Tahun Kedua Semester I | Waktu Bagian AmbyarDi dunia yang penuh misteri ini, kira-kira mana yang lebih banyak? Cowok berengsek atau cowok berjiwa pahlawan? Kita enggak akan pernah tahu, sampai kita berhadapan langsung. Namun, jangan sampai tertipu! Sebab, cuma ada perbedaan tipis di antara mereka. Sama halnya dengan yang sedang dialami Aika Bintang Callista. Siswi teladan yang namanya meroket di SMA Internasional Andenvers. Di tengah lapangan, gadis berbibir glossy itu terengah-engah setelah menghindari kejaran seorang cowok. Namun tetap saja, bila ditakdirkan bertemu, mau lari sampai ke ujung dunia pun bakal sia-sia. “Hah, huh, bentar, perut aku sakit,” keluh Aika seraya menekan perutnya dan mengatur napas. Tiap hari, ada saja peristiwa aneh yang terjadi di hidupnya. Ia tambah stress karena melihat Haris Satya Cakrawala berhasil menyusul. Cowok b
Panel LED bergulir lamban di plafon SMA Internasional Andenvers. Tulisan ‘Selamat Datang Para Peserta Didik Baru’ diprogram dengan warna-warna cerah: merah, kuning, hijau—tampak cantik karena berpadu birunya langit. Begitu gerbang emas bergeser. Ratusan pasang sepatu melangkah maju, disambut oleh para kakak kelas berjajar meniup terompet dan menerbangkan confetti. Sudah jadi aturan tersendiri untuk sekolah menyambut adik baru. Timbal baliknya, ketika ujian nasional tiba, para adik kelas melakukan hal yang sama demi menyemangati sang kakak. Sorak-sorai ditanggapi dengan wajah ceria anak-anak baru itu. Beberapa di antara mereka justru menutupi senyum malu dan berlari kecil. Mereka sama sekali tidak mengira akan diperhatikan sedemikian rupa. Namun bagi gadis bersepatu pink pastel, hal ini bagaikan selebrasi kemenangan. Dia berhenti sejenak. Sebelah pipinya me
“Menurut saya, kesurupan itu bukan karena setan dan sebangsanya.” Bibir Aika mengerucut saat Arkaf berdiri di sampingnya. Kalimat pertama yang dilontarkan cowok itu sudah memancing Aika. Sah-sah saja sih kalau berbeda pendapat, tapi caranya menyampaikan sambil melirik aneh Aika membuat gadis itu jengkel. Tatapan superior dan alis berkerut-kerut. “Saya tahu ‘mereka yang tak terlihat’ ada, tapi seringkali kita tidak intropeksi diri. Siapa tahu fenomena kesurupan itu hanya akal-akalan beberapa siswa atau memang kondisi mental siswa yang tak stabil?” Levin mengembuskan napas kasar. “Eh anjir makin lama nih. Si Arkaf ngeluarin mode ngeselin lagi.” Dia menoleh ke belakang, meringis. Masih ada cowok OSIS kekar yang jaga pintu. “Sial, caranya gimana ya?” gumam Levin memutar keras otak. “Atas dasar apa kamu nuduh mereka kayak gitu? Kamu ngalamin langsung?” cecar Aika. Tak tahu kenapa bic
“Ayo naik!” Septian mengarahkan kepala ke jok belakang sepeda. Aika melipat bibir, ragu. “Kamu gak pengen saya denger penjelasan kamu?” timpal Septian, mengancam halus. Jari-jemari Aika meremas telapak tangannya. Menumbuhkan keyakinan kalau dia bisa menyelamatkan hubungan sahabatnya. Soalnya, Nada berharga banget bagi Aika. Ketika Aika stress karena masalah keluarga, sering absen karena fisiknya yang lemah, hingga murung akibat nilai yang turun, Nada selalu di sampingnya. Inilah saatnya Aika melakukan hal yang sama. Aika mengangguk, lalu menaiki jok. “Aaaa!” Baru saja Septian menyentuh pedal, Kepala Aika tersentak ke belakang. Kuncir kuda gadis itu dijambak oleh seseorang. Aika meringis kencang, tidak tahan dengan betapa sakitnya helaian rambut yang tercabut paksa. “TURUN GAK!” Nada menarik Aika yang semp
Aika bergidik geli, seseorang mencolek-colek pipinya. Ia mengangkat diri di mana pergelangan tangan melengket ke meja. “Halo? Boleh gak gue duduk bareng lo?” tutur cewek bersuara berat. Perawakan cewek itu sepantar sama kayak Aika, tapi punya bodi bentuk apel. Terus, otot-ototnya makin menculat efek seragam yang digulung. Aura yang keras dari cewek itu agak membuat Aika takut. Traumanya terpancing. Bayang-bayang pertengkaran terputar di otak Aika dan jelas dia berpikir akan kalah. Malang sekali, Aika mengasihi diri sendiri. Namun, dia berusaha kembali ke kenyataan. Ada satu sihir yang telah Aika pelajari sebelum memulai kehidupan baru dan terjun di dunia manusia yang menakutkan: senyuman. Aika membasahi bibir. Dua sudut bibir Aika sengaja ditarik ke atas, mata kecilnya sampai kesedot pipi. Gak, ga
Dugaan Levin benar, tapi dia gak merasa bangga. Mamanya pakai foto profil gak senonoh. Ia berpose cukup sensual dengan balutan dress hijau ketat jauh di atas paha. “Sial! Mau ditaro di mana muka gue!” geram Levin sambil meremas rambut. Di sisi lain, dia menyalahkan diri sendiri atas kebegoan-nya memberi kontak W******p mamanya. Seharusnya dia kasih nomer Arkaf, biar kawannya itu yang pura-pura jadi orangtuanya.Gak kenal Terakhir Dilihat 21.45 wib Mah ganti ppMahLevin udah kasih nomer ortu ke wali kelasGanti ppnyaPBuka dulu w*Biasanya ada info dari wakel “Sial! gak dibaca-baca,” berang Levin. Sekalian meluapkan emosinya, Levin juga mengirim screenshot dari Bu Tuti.KALAU KERJA GAK USAH DI RUMAH! Sudah tahu mamanya enggak bakal menggubris, tapi Levin gak pernah berhenti berjuang. Adakalanya Levin bertanya-tanya, kenapa rasanya sangat sulit? Sesulit itukah untuk bisa didengar? Dunia tetap berjalan dengan segala kebisingan yang ada, tapi kenapa mereka seakan tuli dan menutu
BAGH-BUGH-BAGH-BUGH! “Cowok berengsek! Jadi ini maksud lo chat suruh kita semua ngumpul?” pekik Jena memukul Levin pakai gagang sapu. Cowok itu enggak melawan, masih bertahan memegang tongsis, wajah bonyok kemerahan dan tersenyum ke arah kamera. “BENERAN SAKIT LO! COWOK GAK BERES!” Caca menjambak rambutnya. “Arghhh! Ampun-ampun, pelan-pelan juga dong woy! Gue bisa botak!” protes Levin, tapi terus-menerus cengengesan. Dini menabokkan buku-buku tebal ke muka Levin. “GUE GAK MAU TAU. KERJAIN SEMUA PR GUE!” Agak pening memang, tapi Levin menggerak-gerakkan alisnya supaya reda. Fokus kembali pada kamera, tersenyum lagi. “MAMAH? MAMAH IRA JORDAN? LIAT NIH DIDIKAN MAMAH PUNYA BANYAK CEWEK CANTIK. GIMANA RASANYA LIAT CEWEK-CEWEK INI NANGIS? LEVIN KEREN KAN MAH?” Levin mengarahkan kameranya ke cewek-cewek bermuka singa, siap menerkam lagi. Ada juga yang memilih nangis dipojokan: Jihan dan putri. Kamera kini sengaja merekam wajahnya sendiri. Bibir Levin berubah jadi garis tipis. Tat
Levin seketika melirik Arkaf. Pupil matanya mengembang, berbinar. Harapan baru tumbuh di relung hati, tapi logika Levin menanggapi sebaliknya. Ini bukan hal sepele, ini menyangkut perjalanan panjang di negeri orang. Sebagai seorang laki-laki yang beranjak dewasa, Levin sadar kedua tangannya masih kosong. Dia tidak punya impian, tujuan, atau segala sesuatu yang menjadi modal agar lepas dari sang mama. “Gue bakal cari kerjaan,” sahut Levin. “Gue bakal ... gue bakal ngapain lagi ya ....” Akibat semangat yang memburu bak banteng, Levin malah kebingungan sendiri. “Hahaha, calm down.” Arkaf menahan gelak tawanya. “Masih lama, Vin. Gue yakin lu bisa perjuangin apa aja yang lu butuhin buat ke London. Masalah tiket lu, katakanlah udah di tangan gue, tapi lo mesti ambil dengan satu tantangan,” terang Arkaf. Alis Levin terangkat. “Tantangan? Apaan? Udah kek Benteng Takeshi aja.” “Lu inget si Aika anak kelas 10-A?” “Oh, si boneka hidup? Yang punya mata kelap-kelip? Kenapa?” “Gue ma