“Kamu yakin bakal terima misi ini?” Aku nggak bergeming. Sibuk dengan pertimbangan sulit sambil memutar-mutar foto si target di meja bundar yang kami kelilingi. Kugetarkan kakiku sendiri sambil mengemut lollipop yang semakin tipis. Namun, gadis berkuncir dua bernama Vinka terus mencolek-colekku. Dia mengiraku sedang melamun apa, ya? “Aika, kita harus cepat memutuskan!” “Aku tahu!” protesku pada Vinka. “Eum, Vinka. Sebaiknya biarkan Aika berpikir matang-matang. Target kita ini bukan orang biasa.” Tegur Angela, anggota termuda geng kami yang memiliki mata puppy. “Vinka benar. Kita harus cepat. Klien kita hanya memberi waktu sampai sore ini!” sela Jena, anggota kami yang senang sekali bermain basket. Kupukul meja dalam satu gebrakkan. “DENVERSHITTY akan mengeksekusi Mahendra Atmaja—kelas XII IPS di bekas pabrik sepatu alias markas kita tercinta ini pada jam istirahat!” “YES! Kita bolos lagi!” seru Vinka dengan antusias. “Jam istirahat? Kenapa nggak pulang sekolah?” tany
Argh, aku benci suasana formal kayak ini. Aroma pengap dari orang dewasa. Mereka menyilangkan kaki dan duduk nyaman di hadapanku dengan tatapan mengintimidasi, sedangkan aku yang sudah seperti kutu disuruh berdiri menunduk sambil diomeli terus-menerus. Kulirik sebelah kananku, cowok cengeng itu tampak merengek kesal karena dia harus menanggalkan seragam sekolahnya. Berulang kali dia mengeluh dan berbicara soal harga diri. “Kenapa kamu melakukannya?” tanya Pak Atma, Ayah Mahendra. “Siapa yang sebenarnya pelaku perundungan? Saya atau anak bapak?” sanggahku. Laki-laki tua berbadan tegap itu menghela napasnya berat. Sementara wali kelasku, Pak Yoga malah menjewer telingaku keras-keras. Sontak saja, aku meringis kesakitan. “Hey, gadis nakal! Apa susu yang kamu tumpahkan tidak membuatmu merasa bersalah? Belum lagi, lihat mata Mahendra yang lebam! Kamu yang menonjoknya!” omel Pak Yoga. “Bagaimana dengan Rangga yang lebih dulu ditindas sama Mahendra? Bapak nggak tahu kalau sebelah mat
Aku melangkah masuk ke kelas saat bel berdentang. Kulihat Levin telah duduk di bangkunya, tepat di hadapan meja guru. Dengan malas, kuberjalan menuju bangku punyaku yang terletak di paling belakang dekat jendela. Kemudian Angela, Vinka, dan Jena berhamburan masuk dan menghampiriku. “Aika, kamu nggak apa-apa?” tanya Angela dengan cemas. Aku hanya menggeleng dengan senyuman tipis. “Gimana ini, Chil? Sepertinya masalah semakin besar,” resah Jena. “Mahendra benar-benar—” Panjang umur. Mahendra masuk ke kelas dengan berlagak seperti korban. Kami berempat menatapnya sinis. Kusilangkan tanganku di dada. Anak manja, batinku. “Yang bapaknya DPR jangan ditemenin!” ledek Vinka secara tiba-tiba dan membuat Mahendra refleks melotot ke arah kami. Aku mencoba menahan tawa dengan mengembungkan pipi. Namun, perhatianku beralih ke Levin yang kelepasan terkekeh. Untungnya saat Mahendra hendak menghampiri kami, Pak Wahyu—guru Bahasa Indonesia kami masuk ke dalam kelas. Mahendra pun kembali ke bangk
Selama tiga tahun, aku nggak pernah membayangkan duduk dengan teman sekelas selain anak-anak DENVERSHITTY. Perasaan aneh mulai muncul karena aku harus satu meja makan bareng Levin. Sedari tadi, aku menjadi lebih pendiam. Sementara ibu nggak berhenti mengisi piring Levin dengan segala menu. “Aika, kamu mau tambah ayam gorengnya?” tanya ibu tiba-tiba. Pertanyaan ibu membuatku kembali dari lamunan sesaat. Mataku berkaca-kaca. Ini pertama kalinya ibu menyebut namaku setelah kecelakaan yang merenggut ayah dan adik kandungku dua tahun lalu. “IYA BU,” jawabku kelepasan, “eh...” Ibu membelalak begitu aku menjawab dengan suara berat. Gila, Aika... bodoh banget, batinku. Karena terlalu semangat, aku lupa mengubah pita suara cewekku. Levin terlihat ikut kaget. “Tentu saja, Bu. Beri kakak daging yang banyak untuk menghiburnya. Kayaknya dia baru patah hati. Levin takut kakak akan kurus, haha.” Sela Levin membuatku langsung melotot ke arahnya. “Siapa kakakmu? Dan siapa juga yang putus cinta?!
KKKRTT...KRRTT.. Suara apa itu? Maling? Batinku dengan mata masih terpejam. Perlahan suaranya semakin membesar. Kuintip jam dinding. Jarumnya masih menunjukkan angka tiga.. TIGA PAGI. Konon katanya—BRUK! Sesuatu tiba-tiba muncul dari samping ranjangku. Sontak aku langsung bangun dan memepetkan diri ke tembok sambil melindungi diri dengan bantal. “Mmmm... Aika cepat bangun, jangan telat mulu..” Aku langsung menghela napas kesal karena ternyata Levin tidur di kamarku. Mana mengigau lagi. Kulempar saja bantal ini ke kepalanya dan dia pun tersungkur lagi dengan dengkuran yang sama. ERRRRR. Dan, belum cukup sampai di situ... “Jangan lupa panggil aku kakak kalau sedang di rumah!” tegurku sambil terus menggosok gigi. Levin tidak mengindahkan teguranku karena sibuk berkumur. Setelah itu, nggak ada angin ataupun hujan, kepalaku tiba-tiba tertarik ke belakang. Rambut panjang lurusku pun tergerai. Aku berhenti menggosok dan menatap tajam Levin di cermin. Telapak tangannya yang besar mengh
DRRRT .... Sebuah pesan masuk ke ponselku. “Kalian sudah makan?” tanya ibu. Jari-jemariku dengan cepat membalas pesan darinya. “Iya, Bu. Kami akan ke kantin,” Aku beralih pada Levin dan memastikan butuh waktu berapa lama lagi yang dibutuhkannya untuk mencari. “Udah ketemu belum? Masih lama?” “NAH KETEMU!” Pupil mataku membesar begitu tangannya menyabet satu map berlabelkan nama yang kucari. “Hebat!” seruku sambil membuka resleting jaket dan melebarkannya. Entah kenapa, Levin malah terbatuk-batuk, cih! “Tunggu apalagi? Cepat sembunyikan di balik jaketku!” Satu matanya mengintip sebelah. Sambil memalingkan wajah, ia berusaha menempatkan map itu di balik jaketku tanpa salah sentuh. Ck, dasar! Ledekku di dalam hati. Sebuah ide spontan terbesit di otakku. Kukeluarkan kembali ponsel dan membuka kamera. Lensanya memantulkan side face-nya yang konyol. “Hey, apa yang—” gerutunya, “cepat ambil mapnya! Malah foto-foto,” Namun saat aku hendak mengambil fotonya, ponselku tiba-tiba kem
Debu halus beterbangan seiring dengan derap langkahku. Siang menjelang sore, suasana di luar markas tampak sepi. Memang pada waktunya tidur siang sih, tapi aku nggak bisa menunda waktu lagi buat menunjukkan penampilan baru di hadapan anak-anak. BRUK! Cahaya menyorot ruangan begitu aku mendorong pintu markas.“Aika!” panggil Vinka sambil berlari ke arahku.Mataku mengabsen semua anggota di belakang Vinka. Bagus! Semua ada di tempat, batinku. Pandanganku kembali pada Vinka yang menganga begitu dia sampai di dekatku.“Habis dari mana nih? Tumben cantik banget,” tanya Vinka.Aku hanya terkekeh sambil menggandeng mesra lengan Vinka. Kami berjalan menghampiri Levin, Angela, dan Jena.“Padahal daritadi kami nunggu kamu,” celetuk Angela.“Nunggu aku? Kenapa?”“Pura-pura dodol ya, Chil?” ledek Jena.Kupalingkan wajah dari mereka. Pupil mataku melebar. Kenapa nih? Mereka tahu sesuatu soal Levin? Batinku dengan jantung berdebar. Tiba-tiba Levin menarik bahuku. Salivaku tertelan dengan berat.“Ka
Ketika raga kita melewatkan sebuah hal kecil, maka sudah waktunya takdir yang bekerja. Sejak pulang sekolah, aku langsung naik ke atas dan membalut diri dengan selimut. Nggak—aku nggak demam, kok. Aku gak tahu kenapa aku sangat salah tingkah gini setiap adegan mengecup itu terbesit di ingatanku. Tanganku menempel ke dada, kenapa detaknya cepat sekali? Tanyaku dalam hati.“ARGH!!!” teriakku sambil menendang-nendang angin, lalu duduk termenung di kasur.“Benar, kenapa aku kayak orang gila gini? Cium pipi kan hal yang biasa, apalagi dia sekarang sudah kuanggap sebagai Azil.” Gumamku sendirian.Kurasakan tenggorokkanku mengering. Meski malas, aku turun dari ranjang dan bergegas ke dapur. Tepat saat aku sampai di tangga terakhir, Levin tiba-tiba muncul dari balik pintu kamarnya. Sontak aku berdiri mematung, sementara anak itu pun tampak kaget. Aku mengernyitkan alis ketika dia menangkup kedua pipinya sendiri.PLAK! Otakku memutar kembali adegan aku menampar pipinya.“Maaf soal tadi siang,”
Ada sebuah dongeng waktu aku SMA, bahwa tempat ini adalah salah satu spot terseram di sekolah.Sebuah pohon beringin tua yang terasingkan. Akarnya merambat tebal ke bawah, sementara daunnya yang rimbun menutup akses cahaya."Kamu mau ajak aku kabur apa uji nyali?" ledekku sambil berkacak pinggang.Levin berdecih, merasa pintar. "Diam deh. Meski tempat ini bikin malas, tapi satpam itu gak akan kepikiran kita ada di sini."Aku mengangkat bahu, lalu menjatuhkan diri di akarnya yang besar."Adem juga ya?" celetukku sambil melihat sekitarku yang didominasi oleh kebun.Sekolah ini dulunya kebun besar sih, jadi sebagian lahannya tidak berubah. Levin menyusulku duduk, meraup rambutnya dengan kasar tanpa menjawab apa pun.Dia terkekeh dengan kepala dibenamkan ke lutut."Kenapa?" tanyaku mencoba memancing.Benar saja, anak ini langsung mengangkat kepala dengan wajah protes.Dia menyelipkan rambutku ke telinga. "Mana mungkin, Tuan Putri. Sudah tugasku," ucapnya lembut.Pandangannya menurun. "Aku
D-Day. Pulang kampus biasanya aku lesu dan macam gembel. Kali ini beda, semangatku bahkan full tank mungkin sampai besok pagi. Klakson mobil yang kutunggu-tunggu akhirnya terdengar. Batang hidung Levin kelihatan pas jendela mobil turun dengan sempurna. “Let’s go, Pretty.” Aku sudah semangat membuka pintu, eh ada saja yang tak sesuai harapan. Tanganku berusaha menarik berkali-kali, tapi tetap macet. Ternyata Levin masih menguncinya. Baru setelah kuketuk, ia panik menekan kunci dari dalam. “Nyebelin,” gerutuku. “Hehe, maaf.” Mataku menyipit ke Levin. Jas semi formal, celana bolong berantai, dan piercing tempel di tengah bibir bikin aku salah fokus. Dia nyentrik kalau sedang jalan-jalan, padahal setahuku kamar dan lemarinya cuma diisi sama kaos bola. Aku jadi mikir, di mana dia menyimpan pakaian dan pernak-perniknya. Jangan-jangan, di rumah Levin punya ruang rahasia. “Kita mau belanja di mana nih?” “Mall paling deket aja.” “Okay! Meluncur.” Levin lantas menginjak pedal gas. “Kata
“Alright, enough for today. Karena besok hari spesial, Bapak gak akan ngasih tugas du—” Belum selesai Pak Tomi—dosen mata pelajaran bahasa Inggris—bicara, tapi sorak gembira langsung memenuhi kelas. Aku ikut senang walau tidak ikut loncat-loncat. “Angjaaay! Mabsur dah mabsur,” sambar Marvin Nalendra, ketua Divisi Seni. Selain sering typo, hobinya menciptakan bahasa alien. Mabsur di kamus dia artinya mantap dan subur. Tugas bikin banyak pikiran soalnya. Orang yang banyak pikiran gampang kurus. Teorinya sih begitu. “Guru gweh nih guru gweeh!” Januar William, tak mau kalah. Dia memang tidak sekuat Jarvis, tapi cukup tangguh sebagai Ketua Divisi Keamanan bareng sohibnya, Edward Chandra. Pak Tomi geleng-geleng kepala sambil senyum malu-malu. “Pokoknya kalian tidur yang nyenyak. Yang cewek, jangan maksain diet. Yang cowok, jangan begadang nonton bola. Tinggal satu mapel lagi, ya?” pesan Pak Tomi, menenteng tas hitamnya dan berdiri di depan. “Iya, Pak,” jawabku mewakili. “Ya sudah, se
BATU nisan tertancap di depanku. Meski otakku berkali-kali mengelak bahwa yang terbaring di bawah sana adalah orang asing, tapi hati kecilku berkata lain. Lonjakan kebimbangan antara sedih dan kecewa bergemuruh di dalamnya.Di sisi lain, aku nggak percaya pusara yang bertahun-tahun kudatangi bersama ibu hanyalah sebuah tanah kosong. Levin mengusap bahuku, menyalurkan sedikit kehangatan lewat sentuhannya."Jangan ditahan kalau mau nangis," ucapnya lembut.Dia tahu mataku sudah terlihat sendu. Seolah siap menumpahkan segalanya. Penglihatanku perlahan buram, tertutup oleh genangan air yang siap terjun bebas. Saat itu terjadi, aku langsung berbalik untuk membenamkan kepalaku di tubuhnya.Levin dengan sigap mendekapku erat. Menepuk-nepuk punggungku lembut tanpa kata. Dia tidak bersuara, membiarkan lirihku menggema di tengah peristirahatan insan manusia.***Waktu terus berlalu. Dalam penantian kami menunggu pengumuman dari sekolah, asisten ayah, Pak Beni banyak berkunjung ke rumah. Dia mem
Dering alarm ponsel membangunkanku dari tidur singkat yang melelahkan. Tirai jendela tersibak angin dari ventilasi udara lalu menimbulkan golden hour yang menerpa setengah wajahku. Dengan mata yang sedikit terbuka, kuintip isi ponselku, di sana tertera waktu yang menunjukkan pukul 08.00 WIB. Seharusnya jika semua hal berjalan normal, saat ini aku sedang berada dipanggung perpisahan, menerima piagam penghargaan dengan nama Aika. Tapi, karena pandemi virus COVID-19 yang melanda dunia, sekolah kami tidak melakukannya. Kami harus belajar prihatin. Meski begitu, aku menikmati dan mensyukuri sebab diberi kelulusan dengan mudah. Aku beringsut dan duduk di tempat tidurku, membuka whatsapp lalu memeriksa pesan yang masuk. Tidak ada ucapan “Happy Graduation, Aika!”, seperti yang kuduga dari jauh-jauh hari. Bagiku, menerima ucapan seperti iu hanyalah mimpi belaka. Aku tidak cukup dekat dengan teman sekelasku untuk dapat ucapan selamat. Tak lama kemudian, sebuah pesan masuk. Aku terheran-heran,
Sepatu Levin menghentak-hentak ubin. Gak ada jejak kaki kotor yang tertinggal, lagi pula bukan itu yang Aika cemaskan. Tapi, ekspresi cowok itu yang seolah akan memilinnya seperti squishy. “Serius Aika gak inget sama gue? Ini gue Levin! Sahabat kecil, temen sekelas, solmet sejati lo!” lontar Levin. Selepas menaruh botol, Aika menepuk-nepuk baju dan selimutnya yang kecipratan air. Gadis itu menggeleng. “Maaf, tapi gue belum bisa—” Levin merangkap kedua tangan Aika. Gadis itu membelalak dengan genggaman tiba-tiba itu. Lebih bingung sebab Levin menatap kosong ke Aikahnya. Tertegun, atau melamun. Sekelebat situasi tak biasa menghantam penglihatan Levin. Jeritan menusuk indra pendengAikan cowok itu, dan dia yakin jeritan itu berasa dari Aika. Bergeser ke Aikah lain, seorang gadis lainnya tampak buram. Gadis itu meronta dengan beberapa orang yang mengunci tubuhnya. Levin bergidik. Fokusnya kembali pada Aika. “Aika, kamu ngeliat kejadian ngeri ya di sana?” celetuk Levin. Dengung listr
Pintu kamar terbuka. Semilir aroma bayi menyapu lembut hidung Aika. Gadis itu sedikit terperajat karena Jessica muncul tiba-tiba. Dengan wajah yang cemong, dipenuhi bedak. Rambutnya basah sudah tersisir rapi ke belakang. Jessica juga tampak mengangkat ujung gaunnya. Rupanya dia berniat memamerkan gaun baru pada Aika. Aika terkekeh. “Cantik banget.” “Timakaci, Yang Mulia. Kata Bu Ratna, sekarang waktunya makan besar kelajaan,” ujar Jessica dengan kecadelannya. Aika beringsut, lalu menggantung baju seragam yang sudah ditanggalkannya. Aika lantas menghampiri Jessica. “Ayo?” Di meja makan, lauk pauk disediakan khusus untuk Aika. Itu pun, hanya goreng ikan mas. “Paman abis mancing, sayang cuma dapat satu. Ini buat kamu aja,” kata Bi Fani sambil memindahkan lauk ke piring Aika. “Wah, betulan? Makasih banyak, Bi ... Paman,” sahut Aika. Senyuman lebar ditorehkan pada paman dan bibinya secara bergantian. Tanpa beban, seolah tidak ada yang terjadi. Gadis mulai melahap makanannya dengan ce
Hantu Keluarga Donovan | Posted by @Aika Camera – Rolling – Action! Kamera berkedip merah; mulai merekam. Berjalan memasuki rumah. Levin dan Aika tiba-tiba teleportasi dari gedung ke sebuah rumah. Sebelumnya, ia tertidur dan dalam mimpinya terdapat petunjuk harus melakukan sesuatu. “Halo semuanya! Kembali bersama Aika di sini! Hari ini, kami menerima laporan kalau banyak hal-hal mistis yang terjadi di rumah keluarga Donovan. Mari kita lihat apa yang—” Dentuman keras tak jelas asal-usulnya menyentakkan bahuku. Tubuh ini menegang, merasakan energi yang terlampau kuat. Kutaruh kamera di laci, dan tiba-tiba membelalak hebat. Menyaksikan wallpaper di rumah ini mendadak mengelupas dengan sendirinya. Lolongan serigala ikut bergumul, sangat memekikkan telinga. Aku berputar, menyelisik setiap penjuru rumah. Mencari-cari darimana asal suara, tapi yang kutangkap hanya keberadaan keluarga Donovan. Saling meringkuk ketakutan di sudut rumah. Satu orang lagi yang harus kupastikan di sisiku, se
; BEFORE STAGE ; Gaun Ratu Guinevere punya corak dan bentuk yang unik ternyata. Agak berbeda dari gaun Eropa abad pertengahan yang cenderung terbuka, gaun itu membalut tubuh Aika secara tertutup dan membuatnya nyaman. Kesan sederhana, tapi mewah tercipta dari padu padan warna putih dan emas dengan motif sebuah mawar di dada. Bagian lengannya yang lebar terayun-ayun karena Aika berulang kali menggosok telapak tangan di depan cermin. Aika menekan lehernya, lalu berdeham pelan. Sepuluh menit lagi pertunjukkan akan dimulai. Jadi, tenggorokannya tak boleh gersang. “Kamu deg-degan ya?” Aika menyapa Aika di ruang rias sembari menyodorkan secangkir kecil teh. “Ah, hehe, iya, Bu. Terima kasih banyak, Aika minum, ya?” Izin Aika, lalu meneguk sedikit demi sedikit teh. Kehangatan seketika berselancar dari mulut, tenggorokan, hingga melemaskan syaraf yang sedaritadi tegang. “Ekhem ....” Aika mencoba berdeham lagi, mengecek pita suaranya. Kali ini, tidak ada tekanan dan Aika akhirnya bisa ber