Mutiara seharusnya berlindung di bawah kerang bercangkang indah. Dengan begitu, ia tidak perlu takut akan rusak, pecah, dan tergores. Kemudian, laut akan memantulkan kilaunya yang elok. Itulah mutiara sesungguhnya. Berbeda denganku, aku terverifikasi sebagai mutiara jadi-jadian.Saat ini, aku berlari di tengah derasnya hujan. Tanpa jaket apalagi payung. Tepatnya kembali memakai seragam putih abu di bahu sebelah kanan. Petir menggelegar beriringan dengan langkahku. Meski berat, pada akhirnya aku sampai di depan rumah sederhana berhalaman sempit. Di mana kami hanya punya satu akses untuk masuk ke dalam. Kuselipkan rambutku ke dalam topi hitam sampai tidak ada yang tersisa. Ponselku mendadak jadi cermin yang memantulkan wajah tampanku. Tidak. Sebenarnya aku merasa cukup cantik, tetapi ibuku tidak boleh melihat sisi cantikku. Aku harus menjadi anak laki-laki tampan dan manis yang memakai topi hitam, bahkan di rumah sekali pun. Tepatnya penampilan mendiang adik laki-laki yang melekat di i
“Kamu yakin bakal terima misi ini?” Aku nggak bergeming. Sibuk dengan pertimbangan sulit sambil memutar-mutar foto si target di meja bundar yang kami kelilingi. Kugetarkan kakiku sendiri sambil mengemut lollipop yang semakin tipis. Namun, gadis berkuncir dua bernama Vinka terus mencolek-colekku. Dia mengiraku sedang melamun apa, ya? “Aika, kita harus cepat memutuskan!” “Aku tahu!” protesku pada Vinka. “Eum, Vinka. Sebaiknya biarkan Aika berpikir matang-matang. Target kita ini bukan orang biasa.” Tegur Angela, anggota termuda geng kami yang memiliki mata puppy. “Vinka benar. Kita harus cepat. Klien kita hanya memberi waktu sampai sore ini!” sela Jena, anggota kami yang senang sekali bermain basket. Kupukul meja dalam satu gebrakkan. “DENVERSHITTY akan mengeksekusi Mahendra Atmaja—kelas XII IPS di bekas pabrik sepatu alias markas kita tercinta ini pada jam istirahat!” “YES! Kita bolos lagi!” seru Vinka dengan antusias. “Jam istirahat? Kenapa nggak pulang sekolah?” tany
Argh, aku benci suasana formal kayak ini. Aroma pengap dari orang dewasa. Mereka menyilangkan kaki dan duduk nyaman di hadapanku dengan tatapan mengintimidasi, sedangkan aku yang sudah seperti kutu disuruh berdiri menunduk sambil diomeli terus-menerus. Kulirik sebelah kananku, cowok cengeng itu tampak merengek kesal karena dia harus menanggalkan seragam sekolahnya. Berulang kali dia mengeluh dan berbicara soal harga diri. “Kenapa kamu melakukannya?” tanya Pak Atma, Ayah Mahendra. “Siapa yang sebenarnya pelaku perundungan? Saya atau anak bapak?” sanggahku. Laki-laki tua berbadan tegap itu menghela napasnya berat. Sementara wali kelasku, Pak Yoga malah menjewer telingaku keras-keras. Sontak saja, aku meringis kesakitan. “Hey, gadis nakal! Apa susu yang kamu tumpahkan tidak membuatmu merasa bersalah? Belum lagi, lihat mata Mahendra yang lebam! Kamu yang menonjoknya!” omel Pak Yoga. “Bagaimana dengan Rangga yang lebih dulu ditindas sama Mahendra? Bapak nggak tahu kalau sebelah mat
Aku melangkah masuk ke kelas saat bel berdentang. Kulihat Levin telah duduk di bangkunya, tepat di hadapan meja guru. Dengan malas, kuberjalan menuju bangku punyaku yang terletak di paling belakang dekat jendela. Kemudian Angela, Vinka, dan Jena berhamburan masuk dan menghampiriku. “Aika, kamu nggak apa-apa?” tanya Angela dengan cemas. Aku hanya menggeleng dengan senyuman tipis. “Gimana ini, Chil? Sepertinya masalah semakin besar,” resah Jena. “Mahendra benar-benar—” Panjang umur. Mahendra masuk ke kelas dengan berlagak seperti korban. Kami berempat menatapnya sinis. Kusilangkan tanganku di dada. Anak manja, batinku. “Yang bapaknya DPR jangan ditemenin!” ledek Vinka secara tiba-tiba dan membuat Mahendra refleks melotot ke arah kami. Aku mencoba menahan tawa dengan mengembungkan pipi. Namun, perhatianku beralih ke Levin yang kelepasan terkekeh. Untungnya saat Mahendra hendak menghampiri kami, Pak Wahyu—guru Bahasa Indonesia kami masuk ke dalam kelas. Mahendra pun kembali ke bangk
Selama tiga tahun, aku nggak pernah membayangkan duduk dengan teman sekelas selain anak-anak DENVERSHITTY. Perasaan aneh mulai muncul karena aku harus satu meja makan bareng Levin. Sedari tadi, aku menjadi lebih pendiam. Sementara ibu nggak berhenti mengisi piring Levin dengan segala menu. “Aika, kamu mau tambah ayam gorengnya?” tanya ibu tiba-tiba. Pertanyaan ibu membuatku kembali dari lamunan sesaat. Mataku berkaca-kaca. Ini pertama kalinya ibu menyebut namaku setelah kecelakaan yang merenggut ayah dan adik kandungku dua tahun lalu. “IYA BU,” jawabku kelepasan, “eh...” Ibu membelalak begitu aku menjawab dengan suara berat. Gila, Aika... bodoh banget, batinku. Karena terlalu semangat, aku lupa mengubah pita suara cewekku. Levin terlihat ikut kaget. “Tentu saja, Bu. Beri kakak daging yang banyak untuk menghiburnya. Kayaknya dia baru patah hati. Levin takut kakak akan kurus, haha.” Sela Levin membuatku langsung melotot ke arahnya. “Siapa kakakmu? Dan siapa juga yang putus cinta?!
KKKRTT...KRRTT.. Suara apa itu? Maling? Batinku dengan mata masih terpejam. Perlahan suaranya semakin membesar. Kuintip jam dinding. Jarumnya masih menunjukkan angka tiga.. TIGA PAGI. Konon katanya—BRUK! Sesuatu tiba-tiba muncul dari samping ranjangku. Sontak aku langsung bangun dan memepetkan diri ke tembok sambil melindungi diri dengan bantal. “Mmmm... Aika cepat bangun, jangan telat mulu..” Aku langsung menghela napas kesal karena ternyata Levin tidur di kamarku. Mana mengigau lagi. Kulempar saja bantal ini ke kepalanya dan dia pun tersungkur lagi dengan dengkuran yang sama. ERRRRR. Dan, belum cukup sampai di situ... “Jangan lupa panggil aku kakak kalau sedang di rumah!” tegurku sambil terus menggosok gigi. Levin tidak mengindahkan teguranku karena sibuk berkumur. Setelah itu, nggak ada angin ataupun hujan, kepalaku tiba-tiba tertarik ke belakang. Rambut panjang lurusku pun tergerai. Aku berhenti menggosok dan menatap tajam Levin di cermin. Telapak tangannya yang besar mengh
DRRRT .... Sebuah pesan masuk ke ponselku. “Kalian sudah makan?” tanya ibu. Jari-jemariku dengan cepat membalas pesan darinya. “Iya, Bu. Kami akan ke kantin,” Aku beralih pada Levin dan memastikan butuh waktu berapa lama lagi yang dibutuhkannya untuk mencari. “Udah ketemu belum? Masih lama?” “NAH KETEMU!” Pupil mataku membesar begitu tangannya menyabet satu map berlabelkan nama yang kucari. “Hebat!” seruku sambil membuka resleting jaket dan melebarkannya. Entah kenapa, Levin malah terbatuk-batuk, cih! “Tunggu apalagi? Cepat sembunyikan di balik jaketku!” Satu matanya mengintip sebelah. Sambil memalingkan wajah, ia berusaha menempatkan map itu di balik jaketku tanpa salah sentuh. Ck, dasar! Ledekku di dalam hati. Sebuah ide spontan terbesit di otakku. Kukeluarkan kembali ponsel dan membuka kamera. Lensanya memantulkan side face-nya yang konyol. “Hey, apa yang—” gerutunya, “cepat ambil mapnya! Malah foto-foto,” Namun saat aku hendak mengambil fotonya, ponselku tiba-tiba kem
Debu halus beterbangan seiring dengan derap langkahku. Siang menjelang sore, suasana di luar markas tampak sepi. Memang pada waktunya tidur siang sih, tapi aku nggak bisa menunda waktu lagi buat menunjukkan penampilan baru di hadapan anak-anak. BRUK! Cahaya menyorot ruangan begitu aku mendorong pintu markas.“Aika!” panggil Vinka sambil berlari ke arahku.Mataku mengabsen semua anggota di belakang Vinka. Bagus! Semua ada di tempat, batinku. Pandanganku kembali pada Vinka yang menganga begitu dia sampai di dekatku.“Habis dari mana nih? Tumben cantik banget,” tanya Vinka.Aku hanya terkekeh sambil menggandeng mesra lengan Vinka. Kami berjalan menghampiri Levin, Angela, dan Jena.“Padahal daritadi kami nunggu kamu,” celetuk Angela.“Nunggu aku? Kenapa?”“Pura-pura dodol ya, Chil?” ledek Jena.Kupalingkan wajah dari mereka. Pupil mataku melebar. Kenapa nih? Mereka tahu sesuatu soal Levin? Batinku dengan jantung berdebar. Tiba-tiba Levin menarik bahuku. Salivaku tertelan dengan berat.“Ka