Wajah anak-anak Denvershitty cuek bebek, walau empat murid asing berjaga di segala penjuru kelas. Selepas digiring masuk, mereka berkumpul di satu titik, seperti lagi kerja kelompok. “Menurut kalian, gimana reaksi Pak Tyo?” tanya Nadya pelan. “Hmm—” Dean berdeham panjang. “Dia kan gak sadar ada kamera. Gue yakin reaksinya planga-plongo. Bingung mesti ngapain soalnya gak di briefing, Mateo, hahaha,” katanya seraya membenarkan kain penutup sebelah mata Nadya. “Justru reaksi begitu bikin kita untung pas lapor ke Kementerian dan nyebarin ke publik. Mereka bakal bertindak.” Arkaf menerangkan. “Tapi, saya sih berharap masih ada orang dewasa yang waras di sekolah ini,” timpal Tama.Ia sibuk mengelapi muka. Butuh setengah pack tisu setelah Janu mengguyurkan sebotol air supaya bangun.Ini semua gara-gara Alex yang merebut stun gun dan balas menyentrumnya. Untungnya, cowok itu belum berani mengoperasikannya kencang-kencang.“Dulu ada Pak Darma, wali kelas gue pas kelas 10. Beliau perhatian
Kebersamaan selalu hal yang patut disyukuri. Sebab di luar sana, beberapa orang menangis karena nggak punya teman melepas tawa. Namun, sama seperti bulan yang melewati berbagai fase, Aika telah bertahan sebaik mungkin. Hari yang dinantikan akhirnya terjadi. Gelak tawa Aika sedari tadi sahut-menyahut dengan Levin. Selera humor keduanya cukup nyambung, padahal cuma sebatas menertawakan hasil-hasil jepretan tadi. “Eh, haha! Liat ini, kamu bisa manyun sampai berapa senti, sih?” Aika menunjuk Levin yang berpose ala bebek. “Wkwkwk, kayak bocah freak banget.” “Dih! Apanya yang freak, ini unyu tau! Emang kamu aja yang boleh gemesin,” gerutu Levin. “Oh, gitu, mau nyaingin aku nih ceritanya?” Aika memancing berdebat. “Woiya dong!” Suara Levin mendadak jadi kayak tikus kejepit demi sok imut. Ia memanyunkan bibir sambil lanjut menggulir layar ponsel Aika. “Ekhem,” Levin berdeham biar suara manly-nya balik lagi. “Kamu pensiun aja imutnya, kecuali sama aku.” “Lah, ngatur?” Levin menoleh. Me
“Kamu mau makan sekarang?” Aika bersimpuh di bawah Levin. Kekasihnya itu tampak lesu setengah mati. Pundaknya rapuh, seolah-olah akan terjatuh. Jari-jemarinya merangkap dan dibuat menopang kening. “Gak selera, Ka,” ucap Levin parau. “Tiga suap aja, ya? Please ….” Anggukan Levin membuat Aika lega. Dia segera mengambil nasi dan sayur bayam yang ia buat mendadak. “Di kulkas kamu cuma ada ini. Aku belum sempat ke supermarket karena takut kamu keburu dateng,” terang Aika sambil mengarahkan sendok ke mulut Levin. Satu suap. Dua suap. Suapan ketiga pun benar-benar jadi suapan terakhir. Levin menggeleng. “Udah, aku kenyang.” Aika menurut. Mangkuk itu disimpan di atas meja selagi Levin meneguk air. “Aku lega, kamu akhirnya gak nahan nangis,” Aika menggenggam punggung tangan Levin. "Jangan membelenggu perasaan kamu. Rasain aja semua apa yang ada di hati. Kamu berhak berduka.” Mata Levin berkedip cepat karena panas menjalar lagi. “Aku gak nangis di depan cewek,” tampiknya seraya menge
Mutiara seharusnya berlindung di bawah kerang bercangkang indah. Dengan begitu, ia tidak perlu takut akan rusak, pecah, dan tergores. Kemudian, laut akan memantulkan kilaunya yang elok. Itulah mutiara sesungguhnya. Berbeda denganku, aku terverifikasi sebagai mutiara jadi-jadian.Saat ini, aku berlari di tengah derasnya hujan. Tanpa jaket apalagi payung. Tepatnya kembali memakai seragam putih abu di bahu sebelah kanan. Petir menggelegar beriringan dengan langkahku. Meski berat, pada akhirnya aku sampai di depan rumah sederhana berhalaman sempit. Di mana kami hanya punya satu akses untuk masuk ke dalam. Kuselipkan rambutku ke dalam topi hitam sampai tidak ada yang tersisa. Ponselku mendadak jadi cermin yang memantulkan wajah tampanku. Tidak. Sebenarnya aku merasa cukup cantik, tetapi ibuku tidak boleh melihat sisi cantikku. Aku harus menjadi anak laki-laki tampan dan manis yang memakai topi hitam, bahkan di rumah sekali pun. Tepatnya penampilan mendiang adik laki-laki yang melekat di i
“Kamu yakin bakal terima misi ini?” Aku nggak bergeming. Sibuk dengan pertimbangan sulit sambil memutar-mutar foto si target di meja bundar yang kami kelilingi. Kugetarkan kakiku sendiri sambil mengemut lollipop yang semakin tipis. Namun, gadis berkuncir dua bernama Vinka terus mencolek-colekku. Dia mengiraku sedang melamun apa, ya? “Aika, kita harus cepat memutuskan!” “Aku tahu!” protesku pada Vinka. “Eum, Vinka. Sebaiknya biarkan Aika berpikir matang-matang. Target kita ini bukan orang biasa.” Tegur Angela, anggota termuda geng kami yang memiliki mata puppy. “Vinka benar. Kita harus cepat. Klien kita hanya memberi waktu sampai sore ini!” sela Jena, anggota kami yang senang sekali bermain basket. Kupukul meja dalam satu gebrakkan. “DENVERSHITTY akan mengeksekusi Mahendra Atmaja—kelas XII IPS di bekas pabrik sepatu alias markas kita tercinta ini pada jam istirahat!” “YES! Kita bolos lagi!” seru Vinka dengan antusias. “Jam istirahat? Kenapa nggak pulang sekolah?” tany
Argh, aku benci suasana formal kayak ini. Aroma pengap dari orang dewasa. Mereka menyilangkan kaki dan duduk nyaman di hadapanku dengan tatapan mengintimidasi, sedangkan aku yang sudah seperti kutu disuruh berdiri menunduk sambil diomeli terus-menerus. Kulirik sebelah kananku, cowok cengeng itu tampak merengek kesal karena dia harus menanggalkan seragam sekolahnya. Berulang kali dia mengeluh dan berbicara soal harga diri. “Kenapa kamu melakukannya?” tanya Pak Atma, Ayah Mahendra. “Siapa yang sebenarnya pelaku perundungan? Saya atau anak bapak?” sanggahku. Laki-laki tua berbadan tegap itu menghela napasnya berat. Sementara wali kelasku, Pak Yoga malah menjewer telingaku keras-keras. Sontak saja, aku meringis kesakitan. “Hey, gadis nakal! Apa susu yang kamu tumpahkan tidak membuatmu merasa bersalah? Belum lagi, lihat mata Mahendra yang lebam! Kamu yang menonjoknya!” omel Pak Yoga. “Bagaimana dengan Rangga yang lebih dulu ditindas sama Mahendra? Bapak nggak tahu kalau sebelah mat
Aku melangkah masuk ke kelas saat bel berdentang. Kulihat Levin telah duduk di bangkunya, tepat di hadapan meja guru. Dengan malas, kuberjalan menuju bangku punyaku yang terletak di paling belakang dekat jendela. Kemudian Angela, Vinka, dan Jena berhamburan masuk dan menghampiriku. “Aika, kamu nggak apa-apa?” tanya Angela dengan cemas. Aku hanya menggeleng dengan senyuman tipis. “Gimana ini, Chil? Sepertinya masalah semakin besar,” resah Jena. “Mahendra benar-benar—” Panjang umur. Mahendra masuk ke kelas dengan berlagak seperti korban. Kami berempat menatapnya sinis. Kusilangkan tanganku di dada. Anak manja, batinku. “Yang bapaknya DPR jangan ditemenin!” ledek Vinka secara tiba-tiba dan membuat Mahendra refleks melotot ke arah kami. Aku mencoba menahan tawa dengan mengembungkan pipi. Namun, perhatianku beralih ke Levin yang kelepasan terkekeh. Untungnya saat Mahendra hendak menghampiri kami, Pak Wahyu—guru Bahasa Indonesia kami masuk ke dalam kelas. Mahendra pun kembali ke bangk
Selama tiga tahun, aku nggak pernah membayangkan duduk dengan teman sekelas selain anak-anak DENVERSHITTY. Perasaan aneh mulai muncul karena aku harus satu meja makan bareng Levin. Sedari tadi, aku menjadi lebih pendiam. Sementara ibu nggak berhenti mengisi piring Levin dengan segala menu. “Aika, kamu mau tambah ayam gorengnya?” tanya ibu tiba-tiba. Pertanyaan ibu membuatku kembali dari lamunan sesaat. Mataku berkaca-kaca. Ini pertama kalinya ibu menyebut namaku setelah kecelakaan yang merenggut ayah dan adik kandungku dua tahun lalu. “IYA BU,” jawabku kelepasan, “eh...” Ibu membelalak begitu aku menjawab dengan suara berat. Gila, Aika... bodoh banget, batinku. Karena terlalu semangat, aku lupa mengubah pita suara cewekku. Levin terlihat ikut kaget. “Tentu saja, Bu. Beri kakak daging yang banyak untuk menghiburnya. Kayaknya dia baru patah hati. Levin takut kakak akan kurus, haha.” Sela Levin membuatku langsung melotot ke arahnya. “Siapa kakakmu? Dan siapa juga yang putus cinta?!