Kala Aika dan Levin sama-sama berbaring di ranjang rumah sakit dan koma. Mereka memimpikan hal fantastis yang sama.100 TAHUN SEBELUMNYA “Apa semua barangnya sudah siap?” teriak ayahku di kursi kemudi. Kak Nadina menggiringku di kursi sebelah ayah, membantu naik. “Hai, Ayah?” sapaku. “Hai, Cantik,” balasnya. “Semua beres, tidak ada yang tertinggal.” Pintu depan didorong Kak Nadina dengan kekuatan penuh. Ia lantas pergi dan mengisi jok belakang. Sebelum kami berangkat, Madam Ben tergopoh-gopoh menghampiri. “Ini bawa sebotol madu untuk perjalanan,” katanya. Sedih rasanya melihat Madam Ben untuk ditinggalkan dalam waktu yang lama. “Terima kasih,” ujar ayah, “ ... terima kasih karena telah membantu kami bersembunyi bertahun-tahun dan memberiku pekerjaan di kedaimu.” “Senang bertemu kalian, Para Makhluk Keren,” puji Madam Ben. “Kami akan sering berkunjung, jaga kesehatanmu,” timpal Kak Nadina. “Aku akan selalu menunggu, dan Nour—” Aku suka ketika Madam Ben memanggilku dengan se
Hembusan angin yang berdesir membelai ujung rambutku. Tirai poniku sekarang lenyap terhempas angin, masa bodoh dengan kening yang terekspos, akhirnya aku bisa merasakan udara segar sejenak. Danau yang tenang di hadapan kami seolah mendukung kami untuk rehat dari segala hiruk piruk mantra sihir. Kulihat Levin juga menikmatinya, sambil bersandar pada kedua tangannya yang menopang tubuhnya dari belakang. Sesekali ia bersiul tidak jelas. Levin itu tampan kalau sedang diam ternyata, hahaha. “Mengapa kamu bisa berakhir menjadi bangsa Cakrawala?” ujung matanya melirik ke arahku, lalu tersenyum tipis. “Aku dan ibuku menyelamatkan satu keluarga yang akan dibunuh. Namun ternyata, kemalangan memang ditakdirkan untukku.”Hari itu, hari di mana usianya akan berhenti dan terpaku pada angka delapan belas tahun dan berhenti menua. Jalanan jauh lebih dari sepi dari biasanya, burung-burung tak lagi bertengger seperti biasanya, langit mendung bersamaan dengan turunnya gemercik hujan yang menimbulkan pet
Trio Semesta berhamburan keluar ruangan untuk menangkap Ki Paturaja. Mereka melihat ke segala arah, namun yang mereka lihat hanya pertempuran yang belum selesai. Tiba-tiba, pasukan makhluk buruk rupa mundur dan meninggalkan pertempuran, sebagai pertanda bahwa sang mangsa berhasil mereka dapatkan. Trio Semesta berlari menghampiri Levin, “Dimana Aika?” tanya Arya panik, Levin kebingungan dengan ekspresi yang ketiganya torehkan, “Ki Paturaja membawanya ke tempat yang aman,” ujar Levin. “Celakalah kita,” Arumi hampir frustasi, ia memegangi keningnya dengan cukup keras. Levin melotot, “Apa maksudmu? Apa Aika sedang dalam bahaya?”“Benar, apa maksud kalian bertiga?” Asih menyela, Belum sempat, mereka menjelaskan keadaan yang sedang terjadi, Ki Garasakti, Nyai Kasih, beserta para guru sakti menghampiri mereka. “Kalian mengetahui apa yang tidak kami ketahui, benar begitu?” sahut Nyai Kasih, “Maafkan saya nyai, saya yang mencegah teman-teman untuk memberitahu kalian semua bahwa beberapa ha
“Nona agung adalah sebutan untuk keturunan para petinggi di suku kami,”“Para petinggi? Apa di sini ada para petinggi selain Ibuku?” ia mengangguk pelan,“Tapi mereka memutuskan berpisah dari suku kami karena keputusan Ibu nona yang tak sejalan dengan mereka,” baiklah, kini otakku dipenuhi banyak pertanyaan, tapi aku berhenti bertanya lebih jauh karena memang bukan itu hal yang menjadi fokusku sekarang. Kami memasuki gubuk utama, aku terkejut karena keadaan di dalam gubuk tampak jauh berbeda. Semua senjata yang bergantungan dan tertata rapi lenyap dalam satu malam, cadangan makanan yang berkarung-karung dan ember-ember tempat besar tempat menyimpan air juga tidak terlihat, hanya ada meja kayu berkaki pendek dan berpemukaan lebar yang di tempatkan di sisi paling belakang gubuk serta di kelilingi 6 kursi yang mengitarinya. Teman-temanku sudah duduk rapi di tempatnya masih-masing, beberapa makanan telah dihidangkan di atas meja, dan tersisa kursi kosong, khusus untukku,“Kak, aku telah
Tepat tengah malam. Antara sadar tak sadar, Dayana merasa malam itu tak hening seperti biasanya. Dalam raga yang belum sepenuhnya menggenggam jiwa, Dayana mengerang kecil. Ia terduduk di pinggir ranjang jati sembari menggosok mata yang lekat. Penglihatannya memang masih sedikit buram, tapi ia yakin jarum jam menunjuk angka dua belas. Apa yang membangunkannya? Ah, ya ... Dayana ingat ia sempat dikagetkan oleh musik menyeramkan di dalam mimpinya. Tunggu. Di tengah rasa dahaga yang memuncak, wanita berusia empat puluhan itu mendadak tertegun. Ia fokus menajamkan indera pendengaran. Seiring kesadaran Dayana sepenuhnya pulih, sayup-sayup musik lambat laun terdengar semakin jelas. Oh, tidak. Rupanya ini bukan mimpi. Musik aneh itu sungguh hadir di dekatnya. Dayana lekas beranjak. Hanya ada dirinya dan Aika Cathryn di rumah, sedangkan sopir berada di bangunan lain. Jadi sudah jelas tujuan asisten rumah tangga adalah memeriksa keadaan majikannya terlebih dulu. Apalagi akhir-akhir ini, Ai
“Ekhem!” Skyder sengaja berdeham di samping pintu kelas violin. Langkah Elz otomatis terhenti karena dehaman tersebut tepat di saat ia keluar. Yes! Berhasil! Batin Skyder. Skyder mengangkat punggungnya. Lekat sekali ia menempel di tembok hampir setengah jam. Bukan tanpa maksud, tapi ia sedang mencegah Elz pergi melewatinya begitu saja. Beruntung usahanya tak sia-sia. “Eh? Kok kamu di sini? Bukannya kamu harus mulai packing? Kenapa belum pulang?” tanya Elz. Mendengar pertanyaan Elz yang keluar banyak bikin Skyder berbesar hati. Ia mesam-mesem sendiri. Pasalnya, gadis itu bicaranya sedikit. Jadi kalau tipe orang seperti Elz menunjukkan perhatian sekecil apa pun, tandanya kalian istimewa. “Aku mau apa lagi selain nungguin kamu!” ucap Skyder mengentak-entakkan bahu seperti anak kecil. “Iya, maksudnya mau apa?” “Aku mau ajak kamu jalan,” Skyder berterus terang. “Kamu udah lama ya gak jalan-jalan liat bunga! Ayo ke toko bunga mamanya Bang Zerik?” “Emang buka ya? Tante Reanna kan mas
"Huft ...." Aika mendorong pintu menggunakan punggungnya. Kemudian, bersandar sejenak di tempat yang sama.Aika termangu. Finally, nyisa satu hari lagi. Itu benar. Besok kampus diliburkan, jadi Aika ada alasan buat tak bernyanyi seharian penuh. Tidak ada musik. Tidak ada omelan mama. Sungguh, hari yang sunyi dan menyenangkan.Berkemas juga bagian favorit gadis itu. Pikirannya mulai berkelana, barang apa saja yang perlu dibawa untuk tiga hari di Slovenia. Yang pasti, sebuah harta karun wajib masuk ke dalam kopernya. Saking excited-nya, Aika memelesat ke dekat ranjang big size berkelambu putih ala bangsawan.Badan mungil Aika sengaja merebah di lantai. Kedua kakinya ditekuk, mendorong ubin hingga membawanya bergerak maju. Seperti seorang montir yang tengah memperbaiki mobil, setengah badan Aika tenggelam ke bawah ranjang.Berselimut penerangan minim, Aika menarik resleting di bawah, tepatnya di tengah-tengah kasur busanya. Benda itu menghubungkan kain yang membungkus busa kotak. Berunt
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Sudah lama Aika tidak bangun se-semangat ini. Dejavu ke perkemahaan musim panas waktu di akademi dasar, Aika bangun pagi-pagi buta. Loncat dari kasur, mengguyur sekujur tubuhnya di bawah shower, dan memakai setelan pakaian yang telah disiapkan jauh-jauh hari. Kaos lengan panjang berwarna kue: kuning cerah dan putih susu membentuk belang-belang imut. Bawahannya Aika memakai celana denim kesukaannya. Bahannya sangat nyaman dan memeluk pinggangnya dengan baik. Yang spektakuler adalah celana itu menjadikannya terlihat tinggi. Aika terkekeh seperti orang gila di depan cermin full body. Sebenarnya ada jaket tebal berbulu yang mesti dipakai untuk bagian luar, tapi nanti saja. Aika menyambar ponsel, terduduk di atas koper dan membuka ruang obrolan di dalamnya. Pupil matanya mengintip bagian pojok layar yang biasa tertera deretan angka. Ia mengembuskan napas lega. Jadwal keberangkatan masih dua jam lebih sepuluh menit, jadi ia memilih memeriksa pe