Kedatangan Skyder di kafe jelas membuat teman-temannya terlonjak berdiri. Nyaris satu jam mereka menunggu ditemani gemericik air di kolam kecil. Sesekali mereka melirik televisi gantung yang menyiarkan drama keluarga. Hanya dialog demi dialog yang terlontar. Tidak ada musik pengantar. Hal itu membuat Aika memijat pelipisnya berkali-kali saking kelewat aneh, tepatnya cringe. Terbekatilah orang-orang di belakang layar yang bekerja di bagian efek suara. Meskipun menyedihkan mengingat mereka mungkin kehilangan pekerjaan tiba-tiba tanpa tahu alasannya. "Gimana?" Levin mengawali bertanya. Skyder terduduk lesu. Teman-temannya pun melakukan hal yang sama. Dugaan mereka hampir sembilan puluh sembilan persen benar. Dunia tak lagi sama. Ada yang salah dengan semua ini dan mereka bingung apakah kedepannya akan baik-baik saja atau semakin buruk. "Mr. Sam dan anak-anak yang lain juga bingung kenapa mereka ada di negeri orang. Gue udah coba jelasin tentang agenda study tur, termasuk Marionette, t
“Mah, abis keluar dari sini aku gak mau sekolah!” “Loh kok gitu, Sayang? Mama janji gak bakal telat jemput kamu lagi ....” “Gak mau! Pokoknya aku mau homeschooling aja!” Selimut belang khas rumah sakit tersibak kasar. Seorang remaja laki-laki bangkit sambil merengut kesal. Ia menjenggut rambut yang sudah berantakkan. Wajah pusat pasi anak itu menoleh sangar ke balik tirai. Sekadar perbincangan kecil antara seorang gadis kecil dengan ibunya, tapi mampu men-trigger sisi anak-anak yang kedinginan di dalam jiwa. Masih untung gadis itu punya ibu yang merawatnya sepenuh hati. Dasar bocah gak tau diri! “Ananda Levin?” Panggilan suster mencegah Levin Jordan terus bersungut-sungut. Paras teduh Suster Celine mengukir pelangi di bola mata Levin. Ia terhibur dengan cara yang kekanak-kanakan pula. Wajar saja karena usia belasan tahun waktunya punya hobi cuci mata. Melihat perempuan-perempuan cantik jadi terapi tersendiri buat Levin. “Makan siangnya habis, kan?” tanya suster seraya mengganti
“Sudah kuatur! Coba nyalakan!” teriak Skyder pada Levin di ruang kontrol. Buku jari Levin menekan tombol merah di panel listrik. Tulisan ‘Selamat Datang Para Peserta Didik Baru’ diprogram dengan warna-warna cerah: merah, kuning, hijau—tampak cantik karena berpadu birunya langit dan terhubung langsung pada persegi panjang berdimensi tebal. Susah payah Skyder memasangkan benda itu di atas plafon Marionette. Ia menyeka keringatnya dan tersenyum karena puas melihat hasilnya. Panel LED masih bergulir lamban sejak kedua kalinya Levin menekan tombol. Begitu gerbang emas bergeser. Ratusan pasang sepatu melangkah maju, disambut oleh Aika, Levin, Skyder, Eliza, Althar, bahkan Jeviter yang berjajar meniup terompet dan menerbangkan confetti. Sudah jadi aturan tersendiri untuk Funstastic menyambut adik baru. Melalui pengeras suara, Skyder berteriak, “Welcome! Silakan langsung masuk menuju aula dengan mengikuti tanda arahan yang tertera, ya!” Sorak-sorai ditanggapi dengan wajah ceria anak-anak
; BEFORE STAGE ; Gaun Ratu Guinevere punya corak dan bentuk yang unik ternyata. Agak berbeda dari gaun Eropa abad pertengahan yang cenderung terbuka, gaun itu membalut tubuh Aika secara tertutup dan membuatnya nyaman. Kesan sederhana, tapi mewah tercipta dari padu padan warna putih dan emas dengan motif sebuah mawar di dada. Bagian lengannya yang lebar terayun-ayun karena Aika berulang kali menggosok telapak tangan di depan cermin. Aika menekan lehernya, lalu berdeham pelan. Sepuluh menit lagi pertunjukkan akan dimulai. Jadi, tenggorokannya tak boleh gersang. “Kamu deg-degan ya?” Aika menyapa Aika di ruang rias sembari menyodorkan secangkir kecil teh. “Ah, hehe, iya, Bu. Terima kasih banyak, Aika minum, ya?” Izin Aika, lalu meneguk sedikit demi sedikit teh. Kehangatan seketika berselancar dari mulut, tenggorokan, hingga melemaskan syaraf yang sedaritadi tegang. “Ekhem ....” Aika mencoba berdeham lagi, mengecek pita suaranya. Kali ini, tidak ada tekanan dan Aika akhirnya bisa ber
Hantu Keluarga Donovan | Posted by @Aika Camera – Rolling – Action! Kamera berkedip merah; mulai merekam. Berjalan memasuki rumah. Levin dan Aika tiba-tiba teleportasi dari gedung ke sebuah rumah. Sebelumnya, ia tertidur dan dalam mimpinya terdapat petunjuk harus melakukan sesuatu. “Halo semuanya! Kembali bersama Aika di sini! Hari ini, kami menerima laporan kalau banyak hal-hal mistis yang terjadi di rumah keluarga Donovan. Mari kita lihat apa yang—” Dentuman keras tak jelas asal-usulnya menyentakkan bahuku. Tubuh ini menegang, merasakan energi yang terlampau kuat. Kutaruh kamera di laci, dan tiba-tiba membelalak hebat. Menyaksikan wallpaper di rumah ini mendadak mengelupas dengan sendirinya. Lolongan serigala ikut bergumul, sangat memekikkan telinga. Aku berputar, menyelisik setiap penjuru rumah. Mencari-cari darimana asal suara, tapi yang kutangkap hanya keberadaan keluarga Donovan. Saling meringkuk ketakutan di sudut rumah. Satu orang lagi yang harus kupastikan di sisiku, se
Pintu kamar terbuka. Semilir aroma bayi menyapu lembut hidung Aika. Gadis itu sedikit terperajat karena Jessica muncul tiba-tiba. Dengan wajah yang cemong, dipenuhi bedak. Rambutnya basah sudah tersisir rapi ke belakang. Jessica juga tampak mengangkat ujung gaunnya. Rupanya dia berniat memamerkan gaun baru pada Aika. Aika terkekeh. “Cantik banget.” “Timakaci, Yang Mulia. Kata Bu Ratna, sekarang waktunya makan besar kelajaan,” ujar Jessica dengan kecadelannya. Aika beringsut, lalu menggantung baju seragam yang sudah ditanggalkannya. Aika lantas menghampiri Jessica. “Ayo?” Di meja makan, lauk pauk disediakan khusus untuk Aika. Itu pun, hanya goreng ikan mas. “Paman abis mancing, sayang cuma dapat satu. Ini buat kamu aja,” kata Bi Fani sambil memindahkan lauk ke piring Aika. “Wah, betulan? Makasih banyak, Bi ... Paman,” sahut Aika. Senyuman lebar ditorehkan pada paman dan bibinya secara bergantian. Tanpa beban, seolah tidak ada yang terjadi. Gadis mulai melahap makanannya dengan ce
Sepatu Levin menghentak-hentak ubin. Gak ada jejak kaki kotor yang tertinggal, lagi pula bukan itu yang Aika cemaskan. Tapi, ekspresi cowok itu yang seolah akan memilinnya seperti squishy. “Serius Aika gak inget sama gue? Ini gue Levin! Sahabat kecil, temen sekelas, solmet sejati lo!” lontar Levin. Selepas menaruh botol, Aika menepuk-nepuk baju dan selimutnya yang kecipratan air. Gadis itu menggeleng. “Maaf, tapi gue belum bisa—” Levin merangkap kedua tangan Aika. Gadis itu membelalak dengan genggaman tiba-tiba itu. Lebih bingung sebab Levin menatap kosong ke Aikahnya. Tertegun, atau melamun. Sekelebat situasi tak biasa menghantam penglihatan Levin. Jeritan menusuk indra pendengAikan cowok itu, dan dia yakin jeritan itu berasa dari Aika. Bergeser ke Aikah lain, seorang gadis lainnya tampak buram. Gadis itu meronta dengan beberapa orang yang mengunci tubuhnya. Levin bergidik. Fokusnya kembali pada Aika. “Aika, kamu ngeliat kejadian ngeri ya di sana?” celetuk Levin. Dengung listr
Dering alarm ponsel membangunkanku dari tidur singkat yang melelahkan. Tirai jendela tersibak angin dari ventilasi udara lalu menimbulkan golden hour yang menerpa setengah wajahku. Dengan mata yang sedikit terbuka, kuintip isi ponselku, di sana tertera waktu yang menunjukkan pukul 08.00 WIB. Seharusnya jika semua hal berjalan normal, saat ini aku sedang berada dipanggung perpisahan, menerima piagam penghargaan dengan nama Aika. Tapi, karena pandemi virus COVID-19 yang melanda dunia, sekolah kami tidak melakukannya. Kami harus belajar prihatin. Meski begitu, aku menikmati dan mensyukuri sebab diberi kelulusan dengan mudah. Aku beringsut dan duduk di tempat tidurku, membuka whatsapp lalu memeriksa pesan yang masuk. Tidak ada ucapan “Happy Graduation, Aika!”, seperti yang kuduga dari jauh-jauh hari. Bagiku, menerima ucapan seperti iu hanyalah mimpi belaka. Aku tidak cukup dekat dengan teman sekelasku untuk dapat ucapan selamat. Tak lama kemudian, sebuah pesan masuk. Aku terheran-heran,