Terkadang, gak ada ucapan yang bisa dipegang. Terlebih lagi, manusia itu gampang berubah.Kemarin Mateo menyuruh semua orang mengecualikan Aika dari perundungan. Sekarang, dia tak segan menghimpit Aika. Gadis itu terhuyung-huyung mundur, dipaksa berdiri di tengah-tengah pintu.Memori otak Aika error. Terisi kilasan balik masa lalu di mana seorang laki-laki beraura gelap mengejar-ngejarnya di hutan.“Cepet, woy!” Mateo memukul permukaan pintu keras-keras.Nyawa Aika rasanya melompat keluar, lain halnya dengan jantung yang langsung drop.Sensor jantungnya berbunyi lagi. Pegangannya mengerat. Aika nyaris saja terjerembap.Dugh! Dugh! Dugh! Aika nekat meninju pelipisnya berkali-kali. Air mata merembes, pipinya basah, sementara ia gak sanggup lagi membuka mata. Menahan kantuk benar-benar menyiksa. Mau sampai kapan? Mau sampai kapan dia gak bisa mengendalikan dirinya sendiri? “Aaaaaaa!” Aika menjerit frustrasi. Terombang-ambing di antara alam kesadaran dan bawah sadar.“Hey … hey … lo—” Ek
Wajah anak-anak Denvershitty cuek bebek, walau empat murid asing berjaga di segala penjuru kelas. Selepas digiring masuk, mereka berkumpul di satu titik, seperti lagi kerja kelompok. “Menurut kalian, gimana reaksi Pak Tyo?” tanya Nadya pelan. “Hmm—” Dean berdeham panjang. “Dia kan gak sadar ada kamera. Gue yakin reaksinya planga-plongo. Bingung mesti ngapain soalnya gak di briefing, Mateo, hahaha,” katanya seraya membenarkan kain penutup sebelah mata Nadya. “Justru reaksi begitu bikin kita untung pas lapor ke Kementerian dan nyebarin ke publik. Mereka bakal bertindak.” Arkaf menerangkan. “Tapi, saya sih berharap masih ada orang dewasa yang waras di sekolah ini,” timpal Tama.Ia sibuk mengelapi muka. Butuh setengah pack tisu setelah Janu mengguyurkan sebotol air supaya bangun.Ini semua gara-gara Alex yang merebut stun gun dan balas menyentrumnya. Untungnya, cowok itu belum berani mengoperasikannya kencang-kencang.“Dulu ada Pak Darma, wali kelas gue pas kelas 10. Beliau perhatian
Kebersamaan selalu hal yang patut disyukuri. Sebab di luar sana, beberapa orang menangis karena nggak punya teman melepas tawa. Namun, sama seperti bulan yang melewati berbagai fase, Aika telah bertahan sebaik mungkin. Hari yang dinantikan akhirnya terjadi. Gelak tawa Aika sedari tadi sahut-menyahut dengan Levin. Selera humor keduanya cukup nyambung, padahal cuma sebatas menertawakan hasil-hasil jepretan tadi. “Eh, haha! Liat ini, kamu bisa manyun sampai berapa senti, sih?” Aika menunjuk Levin yang berpose ala bebek. “Wkwkwk, kayak bocah freak banget.” “Dih! Apanya yang freak, ini unyu tau! Emang kamu aja yang boleh gemesin,” gerutu Levin. “Oh, gitu, mau nyaingin aku nih ceritanya?” Aika memancing berdebat. “Woiya dong!” Suara Levin mendadak jadi kayak tikus kejepit demi sok imut. Ia memanyunkan bibir sambil lanjut menggulir layar ponsel Aika. “Ekhem,” Levin berdeham biar suara manly-nya balik lagi. “Kamu pensiun aja imutnya, kecuali sama aku.” “Lah, ngatur?” Levin menoleh. Me
“Kamu mau makan sekarang?” Aika bersimpuh di bawah Levin. Kekasihnya itu tampak lesu setengah mati. Pundaknya rapuh, seolah-olah akan terjatuh. Jari-jemarinya merangkap dan dibuat menopang kening. “Gak selera, Ka,” ucap Levin parau. “Tiga suap aja, ya? Please ….” Anggukan Levin membuat Aika lega. Dia segera mengambil nasi dan sayur bayam yang ia buat mendadak. “Di kulkas kamu cuma ada ini. Aku belum sempat ke supermarket karena takut kamu keburu dateng,” terang Aika sambil mengarahkan sendok ke mulut Levin. Satu suap. Dua suap. Suapan ketiga pun benar-benar jadi suapan terakhir. Levin menggeleng. “Udah, aku kenyang.” Aika menurut. Mangkuk itu disimpan di atas meja selagi Levin meneguk air. “Aku lega, kamu akhirnya gak nahan nangis,” Aika menggenggam punggung tangan Levin. "Jangan membelenggu perasaan kamu. Rasain aja semua apa yang ada di hati. Kamu berhak berduka.” Mata Levin berkedip cepat karena panas menjalar lagi. “Aku gak nangis di depan cewek,” tampiknya seraya menge
Mutiara seharusnya berlindung di bawah kerang bercangkang indah. Dengan begitu, ia tidak perlu takut akan rusak, pecah, dan tergores. Kemudian, laut akan memantulkan kilaunya yang elok. Itulah mutiara sesungguhnya. Berbeda denganku, aku terverifikasi sebagai mutiara jadi-jadian.Saat ini, aku berlari di tengah derasnya hujan. Tanpa jaket apalagi payung. Tepatnya kembali memakai seragam putih abu di bahu sebelah kanan. Petir menggelegar beriringan dengan langkahku. Meski berat, pada akhirnya aku sampai di depan rumah sederhana berhalaman sempit. Di mana kami hanya punya satu akses untuk masuk ke dalam. Kuselipkan rambutku ke dalam topi hitam sampai tidak ada yang tersisa. Ponselku mendadak jadi cermin yang memantulkan wajah tampanku. Tidak. Sebenarnya aku merasa cukup cantik, tetapi ibuku tidak boleh melihat sisi cantikku. Aku harus menjadi anak laki-laki tampan dan manis yang memakai topi hitam, bahkan di rumah sekali pun. Tepatnya penampilan mendiang adik laki-laki yang melekat di i
“Kamu yakin bakal terima misi ini?” Aku nggak bergeming. Sibuk dengan pertimbangan sulit sambil memutar-mutar foto si target di meja bundar yang kami kelilingi. Kugetarkan kakiku sendiri sambil mengemut lollipop yang semakin tipis. Namun, gadis berkuncir dua bernama Vinka terus mencolek-colekku. Dia mengiraku sedang melamun apa, ya? “Aika, kita harus cepat memutuskan!” “Aku tahu!” protesku pada Vinka. “Eum, Vinka. Sebaiknya biarkan Aika berpikir matang-matang. Target kita ini bukan orang biasa.” Tegur Angela, anggota termuda geng kami yang memiliki mata puppy. “Vinka benar. Kita harus cepat. Klien kita hanya memberi waktu sampai sore ini!” sela Jena, anggota kami yang senang sekali bermain basket. Kupukul meja dalam satu gebrakkan. “DENVERSHITTY akan mengeksekusi Mahendra Atmaja—kelas XII IPS di bekas pabrik sepatu alias markas kita tercinta ini pada jam istirahat!” “YES! Kita bolos lagi!” seru Vinka dengan antusias. “Jam istirahat? Kenapa nggak pulang sekolah?” tany
Argh, aku benci suasana formal kayak ini. Aroma pengap dari orang dewasa. Mereka menyilangkan kaki dan duduk nyaman di hadapanku dengan tatapan mengintimidasi, sedangkan aku yang sudah seperti kutu disuruh berdiri menunduk sambil diomeli terus-menerus. Kulirik sebelah kananku, cowok cengeng itu tampak merengek kesal karena dia harus menanggalkan seragam sekolahnya. Berulang kali dia mengeluh dan berbicara soal harga diri. “Kenapa kamu melakukannya?” tanya Pak Atma, Ayah Mahendra. “Siapa yang sebenarnya pelaku perundungan? Saya atau anak bapak?” sanggahku. Laki-laki tua berbadan tegap itu menghela napasnya berat. Sementara wali kelasku, Pak Yoga malah menjewer telingaku keras-keras. Sontak saja, aku meringis kesakitan. “Hey, gadis nakal! Apa susu yang kamu tumpahkan tidak membuatmu merasa bersalah? Belum lagi, lihat mata Mahendra yang lebam! Kamu yang menonjoknya!” omel Pak Yoga. “Bagaimana dengan Rangga yang lebih dulu ditindas sama Mahendra? Bapak nggak tahu kalau sebelah mat
Aku melangkah masuk ke kelas saat bel berdentang. Kulihat Levin telah duduk di bangkunya, tepat di hadapan meja guru. Dengan malas, kuberjalan menuju bangku punyaku yang terletak di paling belakang dekat jendela. Kemudian Angela, Vinka, dan Jena berhamburan masuk dan menghampiriku. “Aika, kamu nggak apa-apa?” tanya Angela dengan cemas. Aku hanya menggeleng dengan senyuman tipis. “Gimana ini, Chil? Sepertinya masalah semakin besar,” resah Jena. “Mahendra benar-benar—” Panjang umur. Mahendra masuk ke kelas dengan berlagak seperti korban. Kami berempat menatapnya sinis. Kusilangkan tanganku di dada. Anak manja, batinku. “Yang bapaknya DPR jangan ditemenin!” ledek Vinka secara tiba-tiba dan membuat Mahendra refleks melotot ke arah kami. Aku mencoba menahan tawa dengan mengembungkan pipi. Namun, perhatianku beralih ke Levin yang kelepasan terkekeh. Untungnya saat Mahendra hendak menghampiri kami, Pak Wahyu—guru Bahasa Indonesia kami masuk ke dalam kelas. Mahendra pun kembali ke bangk
Ada sebuah dongeng waktu aku SMA, bahwa tempat ini adalah salah satu spot terseram di sekolah.Sebuah pohon beringin tua yang terasingkan. Akarnya merambat tebal ke bawah, sementara daunnya yang rimbun menutup akses cahaya."Kamu mau ajak aku kabur apa uji nyali?" ledekku sambil berkacak pinggang.Levin berdecih, merasa pintar. "Diam deh. Meski tempat ini bikin malas, tapi satpam itu gak akan kepikiran kita ada di sini."Aku mengangkat bahu, lalu menjatuhkan diri di akarnya yang besar."Adem juga ya?" celetukku sambil melihat sekitarku yang didominasi oleh kebun.Sekolah ini dulunya kebun besar sih, jadi sebagian lahannya tidak berubah. Levin menyusulku duduk, meraup rambutnya dengan kasar tanpa menjawab apa pun.Dia terkekeh dengan kepala dibenamkan ke lutut."Kenapa?" tanyaku mencoba memancing.Benar saja, anak ini langsung mengangkat kepala dengan wajah protes.Dia menyelipkan rambutku ke telinga. "Mana mungkin, Tuan Putri. Sudah tugasku," ucapnya lembut.Pandangannya menurun. "Aku
D-Day. Pulang kampus biasanya aku lesu dan macam gembel. Kali ini beda, semangatku bahkan full tank mungkin sampai besok pagi. Klakson mobil yang kutunggu-tunggu akhirnya terdengar. Batang hidung Levin kelihatan pas jendela mobil turun dengan sempurna. “Let’s go, Pretty.” Aku sudah semangat membuka pintu, eh ada saja yang tak sesuai harapan. Tanganku berusaha menarik berkali-kali, tapi tetap macet. Ternyata Levin masih menguncinya. Baru setelah kuketuk, ia panik menekan kunci dari dalam. “Nyebelin,” gerutuku. “Hehe, maaf.” Mataku menyipit ke Levin. Jas semi formal, celana bolong berantai, dan piercing tempel di tengah bibir bikin aku salah fokus. Dia nyentrik kalau sedang jalan-jalan, padahal setahuku kamar dan lemarinya cuma diisi sama kaos bola. Aku jadi mikir, di mana dia menyimpan pakaian dan pernak-perniknya. Jangan-jangan, di rumah Levin punya ruang rahasia. “Kita mau belanja di mana nih?” “Mall paling deket aja.” “Okay! Meluncur.” Levin lantas menginjak pedal gas. “Kata
“Alright, enough for today. Karena besok hari spesial, Bapak gak akan ngasih tugas du—” Belum selesai Pak Tomi—dosen mata pelajaran bahasa Inggris—bicara, tapi sorak gembira langsung memenuhi kelas. Aku ikut senang walau tidak ikut loncat-loncat. “Angjaaay! Mabsur dah mabsur,” sambar Marvin Nalendra, ketua Divisi Seni. Selain sering typo, hobinya menciptakan bahasa alien. Mabsur di kamus dia artinya mantap dan subur. Tugas bikin banyak pikiran soalnya. Orang yang banyak pikiran gampang kurus. Teorinya sih begitu. “Guru gweh nih guru gweeh!” Januar William, tak mau kalah. Dia memang tidak sekuat Jarvis, tapi cukup tangguh sebagai Ketua Divisi Keamanan bareng sohibnya, Edward Chandra. Pak Tomi geleng-geleng kepala sambil senyum malu-malu. “Pokoknya kalian tidur yang nyenyak. Yang cewek, jangan maksain diet. Yang cowok, jangan begadang nonton bola. Tinggal satu mapel lagi, ya?” pesan Pak Tomi, menenteng tas hitamnya dan berdiri di depan. “Iya, Pak,” jawabku mewakili. “Ya sudah, se
BATU nisan tertancap di depanku. Meski otakku berkali-kali mengelak bahwa yang terbaring di bawah sana adalah orang asing, tapi hati kecilku berkata lain. Lonjakan kebimbangan antara sedih dan kecewa bergemuruh di dalamnya.Di sisi lain, aku nggak percaya pusara yang bertahun-tahun kudatangi bersama ibu hanyalah sebuah tanah kosong. Levin mengusap bahuku, menyalurkan sedikit kehangatan lewat sentuhannya."Jangan ditahan kalau mau nangis," ucapnya lembut.Dia tahu mataku sudah terlihat sendu. Seolah siap menumpahkan segalanya. Penglihatanku perlahan buram, tertutup oleh genangan air yang siap terjun bebas. Saat itu terjadi, aku langsung berbalik untuk membenamkan kepalaku di tubuhnya.Levin dengan sigap mendekapku erat. Menepuk-nepuk punggungku lembut tanpa kata. Dia tidak bersuara, membiarkan lirihku menggema di tengah peristirahatan insan manusia.***Waktu terus berlalu. Dalam penantian kami menunggu pengumuman dari sekolah, asisten ayah, Pak Beni banyak berkunjung ke rumah. Dia mem
Dering alarm ponsel membangunkanku dari tidur singkat yang melelahkan. Tirai jendela tersibak angin dari ventilasi udara lalu menimbulkan golden hour yang menerpa setengah wajahku. Dengan mata yang sedikit terbuka, kuintip isi ponselku, di sana tertera waktu yang menunjukkan pukul 08.00 WIB. Seharusnya jika semua hal berjalan normal, saat ini aku sedang berada dipanggung perpisahan, menerima piagam penghargaan dengan nama Aika. Tapi, karena pandemi virus COVID-19 yang melanda dunia, sekolah kami tidak melakukannya. Kami harus belajar prihatin. Meski begitu, aku menikmati dan mensyukuri sebab diberi kelulusan dengan mudah. Aku beringsut dan duduk di tempat tidurku, membuka whatsapp lalu memeriksa pesan yang masuk. Tidak ada ucapan “Happy Graduation, Aika!”, seperti yang kuduga dari jauh-jauh hari. Bagiku, menerima ucapan seperti iu hanyalah mimpi belaka. Aku tidak cukup dekat dengan teman sekelasku untuk dapat ucapan selamat. Tak lama kemudian, sebuah pesan masuk. Aku terheran-heran,
Sepatu Levin menghentak-hentak ubin. Gak ada jejak kaki kotor yang tertinggal, lagi pula bukan itu yang Aika cemaskan. Tapi, ekspresi cowok itu yang seolah akan memilinnya seperti squishy. “Serius Aika gak inget sama gue? Ini gue Levin! Sahabat kecil, temen sekelas, solmet sejati lo!” lontar Levin. Selepas menaruh botol, Aika menepuk-nepuk baju dan selimutnya yang kecipratan air. Gadis itu menggeleng. “Maaf, tapi gue belum bisa—” Levin merangkap kedua tangan Aika. Gadis itu membelalak dengan genggaman tiba-tiba itu. Lebih bingung sebab Levin menatap kosong ke Aikahnya. Tertegun, atau melamun. Sekelebat situasi tak biasa menghantam penglihatan Levin. Jeritan menusuk indra pendengAikan cowok itu, dan dia yakin jeritan itu berasa dari Aika. Bergeser ke Aikah lain, seorang gadis lainnya tampak buram. Gadis itu meronta dengan beberapa orang yang mengunci tubuhnya. Levin bergidik. Fokusnya kembali pada Aika. “Aika, kamu ngeliat kejadian ngeri ya di sana?” celetuk Levin. Dengung listr
Pintu kamar terbuka. Semilir aroma bayi menyapu lembut hidung Aika. Gadis itu sedikit terperajat karena Jessica muncul tiba-tiba. Dengan wajah yang cemong, dipenuhi bedak. Rambutnya basah sudah tersisir rapi ke belakang. Jessica juga tampak mengangkat ujung gaunnya. Rupanya dia berniat memamerkan gaun baru pada Aika. Aika terkekeh. “Cantik banget.” “Timakaci, Yang Mulia. Kata Bu Ratna, sekarang waktunya makan besar kelajaan,” ujar Jessica dengan kecadelannya. Aika beringsut, lalu menggantung baju seragam yang sudah ditanggalkannya. Aika lantas menghampiri Jessica. “Ayo?” Di meja makan, lauk pauk disediakan khusus untuk Aika. Itu pun, hanya goreng ikan mas. “Paman abis mancing, sayang cuma dapat satu. Ini buat kamu aja,” kata Bi Fani sambil memindahkan lauk ke piring Aika. “Wah, betulan? Makasih banyak, Bi ... Paman,” sahut Aika. Senyuman lebar ditorehkan pada paman dan bibinya secara bergantian. Tanpa beban, seolah tidak ada yang terjadi. Gadis mulai melahap makanannya dengan ce
Hantu Keluarga Donovan | Posted by @Aika Camera – Rolling – Action! Kamera berkedip merah; mulai merekam. Berjalan memasuki rumah. Levin dan Aika tiba-tiba teleportasi dari gedung ke sebuah rumah. Sebelumnya, ia tertidur dan dalam mimpinya terdapat petunjuk harus melakukan sesuatu. “Halo semuanya! Kembali bersama Aika di sini! Hari ini, kami menerima laporan kalau banyak hal-hal mistis yang terjadi di rumah keluarga Donovan. Mari kita lihat apa yang—” Dentuman keras tak jelas asal-usulnya menyentakkan bahuku. Tubuh ini menegang, merasakan energi yang terlampau kuat. Kutaruh kamera di laci, dan tiba-tiba membelalak hebat. Menyaksikan wallpaper di rumah ini mendadak mengelupas dengan sendirinya. Lolongan serigala ikut bergumul, sangat memekikkan telinga. Aku berputar, menyelisik setiap penjuru rumah. Mencari-cari darimana asal suara, tapi yang kutangkap hanya keberadaan keluarga Donovan. Saling meringkuk ketakutan di sudut rumah. Satu orang lagi yang harus kupastikan di sisiku, se
; BEFORE STAGE ; Gaun Ratu Guinevere punya corak dan bentuk yang unik ternyata. Agak berbeda dari gaun Eropa abad pertengahan yang cenderung terbuka, gaun itu membalut tubuh Aika secara tertutup dan membuatnya nyaman. Kesan sederhana, tapi mewah tercipta dari padu padan warna putih dan emas dengan motif sebuah mawar di dada. Bagian lengannya yang lebar terayun-ayun karena Aika berulang kali menggosok telapak tangan di depan cermin. Aika menekan lehernya, lalu berdeham pelan. Sepuluh menit lagi pertunjukkan akan dimulai. Jadi, tenggorokannya tak boleh gersang. “Kamu deg-degan ya?” Aika menyapa Aika di ruang rias sembari menyodorkan secangkir kecil teh. “Ah, hehe, iya, Bu. Terima kasih banyak, Aika minum, ya?” Izin Aika, lalu meneguk sedikit demi sedikit teh. Kehangatan seketika berselancar dari mulut, tenggorokan, hingga melemaskan syaraf yang sedaritadi tegang. “Ekhem ....” Aika mencoba berdeham lagi, mengecek pita suaranya. Kali ini, tidak ada tekanan dan Aika akhirnya bisa ber