Di hari-hari lain, Janu asik meminum sekotak susu pisang sambil menonton basket. “Nah, iya gitu dong!!!” celotehnya sendiri saat salah satu tim mencetak poin. Beberapa pemain saling beradu pandang penuh maksud. Pelupuk mata mereka juga mengarah ke Janu. Diam-diam mereka merencanakan sesuatu. Pertandingan berlanjut. Janu menaruh susunya di samping. Dahinya berkerut, sementara bibirnya refleks manyun. Begitulah muka fokus menggemaskan ala Janu.Bola meliar dari tangan ke tangan. Tangan nakal salah satu pemain sengaja melempar ke tempat di mana susu pisang berada. Cairan putih pun muncrat ke segala arah, termasuk celana Janu. Sementara, kotak susunya terjungkal entah ke mana.“Oopss? Sorry, Braay!”Janu malah nyengir. “It’s okeeeh. It’s okeeeh, Bray! Terusin aja, heheee ….”Mereka bermain lagi. Waktu belum berjalan semenit, tapi bola itu melayang terus ke dekat Janu. Berkali-kali pula badan Janu bergerak ke kanan dan ke kiri, demi menghindari bola.Nasib buruk enggak ada di kalendar.
Jena meraba-raba saklar lampu, lalu menekannya hingga lampu padam.Now.Levin auto mematung. Kepalanya refleks mendongak, memeriksa lampu padahal sudah tahu pasti mati.“Hadeh, sekolah segede ini telat bayar listrik?” Levin selesai membuang tisu bekas mengelap tangan, lalu hendak keluar.Tidak semudah itu, ferguso. Empat kuntilanak menyerbu masuk dan mencegat cowok itu.“WAAAAAAA!!!” Teriakan nge-gas Levin memecah gendang telinga Mockqueens, untungnya mereka berusaha professional jadi kunti. Bola mata Levin seakan-akan mau loncat. Tungkai kakinya gemetar.“Anjir … waaa … anjir! Pergi lo semua! Hush! Waaaaa!” racau Levin ketar-ketir. Dia menyambar alat pel sebagai senjata penghalau kunti.Konyolnya, Levin melawan para kunti itu dengan mata tertutup.Cekikikan kunti-kunti Mockqueens melengking disertai backsound menyeramkan. Jena sengaja memutar lagu lingsir wengi. Ia menaruh hpnya di lantai, lalu keluar untuk berjaga. Gak lupa menorehkan seringai puas.Ternyata ada untungnya juga Jena
“Jika kita gak bisa menggenggam dunia,maka dunia yang akan menggenggam kita sampai remuk tak bersisa."“Kalian gak mau udahan dramanya?”Kedatangan Arkaf membawa angin sejuk bagi Levin. Raut wajah anak itu lega, disisipi erangan manja.“Pengawal guaaa, kenapa lu telat banget!?” cerocosnya. Namun, Levin dibuat menganga sebab dikacangi. Arkaf cuma melewatinya seraya menggeleng dan mesem-mesem. Dia menghampiri 4 kunti Mockqueens dan menggantungkan handuk ke punggung mereka tanpa sepatah kata.Arkaf kemudian beralih ke Jena, mengangkat pergelangan tangan gadis itu dan menyisipkan satu-satunya handuk basah. Hangat menyesap ke sela-sela jemari Jena.“Kompres tangan lo. Perih juga kan abis tampar orang?” kata Arkaf. Jelas dia enggak sedang bertanya sungguhan, jadi gak perlu menunggu jawaban.Arkaf menoleh ke Aika. “Kamu gak apa-apa? Tolong maklumi Jena, ya?”“Siapa yang nyuruh lo bilang kayak gitu?” sengak Jena.“Jenandrian! Bukannya lo harus minta maaf sama Aika?” Levin makin kesal denga
Suasana khidmat mencuat dari alunan musik klasik. Di dalam megahnya ruang kerja pribadi—tipikal orang kaya selalu mengisi ruangan mereka dengan dekor serba emas—kursi direktur terisi oleh seorang pria tegap setengah beruban. Kaki kanannya menyilang di atas kaki kiri. Ia membelakangi meja, menikmati semarak api penghangat yang tercermin di iris mata. Benar, begitulah caranya hidup, Pikirnya. Cahaya. Bergelora. Panas. Terbakar. Pria tua itu membanggakan 4 sifat yang memandu kilas balik perjalanan hidupnya. Lebih dari setengah abad, dia berusaha memegang tahta Andenvers Corp. Perusahaan raksasa 3 generasi yang menaungi bisnis di banyak bidang; pendidikan, real estat, industri hiburan, fashion, hingga makanan. Di sanalah keturunan Abraham menduduki puncak piramida. Namun, sifat manusia selalu merasa kurang. Meski berada di puncak yang sama, Abraham Darmawan tidak puas dengan fakta bahwa dia terlahir sebagai anak kedua, bukan pewaris tahta. Ia meremehkan posisinya sebagai direktur d
Arkaf asik menyedot satu cup es cappuccino. Mukanya datar saja, enggak terkesan dengan pemandangan di depannya. “Oh … gak sia-sia juga usaha lo, Vin.” “Arkaf Putra Yunanda, catet ya!” Levin berdeham.“Senin, 7 Februari 2022, Levin Jordan sah jadi pacarnya Aika Bintang Callista!” teriak Levin, mengacungkan genggamannya bareng Aika.“One and only, H.E.R.S! HERS!”Kemampuan Levin berbahasa dan mengeja Inggris sama-sama membuat Arkaf dan Aika kompak menganga. Levin meniup poninya. Anjir, keren banget gue!Urat malu cowok itu ibaratnya sudah putus sejak lahir. Dia gak ada gengsi-gengsinya pamer pacar baru di tengah ramainya kantin.Aika memalingkan wajah sebentar. Geleng-geleng kepala dengan tingkah pacarnya itu. “Sampe kapan kayak gini?” tanya Aika, bibirnya mengerucut. “Bentar ya, Sayang,” ucap Levin lembut. “Arkaf Hyung!” (Sebutan kakak laki-laki bagi adik laki-laki dalam Bahasa Korea.)Giliran ke Arkaf, Levin nge-gas setengah merengek. Dia mengode sesuatu. “Oke! Oke!” sahut Arka
Rombongan Bastian masih berjalan senyap. Jarak antara Mushola dan gudang bisa dibilang jauh walau di lantai yang sama—lantai satu.Mushola berdiri kokoh di seberang gedung utama. Berbeda dengan gudang olahraga yang dikelilingi ratusan ruang.Bastian mengambil jalan tikus, yaitu sisi samping sekolah yang sunyi. Gak perlu belok-belok dan tinggal lurus saja. Lumayanlah bisa sampai tiga menit lebih awal. Ia juga menghindari ketemu Pak Elang. Bisa hancur rencananya kalau Tama sampai sadar dia sedang dikibuli. “Kenapa kita ambil jalan ini?” tanya Tama. Alex gugup mendapat pertanyaan mendadak. “Hah? Um—” “Ya, biar cepet.” Bastian menjawab lugas. Tama berhenti, mendesah pelan. “Mau sampai kapan kamu jadi budak Mateo?”Bastian spontan sewot. Berbalik menantang Tama. “Lu ngapa dah banyak tanya!” Alex lekas menyenggol kawannya itu supaya gak terpancing. Sia-sia. Bastian kelewat jengkel melihat Tama. Banyak waktu yang terbuang. Bastian bertekad, ini jadi yang terakhir kalinya dia melewatkan
Satu sekolah gamang hanya karena kelakuan satu orang. Tiap koridor yang dilewati Mateo, pasti meninggalkan kerusuhan. Anak itu menggebrak pintu dari satu kelas ke kelas lainnya, mencari sesuatu. Banyak murid, terutama cewek-cewek refleks menjerit. Suasana jadi tambah runyam.“Woy! Pada liat Bastian sama Alex kagak?” teriak Mateo. Murid-murid menggeleng ngeri. Terengah-engah, mata pemburu Mateo menelusur semua orang di koridor. Dada Mateo mengembang, sebelum akhirnya berseru lantang. “SEMUANYA KUMPUL!” Ia menekan suaranya. “SEKARANG!”Mau tidak mau, mereka membuang keraguan dan menuruti King of Andervers itu. Karena sulit atau tidaknya kehidupan sekolah bergantung pada Mateo.Baik yang di dalam kelas maupun di luar menghambur ke depan Mateo. Anak-anak cowok pun tampak gagah berbaris di depan, kelihatan cari muka. Berbeda dengan cewek-cewek yang enggan melepas gandengan bareng teman. Biasa, banyak takutnya.“Dengerin gue, kalian—”Bel istirahat berdentang di saat yang tidak tepat. Ma
Terkadang, gak ada ucapan yang bisa dipegang. Terlebih lagi, manusia itu gampang berubah.Kemarin Mateo menyuruh semua orang mengecualikan Aika dari perundungan. Sekarang, dia tak segan menghimpit Aika. Gadis itu terhuyung-huyung mundur, dipaksa berdiri di tengah-tengah pintu.Memori otak Aika error. Terisi kilasan balik masa lalu di mana seorang laki-laki beraura gelap mengejar-ngejarnya di hutan.“Cepet, woy!” Mateo memukul permukaan pintu keras-keras.Nyawa Aika rasanya melompat keluar, lain halnya dengan jantung yang langsung drop.Sensor jantungnya berbunyi lagi. Pegangannya mengerat. Aika nyaris saja terjerembap.Dugh! Dugh! Dugh! Aika nekat meninju pelipisnya berkali-kali. Air mata merembes, pipinya basah, sementara ia gak sanggup lagi membuka mata. Menahan kantuk benar-benar menyiksa. Mau sampai kapan? Mau sampai kapan dia gak bisa mengendalikan dirinya sendiri? “Aaaaaaa!” Aika menjerit frustrasi. Terombang-ambing di antara alam kesadaran dan bawah sadar.“Hey … hey … lo—” Ek