Selama tiga tahun, aku nggak pernah membayangkan duduk dengan teman sekelas selain anak-anak DENVERSHITTY. Perasaan aneh mulai muncul karena aku harus satu meja makan bareng Levin. Sedari tadi, aku menjadi lebih pendiam. Sementara ibu nggak berhenti mengisi piring Levin dengan segala menu. “Aika, kamu mau tambah ayam gorengnya?” tanya ibu tiba-tiba. Pertanyaan ibu membuatku kembali dari lamunan sesaat. Mataku berkaca-kaca. Ini pertama kalinya ibu menyebut namaku setelah kecelakaan yang merenggut ayah dan adik kandungku dua tahun lalu. “IYA BU,” jawabku kelepasan, “eh...” Ibu membelalak begitu aku menjawab dengan suara berat. Gila, Aika... bodoh banget, batinku. Karena terlalu semangat, aku lupa mengubah pita suara cewekku. Levin terlihat ikut kaget. “Tentu saja, Bu. Beri kakak daging yang banyak untuk menghiburnya. Kayaknya dia baru patah hati. Levin takut kakak akan kurus, haha.” Sela Levin membuatku langsung melotot ke arahnya. “Siapa kakakmu? Dan siapa juga yang putus cinta?!
KKKRTT...KRRTT.. Suara apa itu? Maling? Batinku dengan mata masih terpejam. Perlahan suaranya semakin membesar. Kuintip jam dinding. Jarumnya masih menunjukkan angka tiga.. TIGA PAGI. Konon katanya—BRUK! Sesuatu tiba-tiba muncul dari samping ranjangku. Sontak aku langsung bangun dan memepetkan diri ke tembok sambil melindungi diri dengan bantal. “Mmmm... Aika cepat bangun, jangan telat mulu..” Aku langsung menghela napas kesal karena ternyata Levin tidur di kamarku. Mana mengigau lagi. Kulempar saja bantal ini ke kepalanya dan dia pun tersungkur lagi dengan dengkuran yang sama. ERRRRR. Dan, belum cukup sampai di situ... “Jangan lupa panggil aku kakak kalau sedang di rumah!” tegurku sambil terus menggosok gigi. Levin tidak mengindahkan teguranku karena sibuk berkumur. Setelah itu, nggak ada angin ataupun hujan, kepalaku tiba-tiba tertarik ke belakang. Rambut panjang lurusku pun tergerai. Aku berhenti menggosok dan menatap tajam Levin di cermin. Telapak tangannya yang besar mengh
DRRRT .... Sebuah pesan masuk ke ponselku. “Kalian sudah makan?” tanya ibu. Jari-jemariku dengan cepat membalas pesan darinya. “Iya, Bu. Kami akan ke kantin,” Aku beralih pada Levin dan memastikan butuh waktu berapa lama lagi yang dibutuhkannya untuk mencari. “Udah ketemu belum? Masih lama?” “NAH KETEMU!” Pupil mataku membesar begitu tangannya menyabet satu map berlabelkan nama yang kucari. “Hebat!” seruku sambil membuka resleting jaket dan melebarkannya. Entah kenapa, Levin malah terbatuk-batuk, cih! “Tunggu apalagi? Cepat sembunyikan di balik jaketku!” Satu matanya mengintip sebelah. Sambil memalingkan wajah, ia berusaha menempatkan map itu di balik jaketku tanpa salah sentuh. Ck, dasar! Ledekku di dalam hati. Sebuah ide spontan terbesit di otakku. Kukeluarkan kembali ponsel dan membuka kamera. Lensanya memantulkan side face-nya yang konyol. “Hey, apa yang—” gerutunya, “cepat ambil mapnya! Malah foto-foto,” Namun saat aku hendak mengambil fotonya, ponselku tiba-tiba kem
Debu halus beterbangan seiring dengan derap langkahku. Siang menjelang sore, suasana di luar markas tampak sepi. Memang pada waktunya tidur siang sih, tapi aku nggak bisa menunda waktu lagi buat menunjukkan penampilan baru di hadapan anak-anak. BRUK! Cahaya menyorot ruangan begitu aku mendorong pintu markas.“Aika!” panggil Vinka sambil berlari ke arahku.Mataku mengabsen semua anggota di belakang Vinka. Bagus! Semua ada di tempat, batinku. Pandanganku kembali pada Vinka yang menganga begitu dia sampai di dekatku.“Habis dari mana nih? Tumben cantik banget,” tanya Vinka.Aku hanya terkekeh sambil menggandeng mesra lengan Vinka. Kami berjalan menghampiri Levin, Angela, dan Jena.“Padahal daritadi kami nunggu kamu,” celetuk Angela.“Nunggu aku? Kenapa?”“Pura-pura dodol ya, Chil?” ledek Jena.Kupalingkan wajah dari mereka. Pupil mataku melebar. Kenapa nih? Mereka tahu sesuatu soal Levin? Batinku dengan jantung berdebar. Tiba-tiba Levin menarik bahuku. Salivaku tertelan dengan berat.“Ka
Ketika raga kita melewatkan sebuah hal kecil, maka sudah waktunya takdir yang bekerja. Sejak pulang sekolah, aku langsung naik ke atas dan membalut diri dengan selimut. Nggak—aku nggak demam, kok. Aku gak tahu kenapa aku sangat salah tingkah gini setiap adegan mengecup itu terbesit di ingatanku. Tanganku menempel ke dada, kenapa detaknya cepat sekali? Tanyaku dalam hati.“ARGH!!!” teriakku sambil menendang-nendang angin, lalu duduk termenung di kasur.“Benar, kenapa aku kayak orang gila gini? Cium pipi kan hal yang biasa, apalagi dia sekarang sudah kuanggap sebagai Azil.” Gumamku sendirian.Kurasakan tenggorokkanku mengering. Meski malas, aku turun dari ranjang dan bergegas ke dapur. Tepat saat aku sampai di tangga terakhir, Levin tiba-tiba muncul dari balik pintu kamarnya. Sontak aku berdiri mematung, sementara anak itu pun tampak kaget. Aku mengernyitkan alis ketika dia menangkup kedua pipinya sendiri.PLAK! Otakku memutar kembali adegan aku menampar pipinya.“Maaf soal tadi siang,”
“Aika!!!” teriak Levin sambil menjelajahi kordidor atas sekolah. Tiba-tiba, Levin berpapasan dengan Vinka. “Kamu lihat Aika?” Vinka menggeleng dengan cemas. “Apa yang terjadi? Aku bingung banget. Levin juga langsung pergi gitu aja ... ” Levin semakin gelisah. “Sulit menjelaskannya sekarang. Aku mau kamu dan yang lainnya bantu mencari Aika, ya?” pinta Levin, disambung anggukkan Vinka. Levin melanjutkan pencariannya. Dia melirik jam tangannya, waktu menunjukkan pukul 9.00 WIB. Itu artinya, pemutaran film bakal dimulai. Levin bergegas turun ke lantai bawah. Dia masuk ke area pemutaran. Matanya menelisik wajah para siswa yang sudah mengisi penuh kursi. “Aika ... aku yakin kamu di sini,” Matanya berhenti di kursi paling pojok dan kurang tersorot lampu. Gadis yang sukses membombardir perasaannya itu terlihat duduk. Kedua lututnya dinaikkan ke atas kursi. Dia hanya menatap kosong layar besar dan canggih di hadapannya. Levin memejamkan mata sesaat sambil menghela napas supe
Kala Aika dan Levin sama-sama berbaring di ranjang rumah sakit dan koma. Mereka memimpikan hal fantastis yang sama.100 TAHUN SEBELUMNYA “Apa semua barangnya sudah siap?” teriak ayahku di kursi kemudi. Kak Nadina menggiringku di kursi sebelah ayah, membantu naik. “Hai, Ayah?” sapaku. “Hai, Cantik,” balasnya. “Semua beres, tidak ada yang tertinggal.” Pintu depan didorong Kak Nadina dengan kekuatan penuh. Ia lantas pergi dan mengisi jok belakang. Sebelum kami berangkat, Madam Ben tergopoh-gopoh menghampiri. “Ini bawa sebotol madu untuk perjalanan,” katanya. Sedih rasanya melihat Madam Ben untuk ditinggalkan dalam waktu yang lama. “Terima kasih,” ujar ayah, “ ... terima kasih karena telah membantu kami bersembunyi bertahun-tahun dan memberiku pekerjaan di kedaimu.” “Senang bertemu kalian, Para Makhluk Keren,” puji Madam Ben. “Kami akan sering berkunjung, jaga kesehatanmu,” timpal Kak Nadina. “Aku akan selalu menunggu, dan Nour—” Aku suka ketika Madam Ben memanggilku dengan se
Hembusan angin yang berdesir membelai ujung rambutku. Tirai poniku sekarang lenyap terhempas angin, masa bodoh dengan kening yang terekspos, akhirnya aku bisa merasakan udara segar sejenak. Danau yang tenang di hadapan kami seolah mendukung kami untuk rehat dari segala hiruk piruk mantra sihir. Kulihat Levin juga menikmatinya, sambil bersandar pada kedua tangannya yang menopang tubuhnya dari belakang. Sesekali ia bersiul tidak jelas. Levin itu tampan kalau sedang diam ternyata, hahaha. “Mengapa kamu bisa berakhir menjadi bangsa Cakrawala?” ujung matanya melirik ke arahku, lalu tersenyum tipis. “Aku dan ibuku menyelamatkan satu keluarga yang akan dibunuh. Namun ternyata, kemalangan memang ditakdirkan untukku.”Hari itu, hari di mana usianya akan berhenti dan terpaku pada angka delapan belas tahun dan berhenti menua. Jalanan jauh lebih dari sepi dari biasanya, burung-burung tak lagi bertengger seperti biasanya, langit mendung bersamaan dengan turunnya gemercik hujan yang menimbulkan pet