudian turun dari mobil berjalan setengah berlari menghampiri Amanda, ia langsung berdiri di samping sahabatnya. Pria yang penuh emosi itu menggeser pandanganya pada gadis pujaan hatinya yang beberapa hari lalu menolak cintanya. Mereka saling beradu pandang selama beberapa saat sebelum pria itu mencetuskan kata-kata makian berikutnya. "Ini gara-gara kelakuan kalian bermain handphone di dalam mobil. Sekarang, lihat sendiri kan akibatnya?!" teriak Rayyanza seraya berkaca
Tak lama setelah penolakan yang bertubi-tubi. Rayyanza diketahui berpindah ke Amerika. Ia tinggal bersama sang paman untuk melanjutkan study di sana. Kepindahannya yang sangat tiba-tiba, menjadi berita terpanas di kampus tersebut. Amanda merasa patah hati. Baru saja dirinya berkenalan dengan Rayyanza, kini harus menelan pil pahit karena pujaan hatinya itu meninggalkan Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Empat tahun berlalu. Setelah lulus kuliah, Luna bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang advertising. Ia menjabat sebagai staf administrasi di perusahaan tersebut. Sedangkan Amanda bekerja di perusahaan milik sang Ayah. Secara kebetulan, Amanda dan Rayyanza dipertemukan kembali ketika Amanda ditugaskan mengurusi urusan penanaman saham di perusahaan milik Ayah Rayyanza. Yang dimana Rayyanza menjabat sebagai CEO di perusahaan tersebut. Setelah pertemuan itu. Amanda mengungkapkan kekagumannya terhadap Rayyanza kepada Ibunya. Hingga akhirnya, terjadi kesepakatan di antar
Di dalam rumah yang tidak begitu luas, Nikita memeluk erat sang kakak. Mencoba membantu menenangkannya. "Nih, Kak. Sebaiknya Kakak minum dulu!" Gadis itu menyodorkan segelas teh manis hangat ke hadapan sang kakak. Kemudian, Luna meniup dan menyeruput teh yang masih mengeluarkan asap tipis itu. Setelah merasa sedikit tenang, Luna menceritakan kejadian malam itu pada Nikita. Selama ini, ia memang selalu terbuka pada adik satu-satunya itu. "Sudahlah, Kak. Kaka tidak perlu lagi merasa bersalah pada Kak Amanda. Lagi pula, semua itu terjadi karena Kakak dan dia sedang mabuk. Kejadian itu juga terjadi begitu saja tanpa ada unsur disengaja!""Tapi, Nik. Bagaimana jika sampai Manda tau? Aku takut dia akan marah dan tidak menganggapku sebagai temannya lagi!" ucap Luna dengan resah. "Selama dia dan Kak Luna bisa menyimpan kejadian ini rapat-rapat. Aku yakin Kak Manda tidak akan sampai mengetahuinya. Lagi pula, tidak ada yang melihat kalian berdua ada di sana, kan?!" Sebenarnya, Nikita merasa
Sore itu, tepat di jam biasanya Nikita pulang dari membantu Bibi Santika di cafe. Gadis itu membuka pintu pagar. Matanya menatap ke arah bawah, melihat sepasang sepatu pria yang terbuat dari bahan kulit asli dan sepertinya berharga mahal."Sepatu siapa?!" gumamnya dalam hati. Tak ingin membuang waktu, Nikita memegang handle pintu, kemudian menekannya ke bawah sembari mendorongnya. "Kamu! Mau apa kamu datang ke sini, hah?!" Teriakan Nikita memecah keheningan. Gadis itu berdiri di hadapan Rayyanza. Matanya melotot dan berkacak pinggang. Ia benar-benar tak dapat menahan amarahnya ketika melihat secara langsung pria yang telah menodai Kakaknya. Luna beranjak dari duduknya, kemudian mendekati Nikita. "Sudah Nik, biar aku yang menyelesaikannya sendiri. Sekarang, kamu masuk ke dalam kamar, oke?!" ujar Luna seraya mengelus bahu Nikita. "Tapi, kak-." "Sudaaah ..., ayo!" Luna menggerakan kepala mengarahkannya ke dalam kamar.Gadis cantik yang mengenakan kaos hitam itu mendelikan mata lalu
Mendengar pertanyaan Amanda, Luna mendadak gugup. Seperti layaknya orang yang ketahuan berbohong. Luna yang sebelumnya tidak pernah membohongi sahabatnya, kini menjadi panik karena harus mengarang cerita dengan cepat agar Amanda tidak curiga. "Eum ..., itu-," kata-katanya terhenti karena ia tidak berhasil menemukan bahan untuk berbohong. "Itu milik temanku, Kak!" cetus Nikita yang baru saja keluar dari kamarnya. "Oh ..., punya temanmu? Teman atau pacar, ayo ngaku?" ledek Amanda seraya melebarkan senyum. Wanita itu meletakkan korek elektrik yang ia pegang di atas meja ruang tamu. Luna yang merasa kesulitan untuk berbohong, akhirnya bisa bernapas lega. "O-ya, ada urusan apa kamu ke korea?""Biasalah ..., aku liburan bersama mama. Rayyan tidak ikut karena dia sedang sibuk dengan pekerjaanya!" terangnya. "Kamu mau ikut?" tanya Amanda. Luna tersenyum. "Sudah ku katakan, jika aku tidak masuk kerja, apalagi sampai dua minggu, aku akan ditendang!" "Tenang ..., perusahaan sahabatmu ini