Suasana khidmat mencuat dari alunan musik klasik. Di dalam megahnya ruang kerja pribadi—tipikal orang kaya selalu mengisi ruangan mereka dengan dekor serba emas—kursi direktur terisi oleh seorang pria tegap setengah beruban. Kaki kanannya menyilang di atas kaki kiri. Ia membelakangi meja, menikmati semarak api penghangat yang tercermin di iris mata. Benar, begitulah caranya hidup, Pikirnya. Cahaya. Bergelora. Panas. Terbakar. Pria tua itu membanggakan 4 sifat yang memandu kilas balik perjalanan hidupnya. Lebih dari setengah abad, dia berusaha memegang tahta Andenvers Corp. Perusahaan raksasa 3 generasi yang menaungi bisnis di banyak bidang; pendidikan, real estat, industri hiburan, fashion, hingga makanan. Di sanalah keturunan Abraham menduduki puncak piramida. Namun, sifat manusia selalu merasa kurang. Meski berada di puncak yang sama, Abraham Darmawan tidak puas dengan fakta bahwa dia terlahir sebagai anak kedua, bukan pewaris tahta. Ia meremehkan posisinya sebagai direktur d
Arkaf asik menyedot satu cup es cappuccino. Mukanya datar saja, enggak terkesan dengan pemandangan di depannya. “Oh … gak sia-sia juga usaha lo, Vin.” “Arkaf Putra Yunanda, catet ya!” Levin berdeham.“Senin, 7 Februari 2022, Levin Jordan sah jadi pacarnya Aika Bintang Callista!” teriak Levin, mengacungkan genggamannya bareng Aika.“One and only, H.E.R.S! HERS!”Kemampuan Levin berbahasa dan mengeja Inggris sama-sama membuat Arkaf dan Aika kompak menganga. Levin meniup poninya. Anjir, keren banget gue!Urat malu cowok itu ibaratnya sudah putus sejak lahir. Dia gak ada gengsi-gengsinya pamer pacar baru di tengah ramainya kantin.Aika memalingkan wajah sebentar. Geleng-geleng kepala dengan tingkah pacarnya itu. “Sampe kapan kayak gini?” tanya Aika, bibirnya mengerucut. “Bentar ya, Sayang,” ucap Levin lembut. “Arkaf Hyung!” (Sebutan kakak laki-laki bagi adik laki-laki dalam Bahasa Korea.)Giliran ke Arkaf, Levin nge-gas setengah merengek. Dia mengode sesuatu. “Oke! Oke!” sahut Arka
Rombongan Bastian masih berjalan senyap. Jarak antara Mushola dan gudang bisa dibilang jauh walau di lantai yang sama—lantai satu.Mushola berdiri kokoh di seberang gedung utama. Berbeda dengan gudang olahraga yang dikelilingi ratusan ruang.Bastian mengambil jalan tikus, yaitu sisi samping sekolah yang sunyi. Gak perlu belok-belok dan tinggal lurus saja. Lumayanlah bisa sampai tiga menit lebih awal. Ia juga menghindari ketemu Pak Elang. Bisa hancur rencananya kalau Tama sampai sadar dia sedang dikibuli. “Kenapa kita ambil jalan ini?” tanya Tama. Alex gugup mendapat pertanyaan mendadak. “Hah? Um—” “Ya, biar cepet.” Bastian menjawab lugas. Tama berhenti, mendesah pelan. “Mau sampai kapan kamu jadi budak Mateo?”Bastian spontan sewot. Berbalik menantang Tama. “Lu ngapa dah banyak tanya!” Alex lekas menyenggol kawannya itu supaya gak terpancing. Sia-sia. Bastian kelewat jengkel melihat Tama. Banyak waktu yang terbuang. Bastian bertekad, ini jadi yang terakhir kalinya dia melewatkan
Satu sekolah gamang hanya karena kelakuan satu orang. Tiap koridor yang dilewati Mateo, pasti meninggalkan kerusuhan. Anak itu menggebrak pintu dari satu kelas ke kelas lainnya, mencari sesuatu. Banyak murid, terutama cewek-cewek refleks menjerit. Suasana jadi tambah runyam.“Woy! Pada liat Bastian sama Alex kagak?” teriak Mateo. Murid-murid menggeleng ngeri. Terengah-engah, mata pemburu Mateo menelusur semua orang di koridor. Dada Mateo mengembang, sebelum akhirnya berseru lantang. “SEMUANYA KUMPUL!” Ia menekan suaranya. “SEKARANG!”Mau tidak mau, mereka membuang keraguan dan menuruti King of Andervers itu. Karena sulit atau tidaknya kehidupan sekolah bergantung pada Mateo.Baik yang di dalam kelas maupun di luar menghambur ke depan Mateo. Anak-anak cowok pun tampak gagah berbaris di depan, kelihatan cari muka. Berbeda dengan cewek-cewek yang enggan melepas gandengan bareng teman. Biasa, banyak takutnya.“Dengerin gue, kalian—”Bel istirahat berdentang di saat yang tidak tepat. Ma
Terkadang, gak ada ucapan yang bisa dipegang. Terlebih lagi, manusia itu gampang berubah.Kemarin Mateo menyuruh semua orang mengecualikan Aika dari perundungan. Sekarang, dia tak segan menghimpit Aika. Gadis itu terhuyung-huyung mundur, dipaksa berdiri di tengah-tengah pintu.Memori otak Aika error. Terisi kilasan balik masa lalu di mana seorang laki-laki beraura gelap mengejar-ngejarnya di hutan.“Cepet, woy!” Mateo memukul permukaan pintu keras-keras.Nyawa Aika rasanya melompat keluar, lain halnya dengan jantung yang langsung drop.Sensor jantungnya berbunyi lagi. Pegangannya mengerat. Aika nyaris saja terjerembap.Dugh! Dugh! Dugh! Aika nekat meninju pelipisnya berkali-kali. Air mata merembes, pipinya basah, sementara ia gak sanggup lagi membuka mata. Menahan kantuk benar-benar menyiksa. Mau sampai kapan? Mau sampai kapan dia gak bisa mengendalikan dirinya sendiri? “Aaaaaaa!” Aika menjerit frustrasi. Terombang-ambing di antara alam kesadaran dan bawah sadar.“Hey … hey … lo—” Ek
Wajah anak-anak Denvershitty cuek bebek, walau empat murid asing berjaga di segala penjuru kelas. Selepas digiring masuk, mereka berkumpul di satu titik, seperti lagi kerja kelompok. “Menurut kalian, gimana reaksi Pak Tyo?” tanya Nadya pelan. “Hmm—” Dean berdeham panjang. “Dia kan gak sadar ada kamera. Gue yakin reaksinya planga-plongo. Bingung mesti ngapain soalnya gak di briefing, Mateo, hahaha,” katanya seraya membenarkan kain penutup sebelah mata Nadya. “Justru reaksi begitu bikin kita untung pas lapor ke Kementerian dan nyebarin ke publik. Mereka bakal bertindak.” Arkaf menerangkan. “Tapi, saya sih berharap masih ada orang dewasa yang waras di sekolah ini,” timpal Tama.Ia sibuk mengelapi muka. Butuh setengah pack tisu setelah Janu mengguyurkan sebotol air supaya bangun.Ini semua gara-gara Alex yang merebut stun gun dan balas menyentrumnya. Untungnya, cowok itu belum berani mengoperasikannya kencang-kencang.“Dulu ada Pak Darma, wali kelas gue pas kelas 10. Beliau perhatian
Kebersamaan selalu hal yang patut disyukuri. Sebab di luar sana, beberapa orang menangis karena nggak punya teman melepas tawa. Namun, sama seperti bulan yang melewati berbagai fase, Aika telah bertahan sebaik mungkin. Hari yang dinantikan akhirnya terjadi. Gelak tawa Aika sedari tadi sahut-menyahut dengan Levin. Selera humor keduanya cukup nyambung, padahal cuma sebatas menertawakan hasil-hasil jepretan tadi. “Eh, haha! Liat ini, kamu bisa manyun sampai berapa senti, sih?” Aika menunjuk Levin yang berpose ala bebek. “Wkwkwk, kayak bocah freak banget.” “Dih! Apanya yang freak, ini unyu tau! Emang kamu aja yang boleh gemesin,” gerutu Levin. “Oh, gitu, mau nyaingin aku nih ceritanya?” Aika memancing berdebat. “Woiya dong!” Suara Levin mendadak jadi kayak tikus kejepit demi sok imut. Ia memanyunkan bibir sambil lanjut menggulir layar ponsel Aika. “Ekhem,” Levin berdeham biar suara manly-nya balik lagi. “Kamu pensiun aja imutnya, kecuali sama aku.” “Lah, ngatur?” Levin menoleh. Me
“Kamu mau makan sekarang?” Aika bersimpuh di bawah Levin. Kekasihnya itu tampak lesu setengah mati. Pundaknya rapuh, seolah-olah akan terjatuh. Jari-jemarinya merangkap dan dibuat menopang kening. “Gak selera, Ka,” ucap Levin parau. “Tiga suap aja, ya? Please ….” Anggukan Levin membuat Aika lega. Dia segera mengambil nasi dan sayur bayam yang ia buat mendadak. “Di kulkas kamu cuma ada ini. Aku belum sempat ke supermarket karena takut kamu keburu dateng,” terang Aika sambil mengarahkan sendok ke mulut Levin. Satu suap. Dua suap. Suapan ketiga pun benar-benar jadi suapan terakhir. Levin menggeleng. “Udah, aku kenyang.” Aika menurut. Mangkuk itu disimpan di atas meja selagi Levin meneguk air. “Aku lega, kamu akhirnya gak nahan nangis,” Aika menggenggam punggung tangan Levin. "Jangan membelenggu perasaan kamu. Rasain aja semua apa yang ada di hati. Kamu berhak berduka.” Mata Levin berkedip cepat karena panas menjalar lagi. “Aku gak nangis di depan cewek,” tampiknya seraya menge