“Aika!!!” teriak Levin sambil menjelajahi kordidor atas sekolah. Tiba-tiba, Levin berpapasan dengan Vinka. “Kamu lihat Aika?” Vinka menggeleng dengan cemas. “Apa yang terjadi? Aku bingung banget. Levin juga langsung pergi gitu aja ... ” Levin semakin gelisah. “Sulit menjelaskannya sekarang. Aku mau kamu dan yang lainnya bantu mencari Aika, ya?” pinta Levin, disambung anggukkan Vinka. Levin melanjutkan pencariannya. Dia melirik jam tangannya, waktu menunjukkan pukul 9.00 WIB. Itu artinya, pemutaran film bakal dimulai. Levin bergegas turun ke lantai bawah. Dia masuk ke area pemutaran. Matanya menelisik wajah para siswa yang sudah mengisi penuh kursi. “Aika ... aku yakin kamu di sini,” Matanya berhenti di kursi paling pojok dan kurang tersorot lampu. Gadis yang sukses membombardir perasaannya itu terlihat duduk. Kedua lututnya dinaikkan ke atas kursi. Dia hanya menatap kosong layar besar dan canggih di hadapannya. Levin memejamkan mata sesaat sambil menghela napas supe
Kala Aika dan Levin sama-sama berbaring di ranjang rumah sakit dan koma. Mereka memimpikan hal fantastis yang sama.100 TAHUN SEBELUMNYA “Apa semua barangnya sudah siap?” teriak ayahku di kursi kemudi. Kak Nadina menggiringku di kursi sebelah ayah, membantu naik. “Hai, Ayah?” sapaku. “Hai, Cantik,” balasnya. “Semua beres, tidak ada yang tertinggal.” Pintu depan didorong Kak Nadina dengan kekuatan penuh. Ia lantas pergi dan mengisi jok belakang. Sebelum kami berangkat, Madam Ben tergopoh-gopoh menghampiri. “Ini bawa sebotol madu untuk perjalanan,” katanya. Sedih rasanya melihat Madam Ben untuk ditinggalkan dalam waktu yang lama. “Terima kasih,” ujar ayah, “ ... terima kasih karena telah membantu kami bersembunyi bertahun-tahun dan memberiku pekerjaan di kedaimu.” “Senang bertemu kalian, Para Makhluk Keren,” puji Madam Ben. “Kami akan sering berkunjung, jaga kesehatanmu,” timpal Kak Nadina. “Aku akan selalu menunggu, dan Nour—” Aku suka ketika Madam Ben memanggilku dengan se
Hembusan angin yang berdesir membelai ujung rambutku. Tirai poniku sekarang lenyap terhempas angin, masa bodoh dengan kening yang terekspos, akhirnya aku bisa merasakan udara segar sejenak. Danau yang tenang di hadapan kami seolah mendukung kami untuk rehat dari segala hiruk piruk mantra sihir. Kulihat Levin juga menikmatinya, sambil bersandar pada kedua tangannya yang menopang tubuhnya dari belakang. Sesekali ia bersiul tidak jelas. Levin itu tampan kalau sedang diam ternyata, hahaha. “Mengapa kamu bisa berakhir menjadi bangsa Cakrawala?” ujung matanya melirik ke arahku, lalu tersenyum tipis. “Aku dan ibuku menyelamatkan satu keluarga yang akan dibunuh. Namun ternyata, kemalangan memang ditakdirkan untukku.”Hari itu, hari di mana usianya akan berhenti dan terpaku pada angka delapan belas tahun dan berhenti menua. Jalanan jauh lebih dari sepi dari biasanya, burung-burung tak lagi bertengger seperti biasanya, langit mendung bersamaan dengan turunnya gemercik hujan yang menimbulkan pet
Trio Semesta berhamburan keluar ruangan untuk menangkap Ki Paturaja. Mereka melihat ke segala arah, namun yang mereka lihat hanya pertempuran yang belum selesai. Tiba-tiba, pasukan makhluk buruk rupa mundur dan meninggalkan pertempuran, sebagai pertanda bahwa sang mangsa berhasil mereka dapatkan. Trio Semesta berlari menghampiri Levin, “Dimana Aika?” tanya Arya panik, Levin kebingungan dengan ekspresi yang ketiganya torehkan, “Ki Paturaja membawanya ke tempat yang aman,” ujar Levin. “Celakalah kita,” Arumi hampir frustasi, ia memegangi keningnya dengan cukup keras. Levin melotot, “Apa maksudmu? Apa Aika sedang dalam bahaya?”“Benar, apa maksud kalian bertiga?” Asih menyela, Belum sempat, mereka menjelaskan keadaan yang sedang terjadi, Ki Garasakti, Nyai Kasih, beserta para guru sakti menghampiri mereka. “Kalian mengetahui apa yang tidak kami ketahui, benar begitu?” sahut Nyai Kasih, “Maafkan saya nyai, saya yang mencegah teman-teman untuk memberitahu kalian semua bahwa beberapa ha
“Nona agung adalah sebutan untuk keturunan para petinggi di suku kami,”“Para petinggi? Apa di sini ada para petinggi selain Ibuku?” ia mengangguk pelan,“Tapi mereka memutuskan berpisah dari suku kami karena keputusan Ibu nona yang tak sejalan dengan mereka,” baiklah, kini otakku dipenuhi banyak pertanyaan, tapi aku berhenti bertanya lebih jauh karena memang bukan itu hal yang menjadi fokusku sekarang. Kami memasuki gubuk utama, aku terkejut karena keadaan di dalam gubuk tampak jauh berbeda. Semua senjata yang bergantungan dan tertata rapi lenyap dalam satu malam, cadangan makanan yang berkarung-karung dan ember-ember tempat besar tempat menyimpan air juga tidak terlihat, hanya ada meja kayu berkaki pendek dan berpemukaan lebar yang di tempatkan di sisi paling belakang gubuk serta di kelilingi 6 kursi yang mengitarinya. Teman-temanku sudah duduk rapi di tempatnya masih-masing, beberapa makanan telah dihidangkan di atas meja, dan tersisa kursi kosong, khusus untukku,“Kak, aku telah
Tepat tengah malam. Antara sadar tak sadar, Dayana merasa malam itu tak hening seperti biasanya. Dalam raga yang belum sepenuhnya menggenggam jiwa, Dayana mengerang kecil. Ia terduduk di pinggir ranjang jati sembari menggosok mata yang lekat. Penglihatannya memang masih sedikit buram, tapi ia yakin jarum jam menunjuk angka dua belas. Apa yang membangunkannya? Ah, ya ... Dayana ingat ia sempat dikagetkan oleh musik menyeramkan di dalam mimpinya. Tunggu. Di tengah rasa dahaga yang memuncak, wanita berusia empat puluhan itu mendadak tertegun. Ia fokus menajamkan indera pendengaran. Seiring kesadaran Dayana sepenuhnya pulih, sayup-sayup musik lambat laun terdengar semakin jelas. Oh, tidak. Rupanya ini bukan mimpi. Musik aneh itu sungguh hadir di dekatnya. Dayana lekas beranjak. Hanya ada dirinya dan Aika Cathryn di rumah, sedangkan sopir berada di bangunan lain. Jadi sudah jelas tujuan asisten rumah tangga adalah memeriksa keadaan majikannya terlebih dulu. Apalagi akhir-akhir ini, Ai
“Ekhem!” Skyder sengaja berdeham di samping pintu kelas violin. Langkah Elz otomatis terhenti karena dehaman tersebut tepat di saat ia keluar. Yes! Berhasil! Batin Skyder. Skyder mengangkat punggungnya. Lekat sekali ia menempel di tembok hampir setengah jam. Bukan tanpa maksud, tapi ia sedang mencegah Elz pergi melewatinya begitu saja. Beruntung usahanya tak sia-sia. “Eh? Kok kamu di sini? Bukannya kamu harus mulai packing? Kenapa belum pulang?” tanya Elz. Mendengar pertanyaan Elz yang keluar banyak bikin Skyder berbesar hati. Ia mesam-mesem sendiri. Pasalnya, gadis itu bicaranya sedikit. Jadi kalau tipe orang seperti Elz menunjukkan perhatian sekecil apa pun, tandanya kalian istimewa. “Aku mau apa lagi selain nungguin kamu!” ucap Skyder mengentak-entakkan bahu seperti anak kecil. “Iya, maksudnya mau apa?” “Aku mau ajak kamu jalan,” Skyder berterus terang. “Kamu udah lama ya gak jalan-jalan liat bunga! Ayo ke toko bunga mamanya Bang Zerik?” “Emang buka ya? Tante Reanna kan mas
"Huft ...." Aika mendorong pintu menggunakan punggungnya. Kemudian, bersandar sejenak di tempat yang sama.Aika termangu. Finally, nyisa satu hari lagi. Itu benar. Besok kampus diliburkan, jadi Aika ada alasan buat tak bernyanyi seharian penuh. Tidak ada musik. Tidak ada omelan mama. Sungguh, hari yang sunyi dan menyenangkan.Berkemas juga bagian favorit gadis itu. Pikirannya mulai berkelana, barang apa saja yang perlu dibawa untuk tiga hari di Slovenia. Yang pasti, sebuah harta karun wajib masuk ke dalam kopernya. Saking excited-nya, Aika memelesat ke dekat ranjang big size berkelambu putih ala bangsawan.Badan mungil Aika sengaja merebah di lantai. Kedua kakinya ditekuk, mendorong ubin hingga membawanya bergerak maju. Seperti seorang montir yang tengah memperbaiki mobil, setengah badan Aika tenggelam ke bawah ranjang.Berselimut penerangan minim, Aika menarik resleting di bawah, tepatnya di tengah-tengah kasur busanya. Benda itu menghubungkan kain yang membungkus busa kotak. Berunt
Ada sebuah dongeng waktu aku SMA, bahwa tempat ini adalah salah satu spot terseram di sekolah.Sebuah pohon beringin tua yang terasingkan. Akarnya merambat tebal ke bawah, sementara daunnya yang rimbun menutup akses cahaya."Kamu mau ajak aku kabur apa uji nyali?" ledekku sambil berkacak pinggang.Levin berdecih, merasa pintar. "Diam deh. Meski tempat ini bikin malas, tapi satpam itu gak akan kepikiran kita ada di sini."Aku mengangkat bahu, lalu menjatuhkan diri di akarnya yang besar."Adem juga ya?" celetukku sambil melihat sekitarku yang didominasi oleh kebun.Sekolah ini dulunya kebun besar sih, jadi sebagian lahannya tidak berubah. Levin menyusulku duduk, meraup rambutnya dengan kasar tanpa menjawab apa pun.Dia terkekeh dengan kepala dibenamkan ke lutut."Kenapa?" tanyaku mencoba memancing.Benar saja, anak ini langsung mengangkat kepala dengan wajah protes.Dia menyelipkan rambutku ke telinga. "Mana mungkin, Tuan Putri. Sudah tugasku," ucapnya lembut.Pandangannya menurun. "Aku
D-Day. Pulang kampus biasanya aku lesu dan macam gembel. Kali ini beda, semangatku bahkan full tank mungkin sampai besok pagi. Klakson mobil yang kutunggu-tunggu akhirnya terdengar. Batang hidung Levin kelihatan pas jendela mobil turun dengan sempurna. “Let’s go, Pretty.” Aku sudah semangat membuka pintu, eh ada saja yang tak sesuai harapan. Tanganku berusaha menarik berkali-kali, tapi tetap macet. Ternyata Levin masih menguncinya. Baru setelah kuketuk, ia panik menekan kunci dari dalam. “Nyebelin,” gerutuku. “Hehe, maaf.” Mataku menyipit ke Levin. Jas semi formal, celana bolong berantai, dan piercing tempel di tengah bibir bikin aku salah fokus. Dia nyentrik kalau sedang jalan-jalan, padahal setahuku kamar dan lemarinya cuma diisi sama kaos bola. Aku jadi mikir, di mana dia menyimpan pakaian dan pernak-perniknya. Jangan-jangan, di rumah Levin punya ruang rahasia. “Kita mau belanja di mana nih?” “Mall paling deket aja.” “Okay! Meluncur.” Levin lantas menginjak pedal gas. “Kata
“Alright, enough for today. Karena besok hari spesial, Bapak gak akan ngasih tugas du—” Belum selesai Pak Tomi—dosen mata pelajaran bahasa Inggris—bicara, tapi sorak gembira langsung memenuhi kelas. Aku ikut senang walau tidak ikut loncat-loncat. “Angjaaay! Mabsur dah mabsur,” sambar Marvin Nalendra, ketua Divisi Seni. Selain sering typo, hobinya menciptakan bahasa alien. Mabsur di kamus dia artinya mantap dan subur. Tugas bikin banyak pikiran soalnya. Orang yang banyak pikiran gampang kurus. Teorinya sih begitu. “Guru gweh nih guru gweeh!” Januar William, tak mau kalah. Dia memang tidak sekuat Jarvis, tapi cukup tangguh sebagai Ketua Divisi Keamanan bareng sohibnya, Edward Chandra. Pak Tomi geleng-geleng kepala sambil senyum malu-malu. “Pokoknya kalian tidur yang nyenyak. Yang cewek, jangan maksain diet. Yang cowok, jangan begadang nonton bola. Tinggal satu mapel lagi, ya?” pesan Pak Tomi, menenteng tas hitamnya dan berdiri di depan. “Iya, Pak,” jawabku mewakili. “Ya sudah, se
BATU nisan tertancap di depanku. Meski otakku berkali-kali mengelak bahwa yang terbaring di bawah sana adalah orang asing, tapi hati kecilku berkata lain. Lonjakan kebimbangan antara sedih dan kecewa bergemuruh di dalamnya.Di sisi lain, aku nggak percaya pusara yang bertahun-tahun kudatangi bersama ibu hanyalah sebuah tanah kosong. Levin mengusap bahuku, menyalurkan sedikit kehangatan lewat sentuhannya."Jangan ditahan kalau mau nangis," ucapnya lembut.Dia tahu mataku sudah terlihat sendu. Seolah siap menumpahkan segalanya. Penglihatanku perlahan buram, tertutup oleh genangan air yang siap terjun bebas. Saat itu terjadi, aku langsung berbalik untuk membenamkan kepalaku di tubuhnya.Levin dengan sigap mendekapku erat. Menepuk-nepuk punggungku lembut tanpa kata. Dia tidak bersuara, membiarkan lirihku menggema di tengah peristirahatan insan manusia.***Waktu terus berlalu. Dalam penantian kami menunggu pengumuman dari sekolah, asisten ayah, Pak Beni banyak berkunjung ke rumah. Dia mem
Dering alarm ponsel membangunkanku dari tidur singkat yang melelahkan. Tirai jendela tersibak angin dari ventilasi udara lalu menimbulkan golden hour yang menerpa setengah wajahku. Dengan mata yang sedikit terbuka, kuintip isi ponselku, di sana tertera waktu yang menunjukkan pukul 08.00 WIB. Seharusnya jika semua hal berjalan normal, saat ini aku sedang berada dipanggung perpisahan, menerima piagam penghargaan dengan nama Aika. Tapi, karena pandemi virus COVID-19 yang melanda dunia, sekolah kami tidak melakukannya. Kami harus belajar prihatin. Meski begitu, aku menikmati dan mensyukuri sebab diberi kelulusan dengan mudah. Aku beringsut dan duduk di tempat tidurku, membuka whatsapp lalu memeriksa pesan yang masuk. Tidak ada ucapan “Happy Graduation, Aika!”, seperti yang kuduga dari jauh-jauh hari. Bagiku, menerima ucapan seperti iu hanyalah mimpi belaka. Aku tidak cukup dekat dengan teman sekelasku untuk dapat ucapan selamat. Tak lama kemudian, sebuah pesan masuk. Aku terheran-heran,
Sepatu Levin menghentak-hentak ubin. Gak ada jejak kaki kotor yang tertinggal, lagi pula bukan itu yang Aika cemaskan. Tapi, ekspresi cowok itu yang seolah akan memilinnya seperti squishy. “Serius Aika gak inget sama gue? Ini gue Levin! Sahabat kecil, temen sekelas, solmet sejati lo!” lontar Levin. Selepas menaruh botol, Aika menepuk-nepuk baju dan selimutnya yang kecipratan air. Gadis itu menggeleng. “Maaf, tapi gue belum bisa—” Levin merangkap kedua tangan Aika. Gadis itu membelalak dengan genggaman tiba-tiba itu. Lebih bingung sebab Levin menatap kosong ke Aikahnya. Tertegun, atau melamun. Sekelebat situasi tak biasa menghantam penglihatan Levin. Jeritan menusuk indra pendengAikan cowok itu, dan dia yakin jeritan itu berasa dari Aika. Bergeser ke Aikah lain, seorang gadis lainnya tampak buram. Gadis itu meronta dengan beberapa orang yang mengunci tubuhnya. Levin bergidik. Fokusnya kembali pada Aika. “Aika, kamu ngeliat kejadian ngeri ya di sana?” celetuk Levin. Dengung listr
Pintu kamar terbuka. Semilir aroma bayi menyapu lembut hidung Aika. Gadis itu sedikit terperajat karena Jessica muncul tiba-tiba. Dengan wajah yang cemong, dipenuhi bedak. Rambutnya basah sudah tersisir rapi ke belakang. Jessica juga tampak mengangkat ujung gaunnya. Rupanya dia berniat memamerkan gaun baru pada Aika. Aika terkekeh. “Cantik banget.” “Timakaci, Yang Mulia. Kata Bu Ratna, sekarang waktunya makan besar kelajaan,” ujar Jessica dengan kecadelannya. Aika beringsut, lalu menggantung baju seragam yang sudah ditanggalkannya. Aika lantas menghampiri Jessica. “Ayo?” Di meja makan, lauk pauk disediakan khusus untuk Aika. Itu pun, hanya goreng ikan mas. “Paman abis mancing, sayang cuma dapat satu. Ini buat kamu aja,” kata Bi Fani sambil memindahkan lauk ke piring Aika. “Wah, betulan? Makasih banyak, Bi ... Paman,” sahut Aika. Senyuman lebar ditorehkan pada paman dan bibinya secara bergantian. Tanpa beban, seolah tidak ada yang terjadi. Gadis mulai melahap makanannya dengan ce
Hantu Keluarga Donovan | Posted by @Aika Camera – Rolling – Action! Kamera berkedip merah; mulai merekam. Berjalan memasuki rumah. Levin dan Aika tiba-tiba teleportasi dari gedung ke sebuah rumah. Sebelumnya, ia tertidur dan dalam mimpinya terdapat petunjuk harus melakukan sesuatu. “Halo semuanya! Kembali bersama Aika di sini! Hari ini, kami menerima laporan kalau banyak hal-hal mistis yang terjadi di rumah keluarga Donovan. Mari kita lihat apa yang—” Dentuman keras tak jelas asal-usulnya menyentakkan bahuku. Tubuh ini menegang, merasakan energi yang terlampau kuat. Kutaruh kamera di laci, dan tiba-tiba membelalak hebat. Menyaksikan wallpaper di rumah ini mendadak mengelupas dengan sendirinya. Lolongan serigala ikut bergumul, sangat memekikkan telinga. Aku berputar, menyelisik setiap penjuru rumah. Mencari-cari darimana asal suara, tapi yang kutangkap hanya keberadaan keluarga Donovan. Saling meringkuk ketakutan di sudut rumah. Satu orang lagi yang harus kupastikan di sisiku, se
; BEFORE STAGE ; Gaun Ratu Guinevere punya corak dan bentuk yang unik ternyata. Agak berbeda dari gaun Eropa abad pertengahan yang cenderung terbuka, gaun itu membalut tubuh Aika secara tertutup dan membuatnya nyaman. Kesan sederhana, tapi mewah tercipta dari padu padan warna putih dan emas dengan motif sebuah mawar di dada. Bagian lengannya yang lebar terayun-ayun karena Aika berulang kali menggosok telapak tangan di depan cermin. Aika menekan lehernya, lalu berdeham pelan. Sepuluh menit lagi pertunjukkan akan dimulai. Jadi, tenggorokannya tak boleh gersang. “Kamu deg-degan ya?” Aika menyapa Aika di ruang rias sembari menyodorkan secangkir kecil teh. “Ah, hehe, iya, Bu. Terima kasih banyak, Aika minum, ya?” Izin Aika, lalu meneguk sedikit demi sedikit teh. Kehangatan seketika berselancar dari mulut, tenggorokan, hingga melemaskan syaraf yang sedaritadi tegang. “Ekhem ....” Aika mencoba berdeham lagi, mengecek pita suaranya. Kali ini, tidak ada tekanan dan Aika akhirnya bisa ber