DRRRT .... Sebuah pesan masuk ke ponselku. “Kalian sudah makan?” tanya ibu. Jari-jemariku dengan cepat membalas pesan darinya. “Iya, Bu. Kami akan ke kantin,” Aku beralih pada Levin dan memastikan butuh waktu berapa lama lagi yang dibutuhkannya untuk mencari. “Udah ketemu belum? Masih lama?” “NAH KETEMU!” Pupil mataku membesar begitu tangannya menyabet satu map berlabelkan nama yang kucari. “Hebat!” seruku sambil membuka resleting jaket dan melebarkannya. Entah kenapa, Levin malah terbatuk-batuk, cih! “Tunggu apalagi? Cepat sembunyikan di balik jaketku!” Satu matanya mengintip sebelah. Sambil memalingkan wajah, ia berusaha menempatkan map itu di balik jaketku tanpa salah sentuh. Ck, dasar! Ledekku di dalam hati. Sebuah ide spontan terbesit di otakku. Kukeluarkan kembali ponsel dan membuka kamera. Lensanya memantulkan side face-nya yang konyol. “Hey, apa yang—” gerutunya, “cepat ambil mapnya! Malah foto-foto,” Namun saat aku hendak mengambil fotonya, ponselku tiba-tiba kem
Debu halus beterbangan seiring dengan derap langkahku. Siang menjelang sore, suasana di luar markas tampak sepi. Memang pada waktunya tidur siang sih, tapi aku nggak bisa menunda waktu lagi buat menunjukkan penampilan baru di hadapan anak-anak. BRUK! Cahaya menyorot ruangan begitu aku mendorong pintu markas.“Aika!” panggil Vinka sambil berlari ke arahku.Mataku mengabsen semua anggota di belakang Vinka. Bagus! Semua ada di tempat, batinku. Pandanganku kembali pada Vinka yang menganga begitu dia sampai di dekatku.“Habis dari mana nih? Tumben cantik banget,” tanya Vinka.Aku hanya terkekeh sambil menggandeng mesra lengan Vinka. Kami berjalan menghampiri Levin, Angela, dan Jena.“Padahal daritadi kami nunggu kamu,” celetuk Angela.“Nunggu aku? Kenapa?”“Pura-pura dodol ya, Chil?” ledek Jena.Kupalingkan wajah dari mereka. Pupil mataku melebar. Kenapa nih? Mereka tahu sesuatu soal Levin? Batinku dengan jantung berdebar. Tiba-tiba Levin menarik bahuku. Salivaku tertelan dengan berat.“Ka
Ketika raga kita melewatkan sebuah hal kecil, maka sudah waktunya takdir yang bekerja. Sejak pulang sekolah, aku langsung naik ke atas dan membalut diri dengan selimut. Nggak—aku nggak demam, kok. Aku gak tahu kenapa aku sangat salah tingkah gini setiap adegan mengecup itu terbesit di ingatanku. Tanganku menempel ke dada, kenapa detaknya cepat sekali? Tanyaku dalam hati.“ARGH!!!” teriakku sambil menendang-nendang angin, lalu duduk termenung di kasur.“Benar, kenapa aku kayak orang gila gini? Cium pipi kan hal yang biasa, apalagi dia sekarang sudah kuanggap sebagai Azil.” Gumamku sendirian.Kurasakan tenggorokkanku mengering. Meski malas, aku turun dari ranjang dan bergegas ke dapur. Tepat saat aku sampai di tangga terakhir, Levin tiba-tiba muncul dari balik pintu kamarnya. Sontak aku berdiri mematung, sementara anak itu pun tampak kaget. Aku mengernyitkan alis ketika dia menangkup kedua pipinya sendiri.PLAK! Otakku memutar kembali adegan aku menampar pipinya.“Maaf soal tadi siang,”
“Aika!!!” teriak Levin sambil menjelajahi kordidor atas sekolah. Tiba-tiba, Levin berpapasan dengan Vinka. “Kamu lihat Aika?” Vinka menggeleng dengan cemas. “Apa yang terjadi? Aku bingung banget. Levin juga langsung pergi gitu aja ... ” Levin semakin gelisah. “Sulit menjelaskannya sekarang. Aku mau kamu dan yang lainnya bantu mencari Aika, ya?” pinta Levin, disambung anggukkan Vinka. Levin melanjutkan pencariannya. Dia melirik jam tangannya, waktu menunjukkan pukul 9.00 WIB. Itu artinya, pemutaran film bakal dimulai. Levin bergegas turun ke lantai bawah. Dia masuk ke area pemutaran. Matanya menelisik wajah para siswa yang sudah mengisi penuh kursi. “Aika ... aku yakin kamu di sini,” Matanya berhenti di kursi paling pojok dan kurang tersorot lampu. Gadis yang sukses membombardir perasaannya itu terlihat duduk. Kedua lututnya dinaikkan ke atas kursi. Dia hanya menatap kosong layar besar dan canggih di hadapannya. Levin memejamkan mata sesaat sambil menghela napas supe
Kala Aika dan Levin sama-sama berbaring di ranjang rumah sakit dan koma. Mereka memimpikan hal fantastis yang sama.100 TAHUN SEBELUMNYA “Apa semua barangnya sudah siap?” teriak ayahku di kursi kemudi. Kak Nadina menggiringku di kursi sebelah ayah, membantu naik. “Hai, Ayah?” sapaku. “Hai, Cantik,” balasnya. “Semua beres, tidak ada yang tertinggal.” Pintu depan didorong Kak Nadina dengan kekuatan penuh. Ia lantas pergi dan mengisi jok belakang. Sebelum kami berangkat, Madam Ben tergopoh-gopoh menghampiri. “Ini bawa sebotol madu untuk perjalanan,” katanya. Sedih rasanya melihat Madam Ben untuk ditinggalkan dalam waktu yang lama. “Terima kasih,” ujar ayah, “ ... terima kasih karena telah membantu kami bersembunyi bertahun-tahun dan memberiku pekerjaan di kedaimu.” “Senang bertemu kalian, Para Makhluk Keren,” puji Madam Ben. “Kami akan sering berkunjung, jaga kesehatanmu,” timpal Kak Nadina. “Aku akan selalu menunggu, dan Nour—” Aku suka ketika Madam Ben memanggilku dengan se
Hembusan angin yang berdesir membelai ujung rambutku. Tirai poniku sekarang lenyap terhempas angin, masa bodoh dengan kening yang terekspos, akhirnya aku bisa merasakan udara segar sejenak. Danau yang tenang di hadapan kami seolah mendukung kami untuk rehat dari segala hiruk piruk mantra sihir. Kulihat Levin juga menikmatinya, sambil bersandar pada kedua tangannya yang menopang tubuhnya dari belakang. Sesekali ia bersiul tidak jelas. Levin itu tampan kalau sedang diam ternyata, hahaha. “Mengapa kamu bisa berakhir menjadi bangsa Cakrawala?” ujung matanya melirik ke arahku, lalu tersenyum tipis. “Aku dan ibuku menyelamatkan satu keluarga yang akan dibunuh. Namun ternyata, kemalangan memang ditakdirkan untukku.”Hari itu, hari di mana usianya akan berhenti dan terpaku pada angka delapan belas tahun dan berhenti menua. Jalanan jauh lebih dari sepi dari biasanya, burung-burung tak lagi bertengger seperti biasanya, langit mendung bersamaan dengan turunnya gemercik hujan yang menimbulkan pet
Trio Semesta berhamburan keluar ruangan untuk menangkap Ki Paturaja. Mereka melihat ke segala arah, namun yang mereka lihat hanya pertempuran yang belum selesai. Tiba-tiba, pasukan makhluk buruk rupa mundur dan meninggalkan pertempuran, sebagai pertanda bahwa sang mangsa berhasil mereka dapatkan. Trio Semesta berlari menghampiri Levin, “Dimana Aika?” tanya Arya panik, Levin kebingungan dengan ekspresi yang ketiganya torehkan, “Ki Paturaja membawanya ke tempat yang aman,” ujar Levin. “Celakalah kita,” Arumi hampir frustasi, ia memegangi keningnya dengan cukup keras. Levin melotot, “Apa maksudmu? Apa Aika sedang dalam bahaya?”“Benar, apa maksud kalian bertiga?” Asih menyela, Belum sempat, mereka menjelaskan keadaan yang sedang terjadi, Ki Garasakti, Nyai Kasih, beserta para guru sakti menghampiri mereka. “Kalian mengetahui apa yang tidak kami ketahui, benar begitu?” sahut Nyai Kasih, “Maafkan saya nyai, saya yang mencegah teman-teman untuk memberitahu kalian semua bahwa beberapa ha
“Nona agung adalah sebutan untuk keturunan para petinggi di suku kami,”“Para petinggi? Apa di sini ada para petinggi selain Ibuku?” ia mengangguk pelan,“Tapi mereka memutuskan berpisah dari suku kami karena keputusan Ibu nona yang tak sejalan dengan mereka,” baiklah, kini otakku dipenuhi banyak pertanyaan, tapi aku berhenti bertanya lebih jauh karena memang bukan itu hal yang menjadi fokusku sekarang. Kami memasuki gubuk utama, aku terkejut karena keadaan di dalam gubuk tampak jauh berbeda. Semua senjata yang bergantungan dan tertata rapi lenyap dalam satu malam, cadangan makanan yang berkarung-karung dan ember-ember tempat besar tempat menyimpan air juga tidak terlihat, hanya ada meja kayu berkaki pendek dan berpemukaan lebar yang di tempatkan di sisi paling belakang gubuk serta di kelilingi 6 kursi yang mengitarinya. Teman-temanku sudah duduk rapi di tempatnya masih-masing, beberapa makanan telah dihidangkan di atas meja, dan tersisa kursi kosong, khusus untukku,“Kak, aku telah