Home / Romansa / Atasan Posesif itu Mantan Suamiku / Bab 5. Permainan yang berbahaya

Share

Bab 5. Permainan yang berbahaya

Author: Miarosa
last update Last Updated: 2025-02-27 13:04:35

Henry melangkah perlahan ke jendela, membuka daun jendela hingga sinar matahari pagi masuk dan menyelimuti ruangan dengan cahaya keemasan. Angin sepoi-sepoi membawa aroma laut yang segar, membuat suasana semakin tenang dan hangat.

Matanya kemudian tertuju pada sosok yang masih terlelap di tempat tidur. Aurora tidur dengan damai, napasnya teratur, wajahnya begitu lembut dalam keheningan pagi. Sejenak Henry hanya berdiri, mengamati wanita yang selalu mengisi pikirannya, wanita yang dulu pernah menjadi miliknya.

Dengan hati-hati, ia duduk di tepi tempat tidur, tatapannya tak lepas dari wajah Aurora. Rambut coklat wanita itu terserak di atas bantal, berkilauan tertimpa cahaya pagi. Kulitnya tampak bersih dan bercahaya, pundaknya yang telanjang terlihat begitu halus di bawah selimut yang melorot.

Tanpa sadar, Henry mengulurkan tangan, membelai perlahan helaian rambut yang jatuh di pipi Aurora. Sentuhan ringan itu membuat wanita itu menggerakkan tubuhnya sedikit, kelopak matanya mulai bergetar. Perlahan, bulu mata lentiknya terbuka, menampilkan sepasang mata yang masih berselimut kantuk namun memancarkan sesuatu yang hangat, sesuatu yang selama ini Henry rindukan.

Pandangan mereka bertemu. Untuk beberapa saat, waktu terasa berhenti.

Aurora menggeliat kecil, merasakan kehangatan yang membuai tubuhnya. Ia mendesah pelan, lalu tanpa sadar meringkuk ke arah sumber kehangatan itu—Henry.

Henry tersenyum, suara baritonnya terdengar rendah dan serak saat berbisik, “Selamat pagi, Cintaku!"

Aurora membeku sejenak. Dada dan pikirannya bergolak begitu mendengar kata-kata itu. Kenangan semalam kembali menyerbu kesadarannya, menghangatkan seluruh tubuhnya dalam sekejap. Pipinya bersemu merah, mengingat betapa mudahnya ia kembali tenggelam dalam pesona Henry. Ia menggigit bibir bawahnya, merasakan jejak ciuman Henry masih tertinggal di sana.

Mata Henry yang tajam tak melepaskan Aurora. Ada senyum menggoda di bibir lelaki itu, senyum yang selalu berhasil meruntuhkan pertahanan Aurora.

“Aku….” Aurora mencoba bicara, tapi sebelum satu kata pun meluncur, Henry sudah lebih dulu menutup mulutnya dengan ciuman.

Bibirnya menyatu dengan bibir Henry dalam kehangatan yang menyesakkan. Henry menciumnya dengan lembut namun menuntut, menyapu bibirnya, membuka, lalu menyelipkan lidahnya dengan gerakan yang begitu menguasai. Aurora mengerang pelan saat lidah mereka bertemu, saling membelai dan mengeksplorasi, seolah ingin menghapus jarak yang pernah ada di antara mereka.

Ketika akhirnya Henry melepaskan ciumannya, ia tidak langsung menjauh. Sebaliknya, ia memberikan kecupan-kecupan kecil yang menggoda di sudut bibir Aurora, membuat napas wanita itu tersengal.

Tangannya turun, membelai pinggul Aurora dengan lembut, ibu jarinya berputar-putar di tulang pinggulnya, menimbulkan sensasi geli yang membuat Aurora gemetar.

Henry menatapnya dengan seringai penuh godaan. “Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu mandi,” bisiknya serak, lalu matanya menyipit nakal. “Atau kamu lebih suka mandi bersamaku?”

Sebuah senyum miring khas Henry terukir di wajahnya, membuat Aurora semakin terjebak dalam pesona pria itu.

Bola mata Aurora membulat lebar sebelum akhirnya wajahnya merona dalam semburat merah muda. Ia menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Ti-tidak. Aku akan mandi sendiri," ucapnya terbata, suaranya nyaris tak terdengar.

Senyuman miring Henry semakin dalam, tatapannya tetap terkunci pada Aurora seolah menantangnya untuk mengubah keputusan. Aurora menelan ludah. Ia merasakan bagaimana mata Henry mengikutinya ke mana pun ia bergerak, menelusuri setiap jengkal tubuhnya yang masih terlindungi oleh selimut.

Dengan jantung yang berdebar kencang, Aurora menyibakkan selimut dan melangkah turun dari tempat tidur. Sensasi panas menjalari kulitnya ketika menyadari betapa intensnya sorot mata Henry yang tak sedikit pun berpaling. Segera, ia bergegas menuju kamar mandi, seolah dikejar sesuatu yang tak kasatmata.

Begitu pintu tertutup, Aurora menyandarkan punggungnya, menekan dadanya yang naik-turun, mencoba menenangkan diri. Ia memejamkan mata, mengatur napas yang terasa tersengal.

Saat akhirnya ia membuka mata, aroma lavender yang lembut menyambutnya. Seperti yang dikatakan Henry, bathtub telah dipersiapkan dengan air hangat yang penuh dengan busa sabun. Lilin aroma terapi menyala di sudut ruangan, menciptakan atmosfer yang begitu menenangkan.

Aurora perlahan melangkahkan kakinya ke dalam air, membiarkan kehangatan menyelimuti tubuhnya. Sensasi relaksasi merayapi setiap ototnya, membuatnya tenggelam dalam ketenangan sesaat.

Namun, ketenangan itu hanya bertahan sebentar. Bayangan semalam muncul dalam kepalanya, membangkitkan sensasi yang masih melekat di kulitnya. Sentuhan Henry, bisikannya, tatapan mata penuh intensitas yang seakan mampu menelanjanginya tanpa perlu menyentuh. Aurora terkesiap, menggigit bibir bawahnya dengan frustasi.

Ia tak boleh terbuai. Tidak lagi.

Tujuan awalnya ke sini hanya untuk makan malam, tapi kenyataannya? Ia justru menyerahkan dirinya kepada Henry. Seharusnya ia menolak, seharusnya ia menjaga jarak, tapi tubuh dan hatinya mengkhianatinya.

Aurora menggeleng, mencoba mengusir perasaan itu, tapi semakin ia berusaha melupakan, semakin kuat kesadaran itu menghantamnya. Sialnya, ia masih mencintai Henry, bahkan lebih dari yang ia sadari.

Aurora menatap pantulan dirinya di air yang beriak. Ada sesuatu yang berbeda dalam perlakuan Henry kali ini. Lebih lembut, lebih manis, lebih perhatian. Sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan selama mereka menikah dulu.

Apa ini hanya permainan Henry? Atau… apakah Henry sungguh-sungguh kali ini?

***

Di luar, di kamar tidur, Henry terduduk di tepi ranjang sambil meraih ponselnya yang bergetar di atas nakas. Nama William, sepupunya, muncul di layar.

Dengan satu tarikan napas, ia menjawab.

"Aku kira kamu masih bergelung di tempat tidur bersama Aurora," goda William dari seberang telepon.

Henry tersenyum samar, melirik ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup. "Kami sudah bangun. Aurora sedang mandi."

Ada jeda singkat sebelum suara William kembali terdengar, kali ini dengan nada tak percaya. "Jadi kamu benar-benar berhasil tidur dengannya?"

Henry mengembuskan napas pelan, memastikan tak ada siapa pun di sekitarnya sebelum menjawab. Pandangannya kembali tertuju ke pintu kamar mandi, senyuman penuh kemenangan terukir di wajahnya.

"Iya," suaranya terdengar rendah namun penuh keyakinan. "Seperti yang aku rencanakan. Aku sudah bilang padamu, Aurora masih mencintaiku dan aku akan mendapatkannya kembali, apa pun caranya."

"Jadi, dia sudah menerimamu kembali?"

Henry menyandarkan punggungnya ke kursi, satu tangan mengusap wajahnya sementara matanya tetap tertuju pada pintu kamar mandi. "Aurora tidak mengatakan apa pun," suaranya terdengar pelan, seolah merenung. "Tapi setelah apa yang terjadi semalam. Aku yakin, dia akan kembali padaku."

William tertawa kecil dari seberang telepon. "Kamu percaya diri sekali, tapi jangan terlalu santai. Kalau kamu tidak bergerak cepat, Auroramu yang tersayang bisa saja jatuh ke pelukan pria lain."

Kata-kata itu membuat tubuh Henry menegang seketika. Rahangnya mengeras, jemarinya mencengkeram ponsel lebih erat. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya terdengar lebih rendah, lebih tajam.

William menghela napas. "Jangan bilang kamu benar-benar tidak tahu soal gosip itu?"

Jantung Henry berdetak lebih cepat. Perasaan tidak nyaman mulai merayapi pikirannya. "Gosip apa?"

Ada jeda sebelum William akhirnya menjawab, dan saat kata-kata itu meluncur, Henry merasakan darahnya mendidih.

"Andrew Smith. Pengacara barunya. Kabarnya dia menyukai mantan istrimu dan akhir-akhir ini mereka sering terlihat bersama."

Seakan ada tangan tak kasatmata yang meremas dadanya. Rasa panas menjalar ke sekujur tubuhnya, kemarahan dan cemburu bercampur menjadi satu. Matanya menyipit, ekspresinya berubah gelap. Genggaman pada ponselnya semakin kuat hingga buku-buku jarinya memutih.

Andrew Smith?

Lelaki sialan itu?

Dada Henry berdegup keras, napasnya memburu. Bagaimana mungkin dia tidak tahu? Sejak kapan Aurora dekat dengan pria itu? Apa benar ada sesuatu di antara mereka?

Suara William kembali terdengar, membuyarkan pikirannya. "Henry? Kamu masih di sana?"

Henry mengatupkan rahangnya rapat, berusaha menekan gejolak yang bergolak dalam dirinya. "Aku di sini," jawabnya, meski suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya. "Itu hanya gosip. Belum tentu ada hubungan di antara mereka."

William mendengus. "Mungkin saja kamu tidak tahu."

Henry mengepalkan tangan, matanya berkilat penuh tekad. "Jika memang benar mereka punya hubungan.…" Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan berat. "Aku tidak akan membiarkannya."

Matanya kini berkilat penuh kepemilikan. "Aurora hanya milikku. Hanya milikku. Tidak akan ada pria lain yang bisa merebutnya dariku."

Di seberang telepon, William menghela napas panjang. "Aku benar-benar tidak mengerti, Henry," katanya, suaranya terdengar letih. "Kalau kau masih mencintainya, kenapa dulu kau menceraikannya?"

Dan untuk pertama kalinya, Henry tak punya jawaban.

Henry terdiam. Matanya memanas, dadanya terasa sesak. Gelombang penyesalan menghantamnya bertubi-tubi, membawa kembali kenangan pahit yang selama ini coba ia kubur. Ia mengutuk dirinya sendiri, keegoisan, kekasaran, dan amarah yang meledak-ledak dua tahun lalu telah menghancurkan segalanya.

"Itu karena aku terlalu marah pada Aurora," gumamnya lirih, suaranya terdengar lebih berat. "Dia tidak bisa mengerti diriku, dan aku... aku tidak bisa menjadi pria yang dia inginkan." Henry menatap kosong ke luar jendela, rahangnya mengatup erat. "Kau tahu sendiri, William, sebagian besar hidupku kuhabiskan untuk bekerja. Dan sekarang..." Ia tertawa getir, "Aku menyadari kesalahanku. Seharusnya aku lebih memperhatikannya. Seharusnya aku membuatnya merasa dicintai."

William menghela napas panjang. "Kalau begitu, lakukan sesuatu. Cobalah jadi pria yang lebih romantis, lebih perhatian! Jangan terus-menerus terobsesi dengan pekerjaan!"

Henry mengusap wajahnya yang terasa panas. "Aku sedang mencobanya." Suaranya nyaris seperti bisikan. "Aku hanya berharap Aurora mau kembali padaku, bahwa dia bisa memaafkanku."

Matanya menatap kosong ke dalam cangkir kopi yang ia genggam. "Aku akan mendapatkan kembali apa yang seharusnya menjadi milikku."

Tapi maukah Aurora benar-benar memaafkannya?

Pikiran itu menamparnya seperti tamparan dingin yang menyakitkan. Penyesalan terus membebat dadanya, membuatnya nyaris tenggelam dalam kesalahan masa lalunya. Dengan gerakan lambat, Henry meraih cangkir kopi dan menyesapnya, mencoba mengusir kekacauan di kepalanya.

Lalu suara William kembali terdengar, membawa ketegangan baru yang mencengkeram hati Henry.

"Jangan sampai Aurora tahu bahwa kau adalah dalang di balik kebangkrutan keluarganya."

Jari-jari Henry menegang di sekeliling cangkirnya. Dengan nada rendah, ia menjawab dengan keyakinan dingin, "Dia tidak akan pernah tahu."

Namun sebelum Henry sempat bernapas lega...

"Kamu bilang apa?"

Sebuah suara mengejutkan membekukan tubuhnya. Matanya langsung terangkat, dan di sana, berdiri di ambang pintu kamar mandi, Aurora menatapnya dengan pandangan yang sulit ia artikan. Tubuhnya masih terbungkus handuk, rambut basahnya meneteskan air ke kulitnya yang kemerahan akibat kehangatan air. Namun bukan itu yang membuat jantung Henry berdebar kencang melainkan tatapan Aurora.

Tatapan yang menusuk, tajam, penuh kecurigaan.

Dada Henry terasa seperti diremas. Ia tidak tahu sejak kapan Aurora berdiri di sana, seberapa banyak yang telah ia dengar, tapi yang jelas, wanita itu melihat sesuatu dalam dirinya yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Henry merasa takut.

Takut bahwa rahasianya akan terungkap. Takut bahwa dia benar-benar akan kehilangan Aurora untuk selamanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 6. Retaknya kepercayaan

    "Aurora?" Suara Henry terdengar dari arah pintu. Ada nada menggoda di dalamnya, tetapi juga sedikit gelisah. "Kamu sudah selesai mandi, Cantik?" Henry melangkah mendekat, napasnya terdengar sedikit lebih berat dari biasanya. Ponselnya kini telah dimatikan, percakapannya dengan William terputus begitu saja. Saat jaraknya kian menipis, ia menarik Aurora ke dalam pelukannya. Sejenak, Aurora menutup mata. Hangat. Dekapan Henry selalu membuatnya merasa aman. Namun, sesaat kemudian— "Dia tidak akan tahu bahwa aku penyebab kebangkrutan perusahaannya." Suara Henry kembali menggema di kepalanya. Aurora tersentak. Dalam sekejap, kehangatan yang tadi membungkusnya berubah menjadi bara yang membakar dada. Matanya terbelalak, tubuhnya menegang di dalam pelukan Henry sebelum ia akhirnya mendorong tubuh pria itu menjauh. Henry terkejut. Ia melihat Aurora mundur beberapa langkah, menciptakan jarak yang kini terasa begitu lebar. "Aurora." Aurora memejamkan mata erat-erat, mencoba mengendali

    Last Updated : 2025-03-18
  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 7. Amarah dan air mata

    Tapi Aurora menggeleng. "Jangan sebut namaku dengan suara itu." Air matanya terus mengalir, tetapi matanya memancarkan amarah dan luka yang begitu dalam.Tatapannya menembus dada Henry, menghancurkan segala harapan yang ia bangun."Kamu brengsek!" serunya.Tanpa menunggu apa pun lagi, Aurora meraih pegangan pintu, membukanya dengan kasar, lalu melangkah pergi tanpa menoleh.Henry hanya bisa berdiri terpaku, matanya menatap punggung wanita yang semakin menjauh. Ia ingin berlari mengejarnya, ingin menahan tangan itu, ingin berlutut di hadapannya dan memohon kesempatan terakhir, tapi tubuhnya tetap tak bergerak, seolah jiwanya ikut pergi bersama wanita itu.Saat suara pintu tertutup dengan keras, Henry merosot lemas ke kursi."Brengsek!"Dengan amarah yang tak bisa ia arahkan ke siapa pun selain dirinya sendiri, Henry menghantam meja di depannya berulang kali. Suara dentuman keras memenuhi ruangan, tetapi itu tidak cukup untuk meredam rasa frustrasi yang membakar dadanya.Tubuhnya berget

    Last Updated : 2025-03-18
  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 8. Jejak yang ingin di hapus

    Dengan sisa tenaga yang ia punya, ia bangkit, berjalan tertatih ke ranjangnya, lalu membiarkan tubuhnya terhempas ke atas kasur. Seluruh tenaganya habis, tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan Henry. Suara pria itu, tatapan matanya, semua terasa begitu nyata.Aurora menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia ingin melupakan. Ia ingin menghapus setiap jejak Henry dalam hidupnya. Namun, bagaimana caranya jika setiap napas yang ia hirup terasa begitu penuh dengan kehadiran pria itu?Perlahan, matanya terpejam. Ia terlalu lelah untuk melawan pikirannya sendiri. Namun, bahkan dalam tidurnya, bayangan Henry masih menghantuinya.Keesokan Paginya, Aurora terbangun dengan mata sembab dan kepala yang terasa berat. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—wajahnya pucat, kantung matanya menghitam, bibirnya kering.Ia menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan sisa keberaniannya. Tidak peduli seberapa hancurnya dirinya, hidup harus terus berjalan. Ia tidak akan membiarkan Henry menguasai pikirannya

    Last Updated : 2025-03-18
  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 9. janji manis

    Aurora mengangguk, rahangnya mengeras. "Benar. Kemarin kami bertemu dan kami sempat bermalam bersama." Keheningan mendadak menyergap ruangan. Mata Vernon dan Florien membelalak penuh keterkejutan, sementara Aurora menjatuhkan tubuhnya ke kursi, seakan bebannya menjadi semakin berat. Setiap kali membicarakan Henry, dadanya terasa sesak, emosinya semakin memuncak, seolah siap meledak kapan saja. "Itu artinya kalian kembali bersama?" Vernon bertanya, nadanya terdengar penuh harapan. Aurora tertawa pendek, namun tanpa kebahagiaan sedikit pun. "Hampir saja," suaranya penuh ironi. "Tapi Henry menghancurkan semuanya. Aku tidak peduli lagi dengan tawarannya. Tidak peduli dengan janji-janji manisnya!" Vernon menatapnya dengan kebingungan. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya, merasa tak mengerti bagaimana menghadapi adiknya yang kini terlihat seperti bom waktu yang siap meledak. Ruangan terasa semakin mencekam. Tatapan Aurora dipenuhi amarah, bola matanya yang biru seperti lautan

    Last Updated : 2025-03-21
  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 10. Bisnis adalah bisnis

    Lalu, ponselnya kembali berdering. Kali ini, dengan enggan, ia mengangkatnya. Suara nyaring Florien langsung meledak dari seberang, membuat Henry meringis dan menjauhkan ponsel dari telinganya. "Hei, pelankan suaramu!" "Kenapa kamu tidak menjawab teleponku dan tidak membalas pesanku?" Suara adiknya terdengar jelas kesal. Henry mengusap wajahnya dengan letih. "Maaf. Aku sibuk." Florien mendecak. "Ada apa denganmu? Aku mencarimu ke mana-mana. Kamu di mana sekarang?" "Di vila." Terdengar tarikan napas dari seberang. "Aku sudah tahu semuanya. Aku bertemu Aurora di kantor Vernon, dan dia… dia menceritakan semuanya." Dada Henry mencengkung, seakan seseorang menekan sesuatu yang berat di atasnya. "Jadi kamu bertemu dengannya?" "Iya. Dan dia sangat marah padamu." Henry tersenyum getir. "Tentu saja dia marah. Dia berhak marah." Florien terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Segeralah pulang! Aku ingin bicara denganmu." Henry menyandarkan kepalanya ke sofa, menatap lan

    Last Updated : 2025-03-21
  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 11. Menyelamatanku?

    Setelah rapat selesai dan semua dokumen ditandatangani, Aurora merasakan dadanya sesak. Rasanya seperti menjual bagian dari hidupnya sendiri—sebagian besar Blue Sea Corp bukan lagi miliknya, melainkan bagian dari Wilmington Group yang dipimpin oleh pria yang pernah ia cintai dan benci dalam waktu yang bersamaan. Vernon menepuk punggungnya dengan lembut. “Kau baik-baik saja?” Aurora menarik napas dalam dan mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja.” Tapi itu bohong. Ketika Henry berdiri dari kursinya, memasukkan tangannya ke dalam saku jas dengan ekspresi yang nyaris tak terbaca, Aurora merasakan amarah sekaligus perasaan lain yang tak bisa ia jelaskan. Pria itu telah mengambil segalanya darinya, dan sekarang, ia juga mengambil kendali atas hidupnya di perusahaan. Sebelum Henry berbalik pergi, Aurora berbicara, suaranya rendah tapi tajam. “Kau menikmati ini, bukan?” Henry berhenti di tempatnya, lalu menoleh. Tatapan matanya dalam, ada sesuatu yang mengintai di sana—sebuah emosi

    Last Updated : 2025-03-21
  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 13. Kehanhatan cangkir kopi

    Ruangan itu langsung hening. Erik mengerjapkan mata, tampak tidak siap dengan jawaban itu. Beberapa orang yang sebelumnya tampak skeptis kini mulai duduk lebih tegak, menunggu reaksi selanjutnya. Aurora tidak memberinya waktu untuk membalas. Ia meletakkan beberapa laporan di atas meja, lalu melanjutkan, "Aku tidak meminta kalian untuk langsung setuju denganku sekarang. Aku hanya ingin kalian memberi kesempatan untuk melihat datanya lebih dalam. Kita akan membahas ulang dalam dua hari. Deal?" Beberapa orang saling bertukar pandang sebelum akhirnya mengangguk pelan. Aurora menahan napas sejenak, merasakan ketegangan di bahunya mulai mengendur. Ini baru langkah pertama, tapi setidaknya ia berhasil mengendalikan situasi. Setelah rapat berakhir, Aurora kembali ke ruangannya. Ia menghempaskan diri ke kursi, membiarkan kepalanya bersandar beberapa detik. Namun, sesuatu di mejanya membuatnya terhenti. Secangkir kopi. Aroma pahit dan hangatnya begitu familiar, menyelinap masuk ke

    Last Updated : 2025-03-21
  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 12. Aku ingin kau percaya padaku

    Henry menatapnya dengan serius. “Perusahaan ini memiliki utang yang lebih besar dari yang kau kira. Jika bukan aku yang mengambil alih, maka investor lain yang tidak peduli dengan apa pun selain keuntungan mereka akan melakukannya. Aku tahu betapa pentingnya perusahaan ini bagimu, dan aku tidak bisa membiarkan orang lain menghancurkannya.” Aurora terdiam. Ia memang tahu bahwa kondisi keuangan perusahaannya tidak stabil, tetapi ia tidak menyangka bahwa situasinya seburuk ini. Henry melanjutkan, “Aku tidak bisa memberitahumu sebelumnya, karena aku tahu kau tidak akan mau menerimanya. Aku harus melakukannya dengan cara yang akan memastikan kau tetap memiliki tempat di sini, bukan di bawah kendali orang lain yang hanya ingin meraup keuntungan.” Aurora menatapnya, mencoba mencari kebohongan di wajah pria itu. Tetapi yang ia lihat hanyalah kelelahan dan sesuatu yang menyerupai rasa sakit. Ia menggigit bibirnya. “Kenapa kau peduli?” Henry tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan d

    Last Updated : 2025-03-21

Latest chapter

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 14. Tidak akan menyerah

    Henry tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata dengan suara rendah, "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja." Aurora menelan ludah. "Aku baik-baik saja." Henry mengangguk pelan, tetapi tidak pergi. Aurora bisa merasakan udara di antara mereka berubah. Ada sesuatu yang tidak terucap, sesuatu yang menggantung di udara. "Aurora." Henry berbisik, suaranya hampir seperti doa. Aurora menatapnya. "Ya?" Henry menatapnya dalam, seolah-olah ini adalah kesempatan terakhirnya untuk mengatakan sesuatu yang penting. Tetapi pada akhirnya, ia hanya tersenyum kecil, lalu berkata, "Selamat malam!" Aurora hanya bisa menatap punggungnya saat ia pergi, meninggalkan perasaan yang semakin rumit di dalam dadanya.***Keesokan harinya, Aurora berpikir semuanya akan kembali normal, bahwa kejadian di dalam mobil dan di depan pintu kamarnya semalam hanyalah momen sesaat yang bisa ia lupakan. Tetapi Henry membuktikan bahwa ia salah.Saat mereka turun ke lobi hotel u

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 12. Aku ingin kau percaya padaku

    Henry menatapnya dengan serius. “Perusahaan ini memiliki utang yang lebih besar dari yang kau kira. Jika bukan aku yang mengambil alih, maka investor lain yang tidak peduli dengan apa pun selain keuntungan mereka akan melakukannya. Aku tahu betapa pentingnya perusahaan ini bagimu, dan aku tidak bisa membiarkan orang lain menghancurkannya.” Aurora terdiam. Ia memang tahu bahwa kondisi keuangan perusahaannya tidak stabil, tetapi ia tidak menyangka bahwa situasinya seburuk ini. Henry melanjutkan, “Aku tidak bisa memberitahumu sebelumnya, karena aku tahu kau tidak akan mau menerimanya. Aku harus melakukannya dengan cara yang akan memastikan kau tetap memiliki tempat di sini, bukan di bawah kendali orang lain yang hanya ingin meraup keuntungan.” Aurora menatapnya, mencoba mencari kebohongan di wajah pria itu. Tetapi yang ia lihat hanyalah kelelahan dan sesuatu yang menyerupai rasa sakit. Ia menggigit bibirnya. “Kenapa kau peduli?” Henry tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan d

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 13. Kehanhatan cangkir kopi

    Ruangan itu langsung hening. Erik mengerjapkan mata, tampak tidak siap dengan jawaban itu. Beberapa orang yang sebelumnya tampak skeptis kini mulai duduk lebih tegak, menunggu reaksi selanjutnya. Aurora tidak memberinya waktu untuk membalas. Ia meletakkan beberapa laporan di atas meja, lalu melanjutkan, "Aku tidak meminta kalian untuk langsung setuju denganku sekarang. Aku hanya ingin kalian memberi kesempatan untuk melihat datanya lebih dalam. Kita akan membahas ulang dalam dua hari. Deal?" Beberapa orang saling bertukar pandang sebelum akhirnya mengangguk pelan. Aurora menahan napas sejenak, merasakan ketegangan di bahunya mulai mengendur. Ini baru langkah pertama, tapi setidaknya ia berhasil mengendalikan situasi. Setelah rapat berakhir, Aurora kembali ke ruangannya. Ia menghempaskan diri ke kursi, membiarkan kepalanya bersandar beberapa detik. Namun, sesuatu di mejanya membuatnya terhenti. Secangkir kopi. Aroma pahit dan hangatnya begitu familiar, menyelinap masuk ke

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 11. Menyelamatanku?

    Setelah rapat selesai dan semua dokumen ditandatangani, Aurora merasakan dadanya sesak. Rasanya seperti menjual bagian dari hidupnya sendiri—sebagian besar Blue Sea Corp bukan lagi miliknya, melainkan bagian dari Wilmington Group yang dipimpin oleh pria yang pernah ia cintai dan benci dalam waktu yang bersamaan. Vernon menepuk punggungnya dengan lembut. “Kau baik-baik saja?” Aurora menarik napas dalam dan mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja.” Tapi itu bohong. Ketika Henry berdiri dari kursinya, memasukkan tangannya ke dalam saku jas dengan ekspresi yang nyaris tak terbaca, Aurora merasakan amarah sekaligus perasaan lain yang tak bisa ia jelaskan. Pria itu telah mengambil segalanya darinya, dan sekarang, ia juga mengambil kendali atas hidupnya di perusahaan. Sebelum Henry berbalik pergi, Aurora berbicara, suaranya rendah tapi tajam. “Kau menikmati ini, bukan?” Henry berhenti di tempatnya, lalu menoleh. Tatapan matanya dalam, ada sesuatu yang mengintai di sana—sebuah emosi

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 10. Bisnis adalah bisnis

    Lalu, ponselnya kembali berdering. Kali ini, dengan enggan, ia mengangkatnya. Suara nyaring Florien langsung meledak dari seberang, membuat Henry meringis dan menjauhkan ponsel dari telinganya. "Hei, pelankan suaramu!" "Kenapa kamu tidak menjawab teleponku dan tidak membalas pesanku?" Suara adiknya terdengar jelas kesal. Henry mengusap wajahnya dengan letih. "Maaf. Aku sibuk." Florien mendecak. "Ada apa denganmu? Aku mencarimu ke mana-mana. Kamu di mana sekarang?" "Di vila." Terdengar tarikan napas dari seberang. "Aku sudah tahu semuanya. Aku bertemu Aurora di kantor Vernon, dan dia… dia menceritakan semuanya." Dada Henry mencengkung, seakan seseorang menekan sesuatu yang berat di atasnya. "Jadi kamu bertemu dengannya?" "Iya. Dan dia sangat marah padamu." Henry tersenyum getir. "Tentu saja dia marah. Dia berhak marah." Florien terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Segeralah pulang! Aku ingin bicara denganmu." Henry menyandarkan kepalanya ke sofa, menatap lan

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 9. janji manis

    Aurora mengangguk, rahangnya mengeras. "Benar. Kemarin kami bertemu dan kami sempat bermalam bersama." Keheningan mendadak menyergap ruangan. Mata Vernon dan Florien membelalak penuh keterkejutan, sementara Aurora menjatuhkan tubuhnya ke kursi, seakan bebannya menjadi semakin berat. Setiap kali membicarakan Henry, dadanya terasa sesak, emosinya semakin memuncak, seolah siap meledak kapan saja. "Itu artinya kalian kembali bersama?" Vernon bertanya, nadanya terdengar penuh harapan. Aurora tertawa pendek, namun tanpa kebahagiaan sedikit pun. "Hampir saja," suaranya penuh ironi. "Tapi Henry menghancurkan semuanya. Aku tidak peduli lagi dengan tawarannya. Tidak peduli dengan janji-janji manisnya!" Vernon menatapnya dengan kebingungan. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya, merasa tak mengerti bagaimana menghadapi adiknya yang kini terlihat seperti bom waktu yang siap meledak. Ruangan terasa semakin mencekam. Tatapan Aurora dipenuhi amarah, bola matanya yang biru seperti lautan

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 8. Jejak yang ingin di hapus

    Dengan sisa tenaga yang ia punya, ia bangkit, berjalan tertatih ke ranjangnya, lalu membiarkan tubuhnya terhempas ke atas kasur. Seluruh tenaganya habis, tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan Henry. Suara pria itu, tatapan matanya, semua terasa begitu nyata.Aurora menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia ingin melupakan. Ia ingin menghapus setiap jejak Henry dalam hidupnya. Namun, bagaimana caranya jika setiap napas yang ia hirup terasa begitu penuh dengan kehadiran pria itu?Perlahan, matanya terpejam. Ia terlalu lelah untuk melawan pikirannya sendiri. Namun, bahkan dalam tidurnya, bayangan Henry masih menghantuinya.Keesokan Paginya, Aurora terbangun dengan mata sembab dan kepala yang terasa berat. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—wajahnya pucat, kantung matanya menghitam, bibirnya kering.Ia menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan sisa keberaniannya. Tidak peduli seberapa hancurnya dirinya, hidup harus terus berjalan. Ia tidak akan membiarkan Henry menguasai pikirannya

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 7. Amarah dan air mata

    Tapi Aurora menggeleng. "Jangan sebut namaku dengan suara itu." Air matanya terus mengalir, tetapi matanya memancarkan amarah dan luka yang begitu dalam.Tatapannya menembus dada Henry, menghancurkan segala harapan yang ia bangun."Kamu brengsek!" serunya.Tanpa menunggu apa pun lagi, Aurora meraih pegangan pintu, membukanya dengan kasar, lalu melangkah pergi tanpa menoleh.Henry hanya bisa berdiri terpaku, matanya menatap punggung wanita yang semakin menjauh. Ia ingin berlari mengejarnya, ingin menahan tangan itu, ingin berlutut di hadapannya dan memohon kesempatan terakhir, tapi tubuhnya tetap tak bergerak, seolah jiwanya ikut pergi bersama wanita itu.Saat suara pintu tertutup dengan keras, Henry merosot lemas ke kursi."Brengsek!"Dengan amarah yang tak bisa ia arahkan ke siapa pun selain dirinya sendiri, Henry menghantam meja di depannya berulang kali. Suara dentuman keras memenuhi ruangan, tetapi itu tidak cukup untuk meredam rasa frustrasi yang membakar dadanya.Tubuhnya berget

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 6. Retaknya kepercayaan

    "Aurora?" Suara Henry terdengar dari arah pintu. Ada nada menggoda di dalamnya, tetapi juga sedikit gelisah. "Kamu sudah selesai mandi, Cantik?" Henry melangkah mendekat, napasnya terdengar sedikit lebih berat dari biasanya. Ponselnya kini telah dimatikan, percakapannya dengan William terputus begitu saja. Saat jaraknya kian menipis, ia menarik Aurora ke dalam pelukannya. Sejenak, Aurora menutup mata. Hangat. Dekapan Henry selalu membuatnya merasa aman. Namun, sesaat kemudian— "Dia tidak akan tahu bahwa aku penyebab kebangkrutan perusahaannya." Suara Henry kembali menggema di kepalanya. Aurora tersentak. Dalam sekejap, kehangatan yang tadi membungkusnya berubah menjadi bara yang membakar dada. Matanya terbelalak, tubuhnya menegang di dalam pelukan Henry sebelum ia akhirnya mendorong tubuh pria itu menjauh. Henry terkejut. Ia melihat Aurora mundur beberapa langkah, menciptakan jarak yang kini terasa begitu lebar. "Aurora." Aurora memejamkan mata erat-erat, mencoba mengendali

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status