“Menurut saya, kesurupan itu bukan karena setan dan sebangsanya.”
Bibir Aika mengerucut saat Arkaf berdiri di sampingnya. Kalimat pertama yang dilontarkan cowok itu sudah memancing Aika. Sah-sah saja sih kalau berbeda pendapat, tapi caranya menyampaikan sambil melirik aneh Aika membuat gadis itu jengkel. Tatapan superior dan alis berkerut-kerut. “Saya tahu ‘mereka yang tak terlihat’ ada, tapi seringkali kita tidak intropeksi diri. Siapa tahu fenomena kesurupan itu hanya akal-akalan beberapa siswa atau memang kondisi mental siswa yang tak stabil?” Levin mengembuskan napas kasar. “Eh anjir makin lama nih. Si Arkaf ngeluarin mode ngeselin lagi.” Dia menoleh ke belakang, meringis. Masih ada cowok OSIS kekar yang jaga pintu. “Sial, caranya gimana ya?” gumam Levin memutar keras otak. “Atas dasar apa kamu nuduh mereka kayak gitu? Kamu ngalamin langsung?” cecar Aika. Tak tahu kenapa bicaranya spontan meninggi, lepas terkontrol. “Terus yang bener gimana? Coba kamu buktiin dengan sains supaya mereka gak kelihatan bohong?” “WOY BANGSAT!” Kursi terjungkal disusul geraman nyaring. “RAWWWWR ARGHHHH!” Semua siswa refleks menjerit melihat pemandangan gila yang terjadi. Sebagian siswa bahkan berhamburan keluar. Sambil mengibas-ibaskan jaket kulit hitamnya ke segala arah, Levin berlari ke arah Arkaf. Bergelantung. Mencakar-cakar dada kawannya itu. “AING MAUNG! AUUU!” Arkaf memutar bola mata. “Emang maung suaranya AUUU?” tiru Arkaf sambil ikut monyong. Levin tak menyerah. Ia gelantungan di pundak Arkaf, sementara Arkaf mengukuhkan posisinya. “Ikutin rencana gue ngapa,” bisik Levin. Anggota OSIS yang semula berjaga di pintu bersama pasukannya hendak mendekat. “Gak apa-apa, biarin. Dia temen saya.” Sementara Arkaf mencegah seksi keamanan yang semuanya cowok, perhatian Levin beralih ke Aika. Wajah cewek itu pucat. Pelipisnya berkeringat, satu tangannya juga menekan perut. Kadang-kadang, dia menguap dengan mata hampir terkatup. Secara tak sengaja, Levin menangkap noda merah di bagian belakang rok hitamnya. Aika hendak berbalik untuk menyimpan mic ke meja, tapi tungkai kakinya lemas dan dia nyaris ambruk ke lantai. Sebelum itu terjadi, Levin lebih dulu memelesat pada Aika. Kedua tangannya mencengkeram bahu cewek itu, lalu didorong hingga membentur dinding. Setan-setan yang jadi korban gibah pun mungkin ikut cengo menyaksikan tingkah remaja itu. Aika belum berani membuka mata, terlampau takut pada situasi dadakan ini. Pokoknya, dia takut digigit cowok kesurupan ini. “Kode merah. Lo bocor ya?” bisik Levin. Aika akhirnya tersentak melek walau matanya panas, sangat mengantuk. Jam dunia seakan mengaret saat mata mereka bertemu, sangat dekat. Cewek itu bisa melihat refleksinya di pupil cokelat keemasan Levin. “Pura-pura pingsan aja, nanti gue gendong.” Ini adalah pertama kalinya, dan menjadi momen tak terlupa. Aika ikhlas menyandarkan kepala di dada seseorang. Mempercayakan nasib buruk yang biasa dilalui sendiri, sekarang ditangani bersama. Levin sigap mengikat jaketnya di pinggang Aika. Jantung cewek itu terasa melambung ketika tubuhnya diangkat. Ia mencoba berpikir positif, mustahil akan jatuh sebab Levin memeganginya erat—seperti seorang ayah yang pertama kali menggendong bayi baru lahir. “Lo mau dibantu?” tanya Arkaf. Anak-anak OSIS di belakangnya juga tampak siap. “Gak usah, Kaf.” Levin beralih ke si kakel MC. “Kak, tolong anter ke UKS.” “Hari itu ...ketika kedua tangannya terpatri di tubuh ini—menjagaku erat agar tak terjatuh dan menutupi hal yang memalukan.Lembah kesepianku berubah menjadi ladang yang subur. Benih-benih bunga berjatuhan di sana.Namun, tidak ada yang tahu akan jadi apa tempat itu di masa depan.”— Aika’s Diary.*** “Halo, Adek? Adek udah bisa bangun sekarang.” Suara si MC cewek membangkitkan pikiran Aika yang diliputi rasa sesal. Ia terduduk di ranjang, sesaat menguat dan meregangkan badan. Aika tertegun, mengingat kembali tatapan dalam cowok tadi. Semestinya dia membuka mata lebih awal. Dia ingin melihat lebih sering cowok yang tanpa alasan membantunya, tapi entah kenapa dia juga merasa malu. Meski tak separah bila aibnya kelihatan sama banyak cowok OSIS. Dia bakal jadi bahan omongan kakak kelas di hari pertama sekolah. “Dek, maaf ya. Harusnya kakak yang tau lebih dulu kalau kamu lagi merah,” ujar kakak kelas MC sambil menyodorkan bungkusan, “ini pembalutnya. Toilet ada di sebelah.” “Makasih, Kak ....” Aika berdiri dan baru sadar jaket kulit milik cowok itu masih melilit di pinggangnya. “Eh, kakak tau gak siapa cowok yang bawa aku ke sini? Mau balikin jaketnya, hehe,” timpal Aika. “Oh kakak tau, namanya lagi beken banget. Temen-temen cewek kakak pada ngomongin dia gara-gara pada tukeran W*, hahaha,” canda kakel itu. “Namanya Levin Jordan, kelas 10-C kalau gak salah. Kamu tukeran W* juga? Wah, sukses deh ... saingan kamu bejibun soalnya. Semoga bisa jadian ya.” Jadi, namanya Levin? Aika meremas dada, lalu melirik jam pendeteksi detak jantung. Normal kok.Aika juga sengaja memelototkan matanya. “Kok bisa sih gak ngantuk?” “Hey?” tegur si kakak kelas. Terkesiap, Aika spontan melempar senyum tipis seraya menggeleng. “Enggak kak. Aku cuma mau balikkin jaketnya sama bilang makasih aja. Kalau gitu, aku duluan ya, Kak. Makasih juga udah bantu.” *** Kegiatan belajar mengajar tentu saja belum berjalan sebagaimana mestinya. Tiap kelas diselimuti kebebasan yang bising, dan di sanalah Aika. Duduk di barisan pertama bangku kedua. Papan tulis adalah spot kesukaannya sejak SD. Bagi si langganan juara kelas, memandangi benda putih itu punya atmosfer yang tak jauh berbeda dari nonton bioskop. Semakin jelas tulisan tinta dan suara guru, Aika lega bisa menangkap pelajaran sebaik mungkin. Namun masalahnya, papan tulis itu sedang kosong dan pikiran Aika mengawang ke masa-masa kelam. Kejadian Levin juga memancing ingatan yang menjerumuskannya ke lembah kesepian. Sanggup gak ya, aku pacaran lagi? Aika menumpuk kedua tangannya di atas meja, menjatuhkan dahi dan tenggelam dalam kegelapan. *** Haha, kasian gak ada temen ya lo!Cewek munafik!Cari muka terooosss!Dasar PHO! Perusak hubungan orang!6 bulan yang lalu, suara-suara itulah yang santer ditujukan pada Aika. Berpikir bahwa semua orang akan memperlakukanmu sama baiknya adalah suatu kebodohan. Sekolah menengah atas baru ditapakki, dan Aika langsung ditampar agar meninggalkan indahnya masa kecil.SELAMAT DATANG DI MASA REMAJA YANG PENUH DEPRESI! “Mau aku bantuin ngomong ke pacar kamu?” Semua berawal dari penawaran konyol Aika pada sahabatnya di SMA Bakti Cakrawala, Nada. “Ngo-ngo-ngomong gimana?” tanya Nada sesegukan. “Pokoknya aku bakal jelasin kalau semalem kamu sama Dani gak jalan berdua, tapi sama aku juga.” Aika mengusap-usap punggung sahabatnya. “Udah jangan nangis ....” “Tapi Kak Septian udah gak mau denger apa-apa lagi pas aku mau jelasin. Dia langsung mutusin aku, Aika. Kita udah putus,” lirih Nada. “Makanya aku harus ngomong ke dia. Yang penting itu, fakta kalau kita ngerencanain ke pameran tuh bertiga,” kukuh Aika, lalu beringsut dari bangku. “Pokoknya aku coba dulu ya. Aku ngerasa bersalah udah pulang duluan.” Setelah Nada setuju, Aika bergegas mencari Septian. Kakak kelasnya itu sulit ditemui di kelas sebab aktif organisasi. Aika muter-muter sekolah, dari mulai kelas demi kelas, ruang OSIS, kantin, lapangan, terus nunggu di depan toilet. Sampai akhirnya tinggal tersisa satu tempat: rooftop. “Kak Septian!” panggil Aika sedikit berteriak. Cowok berambut cepak itu menoleh. Kelopak matanya tersentak ketika Aika mendekat. Bibir Septian berkedut menahan senyum. Dia tak pernah merasa se-senang ini bertemu sosok Aika yang manis. “Siapa ...?” “Maaf, Kak ... aku Aika, temennya Nada.” Ekspresi Septian mengetus. Aika menelan ludah. “Maaf kak sebelumnya, tapi aku mau bilang kalau—” “Udah basi, saya gak mau denger apa-apa lagi. Lagian, kami udah putus,” sela Septian, memalingkan wajah. “Euu tapi ... aku mesti ngejelasin sesuatu, Kak. Please—” Pelupuk mata Septian melirik Aika. “Harus banget?” Anggukan pasrah Aika disambut senyum miring Septian. Cowok itu tampak puas karena merasa jadi orang penting. “Kalau gitu ada syaratnya,” cetus Septian. “Syarat?” “Pulang sekolah nanti biar saya yang anter. Tapi, gausah bilang Nada, oke?” “Emangnya kenapa kalau Nada tau?” tanya Aika keheranan. “Saya gak mau kamu repot-repot izin sama dia. Dia bukan siapa-siapa saya lagi, jadi kamu harus hargai saya juga.” “Iya deh, Kak,” ucap Aika, sesaat menunduk lalu mengangkat kepalanya bersemangat. “Tapi, aku yakin kakak pasti berubah pikiran!”“Ayo naik!” Septian mengarahkan kepala ke jok belakang sepeda. Aika melipat bibir, ragu. “Kamu gak pengen saya denger penjelasan kamu?” timpal Septian, mengancam halus. Jari-jemari Aika meremas telapak tangannya. Menumbuhkan keyakinan kalau dia bisa menyelamatkan hubungan sahabatnya. Soalnya, Nada berharga banget bagi Aika. Ketika Aika stress karena masalah keluarga, sering absen karena fisiknya yang lemah, hingga murung akibat nilai yang turun, Nada selalu di sampingnya. Inilah saatnya Aika melakukan hal yang sama. Aika mengangguk, lalu menaiki jok. “Aaaa!” Baru saja Septian menyentuh pedal, Kepala Aika tersentak ke belakang. Kuncir kuda gadis itu dijambak oleh seseorang. Aika meringis kencang, tidak tahan dengan betapa sakitnya helaian rambut yang tercabut paksa. “TURUN GAK!” Nada menarik Aika yang semp
Aika bergidik geli, seseorang mencolek-colek pipinya. Ia mengangkat diri di mana pergelangan tangan melengket ke meja. “Halo? Boleh gak gue duduk bareng lo?” tutur cewek bersuara berat. Perawakan cewek itu sepantar sama kayak Aika, tapi punya bodi bentuk apel. Terus, otot-ototnya makin menculat efek seragam yang digulung. Aura yang keras dari cewek itu agak membuat Aika takut. Traumanya terpancing. Bayang-bayang pertengkaran terputar di otak Aika dan jelas dia berpikir akan kalah. Malang sekali, Aika mengasihi diri sendiri. Namun, dia berusaha kembali ke kenyataan. Ada satu sihir yang telah Aika pelajari sebelum memulai kehidupan baru dan terjun di dunia manusia yang menakutkan: senyuman. Aika membasahi bibir. Dua sudut bibir Aika sengaja ditarik ke atas, mata kecilnya sampai kesedot pipi. Gak, ga
Dugaan Levin benar, tapi dia gak merasa bangga. Mamanya pakai foto profil gak senonoh. Ia berpose cukup sensual dengan balutan dress hijau ketat jauh di atas paha. “Sial! Mau ditaro di mana muka gue!” geram Levin sambil meremas rambut. Di sisi lain, dia menyalahkan diri sendiri atas kebegoan-nya memberi kontak W******p mamanya. Seharusnya dia kasih nomer Arkaf, biar kawannya itu yang pura-pura jadi orangtuanya.Gak kenal Terakhir Dilihat 21.45 wib Mah ganti ppMahLevin udah kasih nomer ortu ke wali kelasGanti ppnyaPBuka dulu w*Biasanya ada info dari wakel “Sial! gak dibaca-baca,” berang Levin. Sekalian meluapkan emosinya, Levin juga mengirim screenshot dari Bu Tuti.KALAU KERJA GAK USAH DI RUMAH! Sudah tahu mamanya enggak bakal menggubris, tapi Levin gak pernah berhenti berjuang. Adakalanya Levin bertanya-tanya, kenapa rasanya sangat sulit? Sesulit itukah untuk bisa didengar? Dunia tetap berjalan dengan segala kebisingan yang ada, tapi kenapa mereka seakan tuli dan menutu
BAGH-BUGH-BAGH-BUGH! “Cowok berengsek! Jadi ini maksud lo chat suruh kita semua ngumpul?” pekik Jena memukul Levin pakai gagang sapu. Cowok itu enggak melawan, masih bertahan memegang tongsis, wajah bonyok kemerahan dan tersenyum ke arah kamera. “BENERAN SAKIT LO! COWOK GAK BERES!” Caca menjambak rambutnya. “Arghhh! Ampun-ampun, pelan-pelan juga dong woy! Gue bisa botak!” protes Levin, tapi terus-menerus cengengesan. Dini menabokkan buku-buku tebal ke muka Levin. “GUE GAK MAU TAU. KERJAIN SEMUA PR GUE!” Agak pening memang, tapi Levin menggerak-gerakkan alisnya supaya reda. Fokus kembali pada kamera, tersenyum lagi. “MAMAH? MAMAH IRA JORDAN? LIAT NIH DIDIKAN MAMAH PUNYA BANYAK CEWEK CANTIK. GIMANA RASANYA LIAT CEWEK-CEWEK INI NANGIS? LEVIN KEREN KAN MAH?” Levin mengarahkan kameranya ke cewek-cewek bermuka singa, siap menerkam lagi. Ada juga yang memilih nangis dipojokan: Jihan dan putri. Kamera kini sengaja merekam wajahnya sendiri. Bibir Levin berubah jadi garis tipis. Tat
Levin seketika melirik Arkaf. Pupil matanya mengembang, berbinar. Harapan baru tumbuh di relung hati, tapi logika Levin menanggapi sebaliknya. Ini bukan hal sepele, ini menyangkut perjalanan panjang di negeri orang. Sebagai seorang laki-laki yang beranjak dewasa, Levin sadar kedua tangannya masih kosong. Dia tidak punya impian, tujuan, atau segala sesuatu yang menjadi modal agar lepas dari sang mama. “Gue bakal cari kerjaan,” sahut Levin. “Gue bakal ... gue bakal ngapain lagi ya ....” Akibat semangat yang memburu bak banteng, Levin malah kebingungan sendiri. “Hahaha, calm down.” Arkaf menahan gelak tawanya. “Masih lama, Vin. Gue yakin lu bisa perjuangin apa aja yang lu butuhin buat ke London. Masalah tiket lu, katakanlah udah di tangan gue, tapi lo mesti ambil dengan satu tantangan,” terang Arkaf. Alis Levin terangkat. “Tantangan? Apaan? Udah kek Benteng Takeshi aja.” “Lu inget si Aika anak kelas 10-A?” “Oh, si boneka hidup? Yang punya mata kelap-kelip? Kenapa?” “Gue ma
Tangki semangat anak-anak penuh di tahun ajaran baru. Para senior mungkin asyik memilih cengcengan wajah-wajah baru di Andenvers. Beberapa lainnya sibuk mencari kelas baru. Ya, sistem di Andenvers selalu mengadakan pergantian kelas tiap tahunnya. Hal ini dilakukan buat meningkatkan aktivitas sosial siswa.Tak terkecuali Aika. Kaos kaki putih berenda yang terbungkus pentopel hitam mendekati mading. Untungnya Aika punya huruf awalan A, jadi dia gak perlu antri kayak teman-teman 10-A lain. Telunjuk lentik Aika mengetikkan nama lengkapnya di TV touchscreen.“11-A?” ceplos Devinka di belakang. “Please sama, please.”Aika diam-diam mengetik nama Devinka, lalu menahan senyum sumringah sambil keluar barisan.“Aku tunggu di kelas,” bisik Aika mengedipkan sebelah mata.***“Hei! Gue duduk bareng lo, ya?” sambar Devinka menggandeng Aika setelah berlari cukup kencang.“Oke! Di mana? Di tengah? Di depan? Di ujung?”“Depan dong. Gue tau lo naksir papan tulis, haha!”Tawa dua dara itu lenyap ketika
“Elu juga jangan cari kesempatan.” Levin gak menyangka bakal dapat bisikan sinis dari sahabat Aika.“Galak amat,” gumam Levin.Namun begitu balik badan, dia tersentak oleh Alex yang mendekat dengan dada membusung.“Ngape lu? Mau gelud? Ayokkk!” Levin menantang. Keduanya saling adu melotot. Levin kemudian berteriak, “Heh, lu pada! Mending nontonin Levin Jordan duel nih!”Capek-capek Levin menggulung lengan seragamnya, tapi murid-murid akhirnya diperbolehkan masuk ke dalam. “EH? Heh—”Sesaat, Tama melirik cengo Levin dan Alex bergantian, lalu mengucapkan salam. Vinka juga menggandeng Aika dan ikut masuk ke dalam, sedangkan Arkaf menepuk bahu Levin.“Yang matanya keluar duluan kalah,” ujarnya sambil berlalu ke kelas.Drama hari pertama masih berlanjut. Belum sempat anak-anak 11-B berebut bangku, mereka dibuat terkejut oleh coretan-coretan di papan tulis.“Apa ini?” tanya mereka berbarengan.“Kamera … kamera gue—” panik Angela baru ngeh lagi soal kamera.Ia menelisik lantai, lalu menginti
Mateo menusuk-nusuk kasar dada Levin meski cowok itu malah tertawa remeh. Beberapa anak memekik karena Levin didorong ke arah mereka sehingga takut terinjak atau tertindih. Kondisi sudah kelewat enggak kondusif. Semua siswa menegang, makin percaya bahwa ini bukan sekadar drama penyambutan.“Heh, gak usah gini dong, Bos!” Arkaf mencoba menengahi.“Oke, fine,” cetus Mateo. Ia memindai satu per satu teman sekelasnya dengan tatapan berapi. “Yang setuju sama aturan berdiri di belakang gue.”Alex dan Sebastian berjalan lebih dulu. Ketika melewati kerumunan siswa, mereka menyeringai.“Nunggu dikeluarin ya lo semua?” kata Alex mengintimidasi.Sesuatu yang besar dimulai dari hal kecil, meski jika itu adalah sebuah kepasrahan. Awalnya satu orang maju—cowok dengan tampang muka malas. Barangkali dia tipe orang yang enggan ribet, jadi memilih ikut arus. Namun, teman-teman yang lain berpikir realistis. Mereka dikuasai rasa takut. Bayang-bayang di drop out, ditambah rangkaian mimpi buruk lain: ken
Ada sebuah dongeng waktu aku SMA, bahwa tempat ini adalah salah satu spot terseram di sekolah.Sebuah pohon beringin tua yang terasingkan. Akarnya merambat tebal ke bawah, sementara daunnya yang rimbun menutup akses cahaya."Kamu mau ajak aku kabur apa uji nyali?" ledekku sambil berkacak pinggang.Levin berdecih, merasa pintar. "Diam deh. Meski tempat ini bikin malas, tapi satpam itu gak akan kepikiran kita ada di sini."Aku mengangkat bahu, lalu menjatuhkan diri di akarnya yang besar."Adem juga ya?" celetukku sambil melihat sekitarku yang didominasi oleh kebun.Sekolah ini dulunya kebun besar sih, jadi sebagian lahannya tidak berubah. Levin menyusulku duduk, meraup rambutnya dengan kasar tanpa menjawab apa pun.Dia terkekeh dengan kepala dibenamkan ke lutut."Kenapa?" tanyaku mencoba memancing.Benar saja, anak ini langsung mengangkat kepala dengan wajah protes.Dia menyelipkan rambutku ke telinga. "Mana mungkin, Tuan Putri. Sudah tugasku," ucapnya lembut.Pandangannya menurun. "Aku
D-Day. Pulang kampus biasanya aku lesu dan macam gembel. Kali ini beda, semangatku bahkan full tank mungkin sampai besok pagi. Klakson mobil yang kutunggu-tunggu akhirnya terdengar. Batang hidung Levin kelihatan pas jendela mobil turun dengan sempurna. “Let’s go, Pretty.” Aku sudah semangat membuka pintu, eh ada saja yang tak sesuai harapan. Tanganku berusaha menarik berkali-kali, tapi tetap macet. Ternyata Levin masih menguncinya. Baru setelah kuketuk, ia panik menekan kunci dari dalam. “Nyebelin,” gerutuku. “Hehe, maaf.” Mataku menyipit ke Levin. Jas semi formal, celana bolong berantai, dan piercing tempel di tengah bibir bikin aku salah fokus. Dia nyentrik kalau sedang jalan-jalan, padahal setahuku kamar dan lemarinya cuma diisi sama kaos bola. Aku jadi mikir, di mana dia menyimpan pakaian dan pernak-perniknya. Jangan-jangan, di rumah Levin punya ruang rahasia. “Kita mau belanja di mana nih?” “Mall paling deket aja.” “Okay! Meluncur.” Levin lantas menginjak pedal gas. “Kata
“Alright, enough for today. Karena besok hari spesial, Bapak gak akan ngasih tugas du—” Belum selesai Pak Tomi—dosen mata pelajaran bahasa Inggris—bicara, tapi sorak gembira langsung memenuhi kelas. Aku ikut senang walau tidak ikut loncat-loncat. “Angjaaay! Mabsur dah mabsur,” sambar Marvin Nalendra, ketua Divisi Seni. Selain sering typo, hobinya menciptakan bahasa alien. Mabsur di kamus dia artinya mantap dan subur. Tugas bikin banyak pikiran soalnya. Orang yang banyak pikiran gampang kurus. Teorinya sih begitu. “Guru gweh nih guru gweeh!” Januar William, tak mau kalah. Dia memang tidak sekuat Jarvis, tapi cukup tangguh sebagai Ketua Divisi Keamanan bareng sohibnya, Edward Chandra. Pak Tomi geleng-geleng kepala sambil senyum malu-malu. “Pokoknya kalian tidur yang nyenyak. Yang cewek, jangan maksain diet. Yang cowok, jangan begadang nonton bola. Tinggal satu mapel lagi, ya?” pesan Pak Tomi, menenteng tas hitamnya dan berdiri di depan. “Iya, Pak,” jawabku mewakili. “Ya sudah, se
BATU nisan tertancap di depanku. Meski otakku berkali-kali mengelak bahwa yang terbaring di bawah sana adalah orang asing, tapi hati kecilku berkata lain. Lonjakan kebimbangan antara sedih dan kecewa bergemuruh di dalamnya.Di sisi lain, aku nggak percaya pusara yang bertahun-tahun kudatangi bersama ibu hanyalah sebuah tanah kosong. Levin mengusap bahuku, menyalurkan sedikit kehangatan lewat sentuhannya."Jangan ditahan kalau mau nangis," ucapnya lembut.Dia tahu mataku sudah terlihat sendu. Seolah siap menumpahkan segalanya. Penglihatanku perlahan buram, tertutup oleh genangan air yang siap terjun bebas. Saat itu terjadi, aku langsung berbalik untuk membenamkan kepalaku di tubuhnya.Levin dengan sigap mendekapku erat. Menepuk-nepuk punggungku lembut tanpa kata. Dia tidak bersuara, membiarkan lirihku menggema di tengah peristirahatan insan manusia.***Waktu terus berlalu. Dalam penantian kami menunggu pengumuman dari sekolah, asisten ayah, Pak Beni banyak berkunjung ke rumah. Dia mem
Dering alarm ponsel membangunkanku dari tidur singkat yang melelahkan. Tirai jendela tersibak angin dari ventilasi udara lalu menimbulkan golden hour yang menerpa setengah wajahku. Dengan mata yang sedikit terbuka, kuintip isi ponselku, di sana tertera waktu yang menunjukkan pukul 08.00 WIB. Seharusnya jika semua hal berjalan normal, saat ini aku sedang berada dipanggung perpisahan, menerima piagam penghargaan dengan nama Aika. Tapi, karena pandemi virus COVID-19 yang melanda dunia, sekolah kami tidak melakukannya. Kami harus belajar prihatin. Meski begitu, aku menikmati dan mensyukuri sebab diberi kelulusan dengan mudah. Aku beringsut dan duduk di tempat tidurku, membuka whatsapp lalu memeriksa pesan yang masuk. Tidak ada ucapan “Happy Graduation, Aika!”, seperti yang kuduga dari jauh-jauh hari. Bagiku, menerima ucapan seperti iu hanyalah mimpi belaka. Aku tidak cukup dekat dengan teman sekelasku untuk dapat ucapan selamat. Tak lama kemudian, sebuah pesan masuk. Aku terheran-heran,
Sepatu Levin menghentak-hentak ubin. Gak ada jejak kaki kotor yang tertinggal, lagi pula bukan itu yang Aika cemaskan. Tapi, ekspresi cowok itu yang seolah akan memilinnya seperti squishy. “Serius Aika gak inget sama gue? Ini gue Levin! Sahabat kecil, temen sekelas, solmet sejati lo!” lontar Levin. Selepas menaruh botol, Aika menepuk-nepuk baju dan selimutnya yang kecipratan air. Gadis itu menggeleng. “Maaf, tapi gue belum bisa—” Levin merangkap kedua tangan Aika. Gadis itu membelalak dengan genggaman tiba-tiba itu. Lebih bingung sebab Levin menatap kosong ke Aikahnya. Tertegun, atau melamun. Sekelebat situasi tak biasa menghantam penglihatan Levin. Jeritan menusuk indra pendengAikan cowok itu, dan dia yakin jeritan itu berasa dari Aika. Bergeser ke Aikah lain, seorang gadis lainnya tampak buram. Gadis itu meronta dengan beberapa orang yang mengunci tubuhnya. Levin bergidik. Fokusnya kembali pada Aika. “Aika, kamu ngeliat kejadian ngeri ya di sana?” celetuk Levin. Dengung listr
Pintu kamar terbuka. Semilir aroma bayi menyapu lembut hidung Aika. Gadis itu sedikit terperajat karena Jessica muncul tiba-tiba. Dengan wajah yang cemong, dipenuhi bedak. Rambutnya basah sudah tersisir rapi ke belakang. Jessica juga tampak mengangkat ujung gaunnya. Rupanya dia berniat memamerkan gaun baru pada Aika. Aika terkekeh. “Cantik banget.” “Timakaci, Yang Mulia. Kata Bu Ratna, sekarang waktunya makan besar kelajaan,” ujar Jessica dengan kecadelannya. Aika beringsut, lalu menggantung baju seragam yang sudah ditanggalkannya. Aika lantas menghampiri Jessica. “Ayo?” Di meja makan, lauk pauk disediakan khusus untuk Aika. Itu pun, hanya goreng ikan mas. “Paman abis mancing, sayang cuma dapat satu. Ini buat kamu aja,” kata Bi Fani sambil memindahkan lauk ke piring Aika. “Wah, betulan? Makasih banyak, Bi ... Paman,” sahut Aika. Senyuman lebar ditorehkan pada paman dan bibinya secara bergantian. Tanpa beban, seolah tidak ada yang terjadi. Gadis mulai melahap makanannya dengan ce
Hantu Keluarga Donovan | Posted by @Aika Camera – Rolling – Action! Kamera berkedip merah; mulai merekam. Berjalan memasuki rumah. Levin dan Aika tiba-tiba teleportasi dari gedung ke sebuah rumah. Sebelumnya, ia tertidur dan dalam mimpinya terdapat petunjuk harus melakukan sesuatu. “Halo semuanya! Kembali bersama Aika di sini! Hari ini, kami menerima laporan kalau banyak hal-hal mistis yang terjadi di rumah keluarga Donovan. Mari kita lihat apa yang—” Dentuman keras tak jelas asal-usulnya menyentakkan bahuku. Tubuh ini menegang, merasakan energi yang terlampau kuat. Kutaruh kamera di laci, dan tiba-tiba membelalak hebat. Menyaksikan wallpaper di rumah ini mendadak mengelupas dengan sendirinya. Lolongan serigala ikut bergumul, sangat memekikkan telinga. Aku berputar, menyelisik setiap penjuru rumah. Mencari-cari darimana asal suara, tapi yang kutangkap hanya keberadaan keluarga Donovan. Saling meringkuk ketakutan di sudut rumah. Satu orang lagi yang harus kupastikan di sisiku, se
; BEFORE STAGE ; Gaun Ratu Guinevere punya corak dan bentuk yang unik ternyata. Agak berbeda dari gaun Eropa abad pertengahan yang cenderung terbuka, gaun itu membalut tubuh Aika secara tertutup dan membuatnya nyaman. Kesan sederhana, tapi mewah tercipta dari padu padan warna putih dan emas dengan motif sebuah mawar di dada. Bagian lengannya yang lebar terayun-ayun karena Aika berulang kali menggosok telapak tangan di depan cermin. Aika menekan lehernya, lalu berdeham pelan. Sepuluh menit lagi pertunjukkan akan dimulai. Jadi, tenggorokannya tak boleh gersang. “Kamu deg-degan ya?” Aika menyapa Aika di ruang rias sembari menyodorkan secangkir kecil teh. “Ah, hehe, iya, Bu. Terima kasih banyak, Aika minum, ya?” Izin Aika, lalu meneguk sedikit demi sedikit teh. Kehangatan seketika berselancar dari mulut, tenggorokan, hingga melemaskan syaraf yang sedaritadi tegang. “Ekhem ....” Aika mencoba berdeham lagi, mengecek pita suaranya. Kali ini, tidak ada tekanan dan Aika akhirnya bisa ber