Rombongan Bastian masih berjalan senyap. Jarak antara Mushola dan gudang bisa dibilang jauh walau di lantai yang sama—lantai satu.Mushola berdiri kokoh di seberang gedung utama. Berbeda dengan gudang olahraga yang dikelilingi ratusan ruang.Bastian mengambil jalan tikus, yaitu sisi samping sekolah yang sunyi. Gak perlu belok-belok dan tinggal lurus saja. Lumayanlah bisa sampai tiga menit lebih awal. Ia juga menghindari ketemu Pak Elang. Bisa hancur rencananya kalau Tama sampai sadar dia sedang dikibuli. “Kenapa kita ambil jalan ini?” tanya Tama. Alex gugup mendapat pertanyaan mendadak. “Hah? Um—” “Ya, biar cepet.” Bastian menjawab lugas. Tama berhenti, mendesah pelan. “Mau sampai kapan kamu jadi budak Mateo?”Bastian spontan sewot. Berbalik menantang Tama. “Lu ngapa dah banyak tanya!” Alex lekas menyenggol kawannya itu supaya gak terpancing. Sia-sia. Bastian kelewat jengkel melihat Tama. Banyak waktu yang terbuang. Bastian bertekad, ini jadi yang terakhir kalinya dia melewatkan
Satu sekolah gamang hanya karena kelakuan satu orang. Tiap koridor yang dilewati Mateo, pasti meninggalkan kerusuhan. Anak itu menggebrak pintu dari satu kelas ke kelas lainnya, mencari sesuatu. Banyak murid, terutama cewek-cewek refleks menjerit. Suasana jadi tambah runyam.“Woy! Pada liat Bastian sama Alex kagak?” teriak Mateo. Murid-murid menggeleng ngeri. Terengah-engah, mata pemburu Mateo menelusur semua orang di koridor. Dada Mateo mengembang, sebelum akhirnya berseru lantang. “SEMUANYA KUMPUL!” Ia menekan suaranya. “SEKARANG!”Mau tidak mau, mereka membuang keraguan dan menuruti King of Andervers itu. Karena sulit atau tidaknya kehidupan sekolah bergantung pada Mateo.Baik yang di dalam kelas maupun di luar menghambur ke depan Mateo. Anak-anak cowok pun tampak gagah berbaris di depan, kelihatan cari muka. Berbeda dengan cewek-cewek yang enggan melepas gandengan bareng teman. Biasa, banyak takutnya.“Dengerin gue, kalian—”Bel istirahat berdentang di saat yang tidak tepat. Ma
Terkadang, gak ada ucapan yang bisa dipegang. Terlebih lagi, manusia itu gampang berubah.Kemarin Mateo menyuruh semua orang mengecualikan Aika dari perundungan. Sekarang, dia tak segan menghimpit Aika. Gadis itu terhuyung-huyung mundur, dipaksa berdiri di tengah-tengah pintu.Memori otak Aika error. Terisi kilasan balik masa lalu di mana seorang laki-laki beraura gelap mengejar-ngejarnya di hutan.“Cepet, woy!” Mateo memukul permukaan pintu keras-keras.Nyawa Aika rasanya melompat keluar, lain halnya dengan jantung yang langsung drop.Sensor jantungnya berbunyi lagi. Pegangannya mengerat. Aika nyaris saja terjerembap.Dugh! Dugh! Dugh! Aika nekat meninju pelipisnya berkali-kali. Air mata merembes, pipinya basah, sementara ia gak sanggup lagi membuka mata. Menahan kantuk benar-benar menyiksa. Mau sampai kapan? Mau sampai kapan dia gak bisa mengendalikan dirinya sendiri? “Aaaaaaa!” Aika menjerit frustrasi. Terombang-ambing di antara alam kesadaran dan bawah sadar.“Hey … hey … lo—” Ek
Wajah anak-anak Denvershitty cuek bebek, walau empat murid asing berjaga di segala penjuru kelas. Selepas digiring masuk, mereka berkumpul di satu titik, seperti lagi kerja kelompok. “Menurut kalian, gimana reaksi Pak Tyo?” tanya Nadya pelan. “Hmm—” Dean berdeham panjang. “Dia kan gak sadar ada kamera. Gue yakin reaksinya planga-plongo. Bingung mesti ngapain soalnya gak di briefing, Mateo, hahaha,” katanya seraya membenarkan kain penutup sebelah mata Nadya. “Justru reaksi begitu bikin kita untung pas lapor ke Kementerian dan nyebarin ke publik. Mereka bakal bertindak.” Arkaf menerangkan. “Tapi, saya sih berharap masih ada orang dewasa yang waras di sekolah ini,” timpal Tama.Ia sibuk mengelapi muka. Butuh setengah pack tisu setelah Janu mengguyurkan sebotol air supaya bangun.Ini semua gara-gara Alex yang merebut stun gun dan balas menyentrumnya. Untungnya, cowok itu belum berani mengoperasikannya kencang-kencang.“Dulu ada Pak Darma, wali kelas gue pas kelas 10. Beliau perhatian
Kebersamaan selalu hal yang patut disyukuri. Sebab di luar sana, beberapa orang menangis karena nggak punya teman melepas tawa. Namun, sama seperti bulan yang melewati berbagai fase, Aika telah bertahan sebaik mungkin. Hari yang dinantikan akhirnya terjadi. Gelak tawa Aika sedari tadi sahut-menyahut dengan Levin. Selera humor keduanya cukup nyambung, padahal cuma sebatas menertawakan hasil-hasil jepretan tadi. “Eh, haha! Liat ini, kamu bisa manyun sampai berapa senti, sih?” Aika menunjuk Levin yang berpose ala bebek. “Wkwkwk, kayak bocah freak banget.” “Dih! Apanya yang freak, ini unyu tau! Emang kamu aja yang boleh gemesin,” gerutu Levin. “Oh, gitu, mau nyaingin aku nih ceritanya?” Aika memancing berdebat. “Woiya dong!” Suara Levin mendadak jadi kayak tikus kejepit demi sok imut. Ia memanyunkan bibir sambil lanjut menggulir layar ponsel Aika. “Ekhem,” Levin berdeham biar suara manly-nya balik lagi. “Kamu pensiun aja imutnya, kecuali sama aku.” “Lah, ngatur?” Levin menoleh. Me
“Kamu mau makan sekarang?” Aika bersimpuh di bawah Levin. Kekasihnya itu tampak lesu setengah mati. Pundaknya rapuh, seolah-olah akan terjatuh. Jari-jemarinya merangkap dan dibuat menopang kening. “Gak selera, Ka,” ucap Levin parau. “Tiga suap aja, ya? Please ….” Anggukan Levin membuat Aika lega. Dia segera mengambil nasi dan sayur bayam yang ia buat mendadak. “Di kulkas kamu cuma ada ini. Aku belum sempat ke supermarket karena takut kamu keburu dateng,” terang Aika sambil mengarahkan sendok ke mulut Levin. Satu suap. Dua suap. Suapan ketiga pun benar-benar jadi suapan terakhir. Levin menggeleng. “Udah, aku kenyang.” Aika menurut. Mangkuk itu disimpan di atas meja selagi Levin meneguk air. “Aku lega, kamu akhirnya gak nahan nangis,” Aika menggenggam punggung tangan Levin. "Jangan membelenggu perasaan kamu. Rasain aja semua apa yang ada di hati. Kamu berhak berduka.” Mata Levin berkedip cepat karena panas menjalar lagi. “Aku gak nangis di depan cewek,” tampiknya seraya menge
Mutiara seharusnya berlindung di bawah kerang bercangkang indah. Dengan begitu, ia tidak perlu takut akan rusak, pecah, dan tergores. Kemudian, laut akan memantulkan kilaunya yang elok. Itulah mutiara sesungguhnya. Berbeda denganku, aku terverifikasi sebagai mutiara jadi-jadian.Saat ini, aku berlari di tengah derasnya hujan. Tanpa jaket apalagi payung. Tepatnya kembali memakai seragam putih abu di bahu sebelah kanan. Petir menggelegar beriringan dengan langkahku. Meski berat, pada akhirnya aku sampai di depan rumah sederhana berhalaman sempit. Di mana kami hanya punya satu akses untuk masuk ke dalam. Kuselipkan rambutku ke dalam topi hitam sampai tidak ada yang tersisa. Ponselku mendadak jadi cermin yang memantulkan wajah tampanku. Tidak. Sebenarnya aku merasa cukup cantik, tetapi ibuku tidak boleh melihat sisi cantikku. Aku harus menjadi anak laki-laki tampan dan manis yang memakai topi hitam, bahkan di rumah sekali pun. Tepatnya penampilan mendiang adik laki-laki yang melekat di i
“Kamu yakin bakal terima misi ini?” Aku nggak bergeming. Sibuk dengan pertimbangan sulit sambil memutar-mutar foto si target di meja bundar yang kami kelilingi. Kugetarkan kakiku sendiri sambil mengemut lollipop yang semakin tipis. Namun, gadis berkuncir dua bernama Vinka terus mencolek-colekku. Dia mengiraku sedang melamun apa, ya? “Aika, kita harus cepat memutuskan!” “Aku tahu!” protesku pada Vinka. “Eum, Vinka. Sebaiknya biarkan Aika berpikir matang-matang. Target kita ini bukan orang biasa.” Tegur Angela, anggota termuda geng kami yang memiliki mata puppy. “Vinka benar. Kita harus cepat. Klien kita hanya memberi waktu sampai sore ini!” sela Jena, anggota kami yang senang sekali bermain basket. Kupukul meja dalam satu gebrakkan. “DENVERSHITTY akan mengeksekusi Mahendra Atmaja—kelas XII IPS di bekas pabrik sepatu alias markas kita tercinta ini pada jam istirahat!” “YES! Kita bolos lagi!” seru Vinka dengan antusias. “Jam istirahat? Kenapa nggak pulang sekolah?” tany