Argh, aku benci suasana formal kayak ini. Aroma pengap dari orang dewasa. Mereka menyilangkan kaki dan duduk nyaman di hadapanku dengan tatapan mengintimidasi, sedangkan aku yang sudah seperti kutu disuruh berdiri menunduk sambil diomeli terus-menerus. Kulirik sebelah kananku, cowok cengeng itu tampak merengek kesal karena dia harus menanggalkan seragam sekolahnya. Berulang kali dia mengeluh dan berbicara soal harga diri. “Kenapa kamu melakukannya?” tanya Pak Atma, Ayah Mahendra. “Siapa yang sebenarnya pelaku perundungan? Saya atau anak bapak?” sanggahku. Laki-laki tua berbadan tegap itu menghela napasnya berat. Sementara wali kelasku, Pak Yoga malah menjewer telingaku keras-keras. Sontak saja, aku meringis kesakitan. “Hey, gadis nakal! Apa susu yang kamu tumpahkan tidak membuatmu merasa bersalah? Belum lagi, lihat mata Mahendra yang lebam! Kamu yang menonjoknya!” omel Pak Yoga. “Bagaimana dengan Rangga yang lebih dulu ditindas sama Mahendra? Bapak nggak tahu kalau sebelah mat
Aku melangkah masuk ke kelas saat bel berdentang. Kulihat Levin telah duduk di bangkunya, tepat di hadapan meja guru. Dengan malas, kuberjalan menuju bangku punyaku yang terletak di paling belakang dekat jendela. Kemudian Angela, Vinka, dan Jena berhamburan masuk dan menghampiriku. “Aika, kamu nggak apa-apa?” tanya Angela dengan cemas. Aku hanya menggeleng dengan senyuman tipis. “Gimana ini, Chil? Sepertinya masalah semakin besar,” resah Jena. “Mahendra benar-benar—” Panjang umur. Mahendra masuk ke kelas dengan berlagak seperti korban. Kami berempat menatapnya sinis. Kusilangkan tanganku di dada. Anak manja, batinku. “Yang bapaknya DPR jangan ditemenin!” ledek Vinka secara tiba-tiba dan membuat Mahendra refleks melotot ke arah kami. Aku mencoba menahan tawa dengan mengembungkan pipi. Namun, perhatianku beralih ke Levin yang kelepasan terkekeh. Untungnya saat Mahendra hendak menghampiri kami, Pak Wahyu—guru Bahasa Indonesia kami masuk ke dalam kelas. Mahendra pun kembali ke bangk
Selama tiga tahun, aku nggak pernah membayangkan duduk dengan teman sekelas selain anak-anak DENVERSHITTY. Perasaan aneh mulai muncul karena aku harus satu meja makan bareng Levin. Sedari tadi, aku menjadi lebih pendiam. Sementara ibu nggak berhenti mengisi piring Levin dengan segala menu. “Aika, kamu mau tambah ayam gorengnya?” tanya ibu tiba-tiba. Pertanyaan ibu membuatku kembali dari lamunan sesaat. Mataku berkaca-kaca. Ini pertama kalinya ibu menyebut namaku setelah kecelakaan yang merenggut ayah dan adik kandungku dua tahun lalu. “IYA BU,” jawabku kelepasan, “eh...” Ibu membelalak begitu aku menjawab dengan suara berat. Gila, Aika... bodoh banget, batinku. Karena terlalu semangat, aku lupa mengubah pita suara cewekku. Levin terlihat ikut kaget. “Tentu saja, Bu. Beri kakak daging yang banyak untuk menghiburnya. Kayaknya dia baru patah hati. Levin takut kakak akan kurus, haha.” Sela Levin membuatku langsung melotot ke arahnya. “Siapa kakakmu? Dan siapa juga yang putus cinta?!
KKKRTT...KRRTT.. Suara apa itu? Maling? Batinku dengan mata masih terpejam. Perlahan suaranya semakin membesar. Kuintip jam dinding. Jarumnya masih menunjukkan angka tiga.. TIGA PAGI. Konon katanya—BRUK! Sesuatu tiba-tiba muncul dari samping ranjangku. Sontak aku langsung bangun dan memepetkan diri ke tembok sambil melindungi diri dengan bantal. “Mmmm... Aika cepat bangun, jangan telat mulu..” Aku langsung menghela napas kesal karena ternyata Levin tidur di kamarku. Mana mengigau lagi. Kulempar saja bantal ini ke kepalanya dan dia pun tersungkur lagi dengan dengkuran yang sama. ERRRRR. Dan, belum cukup sampai di situ... “Jangan lupa panggil aku kakak kalau sedang di rumah!” tegurku sambil terus menggosok gigi. Levin tidak mengindahkan teguranku karena sibuk berkumur. Setelah itu, nggak ada angin ataupun hujan, kepalaku tiba-tiba tertarik ke belakang. Rambut panjang lurusku pun tergerai. Aku berhenti menggosok dan menatap tajam Levin di cermin. Telapak tangannya yang besar mengh
DRRRT .... Sebuah pesan masuk ke ponselku. “Kalian sudah makan?” tanya ibu. Jari-jemariku dengan cepat membalas pesan darinya. “Iya, Bu. Kami akan ke kantin,” Aku beralih pada Levin dan memastikan butuh waktu berapa lama lagi yang dibutuhkannya untuk mencari. “Udah ketemu belum? Masih lama?” “NAH KETEMU!” Pupil mataku membesar begitu tangannya menyabet satu map berlabelkan nama yang kucari. “Hebat!” seruku sambil membuka resleting jaket dan melebarkannya. Entah kenapa, Levin malah terbatuk-batuk, cih! “Tunggu apalagi? Cepat sembunyikan di balik jaketku!” Satu matanya mengintip sebelah. Sambil memalingkan wajah, ia berusaha menempatkan map itu di balik jaketku tanpa salah sentuh. Ck, dasar! Ledekku di dalam hati. Sebuah ide spontan terbesit di otakku. Kukeluarkan kembali ponsel dan membuka kamera. Lensanya memantulkan side face-nya yang konyol. “Hey, apa yang—” gerutunya, “cepat ambil mapnya! Malah foto-foto,” Namun saat aku hendak mengambil fotonya, ponselku tiba-tiba kem
Debu halus beterbangan seiring dengan derap langkahku. Siang menjelang sore, suasana di luar markas tampak sepi. Memang pada waktunya tidur siang sih, tapi aku nggak bisa menunda waktu lagi buat menunjukkan penampilan baru di hadapan anak-anak. BRUK! Cahaya menyorot ruangan begitu aku mendorong pintu markas.“Aika!” panggil Vinka sambil berlari ke arahku.Mataku mengabsen semua anggota di belakang Vinka. Bagus! Semua ada di tempat, batinku. Pandanganku kembali pada Vinka yang menganga begitu dia sampai di dekatku.“Habis dari mana nih? Tumben cantik banget,” tanya Vinka.Aku hanya terkekeh sambil menggandeng mesra lengan Vinka. Kami berjalan menghampiri Levin, Angela, dan Jena.“Padahal daritadi kami nunggu kamu,” celetuk Angela.“Nunggu aku? Kenapa?”“Pura-pura dodol ya, Chil?” ledek Jena.Kupalingkan wajah dari mereka. Pupil mataku melebar. Kenapa nih? Mereka tahu sesuatu soal Levin? Batinku dengan jantung berdebar. Tiba-tiba Levin menarik bahuku. Salivaku tertelan dengan berat.“Ka
Ketika raga kita melewatkan sebuah hal kecil, maka sudah waktunya takdir yang bekerja. Sejak pulang sekolah, aku langsung naik ke atas dan membalut diri dengan selimut. Nggak—aku nggak demam, kok. Aku gak tahu kenapa aku sangat salah tingkah gini setiap adegan mengecup itu terbesit di ingatanku. Tanganku menempel ke dada, kenapa detaknya cepat sekali? Tanyaku dalam hati.“ARGH!!!” teriakku sambil menendang-nendang angin, lalu duduk termenung di kasur.“Benar, kenapa aku kayak orang gila gini? Cium pipi kan hal yang biasa, apalagi dia sekarang sudah kuanggap sebagai Azil.” Gumamku sendirian.Kurasakan tenggorokkanku mengering. Meski malas, aku turun dari ranjang dan bergegas ke dapur. Tepat saat aku sampai di tangga terakhir, Levin tiba-tiba muncul dari balik pintu kamarnya. Sontak aku berdiri mematung, sementara anak itu pun tampak kaget. Aku mengernyitkan alis ketika dia menangkup kedua pipinya sendiri.PLAK! Otakku memutar kembali adegan aku menampar pipinya.“Maaf soal tadi siang,”
“Aika!!!” teriak Levin sambil menjelajahi kordidor atas sekolah. Tiba-tiba, Levin berpapasan dengan Vinka. “Kamu lihat Aika?” Vinka menggeleng dengan cemas. “Apa yang terjadi? Aku bingung banget. Levin juga langsung pergi gitu aja ... ” Levin semakin gelisah. “Sulit menjelaskannya sekarang. Aku mau kamu dan yang lainnya bantu mencari Aika, ya?” pinta Levin, disambung anggukkan Vinka. Levin melanjutkan pencariannya. Dia melirik jam tangannya, waktu menunjukkan pukul 9.00 WIB. Itu artinya, pemutaran film bakal dimulai. Levin bergegas turun ke lantai bawah. Dia masuk ke area pemutaran. Matanya menelisik wajah para siswa yang sudah mengisi penuh kursi. “Aika ... aku yakin kamu di sini,” Matanya berhenti di kursi paling pojok dan kurang tersorot lampu. Gadis yang sukses membombardir perasaannya itu terlihat duduk. Kedua lututnya dinaikkan ke atas kursi. Dia hanya menatap kosong layar besar dan canggih di hadapannya. Levin memejamkan mata sesaat sambil menghela napas supe