“Ekhem!” Skyder sengaja berdeham di samping pintu kelas violin. Langkah Elz otomatis terhenti karena dehaman tersebut tepat di saat ia keluar. Yes! Berhasil! Batin Skyder. Skyder mengangkat punggungnya. Lekat sekali ia menempel di tembok hampir setengah jam. Bukan tanpa maksud, tapi ia sedang mencegah Elz pergi melewatinya begitu saja. Beruntung usahanya tak sia-sia. “Eh? Kok kamu di sini? Bukannya kamu harus mulai packing? Kenapa belum pulang?” tanya Elz. Mendengar pertanyaan Elz yang keluar banyak bikin Skyder berbesar hati. Ia mesam-mesem sendiri. Pasalnya, gadis itu bicaranya sedikit. Jadi kalau tipe orang seperti Elz menunjukkan perhatian sekecil apa pun, tandanya kalian istimewa. “Aku mau apa lagi selain nungguin kamu!” ucap Skyder mengentak-entakkan bahu seperti anak kecil. “Iya, maksudnya mau apa?” “Aku mau ajak kamu jalan,” Skyder berterus terang. “Kamu udah lama ya gak jalan-jalan liat bunga! Ayo ke toko bunga mamanya Bang Zerik?” “Emang buka ya? Tante Reanna kan mas
"Huft ...." Aika mendorong pintu menggunakan punggungnya. Kemudian, bersandar sejenak di tempat yang sama.Aika termangu. Finally, nyisa satu hari lagi. Itu benar. Besok kampus diliburkan, jadi Aika ada alasan buat tak bernyanyi seharian penuh. Tidak ada musik. Tidak ada omelan mama. Sungguh, hari yang sunyi dan menyenangkan.Berkemas juga bagian favorit gadis itu. Pikirannya mulai berkelana, barang apa saja yang perlu dibawa untuk tiga hari di Slovenia. Yang pasti, sebuah harta karun wajib masuk ke dalam kopernya. Saking excited-nya, Aika memelesat ke dekat ranjang big size berkelambu putih ala bangsawan.Badan mungil Aika sengaja merebah di lantai. Kedua kakinya ditekuk, mendorong ubin hingga membawanya bergerak maju. Seperti seorang montir yang tengah memperbaiki mobil, setengah badan Aika tenggelam ke bawah ranjang.Berselimut penerangan minim, Aika menarik resleting di bawah, tepatnya di tengah-tengah kasur busanya. Benda itu menghubungkan kain yang membungkus busa kotak. Berunt
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Sudah lama Aika tidak bangun se-semangat ini. Dejavu ke perkemahaan musim panas waktu di akademi dasar, Aika bangun pagi-pagi buta. Loncat dari kasur, mengguyur sekujur tubuhnya di bawah shower, dan memakai setelan pakaian yang telah disiapkan jauh-jauh hari. Kaos lengan panjang berwarna kue: kuning cerah dan putih susu membentuk belang-belang imut. Bawahannya Aika memakai celana denim kesukaannya. Bahannya sangat nyaman dan memeluk pinggangnya dengan baik. Yang spektakuler adalah celana itu menjadikannya terlihat tinggi. Aika terkekeh seperti orang gila di depan cermin full body. Sebenarnya ada jaket tebal berbulu yang mesti dipakai untuk bagian luar, tapi nanti saja. Aika menyambar ponsel, terduduk di atas koper dan membuka ruang obrolan di dalamnya. Pupil matanya mengintip bagian pojok layar yang biasa tertera deretan angka. Ia mengembuskan napas lega. Jadwal keberangkatan masih dua jam lebih sepuluh menit, jadi ia memilih memeriksa pe
Aluna pasti hidup. Aluna gadis tangguh, dia akan bertahan. Aluna mempercayaiku. Semua kalimat tentang Aluna Cathryn jadi pegangan Tiger selama hari-hari yang sulit. Tercekik oleh kerinduan dan perasaan gelisah. Dia hanya bisa memandangi potret terakhir dirinya bersama Aluna sebelum melepasnya ke panggung. Seandainya saja ia tahu hari itu menjadi saat terakhir kali mereka bertemu. Tiger pasti akan langsung membawanya pergi. Tidak. Aluna tidak pernah senang dengan ide melarikan diri. Tiger yang paling tahu bahwa gadis itu selalu bertekad menaklukkan apa yang di hadapkan padanya. ***INCIDENT 17 Mei. Tiger Letto menatap nanar tanggal di kalender yang ditandai coretan merah. Ini sudah bulan ketiga sejak kepindahannya dari Perancis ke Ljubljana 3 bulan lalu. Setelah melewati penantian panjang. Bersabar akan ketidakpastian nasib kekasihnya yang entah berada di mana. Akhirnya, puncak purnama tepat di atas kepala. Tiger beralih menuju jendela hotel yang berukuran kotak kecil. Hamparan
Kedatangan Skyder di kafe jelas membuat teman-temannya terlonjak berdiri. Nyaris satu jam mereka menunggu ditemani gemericik air di kolam kecil. Sesekali mereka melirik televisi gantung yang menyiarkan drama keluarga. Hanya dialog demi dialog yang terlontar. Tidak ada musik pengantar. Hal itu membuat Aika memijat pelipisnya berkali-kali saking kelewat aneh, tepatnya cringe. Terbekatilah orang-orang di belakang layar yang bekerja di bagian efek suara. Meskipun menyedihkan mengingat mereka mungkin kehilangan pekerjaan tiba-tiba tanpa tahu alasannya. "Gimana?" Levin mengawali bertanya. Skyder terduduk lesu. Teman-temannya pun melakukan hal yang sama. Dugaan mereka hampir sembilan puluh sembilan persen benar. Dunia tak lagi sama. Ada yang salah dengan semua ini dan mereka bingung apakah kedepannya akan baik-baik saja atau semakin buruk. "Mr. Sam dan anak-anak yang lain juga bingung kenapa mereka ada di negeri orang. Gue udah coba jelasin tentang agenda study tur, termasuk Marionette, t
“Mah, abis keluar dari sini aku gak mau sekolah!” “Loh kok gitu, Sayang? Mama janji gak bakal telat jemput kamu lagi ....” “Gak mau! Pokoknya aku mau homeschooling aja!” Selimut belang khas rumah sakit tersibak kasar. Seorang remaja laki-laki bangkit sambil merengut kesal. Ia menjenggut rambut yang sudah berantakkan. Wajah pusat pasi anak itu menoleh sangar ke balik tirai. Sekadar perbincangan kecil antara seorang gadis kecil dengan ibunya, tapi mampu men-trigger sisi anak-anak yang kedinginan di dalam jiwa. Masih untung gadis itu punya ibu yang merawatnya sepenuh hati. Dasar bocah gak tau diri! “Ananda Levin?” Panggilan suster mencegah Levin Jordan terus bersungut-sungut. Paras teduh Suster Celine mengukir pelangi di bola mata Levin. Ia terhibur dengan cara yang kekanak-kanakan pula. Wajar saja karena usia belasan tahun waktunya punya hobi cuci mata. Melihat perempuan-perempuan cantik jadi terapi tersendiri buat Levin. “Makan siangnya habis, kan?” tanya suster seraya mengganti
“Sudah kuatur! Coba nyalakan!” teriak Skyder pada Levin di ruang kontrol. Buku jari Levin menekan tombol merah di panel listrik. Tulisan ‘Selamat Datang Para Peserta Didik Baru’ diprogram dengan warna-warna cerah: merah, kuning, hijau—tampak cantik karena berpadu birunya langit dan terhubung langsung pada persegi panjang berdimensi tebal. Susah payah Skyder memasangkan benda itu di atas plafon Marionette. Ia menyeka keringatnya dan tersenyum karena puas melihat hasilnya. Panel LED masih bergulir lamban sejak kedua kalinya Levin menekan tombol. Begitu gerbang emas bergeser. Ratusan pasang sepatu melangkah maju, disambut oleh Aika, Levin, Skyder, Eliza, Althar, bahkan Jeviter yang berjajar meniup terompet dan menerbangkan confetti. Sudah jadi aturan tersendiri untuk Funstastic menyambut adik baru. Melalui pengeras suara, Skyder berteriak, “Welcome! Silakan langsung masuk menuju aula dengan mengikuti tanda arahan yang tertera, ya!” Sorak-sorai ditanggapi dengan wajah ceria anak-anak
; BEFORE STAGE ; Gaun Ratu Guinevere punya corak dan bentuk yang unik ternyata. Agak berbeda dari gaun Eropa abad pertengahan yang cenderung terbuka, gaun itu membalut tubuh Aika secara tertutup dan membuatnya nyaman. Kesan sederhana, tapi mewah tercipta dari padu padan warna putih dan emas dengan motif sebuah mawar di dada. Bagian lengannya yang lebar terayun-ayun karena Aika berulang kali menggosok telapak tangan di depan cermin. Aika menekan lehernya, lalu berdeham pelan. Sepuluh menit lagi pertunjukkan akan dimulai. Jadi, tenggorokannya tak boleh gersang. “Kamu deg-degan ya?” Aika menyapa Aika di ruang rias sembari menyodorkan secangkir kecil teh. “Ah, hehe, iya, Bu. Terima kasih banyak, Aika minum, ya?” Izin Aika, lalu meneguk sedikit demi sedikit teh. Kehangatan seketika berselancar dari mulut, tenggorokan, hingga melemaskan syaraf yang sedaritadi tegang. “Ekhem ....” Aika mencoba berdeham lagi, mengecek pita suaranya. Kali ini, tidak ada tekanan dan Aika akhirnya bisa ber
Ada sebuah dongeng waktu aku SMA, bahwa tempat ini adalah salah satu spot terseram di sekolah.Sebuah pohon beringin tua yang terasingkan. Akarnya merambat tebal ke bawah, sementara daunnya yang rimbun menutup akses cahaya."Kamu mau ajak aku kabur apa uji nyali?" ledekku sambil berkacak pinggang.Levin berdecih, merasa pintar. "Diam deh. Meski tempat ini bikin malas, tapi satpam itu gak akan kepikiran kita ada di sini."Aku mengangkat bahu, lalu menjatuhkan diri di akarnya yang besar."Adem juga ya?" celetukku sambil melihat sekitarku yang didominasi oleh kebun.Sekolah ini dulunya kebun besar sih, jadi sebagian lahannya tidak berubah. Levin menyusulku duduk, meraup rambutnya dengan kasar tanpa menjawab apa pun.Dia terkekeh dengan kepala dibenamkan ke lutut."Kenapa?" tanyaku mencoba memancing.Benar saja, anak ini langsung mengangkat kepala dengan wajah protes.Dia menyelipkan rambutku ke telinga. "Mana mungkin, Tuan Putri. Sudah tugasku," ucapnya lembut.Pandangannya menurun. "Aku
D-Day. Pulang kampus biasanya aku lesu dan macam gembel. Kali ini beda, semangatku bahkan full tank mungkin sampai besok pagi. Klakson mobil yang kutunggu-tunggu akhirnya terdengar. Batang hidung Levin kelihatan pas jendela mobil turun dengan sempurna. “Let’s go, Pretty.” Aku sudah semangat membuka pintu, eh ada saja yang tak sesuai harapan. Tanganku berusaha menarik berkali-kali, tapi tetap macet. Ternyata Levin masih menguncinya. Baru setelah kuketuk, ia panik menekan kunci dari dalam. “Nyebelin,” gerutuku. “Hehe, maaf.” Mataku menyipit ke Levin. Jas semi formal, celana bolong berantai, dan piercing tempel di tengah bibir bikin aku salah fokus. Dia nyentrik kalau sedang jalan-jalan, padahal setahuku kamar dan lemarinya cuma diisi sama kaos bola. Aku jadi mikir, di mana dia menyimpan pakaian dan pernak-perniknya. Jangan-jangan, di rumah Levin punya ruang rahasia. “Kita mau belanja di mana nih?” “Mall paling deket aja.” “Okay! Meluncur.” Levin lantas menginjak pedal gas. “Kata
“Alright, enough for today. Karena besok hari spesial, Bapak gak akan ngasih tugas du—” Belum selesai Pak Tomi—dosen mata pelajaran bahasa Inggris—bicara, tapi sorak gembira langsung memenuhi kelas. Aku ikut senang walau tidak ikut loncat-loncat. “Angjaaay! Mabsur dah mabsur,” sambar Marvin Nalendra, ketua Divisi Seni. Selain sering typo, hobinya menciptakan bahasa alien. Mabsur di kamus dia artinya mantap dan subur. Tugas bikin banyak pikiran soalnya. Orang yang banyak pikiran gampang kurus. Teorinya sih begitu. “Guru gweh nih guru gweeh!” Januar William, tak mau kalah. Dia memang tidak sekuat Jarvis, tapi cukup tangguh sebagai Ketua Divisi Keamanan bareng sohibnya, Edward Chandra. Pak Tomi geleng-geleng kepala sambil senyum malu-malu. “Pokoknya kalian tidur yang nyenyak. Yang cewek, jangan maksain diet. Yang cowok, jangan begadang nonton bola. Tinggal satu mapel lagi, ya?” pesan Pak Tomi, menenteng tas hitamnya dan berdiri di depan. “Iya, Pak,” jawabku mewakili. “Ya sudah, se
BATU nisan tertancap di depanku. Meski otakku berkali-kali mengelak bahwa yang terbaring di bawah sana adalah orang asing, tapi hati kecilku berkata lain. Lonjakan kebimbangan antara sedih dan kecewa bergemuruh di dalamnya.Di sisi lain, aku nggak percaya pusara yang bertahun-tahun kudatangi bersama ibu hanyalah sebuah tanah kosong. Levin mengusap bahuku, menyalurkan sedikit kehangatan lewat sentuhannya."Jangan ditahan kalau mau nangis," ucapnya lembut.Dia tahu mataku sudah terlihat sendu. Seolah siap menumpahkan segalanya. Penglihatanku perlahan buram, tertutup oleh genangan air yang siap terjun bebas. Saat itu terjadi, aku langsung berbalik untuk membenamkan kepalaku di tubuhnya.Levin dengan sigap mendekapku erat. Menepuk-nepuk punggungku lembut tanpa kata. Dia tidak bersuara, membiarkan lirihku menggema di tengah peristirahatan insan manusia.***Waktu terus berlalu. Dalam penantian kami menunggu pengumuman dari sekolah, asisten ayah, Pak Beni banyak berkunjung ke rumah. Dia mem
Dering alarm ponsel membangunkanku dari tidur singkat yang melelahkan. Tirai jendela tersibak angin dari ventilasi udara lalu menimbulkan golden hour yang menerpa setengah wajahku. Dengan mata yang sedikit terbuka, kuintip isi ponselku, di sana tertera waktu yang menunjukkan pukul 08.00 WIB. Seharusnya jika semua hal berjalan normal, saat ini aku sedang berada dipanggung perpisahan, menerima piagam penghargaan dengan nama Aika. Tapi, karena pandemi virus COVID-19 yang melanda dunia, sekolah kami tidak melakukannya. Kami harus belajar prihatin. Meski begitu, aku menikmati dan mensyukuri sebab diberi kelulusan dengan mudah. Aku beringsut dan duduk di tempat tidurku, membuka whatsapp lalu memeriksa pesan yang masuk. Tidak ada ucapan “Happy Graduation, Aika!”, seperti yang kuduga dari jauh-jauh hari. Bagiku, menerima ucapan seperti iu hanyalah mimpi belaka. Aku tidak cukup dekat dengan teman sekelasku untuk dapat ucapan selamat. Tak lama kemudian, sebuah pesan masuk. Aku terheran-heran,
Sepatu Levin menghentak-hentak ubin. Gak ada jejak kaki kotor yang tertinggal, lagi pula bukan itu yang Aika cemaskan. Tapi, ekspresi cowok itu yang seolah akan memilinnya seperti squishy. “Serius Aika gak inget sama gue? Ini gue Levin! Sahabat kecil, temen sekelas, solmet sejati lo!” lontar Levin. Selepas menaruh botol, Aika menepuk-nepuk baju dan selimutnya yang kecipratan air. Gadis itu menggeleng. “Maaf, tapi gue belum bisa—” Levin merangkap kedua tangan Aika. Gadis itu membelalak dengan genggaman tiba-tiba itu. Lebih bingung sebab Levin menatap kosong ke Aikahnya. Tertegun, atau melamun. Sekelebat situasi tak biasa menghantam penglihatan Levin. Jeritan menusuk indra pendengAikan cowok itu, dan dia yakin jeritan itu berasa dari Aika. Bergeser ke Aikah lain, seorang gadis lainnya tampak buram. Gadis itu meronta dengan beberapa orang yang mengunci tubuhnya. Levin bergidik. Fokusnya kembali pada Aika. “Aika, kamu ngeliat kejadian ngeri ya di sana?” celetuk Levin. Dengung listr
Pintu kamar terbuka. Semilir aroma bayi menyapu lembut hidung Aika. Gadis itu sedikit terperajat karena Jessica muncul tiba-tiba. Dengan wajah yang cemong, dipenuhi bedak. Rambutnya basah sudah tersisir rapi ke belakang. Jessica juga tampak mengangkat ujung gaunnya. Rupanya dia berniat memamerkan gaun baru pada Aika. Aika terkekeh. “Cantik banget.” “Timakaci, Yang Mulia. Kata Bu Ratna, sekarang waktunya makan besar kelajaan,” ujar Jessica dengan kecadelannya. Aika beringsut, lalu menggantung baju seragam yang sudah ditanggalkannya. Aika lantas menghampiri Jessica. “Ayo?” Di meja makan, lauk pauk disediakan khusus untuk Aika. Itu pun, hanya goreng ikan mas. “Paman abis mancing, sayang cuma dapat satu. Ini buat kamu aja,” kata Bi Fani sambil memindahkan lauk ke piring Aika. “Wah, betulan? Makasih banyak, Bi ... Paman,” sahut Aika. Senyuman lebar ditorehkan pada paman dan bibinya secara bergantian. Tanpa beban, seolah tidak ada yang terjadi. Gadis mulai melahap makanannya dengan ce
Hantu Keluarga Donovan | Posted by @Aika Camera – Rolling – Action! Kamera berkedip merah; mulai merekam. Berjalan memasuki rumah. Levin dan Aika tiba-tiba teleportasi dari gedung ke sebuah rumah. Sebelumnya, ia tertidur dan dalam mimpinya terdapat petunjuk harus melakukan sesuatu. “Halo semuanya! Kembali bersama Aika di sini! Hari ini, kami menerima laporan kalau banyak hal-hal mistis yang terjadi di rumah keluarga Donovan. Mari kita lihat apa yang—” Dentuman keras tak jelas asal-usulnya menyentakkan bahuku. Tubuh ini menegang, merasakan energi yang terlampau kuat. Kutaruh kamera di laci, dan tiba-tiba membelalak hebat. Menyaksikan wallpaper di rumah ini mendadak mengelupas dengan sendirinya. Lolongan serigala ikut bergumul, sangat memekikkan telinga. Aku berputar, menyelisik setiap penjuru rumah. Mencari-cari darimana asal suara, tapi yang kutangkap hanya keberadaan keluarga Donovan. Saling meringkuk ketakutan di sudut rumah. Satu orang lagi yang harus kupastikan di sisiku, se
; BEFORE STAGE ; Gaun Ratu Guinevere punya corak dan bentuk yang unik ternyata. Agak berbeda dari gaun Eropa abad pertengahan yang cenderung terbuka, gaun itu membalut tubuh Aika secara tertutup dan membuatnya nyaman. Kesan sederhana, tapi mewah tercipta dari padu padan warna putih dan emas dengan motif sebuah mawar di dada. Bagian lengannya yang lebar terayun-ayun karena Aika berulang kali menggosok telapak tangan di depan cermin. Aika menekan lehernya, lalu berdeham pelan. Sepuluh menit lagi pertunjukkan akan dimulai. Jadi, tenggorokannya tak boleh gersang. “Kamu deg-degan ya?” Aika menyapa Aika di ruang rias sembari menyodorkan secangkir kecil teh. “Ah, hehe, iya, Bu. Terima kasih banyak, Aika minum, ya?” Izin Aika, lalu meneguk sedikit demi sedikit teh. Kehangatan seketika berselancar dari mulut, tenggorokan, hingga melemaskan syaraf yang sedaritadi tegang. “Ekhem ....” Aika mencoba berdeham lagi, mengecek pita suaranya. Kali ini, tidak ada tekanan dan Aika akhirnya bisa ber