Mateo menusuk-nusuk kasar dada Levin meski cowok itu malah tertawa remeh. Beberapa anak memekik karena Levin didorong ke arah mereka sehingga takut terinjak atau tertindih. Kondisi sudah kelewat enggak kondusif. Semua siswa menegang, makin percaya bahwa ini bukan sekadar drama penyambutan.“Heh, gak usah gini dong, Bos!” Arkaf mencoba menengahi.“Oke, fine,” cetus Mateo. Ia memindai satu per satu teman sekelasnya dengan tatapan berapi. “Yang setuju sama aturan berdiri di belakang gue.”Alex dan Sebastian berjalan lebih dulu. Ketika melewati kerumunan siswa, mereka menyeringai.“Nunggu dikeluarin ya lo semua?” kata Alex mengintimidasi.Sesuatu yang besar dimulai dari hal kecil, meski jika itu adalah sebuah kepasrahan. Awalnya satu orang maju—cowok dengan tampang muka malas. Barangkali dia tipe orang yang enggan ribet, jadi memilih ikut arus. Namun, teman-teman yang lain berpikir realistis. Mereka dikuasai rasa takut. Bayang-bayang di drop out, ditambah rangkaian mimpi buruk lain: ken
“Lu siapa anjir mau peluk-peluk Aika?” Urat-urat tangan kekar Haris Satya menyembul. Ia melampiaskan hati yang gerah dengan menjambak Levin. “Oh, gue tau elu! Playboy mesum yang viral taun lalu, kan?” cibir Haris.Enggak tanggung-tanggung, sejumput rambut di puncak kepala jadi sasaran empuk cowok berbadan atletis itu. “Lepasin dulu, Setan! Gue bisa botak!” Levin misuh-misuh. Terpaksa turun dari ranjang UKS demi keselamatan rambut klimisnya. Sementara itu, Aika merunduk. Tertidur dalam posisi duduk. Keduanya saling memelotot sampai bola mata kayak mau loncat. Akhirnya, Haris melepas kasar Levin. Bukan karena mengalah, tapi pegel. Di balik jendela, deretan mantan-mantan Levin yang tergabung dalam geng Mockqueens mengintip di siang bolong. “Seriusan tahun ini malah si Aika? Gue pikir sama adek kelas,” ucap Dini. “Ih, kesel banget tau liatnya!” Jihan merengut cemburu. “Siapa tau Levin cuma nolongin yang pingsan?” Putri berusaha positive thinking. Jena menggeleng. “Nolongin macam a
Alam semesta dipenuhi hal-hal misterius. Kalau langit dapat menyimpan tujuh lapisan indah dan laut punya palung yang senantiasa menyembunyikan kegelapan, gimana dengan manusia yang memeluk tanpa permisi? Aika menatap dalam Levin setelah melepaskan diri darinya. Lengan mereka masih terpaut, saling memegangi siku.Levin, seperti langit dan laut sekaligus. Berlapis-lapis dalam wujud yang indah, tapi pasti punya palung yang menakutkan di dalam dirinya. Tepatnya, dari mana pelukan ini berasal? Kenapa? Kenapa dia melakukannya?Bola mata Aika bergerak ke dua sisi, menunggu penjelasan Levin. Pandangan Levin dan senyum simpul mendamaikan pikiran Aika, seolah-olah bilang, Jangan khawatir. “Peluk semangat,” ucap Levin, “sebagai temen. Kita temen sekelas sekarang.”*** Gesekan gigi Mateo sebenarnya bikin ngilu kuping sendiri, tapi kekesalan telanjur membuatnya tuli. Selalu saja Enola Raya, kakak tiri menyebalkan yang jadi batu penghalang. Usia mereka selisih 5 tahun dan Enola hadir di kehid
“Gila, perasaan gue gak enak,” celetuk Nadya berpegangan pada Dean. Menghindari genangan air, bongkahan batu pun jadi jembatan dadakan. Untungnya medan sulit itu selesai begitu memasuki lorong lembap bermotif desain klasik. Lumayan menjorok dari bangunan utama Andenvers yang di-cover desain modern, berdirilah gedung tua bekas perpustakaan. Awal di bangun—sekitar tahun 70-an—sekolah ini punya gedung perpustakaan yang terpisah. Namun setelah bangunan utama dirombak total jadi tiga tingkat, perpus baru ada di tingkat paling atas.Sudah sekitar lima menit Denversquad menggiring sembilan, tidak, sekarang bertambah satu orang. Total 10 orang siswa yang lebih seperti diasingkan.Gedung yang sedang mereka pijaki memadukan material seperti marmer, beton, dan batu bata. Pihak sekolah tetap menata tempat itu, teutama rerumputan hijau yang mengitari. Sehingga, enggak bisa begitu saja disebut terbengkalai.“Aika, lo beneran gakpapa? Mata lo gak perih? Lo gak ngantuk?” tanya Vinka, lengannya meng
Di hari-hari lain, Janu asik meminum sekotak susu pisang sambil menonton basket. “Nah, iya gitu dong!!!” celotehnya sendiri saat salah satu tim mencetak poin. Beberapa pemain saling beradu pandang penuh maksud. Pelupuk mata mereka juga mengarah ke Janu. Diam-diam mereka merencanakan sesuatu. Pertandingan berlanjut. Janu menaruh susunya di samping. Dahinya berkerut, sementara bibirnya refleks manyun. Begitulah muka fokus menggemaskan ala Janu.Bola meliar dari tangan ke tangan. Tangan nakal salah satu pemain sengaja melempar ke tempat di mana susu pisang berada. Cairan putih pun muncrat ke segala arah, termasuk celana Janu. Sementara, kotak susunya terjungkal entah ke mana.“Oopss? Sorry, Braay!”Janu malah nyengir. “It’s okeeeh. It’s okeeeh, Bray! Terusin aja, heheee ….”Mereka bermain lagi. Waktu belum berjalan semenit, tapi bola itu melayang terus ke dekat Janu. Berkali-kali pula badan Janu bergerak ke kanan dan ke kiri, demi menghindari bola.Nasib buruk enggak ada di kalendar.
Jena meraba-raba saklar lampu, lalu menekannya hingga lampu padam.Now.Levin auto mematung. Kepalanya refleks mendongak, memeriksa lampu padahal sudah tahu pasti mati.“Hadeh, sekolah segede ini telat bayar listrik?” Levin selesai membuang tisu bekas mengelap tangan, lalu hendak keluar.Tidak semudah itu, ferguso. Empat kuntilanak menyerbu masuk dan mencegat cowok itu.“WAAAAAAA!!!” Teriakan nge-gas Levin memecah gendang telinga Mockqueens, untungnya mereka berusaha professional jadi kunti. Bola mata Levin seakan-akan mau loncat. Tungkai kakinya gemetar.“Anjir … waaa … anjir! Pergi lo semua! Hush! Waaaaa!” racau Levin ketar-ketir. Dia menyambar alat pel sebagai senjata penghalau kunti.Konyolnya, Levin melawan para kunti itu dengan mata tertutup.Cekikikan kunti-kunti Mockqueens melengking disertai backsound menyeramkan. Jena sengaja memutar lagu lingsir wengi. Ia menaruh hpnya di lantai, lalu keluar untuk berjaga. Gak lupa menorehkan seringai puas.Ternyata ada untungnya juga Jena
“Jika kita gak bisa menggenggam dunia,maka dunia yang akan menggenggam kita sampai remuk tak bersisa."“Kalian gak mau udahan dramanya?”Kedatangan Arkaf membawa angin sejuk bagi Levin. Raut wajah anak itu lega, disisipi erangan manja.“Pengawal guaaa, kenapa lu telat banget!?” cerocosnya. Namun, Levin dibuat menganga sebab dikacangi. Arkaf cuma melewatinya seraya menggeleng dan mesem-mesem. Dia menghampiri 4 kunti Mockqueens dan menggantungkan handuk ke punggung mereka tanpa sepatah kata.Arkaf kemudian beralih ke Jena, mengangkat pergelangan tangan gadis itu dan menyisipkan satu-satunya handuk basah. Hangat menyesap ke sela-sela jemari Jena.“Kompres tangan lo. Perih juga kan abis tampar orang?” kata Arkaf. Jelas dia enggak sedang bertanya sungguhan, jadi gak perlu menunggu jawaban.Arkaf menoleh ke Aika. “Kamu gak apa-apa? Tolong maklumi Jena, ya?”“Siapa yang nyuruh lo bilang kayak gitu?” sengak Jena.“Jenandrian! Bukannya lo harus minta maaf sama Aika?” Levin makin kesal denga
Suasana khidmat mencuat dari alunan musik klasik. Di dalam megahnya ruang kerja pribadi—tipikal orang kaya selalu mengisi ruangan mereka dengan dekor serba emas—kursi direktur terisi oleh seorang pria tegap setengah beruban. Kaki kanannya menyilang di atas kaki kiri. Ia membelakangi meja, menikmati semarak api penghangat yang tercermin di iris mata. Benar, begitulah caranya hidup, Pikirnya. Cahaya. Bergelora. Panas. Terbakar. Pria tua itu membanggakan 4 sifat yang memandu kilas balik perjalanan hidupnya. Lebih dari setengah abad, dia berusaha memegang tahta Andenvers Corp. Perusahaan raksasa 3 generasi yang menaungi bisnis di banyak bidang; pendidikan, real estat, industri hiburan, fashion, hingga makanan. Di sanalah keturunan Abraham menduduki puncak piramida. Namun, sifat manusia selalu merasa kurang. Meski berada di puncak yang sama, Abraham Darmawan tidak puas dengan fakta bahwa dia terlahir sebagai anak kedua, bukan pewaris tahta. Ia meremehkan posisinya sebagai direktur d