Aurora tampak gelisah. Itu memberinya sedikit kepuasan. Ia ingin wanita itu merasakan kegelisahan yang sama seperti yang ia rasakan sejak berhari-hari lalu. Namun, semua itu buyar saat ia melihat sesuatu yang membuat darahnya mendidih.Andrew Smith.Pria itu berdiri terlalu dekat dan kemudian, pria itu mengulurkan tangan, mengajak Aurora berdansa.Henry merasa tubuhnya menegang. Jari-jarinya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Ia menyaksikan bagaimana Andrew memimpin Aurora ke lantai dansa, bagaimana tangan pria itu menyentuh pinggangnya, bagaimana tubuh mereka bergerak seirama dengan dentingan musik.Cemburu adalah api yang membakar dari dalam dan malam ini, api itu hampir melahap kewarasannya. Sial. Dia tidak bisa membiarkan ini.Henry menghirup napas dalam, lalu melangkah mantap menuju mereka.Saat musik berubah lebih lambat, ia menyelip di antara para pasangan dansa, mendekati Aurora yang sedang tersenyum tipis pada Andrew dan kemudian dengan suara yang dalam dan dingin, ia
Sebelum Aurora sempat bereaksi, semuanya terjadi begitu cepat.Pria itu tiba-tiba mendorong Andrew dengan kasar. Andrew terhuyung ke belakang sebelum jatuh tersungkur ke lantai marmer yang dingin.Aurora terbelalak. Apa yang terjadi?!Tanpa peringatan, pria itu mencengkeram lengannya dengan kasar. Jari-jarinya yang kuat mencengkeram pergelangan tangan Aurora hingga terasa sakit."Kamu harus ikut denganku!" Suaranya penuh ancaman.Aurora merasakan ketakutan menjalari tubuhnya. Bau alkohol dari pria itu semakin menusuk, membuat perutnya terasa mual."Lepaskan aku!" jeritnya panik, meronta sekuat tenaga.Ia menoleh ke belakang, berharap pada keajaiban.Andrew sudah bangkit! Wajahnya penuh amarah saat ia berusaha mengejar mereka.Namun, pria itu menyadarinya dan justru menyeret Aurora lebih cepat, hampir berlari ke arah pintu keluar gedung."Andrew, tolong aku!" teriaknya histeris."Aurora!" suara Andrew bergema di lorong, suaranya penuh kegelisahan.Di sisi lain gedung, Henry sedang berj
Pukul tujuh pagi, Aurora Stockwell berdiri dalam antrean di depan konter kedai kopi. Aroma biji kopi yang baru digiling seharusnya menenangkan, tapi pikirannya terlalu kacau untuk menikmati itu. Perusahaan tempatnya bekerja yang juga warisan ayahnya dan kini dikelola oleh kakaknya berada di ambang kebangkrutan. Jika itu terjadi, bukan hanya pekerjaannya yang hilang, tapi juga mata pencaharian banyak keluarga yang bergantung pada perusahaan tersebut dan semua ini salah Henry. Aurora mengepalkan jemarinya, menahan kemarahan yang hanya bisa didengar oleh batinnya sendiri. Dulu, hidupnya berjalan stabil. Ia seorang staf ahli keuangan dengan karier yang menjanjikan hingga hari itu terjadi---saat ia menabrak seorang pria di depan lift. Byur!Secangkir kopi tumpah, mengotori jas mahal pria itu. Henry Wilmington. Alih-alih marah, Henry justru terpesona. Ia jatuh cinta pada Aurora pada pandangan pertama, terpikat oleh mata biru tajamnya. Aurora teringat bagaimana pria itu merayunya dengan
Semilir angin pagi berhembus lembut saat Aurora melajukan mobil merahnya, menyusuri jalan yang mulai dipadati kendaraan. Di trotoar, anak-anak berjalan riang dengan tas punggung mereka, beberapa berlarian mengejar teman-temannya menuju sekolah. Saat lampu lalu lintas berubah merah, Aurora menghentikan mobilnya. Seorang pria paruh baya melintas di depan kap mobilnya, lalu tersenyum ramah. Aurora membalas senyumnya, meski pikirannya jauh dari momen itu. Lampu hijau menyala. Aurora kembali melajukan mobilnya, tetapi dadanya terasa sesak. Jemarinya mencengkeram erat kemudi setiap kali bayangan Henry muncul di benaknya. Pria itu muncul begitu tiba-tiba, menatapnya dengan mata cokelat hangat yang dulu begitu ia sukai, tapi Aurora tidak akan tertipu lagi. Ada sesuatu di balik kehadiran Henry—ia yakin itu. Pria itu bukan tipe yang melakukan sesuatu tanpa alasan dan ia tidak boleh terjebak dalam permainan Henry lagi. Mobil merah itu akhirnya memasuki kawasan pelabuhan, di mana gedung pelel
Dua tahun pernikahan dengan laki-laki itu telah berakhir dalam puing-puing perceraian, dan kini berdiri di hadapannya adalah seseorang yang pernah ia cintai sepenuh hati sekaligus melukai dan menghancurkannya tanpa ampun.Tatapannya penuh gejolak—amarah yang membara, kekecewaan yang menusuk, dan luka yang masih menganga. Perasaannya berantakan, seperti dihantam badai tanpa belas kasihan, menelannya dalam pusaran rasa sakit yang nyaris tak tertanggungkan.Aurora mengamati Henry dengan saksama, mencoba menemukan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang bisa membuatnya merasa lebih asing terhadap pria itu, tapi tidak. Henry masih seperti dulu. Rahang tegas yang terukir sempurna, senyum setengah malas yang pernah membuatnya jatuh cinta, hidung tinggi yang seakan menambah kesombongannya, dan bibir yang begitu mudah melontarkan janji-janji yang dulu ia percayai. Daya pikatnya tetap kuat, begitu memabukkan, seperti racun yang diam-diam menyelinap ke dalam darahnya.Henry adalah laki-laki yang tahu
Bibir Aurora merekah, menyambut sentuhan yang begitu akrab namun tetap membuai. Awalnya, ia membalasnya dengan ragu, malu-malu, tapi Henry tak memberi ruang untuk kebimbangan. Pria itu memperdalam ciumannya, lebih lembut, lebih menuntut, seakan ingin mengingatkan Aurora akan semua rasa yang dulu pernah mereka bagi.Dada Henry bergetar saat bibir ranum itu akhirnya sepenuhnya menyatu dengan miliknya. Napasnya semakin berat, seiring dengan hasrat yang menggelegak di dalam dirinya. Ia merasakan manisnya, merasakan Aurora yang perlahan-lahan menyerah dalam dekapannya.Ia ingin lebih. Ia butuh lebih."Aurora...." desah Henry, suaranya dalam dan serak, penuh gairah yang nyaris membuatnya kehilangan kendali.Aurora terperangkap dalam pesona Henry. Pria itu begitu tampan dalam cahaya temaram, dengan sorot matanya yang teduh namun berbahaya. Rahangnya yang kuat dan ekspresi menggoda membuat Aurora semakin tenggelam.Henry menarik diri, hanya untuk menempelkan dahinya ke dahi Aurora, berusaha m
Henry melangkah perlahan ke jendela, membuka daun jendela hingga sinar matahari pagi masuk dan menyelimuti ruangan dengan cahaya keemasan. Angin sepoi-sepoi membawa aroma laut yang segar, membuat suasana semakin tenang dan hangat.Matanya kemudian tertuju pada sosok yang masih terlelap di tempat tidur. Aurora tidur dengan damai, napasnya teratur, wajahnya begitu lembut dalam keheningan pagi. Sejenak Henry hanya berdiri, mengamati wanita yang selalu mengisi pikirannya, wanita yang dulu pernah menjadi miliknya.Dengan hati-hati, ia duduk di tepi tempat tidur, tatapannya tak lepas dari wajah Aurora. Rambut coklat wanita itu terserak di atas bantal, berkilauan tertimpa cahaya pagi. Kulitnya tampak bersih dan bercahaya, pundaknya yang telanjang terlihat begitu halus di bawah selimut yang melorot.Tanpa sadar, Henry mengulurkan tangan, membelai perlahan helaian rambut yang jatuh di pipi Aurora. Sentuhan ringan itu membuat wanita itu menggerakkan tubuhnya sedikit, kelopak matanya mulai berge
"Aurora?" Suara Henry terdengar dari arah pintu. Ada nada menggoda di dalamnya, tetapi juga sedikit gelisah. "Kamu sudah selesai mandi, Cantik?" Henry melangkah mendekat, napasnya terdengar sedikit lebih berat dari biasanya. Ponselnya kini telah dimatikan, percakapannya dengan William terputus begitu saja. Saat jaraknya kian menipis, ia menarik Aurora ke dalam pelukannya. Sejenak, Aurora menutup mata. Hangat. Dekapan Henry selalu membuatnya merasa aman. Namun, sesaat kemudian— "Dia tidak akan tahu bahwa aku penyebab kebangkrutan perusahaannya." Suara Henry kembali menggema di kepalanya. Aurora tersentak. Dalam sekejap, kehangatan yang tadi membungkusnya berubah menjadi bara yang membakar dada. Matanya terbelalak, tubuhnya menegang di dalam pelukan Henry sebelum ia akhirnya mendorong tubuh pria itu menjauh. Henry terkejut. Ia melihat Aurora mundur beberapa langkah, menciptakan jarak yang kini terasa begitu lebar. "Aurora." Aurora memejamkan mata erat-erat, mencoba mengendali
Sebelum Aurora sempat bereaksi, semuanya terjadi begitu cepat.Pria itu tiba-tiba mendorong Andrew dengan kasar. Andrew terhuyung ke belakang sebelum jatuh tersungkur ke lantai marmer yang dingin.Aurora terbelalak. Apa yang terjadi?!Tanpa peringatan, pria itu mencengkeram lengannya dengan kasar. Jari-jarinya yang kuat mencengkeram pergelangan tangan Aurora hingga terasa sakit."Kamu harus ikut denganku!" Suaranya penuh ancaman.Aurora merasakan ketakutan menjalari tubuhnya. Bau alkohol dari pria itu semakin menusuk, membuat perutnya terasa mual."Lepaskan aku!" jeritnya panik, meronta sekuat tenaga.Ia menoleh ke belakang, berharap pada keajaiban.Andrew sudah bangkit! Wajahnya penuh amarah saat ia berusaha mengejar mereka.Namun, pria itu menyadarinya dan justru menyeret Aurora lebih cepat, hampir berlari ke arah pintu keluar gedung."Andrew, tolong aku!" teriaknya histeris."Aurora!" suara Andrew bergema di lorong, suaranya penuh kegelisahan.Di sisi lain gedung, Henry sedang berj
Aurora tampak gelisah. Itu memberinya sedikit kepuasan. Ia ingin wanita itu merasakan kegelisahan yang sama seperti yang ia rasakan sejak berhari-hari lalu. Namun, semua itu buyar saat ia melihat sesuatu yang membuat darahnya mendidih.Andrew Smith.Pria itu berdiri terlalu dekat dan kemudian, pria itu mengulurkan tangan, mengajak Aurora berdansa.Henry merasa tubuhnya menegang. Jari-jarinya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Ia menyaksikan bagaimana Andrew memimpin Aurora ke lantai dansa, bagaimana tangan pria itu menyentuh pinggangnya, bagaimana tubuh mereka bergerak seirama dengan dentingan musik.Cemburu adalah api yang membakar dari dalam dan malam ini, api itu hampir melahap kewarasannya. Sial. Dia tidak bisa membiarkan ini.Henry menghirup napas dalam, lalu melangkah mantap menuju mereka.Saat musik berubah lebih lambat, ia menyelip di antara para pasangan dansa, mendekati Aurora yang sedang tersenyum tipis pada Andrew dan kemudian dengan suara yang dalam dan dingin, ia
“Tidak ada lagi revisi setelah ini?” tanyanya dingin. “Tidak, ini final. Setelah ini merger akan diumumkan ke publik,” jawab Clara cepat, mencoba membaca suasana hati bosnya. Henry akhirnya mengambil pena itu. Dengan satu tarikan tegas, ia membubuhkan tanda tangannya. Seketika ruangan bergemuruh oleh suara ucapan selamat. Beberapa orang berdiri dan menjabat tangan Henry. Tapi dia hanya memberikan senyum tipis, sopan dan datar, seperti bayangan di kaca. “Terima kasih atas waktunya,” ucap Henry singkat, berdiri. “Saya ada penerbangan segera. Clara, koordinasikan sisanya.” Clara mengangguk, sedikit cemas. “Apakah saya perlu ikut ke Berlin, Tuan?” Henry berhenti sejenak, menatapnya. “Tidak. Ini urusan pribadi.” Kemudian ia berbalik, melangkah keluar ruang rapat tanpa banyak bicara. Langkahnya cepat, mantap, dan tanpa ragu. Kali ini, tidak ada yang akan menghalanginya. Tidak bisnis, tidak juga logika. Ia sudah terlalu lama menunda perasaannya. Kini, waktunya mengejar sesuatu yang
Yolanda menggigit bibir. "Aku… aku cuma—" Henry melangkah maju, nadanya dalam dan penuh tekanan. "Jangan bohong lagi, Yolanda! Aku dengar semuanya dari awal." Yolanda terdiam. Henry mendekat, sorot matanya menyala. "Kamu hancurkan hidupku. Kamu bikin aku menyakiti orang yang paling aku sayang di dunia ini. Kamu manipulasi aku waktu aku paling rapuh. Apa kamu sadar apa yang kamu lakukan?!" "Henry, aku cinta kamu!" pekik Yolanda tiba-tiba. "Aku cuma ingin kamu sadar kalau Aurora itu tidal layak untukmu!" "Diam!" bentak Henry, suaranya menggetarkan ruangan. "Cinta? Kamu sebut itu cinta?! Kamu cuma obsesif, Yolanda. Kamu tega menjatuhkan orang lain demi rasa posesifmu yang sakit." Wajah Yolanda mulai berkaca-kaca, tapi Henry tak goyah. "Mulai hari ini, kamu keluar dari hidupku. Satu langkah lagi kamu ganggu Aurora, dan aku pastikan kamu dihukum atas semua fitnah yang kamu sebarkan." Yolanda membuka mulut hendak membela diri, tapi Henry mengangkat tangan, menghentikannya.
Suasana kota London pagi itu terasa hening dari lantai atas apartemen Henry. Hujan rintik-rintik di pagi hari membasahi jendela kaca yang besar, menciptakan irama lembut yang menenangkan. Henry baru saja keluar dari kamarnya, hendak menuju dapur untuk mengambil air. Ia baru saja selesai mandi dan lupa membawa ponselnya yang tertinggal di meja nakas. Ia melangkah ringan di lorong, mengenakan kaus hitam dan celana tidur. Namun langkahnya terhenti seketika saat mendengar suara Yolanda dari kamarnya. Suara percakapan Yolanda yang begitu lantang membuatnya ragu. Ia menyipitkan mata, berdiri setengah tersembunyi di balik dinding. "Iya, semuanya berjalan sesuai rencana," suara Yolanda terdengar jelas, penuh kebanggaan. Ia sedang berbicara di telepon. Henry menahan napas, tubuhnya seketika kaku. "Dia mabuk berat malam itu. Dia bahkan tidak sadar apa yang terjadi." Yolanda tertawa kecil, geli sendiri. Henry membelalak. “Dan mengenai foto itu, saat Aurora dicium oleh Jordan, sepertinya
Kota Berlin di pagi hari terlihat indah dari balik jendela hotel bintang lima tempat mereka menginap. Aurora berdiri membelakangi pemandangan, menggenggam cangkir teh chamomile hangat. Hatinya masih kacau, pikirannya masih berputar pada Henry, meskipun ia sudah ratusan kali berkata pada dirinya bahwa ini sudah keputusan terbaik. Andrew mengetuk pintu kamarnya pelan. “Aurora?” Ia membuka pintu, masih mengenakan setelan tidur sutra abu-abu lembut. “Ada apa?” Andrew berdiri di ambang pintu dengan senyum ramah, mengenakan kaus putih dan celana lounge. "Tadi aku pesen cokelat panas. Kalau kamu mau—” Ponsel Aurora bergetar di tangan. Ia menunduk, mengerutkan alis. Nama pengirim: Yolanda. “Sebentar ya.” Ia mundur masuk ke kamar dan menutup pintu perlahan sebelum membuka pesan tersebut. Pesan pertama: Ada yang merindukan dia? Tertempel di bawahnya: sebuah foto. Aurora nyaris menjatuhkan ponsel saat melihat gambar itu. Sebuah tempat tidur berantakan, seprai putih, dan sosok Hen
Florien terdiam. Ia sebenarnya ingin tetap diam, ingin membiarkan Henry menanggung akibat dari kebodohannya sendiri. Tapi di satu sisi, ia tahu kakaknya masih mencintai Aurora dan jauh di dalam hati kecilnya, Florien percaya—mereka masih punya kesempatan. Ia akhirnya berkata pelan, “Dia ke Berlin.” Henry terkejut. “Berlin? Sendirian?” “Enggak juga. Dia pergi sama pengacaranya. Andrew Smith.” Seketika Henry merasa sesak. “Untuk apa?” tanyanya. Florien menjawab singkat, “Mengurus properti pribadi, dan menghadiri peluncuran koleksi perhiasan terbaru dari Beian.” Henry membeku. Acara itu internasional, dihadiri banyak tokoh penting. Aurora akan berada di pusat perhatian, mengenakan gaun terbaiknya, dengan tatapan tenang seperti biasa. Dan dia? Ia bahkan tak tahu kalau wanita yang ia cinta sudah sejauh itu meninggalkannya. “Mungkin ini waktumu membenahi segalanya,” ucap Florien pelan. “Atau kalau kamu tidak cepat, mungkin kamu harus siap kehilangan dia selamanya.” Telepon
Keesokan harinya, media sosial masih dipenuhi potongan-potongan video saat Henry memeluk Yolanda di acara peluncuran proyek. Judul-judul headline makin menggila: “Cinta CEO dan Pewaris Muda, Keluarga Besar Wilmington Group Restui Hubungan Mereka?” — “Aurora dan Henry Resmi Berakhir?” Aurora membaca semuanya dengan tatapan datar, tapi isi dadanya berkecamuk seperti kapal karam. Ia bukan lagi topik utama, tapi entah kenapa rasanya jauh lebih menyakitkan saat tidak diperhitungkan sama sekali. Florien menutup laptopnya, menghela napas. “Aku tahu kamu lelah.” Aurora mengangguk. “Aku lelah berharap.” “Kalau begitu berhentilah.” “Aku sudah, tapi rasa sakit ini tetap tinggal.” Florien menggenggam tangan Aurora. “Kalau kamu perlu pergi jauh untuk benar-benar sembuh." Aurora menoleh. “Meninggalkan semuanya?” “Untuk menyelamatkanmu dari dirimu sendiri.” *** Aurora duduk di ruangannya yang kini terasa terlalu besar, terlalu sunyi. Komputer menyala, email-email belum terbaca menumpuk, ta
Esok paginya, foto itu tersebar. Kini giliran Henry yang menjadi bahan gosip. Aurora melihatnya di ponsel Florien. Tidak ada satu otot pun di wajahnya yang bergerak. Ia hanya menyerahkan kembali ponsel itu dan berkata, “Kopi pagi ini hambar sekali, ya.” Florien hampir melempar meja. “Astaga, Aurora! Kamu nggak bisa terus-terusan mematikan perasaanmu seperti ini!” “Kalau kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan?” bisik Aurora sambil menatap Florien tajam. Florien terdiam. “Kalau kamu sudah menjelaskan, sudah memohon untuk dipercaya, tapi tetap dianggap pengkhianat, kamu masih akan berjuang?” Florien tidak menjawab. Aurora melanjutkan dengan lirih, “Aku hanya tidak ingin menghancurkan diriku sendiri untuk seseorang yang tidak pernah percaya padaku.” Sementara itu di apartemen Henry sore harinya, Henry kembali gelisah. Bukannya merasa menang, ia justru makin terpuruk. Aurora tetap tak bergeming. Tidak ada ledakan emosi, tidak ada air mata, tidak ada cinta? “Dia benar-benar sudah