Tepat tengah malam. Antara sadar tak sadar, Dayana merasa malam itu tak hening seperti biasanya. Dalam raga yang belum sepenuhnya menggenggam jiwa, Dayana mengerang kecil. Ia terduduk di pinggir ranjang jati sembari menggosok mata yang lekat. Penglihatannya memang masih sedikit buram, tapi ia yakin jarum jam menunjuk angka dua belas. Apa yang membangunkannya? Ah, ya ... Dayana ingat ia sempat dikagetkan oleh musik menyeramkan di dalam mimpinya. Tunggu. Di tengah rasa dahaga yang memuncak, wanita berusia empat puluhan itu mendadak tertegun. Ia fokus menajamkan indera pendengaran. Seiring kesadaran Dayana sepenuhnya pulih, sayup-sayup musik lambat laun terdengar semakin jelas. Oh, tidak. Rupanya ini bukan mimpi. Musik aneh itu sungguh hadir di dekatnya. Dayana lekas beranjak. Hanya ada dirinya dan Aika Cathryn di rumah, sedangkan sopir berada di bangunan lain. Jadi sudah jelas tujuan asisten rumah tangga adalah memeriksa keadaan majikannya terlebih dulu. Apalagi akhir-akhir ini, Ai
“Ekhem!” Skyder sengaja berdeham di samping pintu kelas violin. Langkah Elz otomatis terhenti karena dehaman tersebut tepat di saat ia keluar. Yes! Berhasil! Batin Skyder. Skyder mengangkat punggungnya. Lekat sekali ia menempel di tembok hampir setengah jam. Bukan tanpa maksud, tapi ia sedang mencegah Elz pergi melewatinya begitu saja. Beruntung usahanya tak sia-sia. “Eh? Kok kamu di sini? Bukannya kamu harus mulai packing? Kenapa belum pulang?” tanya Elz. Mendengar pertanyaan Elz yang keluar banyak bikin Skyder berbesar hati. Ia mesam-mesem sendiri. Pasalnya, gadis itu bicaranya sedikit. Jadi kalau tipe orang seperti Elz menunjukkan perhatian sekecil apa pun, tandanya kalian istimewa. “Aku mau apa lagi selain nungguin kamu!” ucap Skyder mengentak-entakkan bahu seperti anak kecil. “Iya, maksudnya mau apa?” “Aku mau ajak kamu jalan,” Skyder berterus terang. “Kamu udah lama ya gak jalan-jalan liat bunga! Ayo ke toko bunga mamanya Bang Zerik?” “Emang buka ya? Tante Reanna kan mas
"Huft ...." Aika mendorong pintu menggunakan punggungnya. Kemudian, bersandar sejenak di tempat yang sama.Aika termangu. Finally, nyisa satu hari lagi. Itu benar. Besok kampus diliburkan, jadi Aika ada alasan buat tak bernyanyi seharian penuh. Tidak ada musik. Tidak ada omelan mama. Sungguh, hari yang sunyi dan menyenangkan.Berkemas juga bagian favorit gadis itu. Pikirannya mulai berkelana, barang apa saja yang perlu dibawa untuk tiga hari di Slovenia. Yang pasti, sebuah harta karun wajib masuk ke dalam kopernya. Saking excited-nya, Aika memelesat ke dekat ranjang big size berkelambu putih ala bangsawan.Badan mungil Aika sengaja merebah di lantai. Kedua kakinya ditekuk, mendorong ubin hingga membawanya bergerak maju. Seperti seorang montir yang tengah memperbaiki mobil, setengah badan Aika tenggelam ke bawah ranjang.Berselimut penerangan minim, Aika menarik resleting di bawah, tepatnya di tengah-tengah kasur busanya. Benda itu menghubungkan kain yang membungkus busa kotak. Berunt
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Sudah lama Aika tidak bangun se-semangat ini. Dejavu ke perkemahaan musim panas waktu di akademi dasar, Aika bangun pagi-pagi buta. Loncat dari kasur, mengguyur sekujur tubuhnya di bawah shower, dan memakai setelan pakaian yang telah disiapkan jauh-jauh hari. Kaos lengan panjang berwarna kue: kuning cerah dan putih susu membentuk belang-belang imut. Bawahannya Aika memakai celana denim kesukaannya. Bahannya sangat nyaman dan memeluk pinggangnya dengan baik. Yang spektakuler adalah celana itu menjadikannya terlihat tinggi. Aika terkekeh seperti orang gila di depan cermin full body. Sebenarnya ada jaket tebal berbulu yang mesti dipakai untuk bagian luar, tapi nanti saja. Aika menyambar ponsel, terduduk di atas koper dan membuka ruang obrolan di dalamnya. Pupil matanya mengintip bagian pojok layar yang biasa tertera deretan angka. Ia mengembuskan napas lega. Jadwal keberangkatan masih dua jam lebih sepuluh menit, jadi ia memilih memeriksa pe
Aluna pasti hidup. Aluna gadis tangguh, dia akan bertahan. Aluna mempercayaiku. Semua kalimat tentang Aluna Cathryn jadi pegangan Tiger selama hari-hari yang sulit. Tercekik oleh kerinduan dan perasaan gelisah. Dia hanya bisa memandangi potret terakhir dirinya bersama Aluna sebelum melepasnya ke panggung. Seandainya saja ia tahu hari itu menjadi saat terakhir kali mereka bertemu. Tiger pasti akan langsung membawanya pergi. Tidak. Aluna tidak pernah senang dengan ide melarikan diri. Tiger yang paling tahu bahwa gadis itu selalu bertekad menaklukkan apa yang di hadapkan padanya. ***INCIDENT 17 Mei. Tiger Letto menatap nanar tanggal di kalender yang ditandai coretan merah. Ini sudah bulan ketiga sejak kepindahannya dari Perancis ke Ljubljana 3 bulan lalu. Setelah melewati penantian panjang. Bersabar akan ketidakpastian nasib kekasihnya yang entah berada di mana. Akhirnya, puncak purnama tepat di atas kepala. Tiger beralih menuju jendela hotel yang berukuran kotak kecil. Hamparan
Kedatangan Skyder di kafe jelas membuat teman-temannya terlonjak berdiri. Nyaris satu jam mereka menunggu ditemani gemericik air di kolam kecil. Sesekali mereka melirik televisi gantung yang menyiarkan drama keluarga. Hanya dialog demi dialog yang terlontar. Tidak ada musik pengantar. Hal itu membuat Aika memijat pelipisnya berkali-kali saking kelewat aneh, tepatnya cringe. Terbekatilah orang-orang di belakang layar yang bekerja di bagian efek suara. Meskipun menyedihkan mengingat mereka mungkin kehilangan pekerjaan tiba-tiba tanpa tahu alasannya. "Gimana?" Levin mengawali bertanya. Skyder terduduk lesu. Teman-temannya pun melakukan hal yang sama. Dugaan mereka hampir sembilan puluh sembilan persen benar. Dunia tak lagi sama. Ada yang salah dengan semua ini dan mereka bingung apakah kedepannya akan baik-baik saja atau semakin buruk. "Mr. Sam dan anak-anak yang lain juga bingung kenapa mereka ada di negeri orang. Gue udah coba jelasin tentang agenda study tur, termasuk Marionette, t
“Mah, abis keluar dari sini aku gak mau sekolah!” “Loh kok gitu, Sayang? Mama janji gak bakal telat jemput kamu lagi ....” “Gak mau! Pokoknya aku mau homeschooling aja!” Selimut belang khas rumah sakit tersibak kasar. Seorang remaja laki-laki bangkit sambil merengut kesal. Ia menjenggut rambut yang sudah berantakkan. Wajah pusat pasi anak itu menoleh sangar ke balik tirai. Sekadar perbincangan kecil antara seorang gadis kecil dengan ibunya, tapi mampu men-trigger sisi anak-anak yang kedinginan di dalam jiwa. Masih untung gadis itu punya ibu yang merawatnya sepenuh hati. Dasar bocah gak tau diri! “Ananda Levin?” Panggilan suster mencegah Levin Jordan terus bersungut-sungut. Paras teduh Suster Celine mengukir pelangi di bola mata Levin. Ia terhibur dengan cara yang kekanak-kanakan pula. Wajar saja karena usia belasan tahun waktunya punya hobi cuci mata. Melihat perempuan-perempuan cantik jadi terapi tersendiri buat Levin. “Makan siangnya habis, kan?” tanya suster seraya mengganti
“Sudah kuatur! Coba nyalakan!” teriak Skyder pada Levin di ruang kontrol. Buku jari Levin menekan tombol merah di panel listrik. Tulisan ‘Selamat Datang Para Peserta Didik Baru’ diprogram dengan warna-warna cerah: merah, kuning, hijau—tampak cantik karena berpadu birunya langit dan terhubung langsung pada persegi panjang berdimensi tebal. Susah payah Skyder memasangkan benda itu di atas plafon Marionette. Ia menyeka keringatnya dan tersenyum karena puas melihat hasilnya. Panel LED masih bergulir lamban sejak kedua kalinya Levin menekan tombol. Begitu gerbang emas bergeser. Ratusan pasang sepatu melangkah maju, disambut oleh Aika, Levin, Skyder, Eliza, Althar, bahkan Jeviter yang berjajar meniup terompet dan menerbangkan confetti. Sudah jadi aturan tersendiri untuk Funstastic menyambut adik baru. Melalui pengeras suara, Skyder berteriak, “Welcome! Silakan langsung masuk menuju aula dengan mengikuti tanda arahan yang tertera, ya!” Sorak-sorai ditanggapi dengan wajah ceria anak-anak