BAGH-BUGH-BAGH-BUGH! “Cowok berengsek! Jadi ini maksud lo chat suruh kita semua ngumpul?” pekik Jena memukul Levin pakai gagang sapu. Cowok itu enggak melawan, masih bertahan memegang tongsis, wajah bonyok kemerahan dan tersenyum ke arah kamera. “BENERAN SAKIT LO! COWOK GAK BERES!” Caca menjambak rambutnya. “Arghhh! Ampun-ampun, pelan-pelan juga dong woy! Gue bisa botak!” protes Levin, tapi terus-menerus cengengesan. Dini menabokkan buku-buku tebal ke muka Levin. “GUE GAK MAU TAU. KERJAIN SEMUA PR GUE!” Agak pening memang, tapi Levin menggerak-gerakkan alisnya supaya reda. Fokus kembali pada kamera, tersenyum lagi. “MAMAH? MAMAH IRA JORDAN? LIAT NIH DIDIKAN MAMAH PUNYA BANYAK CEWEK CANTIK. GIMANA RASANYA LIAT CEWEK-CEWEK INI NANGIS? LEVIN KEREN KAN MAH?” Levin mengarahkan kameranya ke cewek-cewek bermuka singa, siap menerkam lagi. Ada juga yang memilih nangis dipojokan: Jihan dan putri. Kamera kini sengaja merekam wajahnya sendiri. Bibir Levin berubah jadi garis tipis. Tat
Levin seketika melirik Arkaf. Pupil matanya mengembang, berbinar. Harapan baru tumbuh di relung hati, tapi logika Levin menanggapi sebaliknya. Ini bukan hal sepele, ini menyangkut perjalanan panjang di negeri orang. Sebagai seorang laki-laki yang beranjak dewasa, Levin sadar kedua tangannya masih kosong. Dia tidak punya impian, tujuan, atau segala sesuatu yang menjadi modal agar lepas dari sang mama. “Gue bakal cari kerjaan,” sahut Levin. “Gue bakal ... gue bakal ngapain lagi ya ....” Akibat semangat yang memburu bak banteng, Levin malah kebingungan sendiri. “Hahaha, calm down.” Arkaf menahan gelak tawanya. “Masih lama, Vin. Gue yakin lu bisa perjuangin apa aja yang lu butuhin buat ke London. Masalah tiket lu, katakanlah udah di tangan gue, tapi lo mesti ambil dengan satu tantangan,” terang Arkaf. Alis Levin terangkat. “Tantangan? Apaan? Udah kek Benteng Takeshi aja.” “Lu inget si Aika anak kelas 10-A?” “Oh, si boneka hidup? Yang punya mata kelap-kelip? Kenapa?” “Gue ma
Tangki semangat anak-anak penuh di tahun ajaran baru. Para senior mungkin asyik memilih cengcengan wajah-wajah baru di Andenvers. Beberapa lainnya sibuk mencari kelas baru. Ya, sistem di Andenvers selalu mengadakan pergantian kelas tiap tahunnya. Hal ini dilakukan buat meningkatkan aktivitas sosial siswa.Tak terkecuali Aika. Kaos kaki putih berenda yang terbungkus pentopel hitam mendekati mading. Untungnya Aika punya huruf awalan A, jadi dia gak perlu antri kayak teman-teman 10-A lain. Telunjuk lentik Aika mengetikkan nama lengkapnya di TV touchscreen.“11-A?” ceplos Devinka di belakang. “Please sama, please.”Aika diam-diam mengetik nama Devinka, lalu menahan senyum sumringah sambil keluar barisan.“Aku tunggu di kelas,” bisik Aika mengedipkan sebelah mata.***“Hei! Gue duduk bareng lo, ya?” sambar Devinka menggandeng Aika setelah berlari cukup kencang.“Oke! Di mana? Di tengah? Di depan? Di ujung?”“Depan dong. Gue tau lo naksir papan tulis, haha!”Tawa dua dara itu lenyap ketika
“Elu juga jangan cari kesempatan.” Levin gak menyangka bakal dapat bisikan sinis dari sahabat Aika.“Galak amat,” gumam Levin.Namun begitu balik badan, dia tersentak oleh Alex yang mendekat dengan dada membusung.“Ngape lu? Mau gelud? Ayokkk!” Levin menantang. Keduanya saling adu melotot. Levin kemudian berteriak, “Heh, lu pada! Mending nontonin Levin Jordan duel nih!”Capek-capek Levin menggulung lengan seragamnya, tapi murid-murid akhirnya diperbolehkan masuk ke dalam. “EH? Heh—”Sesaat, Tama melirik cengo Levin dan Alex bergantian, lalu mengucapkan salam. Vinka juga menggandeng Aika dan ikut masuk ke dalam, sedangkan Arkaf menepuk bahu Levin.“Yang matanya keluar duluan kalah,” ujarnya sambil berlalu ke kelas.Drama hari pertama masih berlanjut. Belum sempat anak-anak 11-B berebut bangku, mereka dibuat terkejut oleh coretan-coretan di papan tulis.“Apa ini?” tanya mereka berbarengan.“Kamera … kamera gue—” panik Angela baru ngeh lagi soal kamera.Ia menelisik lantai, lalu menginti
Mateo menusuk-nusuk kasar dada Levin meski cowok itu malah tertawa remeh. Beberapa anak memekik karena Levin didorong ke arah mereka sehingga takut terinjak atau tertindih. Kondisi sudah kelewat enggak kondusif. Semua siswa menegang, makin percaya bahwa ini bukan sekadar drama penyambutan.“Heh, gak usah gini dong, Bos!” Arkaf mencoba menengahi.“Oke, fine,” cetus Mateo. Ia memindai satu per satu teman sekelasnya dengan tatapan berapi. “Yang setuju sama aturan berdiri di belakang gue.”Alex dan Sebastian berjalan lebih dulu. Ketika melewati kerumunan siswa, mereka menyeringai.“Nunggu dikeluarin ya lo semua?” kata Alex mengintimidasi.Sesuatu yang besar dimulai dari hal kecil, meski jika itu adalah sebuah kepasrahan. Awalnya satu orang maju—cowok dengan tampang muka malas. Barangkali dia tipe orang yang enggan ribet, jadi memilih ikut arus. Namun, teman-teman yang lain berpikir realistis. Mereka dikuasai rasa takut. Bayang-bayang di drop out, ditambah rangkaian mimpi buruk lain: ken
“Lu siapa anjir mau peluk-peluk Aika?” Urat-urat tangan kekar Haris Satya menyembul. Ia melampiaskan hati yang gerah dengan menjambak Levin. “Oh, gue tau elu! Playboy mesum yang viral taun lalu, kan?” cibir Haris.Enggak tanggung-tanggung, sejumput rambut di puncak kepala jadi sasaran empuk cowok berbadan atletis itu. “Lepasin dulu, Setan! Gue bisa botak!” Levin misuh-misuh. Terpaksa turun dari ranjang UKS demi keselamatan rambut klimisnya. Sementara itu, Aika merunduk. Tertidur dalam posisi duduk. Keduanya saling memelotot sampai bola mata kayak mau loncat. Akhirnya, Haris melepas kasar Levin. Bukan karena mengalah, tapi pegel. Di balik jendela, deretan mantan-mantan Levin yang tergabung dalam geng Mockqueens mengintip di siang bolong. “Seriusan tahun ini malah si Aika? Gue pikir sama adek kelas,” ucap Dini. “Ih, kesel banget tau liatnya!” Jihan merengut cemburu. “Siapa tau Levin cuma nolongin yang pingsan?” Putri berusaha positive thinking. Jena menggeleng. “Nolongin macam a
Alam semesta dipenuhi hal-hal misterius. Kalau langit dapat menyimpan tujuh lapisan indah dan laut punya palung yang senantiasa menyembunyikan kegelapan, gimana dengan manusia yang memeluk tanpa permisi? Aika menatap dalam Levin setelah melepaskan diri darinya. Lengan mereka masih terpaut, saling memegangi siku.Levin, seperti langit dan laut sekaligus. Berlapis-lapis dalam wujud yang indah, tapi pasti punya palung yang menakutkan di dalam dirinya. Tepatnya, dari mana pelukan ini berasal? Kenapa? Kenapa dia melakukannya?Bola mata Aika bergerak ke dua sisi, menunggu penjelasan Levin. Pandangan Levin dan senyum simpul mendamaikan pikiran Aika, seolah-olah bilang, Jangan khawatir. “Peluk semangat,” ucap Levin, “sebagai temen. Kita temen sekelas sekarang.”*** Gesekan gigi Mateo sebenarnya bikin ngilu kuping sendiri, tapi kekesalan telanjur membuatnya tuli. Selalu saja Enola Raya, kakak tiri menyebalkan yang jadi batu penghalang. Usia mereka selisih 5 tahun dan Enola hadir di kehid
“Gila, perasaan gue gak enak,” celetuk Nadya berpegangan pada Dean. Menghindari genangan air, bongkahan batu pun jadi jembatan dadakan. Untungnya medan sulit itu selesai begitu memasuki lorong lembap bermotif desain klasik. Lumayan menjorok dari bangunan utama Andenvers yang di-cover desain modern, berdirilah gedung tua bekas perpustakaan. Awal di bangun—sekitar tahun 70-an—sekolah ini punya gedung perpustakaan yang terpisah. Namun setelah bangunan utama dirombak total jadi tiga tingkat, perpus baru ada di tingkat paling atas.Sudah sekitar lima menit Denversquad menggiring sembilan, tidak, sekarang bertambah satu orang. Total 10 orang siswa yang lebih seperti diasingkan.Gedung yang sedang mereka pijaki memadukan material seperti marmer, beton, dan batu bata. Pihak sekolah tetap menata tempat itu, teutama rerumputan hijau yang mengitari. Sehingga, enggak bisa begitu saja disebut terbengkalai.“Aika, lo beneran gakpapa? Mata lo gak perih? Lo gak ngantuk?” tanya Vinka, lengannya meng