Bibir Aurora merekah, menyambut sentuhan yang begitu akrab namun tetap membuai. Awalnya, ia membalasnya dengan ragu, malu-malu, tapi Henry tak memberi ruang untuk kebimbangan. Pria itu memperdalam ciumannya, lebih lembut, lebih menuntut, seakan ingin mengingatkan Aurora akan semua rasa yang dulu pernah mereka bagi.
Dada Henry bergetar saat bibir ranum itu akhirnya sepenuhnya menyatu dengan miliknya. Napasnya semakin berat, seiring dengan hasrat yang menggelegak di dalam dirinya. Ia merasakan manisnya, merasakan Aurora yang perlahan-lahan menyerah dalam dekapannya. Ia ingin lebih. Ia butuh lebih. "Aurora...." desah Henry, suaranya dalam dan serak, penuh gairah yang nyaris membuatnya kehilangan kendali. Aurora terperangkap dalam pesona Henry. Pria itu begitu tampan dalam cahaya temaram, dengan sorot matanya yang teduh namun berbahaya. Rahangnya yang kuat dan ekspresi menggoda membuat Aurora semakin tenggelam. Henry menarik diri, hanya untuk menempelkan dahinya ke dahi Aurora, berusaha meredam kobaran api di dalam dirinya. Napas mereka berpacu, berlomba-lomba menghirup oksigen yang terasa semakin menipis di antara mereka. Bibir mereka membengkak, masih bergetar akibat intensitas ciuman yang baru saja terjadi, tapi Henry belum selesai. Tangan besarnya kini mulai bergerak, dengan jemari yang begitu terampil membelai kulit Aurora. Ia menelusuri lekuk tubuh wanita itu, hingga akhirnya berhenti di gundukan putih yang tersingkap sedikit dari balik pakaian. Aurora menggigit bibir, mencoba menahan desahan, tapi Henry menangkapnya. Matanya menyipit penuh godaan. "Aku bisa merasakan jantungmu berdebar lebih cepat," bisiknya, suaranya menggema di telinga Aurora, membuat wanita itu semakin lemas dalam dekapannya. Aurora memejamkan mata, mengumpulkan keberanian. "Henry, he... hentikan...," katanya, tapi suaranya nyaris tak terdengar, lebih terdengar seperti undangan daripada peringatan. Henry tersenyum miring, penuh pesona dan dominasi. "Benarkah?" tanyanya, sebelum kembali menuntut bibir Aurora dengan ciuman yang lebih dalam, lebih menggila. Sementara ciuman mereka semakin memanas, tangan mereka saling mencari, saling menjelajah, merasakan, mengeksplorasi titik-titik sensitif satu sama lain. Aurora pasrah sekaligus menuntut, semakin tenggelam dalam pusaran perasaan yang tidak bisa ia kendalikan. Di antara desahan dan napas yang memburu, Henry bergerak lebih dekat, menyusuri setiap inci kulit Aurora yang terbuka. Jemarinya kini dengan mudah menyingkap kain yang membungkus tubuh wanita itu, membuatnya mendesah dalam keterkejutan sekaligus kerinduan. "Astaga, Aurora!" Henry berbisik, suaranya nyaris parau saat melihat kecantikan yang kini terbuka di hadapannya. Matanya gelap, penuh ketertarikan yang tak terbendung. Aurora membelalakkan mata, menyadari betapa intensnya tatapan Henry. Jantungnya berdegup semakin kencang. Ia tahu ia sudah tersesat dalam lautan pesona pria itu. Dan malam ini, Henry tidak akan membiarkannya pergi. Aurora merasa seakan terperangkap dalam pusaran hasrat dan kenangan yang kembali menghangatkannya. Napas Henry berhembus lembut di lehernya, membuat kulitnya meremang. Jemarinya menyusuri wajahnya, membingkai pipi Aurora seolah lelaki itu tengah menghafal setiap lekuknya. "Aku tak pernah bisa melupakanmu," bisik Henry, suaranya serak dengan emosi yang tertahan. Aurora menatapnya, mencari kebenaran di mata kelam itu. Dulu, dia pernah percaya sepenuh hati. Namun kini, luka dan kerinduan bercampur menjadi satu, menciptakan kekacauan yang tak bisa ia kendalikan. Jemari Henry menelusuri lengannya, menghadirkan kehangatan yang menggetarkan. "Kamu tahu, kan? Aku selalu menginginkanmu, selalu merindukanmu." Aurora menelan ludah, dadanya naik turun dalam kebimbangan. Dia ingin menolak, ingin menjauh, tapi tubuhnya seolah mengkhianati logikanya. Ketika Henry menunduk lagi, bibirnya melayang tepat di atas milik Aurora, nyaris menyentuh tapi masih menahan diri. "Kalau ini salah, katakan padaku untuk berhenti," ucapnya, memberi Aurora kesempatan untuk melangkah pergi. Aurora menggigit bibirnya. Namun, alih-alih menjauh, jemarinya justru terangkat, menyentuh wajah Henry dengan keraguan yang perlahan-lahan luruh dalam kehangatan. Lelaki itu tersenyum kecil sebelum akhirnya membiarkan bibirnya menyatu dengan milik Aurora sekali lagi. Kali ini, bukan sekadar gairah yang berbicara, melainkan sesuatu yang lebih dalam—sebuah kerinduan yang telah lama terpendam, sebuah perasaan yang tak pernah benar-benar padam. Henry menarik napas panjang, mencoba mengendalikan gejolak dalam dirinya, namun itu sia-sia. Di hadapannya, Aurora terbaring dengan pipi merona, bibir sedikit terbuka, dan mata yang mulai kehilangan fokus karena gairah yang perlahan membiusnya. "Aku sudah gila karena merindukanmu," bisik Henry, tangannya kembali menjelajah lembut, seolah memastikan Aurora benar-benar nyata di hadapannya. Aurora merasakan sentuhan Henry membelai tulang selangkanya, menyusuri bahunya, sebelum jemari lelaki itu bergerak turun, menghangatkan kulitnya. Jantungnya berdebar kencang, bukan hanya karena gairah yang mengalir, tetapi juga karena tatapan Henry yang begitu dalam, seolah lelaki itu ingin menelannya bulat-bulat. “Henry…,” lirihnya, separuh merintih, separuh menggoda. Henry tersenyum miring, pesona alaminya yang memabukkan semakin tak tertahankan. Dia menundukkan kepala, mengecup pelipis Aurora, lalu turun ke pipinya, meninggalkan jejak napas hangat yang membuat tubuh wanita itu menggeliat tanpa sadar. "Setiap inci darimu selalu menggoda, Sayang," suaranya berat dan terdengar penuh kekaguman. "Kamu benar-benar tak tahu bagaimana kamu bisa membuatku kehilangan kendali." Aurora terpesona oleh ketulusannya. Lelaki ini yang dulu selalu berusaha mengontrol segalanya kini begitu terbuka, membiarkan perasaannya terpancar dengan gamblang. Perlahan, Henry kembali mengecupnya. Ciumannya bukan lagi terburu-buru seperti sebelumnya, melainkan penuh kelembutan dan penghormatan. Bibirnya menelusuri garis rahang Aurora, turun ke leher jenjangnya, sebelum berhenti di dekat telinganya. "Aku ingin kamu percaya padaku lagi," bisiknya serak, sembari mengecup ujung telinga Aurora dengan godaan yang membuat wanita itu menggigil. Aurora menutup matanya, meresapi setiap sentuhan Henry yang begitu intim. Ada magnet tak kasat mata yang membuatnya tak bisa berpaling. Sejenak, ia lupa tentang segala luka di masa lalu, tentang perpisahan yang pernah menyakitinya. Yang ada hanya mereka berdua, terjebak dalam pusaran perasaan yang terlalu kuat untuk diabaikan. Henry menatapnya dalam-dalam, ibu jarinya membelai bibir Aurora yang sedikit bengkak karena ciuman mereka. "Katakan padaku bahwa kamu masih menginginkanku," pintanya dengan suara rendah, menggoda, namun juga penuh ketulusan. Aurora menggigit bibirnya, hatinya bergemuruh. Di hadapannya, Henry adalah sosok pria yang dulu pernah ia cintai dengan segenap hati. Dan sekarang, di bawah cahaya remang yang menyelimuti mereka, perasaan itu kembali muncul, semakin kuat dan nyata. Tanpa menjawab dengan kata-kata, Aurora menarik Henry kembali ke dalam dekapannya, membiarkan bibir mereka kembali bersatu dalam ciuman yang lebih dalam, lebih emosional, dan lebih sarat dengan rasa yang selama ini mereka pendam. Henry menatap Aurora seakan ingin mengukir setiap detail wajahnya dalam ingatan. Jemarinya membelai pipi wanita itu dengan lembut, seolah menyentuh sesuatu yang berharga dan rapuh sekaligus. "Aku ingin menghabiskan malam ini hanya denganmu," bisiknya, suaranya serak penuh gairah, namun juga sarat ketulusan. Aurora menelan ludah, dadanya berdegup kencang. Henry selalu memiliki cara untuk membuatnya lupa bagaimana bernapas dengan benar. Lelaki itu menurunkan kepalanya, mengecup kening Aurora dengan perlahan, penuh kelembutan yang membuat dada wanita itu terasa sesak. Bibirnya kemudian turun ke pelipis, lalu ke pipinya, sebelum akhirnya berhenti tepat di atas bibirnya yang sudah sedikit membengkak karena ciuman mereka sebelumnya. Aurora menutup matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam gelombang perasaan yang kembali menyala. Ia bisa merasakan betapa dalamnya rindu di setiap sentuhan Henry, di setiap tarikan napas yang mereka bagi. Tangannya tanpa sadar terangkat, menyentuh wajah Henry, merasakan rahangnya yang kokoh, janggut tipis yang sedikit menusuk ujung jarinya. Lelaki itu mencondongkan tubuhnya, membiarkan Aurora menjelajahinya dengan sentuhan yang selama ini ia rindukan. Mereka begitu dekat, hanya terpisah sejengkal. Jantung mereka berdetak seirama, menciptakan irama yang hanya mereka berdua pahami. “Henry…” suara Aurora terdengar nyaris seperti bisikan. Henry tersenyum kecil, matanya berbinar menatap wanita di hadapannya. "Ya, Sayang?" Aurora menggeleng pelan, tidak tahu harus berkata apa. Ada terlalu banyak emosi yang berputar di dalam dirinya. Henry menatapnya penuh kelembutan, lalu mengecup ujung hidungnya, sebelum akhirnya kembali menemukan bibir Aurora. Ciuman itu dalam, tidak terburu-buru, seakan ingin menyampaikan semua perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Aurora merespons dengan penuh kerinduan, tangannya melingkar di leher Henry, menariknya lebih dekat. Lelaki itu tersenyum di sela ciuman mereka, menikmati setiap helaan napas, setiap getaran yang ditimbulkan oleh sentuhan mereka. Saat mereka akhirnya melepaskan diri, Henry menatap Aurora dengan intens. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi," katanya penuh tekad. Aurora menatapnya, hatinya berdebar lebih kencang. Ada sesuatu dalam cara Henry mengatakannya yang membuatnya yakin bahwa lelaki itu benar-benar serius. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Aurora tidak merasa ingin melarikan diri. Malam itu, di bawah cahaya remang yang hangat, mereka kembali menemukan satu sama lain bukan hanya dalam pelukan, tetapi juga dalam hati yang selama ini merindukan satu sama lain.Henry melangkah perlahan ke jendela, membuka daun jendela hingga sinar matahari pagi masuk dan menyelimuti ruangan dengan cahaya keemasan. Angin sepoi-sepoi membawa aroma laut yang segar, membuat suasana semakin tenang dan hangat.Matanya kemudian tertuju pada sosok yang masih terlelap di tempat tidur. Aurora tidur dengan damai, napasnya teratur, wajahnya begitu lembut dalam keheningan pagi. Sejenak Henry hanya berdiri, mengamati wanita yang selalu mengisi pikirannya, wanita yang dulu pernah menjadi miliknya.Dengan hati-hati, ia duduk di tepi tempat tidur, tatapannya tak lepas dari wajah Aurora. Rambut coklat wanita itu terserak di atas bantal, berkilauan tertimpa cahaya pagi. Kulitnya tampak bersih dan bercahaya, pundaknya yang telanjang terlihat begitu halus di bawah selimut yang melorot.Tanpa sadar, Henry mengulurkan tangan, membelai perlahan helaian rambut yang jatuh di pipi Aurora. Sentuhan ringan itu membuat wanita itu menggerakkan tubuhnya sedikit, kelopak matanya mulai berge
"Aurora?" Suara Henry terdengar dari arah pintu. Ada nada menggoda di dalamnya, tetapi juga sedikit gelisah. "Kamu sudah selesai mandi, Cantik?" Henry melangkah mendekat, napasnya terdengar sedikit lebih berat dari biasanya. Ponselnya kini telah dimatikan, percakapannya dengan William terputus begitu saja. Saat jaraknya kian menipis, ia menarik Aurora ke dalam pelukannya. Sejenak, Aurora menutup mata. Hangat. Dekapan Henry selalu membuatnya merasa aman. Namun, sesaat kemudian— "Dia tidak akan tahu bahwa aku penyebab kebangkrutan perusahaannya." Suara Henry kembali menggema di kepalanya. Aurora tersentak. Dalam sekejap, kehangatan yang tadi membungkusnya berubah menjadi bara yang membakar dada. Matanya terbelalak, tubuhnya menegang di dalam pelukan Henry sebelum ia akhirnya mendorong tubuh pria itu menjauh. Henry terkejut. Ia melihat Aurora mundur beberapa langkah, menciptakan jarak yang kini terasa begitu lebar. "Aurora." Aurora memejamkan mata erat-erat, mencoba mengendali
Tapi Aurora menggeleng. "Jangan sebut namaku dengan suara itu." Air matanya terus mengalir, tetapi matanya memancarkan amarah dan luka yang begitu dalam.Tatapannya menembus dada Henry, menghancurkan segala harapan yang ia bangun."Kamu brengsek!" serunya.Tanpa menunggu apa pun lagi, Aurora meraih pegangan pintu, membukanya dengan kasar, lalu melangkah pergi tanpa menoleh.Henry hanya bisa berdiri terpaku, matanya menatap punggung wanita yang semakin menjauh. Ia ingin berlari mengejarnya, ingin menahan tangan itu, ingin berlutut di hadapannya dan memohon kesempatan terakhir, tapi tubuhnya tetap tak bergerak, seolah jiwanya ikut pergi bersama wanita itu.Saat suara pintu tertutup dengan keras, Henry merosot lemas ke kursi."Brengsek!"Dengan amarah yang tak bisa ia arahkan ke siapa pun selain dirinya sendiri, Henry menghantam meja di depannya berulang kali. Suara dentuman keras memenuhi ruangan, tetapi itu tidak cukup untuk meredam rasa frustrasi yang membakar dadanya.Tubuhnya berget
Dengan sisa tenaga yang ia punya, ia bangkit, berjalan tertatih ke ranjangnya, lalu membiarkan tubuhnya terhempas ke atas kasur. Seluruh tenaganya habis, tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan Henry. Suara pria itu, tatapan matanya, semua terasa begitu nyata.Aurora menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia ingin melupakan. Ia ingin menghapus setiap jejak Henry dalam hidupnya. Namun, bagaimana caranya jika setiap napas yang ia hirup terasa begitu penuh dengan kehadiran pria itu?Perlahan, matanya terpejam. Ia terlalu lelah untuk melawan pikirannya sendiri. Namun, bahkan dalam tidurnya, bayangan Henry masih menghantuinya.Keesokan Paginya, Aurora terbangun dengan mata sembab dan kepala yang terasa berat. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—wajahnya pucat, kantung matanya menghitam, bibirnya kering.Ia menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan sisa keberaniannya. Tidak peduli seberapa hancurnya dirinya, hidup harus terus berjalan. Ia tidak akan membiarkan Henry menguasai pikirannya
Aurora mengangguk, rahangnya mengeras. "Benar. Kemarin kami bertemu dan kami sempat bermalam bersama." Keheningan mendadak menyergap ruangan. Mata Vernon dan Florien membelalak penuh keterkejutan, sementara Aurora menjatuhkan tubuhnya ke kursi, seakan bebannya menjadi semakin berat. Setiap kali membicarakan Henry, dadanya terasa sesak, emosinya semakin memuncak, seolah siap meledak kapan saja. "Itu artinya kalian kembali bersama?" Vernon bertanya, nadanya terdengar penuh harapan. Aurora tertawa pendek, namun tanpa kebahagiaan sedikit pun. "Hampir saja," suaranya penuh ironi. "Tapi Henry menghancurkan semuanya. Aku tidak peduli lagi dengan tawarannya. Tidak peduli dengan janji-janji manisnya!" Vernon menatapnya dengan kebingungan. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya, merasa tak mengerti bagaimana menghadapi adiknya yang kini terlihat seperti bom waktu yang siap meledak. Ruangan terasa semakin mencekam. Tatapan Aurora dipenuhi amarah, bola matanya yang biru seperti lautan
Lalu, ponselnya kembali berdering. Kali ini, dengan enggan, ia mengangkatnya. Suara nyaring Florien langsung meledak dari seberang, membuat Henry meringis dan menjauhkan ponsel dari telinganya. "Hei, pelankan suaramu!" "Kenapa kamu tidak menjawab teleponku dan tidak membalas pesanku?" Suara adiknya terdengar jelas kesal. Henry mengusap wajahnya dengan letih. "Maaf. Aku sibuk." Florien mendecak. "Ada apa denganmu? Aku mencarimu ke mana-mana. Kamu di mana sekarang?" "Di vila." Terdengar tarikan napas dari seberang. "Aku sudah tahu semuanya. Aku bertemu Aurora di kantor Vernon, dan dia… dia menceritakan semuanya." Dada Henry mencengkung, seakan seseorang menekan sesuatu yang berat di atasnya. "Jadi kamu bertemu dengannya?" "Iya. Dan dia sangat marah padamu." Henry tersenyum getir. "Tentu saja dia marah. Dia berhak marah." Florien terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Segeralah pulang! Aku ingin bicara denganmu." Henry menyandarkan kepalanya ke sofa, menatap lan
Setelah rapat selesai dan semua dokumen ditandatangani, Aurora merasakan dadanya sesak. Rasanya seperti menjual bagian dari hidupnya sendiri—sebagian besar Blue Sea Corp bukan lagi miliknya, melainkan bagian dari Wilmington Group yang dipimpin oleh pria yang pernah ia cintai dan benci dalam waktu yang bersamaan. Vernon menepuk punggungnya dengan lembut. “Kau baik-baik saja?” Aurora menarik napas dalam dan mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja.” Tapi itu bohong. Ketika Henry berdiri dari kursinya, memasukkan tangannya ke dalam saku jas dengan ekspresi yang nyaris tak terbaca, Aurora merasakan amarah sekaligus perasaan lain yang tak bisa ia jelaskan. Pria itu telah mengambil segalanya darinya, dan sekarang, ia juga mengambil kendali atas hidupnya di perusahaan. Sebelum Henry berbalik pergi, Aurora berbicara, suaranya rendah tapi tajam. “Kau menikmati ini, bukan?” Henry berhenti di tempatnya, lalu menoleh. Tatapan matanya dalam, ada sesuatu yang mengintai di sana—sebuah emosi
Ruangan itu langsung hening. Erik mengerjapkan mata, tampak tidak siap dengan jawaban itu. Beberapa orang yang sebelumnya tampak skeptis kini mulai duduk lebih tegak, menunggu reaksi selanjutnya. Aurora tidak memberinya waktu untuk membalas. Ia meletakkan beberapa laporan di atas meja, lalu melanjutkan, "Aku tidak meminta kalian untuk langsung setuju denganku sekarang. Aku hanya ingin kalian memberi kesempatan untuk melihat datanya lebih dalam. Kita akan membahas ulang dalam dua hari. Deal?" Beberapa orang saling bertukar pandang sebelum akhirnya mengangguk pelan. Aurora menahan napas sejenak, merasakan ketegangan di bahunya mulai mengendur. Ini baru langkah pertama, tapi setidaknya ia berhasil mengendalikan situasi. Setelah rapat berakhir, Aurora kembali ke ruangannya. Ia menghempaskan diri ke kursi, membiarkan kepalanya bersandar beberapa detik. Namun, sesuatu di mejanya membuatnya terhenti. Secangkir kopi. Aroma pahit dan hangatnya begitu familiar, menyelinap masuk ke
Henry tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata dengan suara rendah, "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja." Aurora menelan ludah. "Aku baik-baik saja." Henry mengangguk pelan, tetapi tidak pergi. Aurora bisa merasakan udara di antara mereka berubah. Ada sesuatu yang tidak terucap, sesuatu yang menggantung di udara. "Aurora." Henry berbisik, suaranya hampir seperti doa. Aurora menatapnya. "Ya?" Henry menatapnya dalam, seolah-olah ini adalah kesempatan terakhirnya untuk mengatakan sesuatu yang penting. Tetapi pada akhirnya, ia hanya tersenyum kecil, lalu berkata, "Selamat malam!" Aurora hanya bisa menatap punggungnya saat ia pergi, meninggalkan perasaan yang semakin rumit di dalam dadanya.***Keesokan harinya, Aurora berpikir semuanya akan kembali normal, bahwa kejadian di dalam mobil dan di depan pintu kamarnya semalam hanyalah momen sesaat yang bisa ia lupakan. Tetapi Henry membuktikan bahwa ia salah.Saat mereka turun ke lobi hotel u
Henry menatapnya dengan serius. “Perusahaan ini memiliki utang yang lebih besar dari yang kau kira. Jika bukan aku yang mengambil alih, maka investor lain yang tidak peduli dengan apa pun selain keuntungan mereka akan melakukannya. Aku tahu betapa pentingnya perusahaan ini bagimu, dan aku tidak bisa membiarkan orang lain menghancurkannya.” Aurora terdiam. Ia memang tahu bahwa kondisi keuangan perusahaannya tidak stabil, tetapi ia tidak menyangka bahwa situasinya seburuk ini. Henry melanjutkan, “Aku tidak bisa memberitahumu sebelumnya, karena aku tahu kau tidak akan mau menerimanya. Aku harus melakukannya dengan cara yang akan memastikan kau tetap memiliki tempat di sini, bukan di bawah kendali orang lain yang hanya ingin meraup keuntungan.” Aurora menatapnya, mencoba mencari kebohongan di wajah pria itu. Tetapi yang ia lihat hanyalah kelelahan dan sesuatu yang menyerupai rasa sakit. Ia menggigit bibirnya. “Kenapa kau peduli?” Henry tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan d
Ruangan itu langsung hening. Erik mengerjapkan mata, tampak tidak siap dengan jawaban itu. Beberapa orang yang sebelumnya tampak skeptis kini mulai duduk lebih tegak, menunggu reaksi selanjutnya. Aurora tidak memberinya waktu untuk membalas. Ia meletakkan beberapa laporan di atas meja, lalu melanjutkan, "Aku tidak meminta kalian untuk langsung setuju denganku sekarang. Aku hanya ingin kalian memberi kesempatan untuk melihat datanya lebih dalam. Kita akan membahas ulang dalam dua hari. Deal?" Beberapa orang saling bertukar pandang sebelum akhirnya mengangguk pelan. Aurora menahan napas sejenak, merasakan ketegangan di bahunya mulai mengendur. Ini baru langkah pertama, tapi setidaknya ia berhasil mengendalikan situasi. Setelah rapat berakhir, Aurora kembali ke ruangannya. Ia menghempaskan diri ke kursi, membiarkan kepalanya bersandar beberapa detik. Namun, sesuatu di mejanya membuatnya terhenti. Secangkir kopi. Aroma pahit dan hangatnya begitu familiar, menyelinap masuk ke
Setelah rapat selesai dan semua dokumen ditandatangani, Aurora merasakan dadanya sesak. Rasanya seperti menjual bagian dari hidupnya sendiri—sebagian besar Blue Sea Corp bukan lagi miliknya, melainkan bagian dari Wilmington Group yang dipimpin oleh pria yang pernah ia cintai dan benci dalam waktu yang bersamaan. Vernon menepuk punggungnya dengan lembut. “Kau baik-baik saja?” Aurora menarik napas dalam dan mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja.” Tapi itu bohong. Ketika Henry berdiri dari kursinya, memasukkan tangannya ke dalam saku jas dengan ekspresi yang nyaris tak terbaca, Aurora merasakan amarah sekaligus perasaan lain yang tak bisa ia jelaskan. Pria itu telah mengambil segalanya darinya, dan sekarang, ia juga mengambil kendali atas hidupnya di perusahaan. Sebelum Henry berbalik pergi, Aurora berbicara, suaranya rendah tapi tajam. “Kau menikmati ini, bukan?” Henry berhenti di tempatnya, lalu menoleh. Tatapan matanya dalam, ada sesuatu yang mengintai di sana—sebuah emosi
Lalu, ponselnya kembali berdering. Kali ini, dengan enggan, ia mengangkatnya. Suara nyaring Florien langsung meledak dari seberang, membuat Henry meringis dan menjauhkan ponsel dari telinganya. "Hei, pelankan suaramu!" "Kenapa kamu tidak menjawab teleponku dan tidak membalas pesanku?" Suara adiknya terdengar jelas kesal. Henry mengusap wajahnya dengan letih. "Maaf. Aku sibuk." Florien mendecak. "Ada apa denganmu? Aku mencarimu ke mana-mana. Kamu di mana sekarang?" "Di vila." Terdengar tarikan napas dari seberang. "Aku sudah tahu semuanya. Aku bertemu Aurora di kantor Vernon, dan dia… dia menceritakan semuanya." Dada Henry mencengkung, seakan seseorang menekan sesuatu yang berat di atasnya. "Jadi kamu bertemu dengannya?" "Iya. Dan dia sangat marah padamu." Henry tersenyum getir. "Tentu saja dia marah. Dia berhak marah." Florien terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Segeralah pulang! Aku ingin bicara denganmu." Henry menyandarkan kepalanya ke sofa, menatap lan
Aurora mengangguk, rahangnya mengeras. "Benar. Kemarin kami bertemu dan kami sempat bermalam bersama." Keheningan mendadak menyergap ruangan. Mata Vernon dan Florien membelalak penuh keterkejutan, sementara Aurora menjatuhkan tubuhnya ke kursi, seakan bebannya menjadi semakin berat. Setiap kali membicarakan Henry, dadanya terasa sesak, emosinya semakin memuncak, seolah siap meledak kapan saja. "Itu artinya kalian kembali bersama?" Vernon bertanya, nadanya terdengar penuh harapan. Aurora tertawa pendek, namun tanpa kebahagiaan sedikit pun. "Hampir saja," suaranya penuh ironi. "Tapi Henry menghancurkan semuanya. Aku tidak peduli lagi dengan tawarannya. Tidak peduli dengan janji-janji manisnya!" Vernon menatapnya dengan kebingungan. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya, merasa tak mengerti bagaimana menghadapi adiknya yang kini terlihat seperti bom waktu yang siap meledak. Ruangan terasa semakin mencekam. Tatapan Aurora dipenuhi amarah, bola matanya yang biru seperti lautan
Dengan sisa tenaga yang ia punya, ia bangkit, berjalan tertatih ke ranjangnya, lalu membiarkan tubuhnya terhempas ke atas kasur. Seluruh tenaganya habis, tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan Henry. Suara pria itu, tatapan matanya, semua terasa begitu nyata.Aurora menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia ingin melupakan. Ia ingin menghapus setiap jejak Henry dalam hidupnya. Namun, bagaimana caranya jika setiap napas yang ia hirup terasa begitu penuh dengan kehadiran pria itu?Perlahan, matanya terpejam. Ia terlalu lelah untuk melawan pikirannya sendiri. Namun, bahkan dalam tidurnya, bayangan Henry masih menghantuinya.Keesokan Paginya, Aurora terbangun dengan mata sembab dan kepala yang terasa berat. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—wajahnya pucat, kantung matanya menghitam, bibirnya kering.Ia menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan sisa keberaniannya. Tidak peduli seberapa hancurnya dirinya, hidup harus terus berjalan. Ia tidak akan membiarkan Henry menguasai pikirannya
Tapi Aurora menggeleng. "Jangan sebut namaku dengan suara itu." Air matanya terus mengalir, tetapi matanya memancarkan amarah dan luka yang begitu dalam.Tatapannya menembus dada Henry, menghancurkan segala harapan yang ia bangun."Kamu brengsek!" serunya.Tanpa menunggu apa pun lagi, Aurora meraih pegangan pintu, membukanya dengan kasar, lalu melangkah pergi tanpa menoleh.Henry hanya bisa berdiri terpaku, matanya menatap punggung wanita yang semakin menjauh. Ia ingin berlari mengejarnya, ingin menahan tangan itu, ingin berlutut di hadapannya dan memohon kesempatan terakhir, tapi tubuhnya tetap tak bergerak, seolah jiwanya ikut pergi bersama wanita itu.Saat suara pintu tertutup dengan keras, Henry merosot lemas ke kursi."Brengsek!"Dengan amarah yang tak bisa ia arahkan ke siapa pun selain dirinya sendiri, Henry menghantam meja di depannya berulang kali. Suara dentuman keras memenuhi ruangan, tetapi itu tidak cukup untuk meredam rasa frustrasi yang membakar dadanya.Tubuhnya berget
"Aurora?" Suara Henry terdengar dari arah pintu. Ada nada menggoda di dalamnya, tetapi juga sedikit gelisah. "Kamu sudah selesai mandi, Cantik?" Henry melangkah mendekat, napasnya terdengar sedikit lebih berat dari biasanya. Ponselnya kini telah dimatikan, percakapannya dengan William terputus begitu saja. Saat jaraknya kian menipis, ia menarik Aurora ke dalam pelukannya. Sejenak, Aurora menutup mata. Hangat. Dekapan Henry selalu membuatnya merasa aman. Namun, sesaat kemudian— "Dia tidak akan tahu bahwa aku penyebab kebangkrutan perusahaannya." Suara Henry kembali menggema di kepalanya. Aurora tersentak. Dalam sekejap, kehangatan yang tadi membungkusnya berubah menjadi bara yang membakar dada. Matanya terbelalak, tubuhnya menegang di dalam pelukan Henry sebelum ia akhirnya mendorong tubuh pria itu menjauh. Henry terkejut. Ia melihat Aurora mundur beberapa langkah, menciptakan jarak yang kini terasa begitu lebar. "Aurora." Aurora memejamkan mata erat-erat, mencoba mengendali