Henry tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata dengan suara rendah, "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja." Aurora menelan ludah. "Aku baik-baik saja." Henry mengangguk pelan, tetapi tidak pergi. Aurora bisa merasakan udara di antara mereka berubah. Ada sesuatu yang tidak terucap, sesuatu yang menggantung di udara. "Aurora." Henry berbisik, suaranya hampir seperti doa. Aurora menatapnya. "Ya?" Henry menatapnya dalam, seolah-olah ini adalah kesempatan terakhirnya untuk mengatakan sesuatu yang penting. Tetapi pada akhirnya, ia hanya tersenyum kecil, lalu berkata, "Selamat malam!" Aurora hanya bisa menatap punggungnya saat ia pergi, meninggalkan perasaan yang semakin rumit di dalam dadanya.***Keesokan harinya, Aurora berpikir semuanya akan kembali normal, bahwa kejadian di dalam mobil dan di depan pintu kamarnya semalam hanyalah momen sesaat yang bisa ia lupakan. Tetapi Henry membuktikan bahwa ia salah.Saat mereka turun ke lobi hotel u
Aurora mengira malam itu akan berakhir seperti sebelumnya dengan perasaan yang menggantung, dengan kebingungan yang tak kunjung menemukan jalan keluar. Tetapi ketika ia menutup pintu kamarnya, tangannya masih menggenggam erat gantungan kunci yang diberikan Henry. Ia menatap benda kecil itu dalam diam. Bentuknya sederhana, tetapi detailnya menunjukkan perhatian. Henry mengingat bahwa ia menyukai kucing. Henry bahkan ingat inisialnya. Mengapa? Aurora mendesah, meletakkan gantungan kunci itu di meja, tetapi tetap tidak bisa mengalihkan pikirannya. Rasanya Henry selalu ada di sekitarnya, selalu memberikan perhatian-perhatian kecil yang membuatnya goyah. Keesokan harinya, Aurora bangun lebih pagi dari biasanya, berpikir bahwa ia bisa menghindari Henry jika turun ke restoran hotel sebelum pria itu tiba. Tetapi begitu ia memasuki ruangan, matanya langsung menangkap sosok yang duduk di dekat jendela, mengenakan kemeja putih bersih yang dilipat hingga siku. Aurora berhenti sejenak, mempert
Henry masih berdiri di depan pintu setelah Aurora pergi, menatap kosong ke arah koridor yang kini sepi. Pikirannya masih dipenuhi sosok wanita itu—cara matanya membelalak saat ia berbisik di dekatnya, bagaimana wajahnya memerah setiap kali ia menggoda. Sebuah ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya. Henry menghela napas dan melangkah ke pintu, membukanya dengan ekspresi datar. Di depan pintu berdiri seorang wanita dengan pakaian formal, rambutnya disanggul rapi, dan wajahnya menunjukkan profesionalisme yang tak tergoyahkan. Clara, sekretaris pribadinya. "Selamat pagi, Pak Wilmington!" sapanya dengan suara tenang. "Saya hanya ingin mengingatkan bahwa Anda masih memiliki satu pertemuan lagi dengan klien jam sepuluh nanti." Henry mengangguk pelan, "Aku mengerti." Clara mengamati ekspresi bosnya yang terlihat sedikit berbeda dari biasany seolah pikirannya sedang berada di tempat lain. "Apakah Anda ingin saya mengatur ulang jadwal jika Anda perlu waktu lebih lama untuk beristi
Aurora, tidak menyadari perubahan ekspresi Henry, mulai mempresentasikan produk mereka. "Kami sangat bangga memperkenalkan rangkaian produk makanan laut terbaru ini," katanya dengan suara jernih dan penuh semangat. Ia menggeser beberapa piring lebih dekat ke para klien. "Produk kami berasal dari sumber terbaik, ditangkap dengan metode ramah lingkungan, dan diproses menggunakan teknologi canggih untuk memastikan kesegarannya tetap terjaga." Sambil berbicara, Aurora mengambil satu piring kecil berisi scallop panggang yang berkilau dengan lapisan mentega bawang putih. Ia meletakkannya di depan Michael. "Silakan coba, Pak Gilroy," katanya. "Scallop ini langsung diambil dari perairan dalam dan hanya membutuhkan waktu kurang dari 24 jam sebelum sampai ke tangan Anda. Kami memastikan kualitas premium tanpa bahan tambahan yang dapat mengubah cita rasa aslinya." Michael mengambil garpunya dan mencicipi. Matanya sedikit melebar sebelum mengangguk puas. "Luar biasa. Rasanya manis alami, tida
Aurora merasa tubuhnya memanas. Bukan hanya karena kata-kata Henry yang begitu intens, tetapi juga karena caranya menatapnya seolah-olah ia adalah satu-satunya wanita di dunia ini.Namun, sebelum ia sempat mengeluarkan satu kata pun, Henry mundur sedikit, masih dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia lalu meraih tangan Aurora dan menggenggamnya lembut, tetapi dengan cengkeraman yang cukup kuat untuk memberi tahu bahwa ia serius."Ayo, kita kembali ke kamar hotel!" kata Henry.Aurora berusaha menarik tangannya, tapi Henry tidak membiarkannya. "Aku bisa jalan sendiri, Henry.""Tentu saja bisa," katanya, tetapi tetap menggenggam tangannya erat, membimbingnya menuju lift.Setibanya di kamar hotel, Aurora menghempaskan dirinya ke sofa, mencoba menenangkan diri. Ia berpikir bahwa Henry akan duduk di kursi di seberangnya, tetapi ternyata tidak. Ia justru berdiri di dekatnya, menatapnya dari atas dengan ekspresi penuh ketegangan."Aku ingin tahu satu hal," kata Henry tiba-tiba.Aurora mengan
Setelah kepergian Henry, Aurora segera masuk ke apartemennya, mencoba mengabaikan debaran jantungnya yang tidak beraturan. Ia menggigit bibir, meneguk segelas air dingin untuk menenangkan diri. Namun, ia tidak punya waktu untuk terlalu lama memikirkan Henry. Esok hari ada rapat penting yang sudah tertunda selama tiga hari gara-gara Henry mengajaknya bertemu klien di luar kota terpaksa Aurora harus memundurkan jadwal yang sudah di susun.Mila, sekretarisnya, sudah menghubunginya sejak tadi pagi, mengingatkan hari ini ada rapat dengan staf marketing.Aurora segera mandi dan bersiap. Ia mengenakan setelan berwarna merah, memoleskan sedikit riasan untuk menyamarkan kelelahan di wajahnya, lalu bergegas menuju kantor.Begitu ia tiba, Mila langsung menghampirinya.."Bu Aurora. Para staf marketing sudah berkumpul di ruang rapat," bisik Mila.Aurora mengangguk. "Aku mengerti. Mari kita mulai."Ia melangkah ke ruang rapat dengan percaya diri, meskipun ia bisa merasakan tatapan penuh ekspektasi
Aurora melangkah keluar dari gedung perusahaannya dengan langkah tergesa. Matahari siang menyinari jalanan kota, tetapi tidak mampu mengurangi hawa panas yang ia rasakan di dadanya. Di sampingnya, Henry berjalan dengan santai, seolah tidak peduli dengan sorot mata karyawan yang memperhatikan mereka. Saat mereka tiba di lobi utama, Henry tiba-tiba meraih tangannya. Aurora tersentak, menoleh cepat. "Henry," bisiknya tajam, matanya melirik sekitar dengan gelisah. "Lepaskan tanganku!" Henry hanya menatapnya sekilas, bibirnya melengkung dalam senyum kecil yang tak terbaca. "Kenapa? Aku hanya menggandeng tangan istriku." Aurora menghela napas panjang, mencoba menarik tangannya dengan halus. Namun, genggaman Henry terlalu kuat. "Aku bukan istrimu lagi." Henry menunduk sedikit, mendekat ke telinganya, suaranya rendah namun penuh keyakinan. "Benarkah? Karena menurutku, aku masih mengingat dengan jelas bagaimana rasanya memiliki tangan ini di dalam genggamanku setiap hari." Aurora menegang
Henry menyandarkan tubuhnya, matanya tak lepas dari Aurora yang masih menatap meja dengan ekspresi rumit. Ia tersenyum kecil. "Kau sengaja membawa aku ke sini?" tanya Aurora akhirnya, menyilangkan tangan di dada, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Henry mengangkat alis. "Kenapa? Terlalu banyak kenangan?" Aurora mendengus pelan. Ia mengambil menu dan berpura-pura fokus memilih makanan, padahal pikirannya kacau. Sementara itu, Henry justru tak menyentuh menu sama sekali. Ia hanya menatap Aurora, seolah-olah sedang menghafal setiap detail wajahnya. "Kau tampak cantik hari ini." Aurora menghela napas, meletakkan menu dengan sedikit keras. "Henry, kita di sini untuk makan siang, bukan untuk bernostalgia." Henry tersenyum, menikmati reaksi Aurora yang berusaha keras menjaga batas. "Baiklah, kalau begitu aku akan langsung ke intinya." Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, mendekat ke meja, tatapannya lebih serius. "Aku ingin kita bicara soal kita lagi." Aurora menegang. Ia me
Yolanda menggigit bibir. "Aku… aku cuma—" Henry melangkah maju, nadanya dalam dan penuh tekanan. "Jangan bohong lagi, Yolanda! Aku dengar semuanya dari awal." Yolanda terdiam. Henry mendekat, sorot matanya menyala. "Kamu hancurkan hidupku. Kamu bikin aku menyakiti orang yang paling aku sayang di dunia ini. Kamu manipulasi aku waktu aku paling rapuh. Apa kamu sadar apa yang kamu lakukan?!" "Henry, aku cinta kamu!" pekik Yolanda tiba-tiba. "Aku cuma ingin kamu sadar kalau Aurora itu tidal layak untukmu!" "Diam!" bentak Henry, suaranya menggetarkan ruangan. "Cinta? Kamu sebut itu cinta?! Kamu cuma obsesif, Yolanda. Kamu tega menjatuhkan orang lain demi rasa posesifmu yang sakit." Wajah Yolanda mulai berkaca-kaca, tapi Henry tak goyah. "Mulai hari ini, kamu keluar dari hidupku. Satu langkah lagi kamu ganggu Aurora, dan aku pastikan kamu dihukum atas semua fitnah yang kamu sebarkan." Yolanda membuka mulut hendak membela diri, tapi Henry mengangkat tangan, menghentikannya. "Aku aka
Suasana kota London pagi itu terasa hening dari lantai atas apartemen Henry. Hujan rintik-rintik di pagi hari membasahi jendela kaca yang besar, menciptakan irama lembut yang menenangkan. Henry baru saja keluar dari kamarnya, hendak menuju dapur untuk mengambil air. Ia baru saja selesai mandi dan lupa membawa ponselnya yang tertinggal di meja nakas. Ia melangkah ringan di lorong, mengenakan kaus hitam dan celana tidur. Namun langkahnya terhenti seketika saat mendengar suara Yolanda dari kamarnya. Suara percakapan Yolanda yang begitu lantang membuatnya ragu. Ia menyipitkan mata, berdiri setengah tersembunyi di balik dinding. "Iya, semuanya berjalan sesuai rencana," suara Yolanda terdengar jelas, penuh kebanggaan. Ia sedang berbicara di telepon. Henry menahan napas, tubuhnya seketika kaku. "Dia mabuk berat malam itu. Dia bahkan tidak sadar apa yang terjadi." Yolanda tertawa kecil, geli sendiri. Henry membelalak. “Dan mengenai foto itu, saat Aurora dicium oleh Jordan, sepertinya
Kota Berlin menyala indah dari balik jendela hotel bintang lima tempat mereka menginap. Aurora berdiri membelakangi pemandangan, menggenggam cangkir teh chamomile hangat. Hatinya masih kacau, pikirannya masih berputar pada Henry, meskipun ia sudah ratusan kali berkata pada dirinya bahwa ini sudah keputusan terbaik.Andrew mengetuk pintu kamarnya pelan. “Aurora?”Ia membuka pintu, masih mengenakan setelan tidur sutra abu-abu lembut. “Ada apa?”Andrew berdiri di ambang pintu dengan senyum ramah, mengenakan kaus putih dan celana lounge. “Kamu nggak bisa tidur?”Aurora menggeleng. "Tadi aku pesen cokelat panas. Kalau kamu mau—”Ponsel Aurora bergetar di tangan. Ia menunduk, mengerutkan alis. Nama pengirim: Yolanda.“Sebentar ya.” Ia mundur masuk ke kamar dan menutup pintu perlahan sebelum membuka pesan tersebut.Pesan pertama: Ada yang merindukan dia? Tertempel di bawahnya: sebuah foto.Aurora nyaris menjatuhkan ponsel saat melihat gambar itu. Sebuah tempat tidur berantakan, seprai putih
Florien terdiam. Ia sebenarnya ingin tetap diam, ingin membiarkan Henry menanggung akibat dari kebodohannya sendiri. Tapi di satu sisi, ia tahu kakaknya masih mencintai Aurora dan jauh di dalam hati kecilnya, Florien percaya—mereka masih punya kesempatan. Ia akhirnya berkata pelan, “Dia ke Berlin.” Henry terkejut. “Berlin? Sendirian?” “Enggak juga. Dia pergi sama pengacaranya. Andrew Smith.” Seketika Henry merasa sesak. “Untuk apa?” tanyanya. Florien menjawab singkat, “Mengurus properti pribadi, dan menghadiri peluncuran koleksi perhiasan terbaru dari Beian.” Henry membeku. Acara itu internasional, dihadiri banyak tokoh penting. Aurora akan berada di pusat perhatian, mengenakan gaun terbaiknya, dengan tatapan tenang seperti biasa. Dan dia? Ia bahkan tak tahu kalau wanita yang ia cinta sudah sejauh itu meninggalkannya. “Mungkin ini waktumu membenahi segalanya,” ucap Florien pelan. “Atau kalau kamu tidak cepat, mungkin kamu harus siap kehilangan dia selamanya.” Telepon
Keesokan harinya, media sosial masih dipenuhi potongan-potongan video saat Henry memeluk Yolanda di acara peluncuran proyek. Judul-judul headline makin menggila: “Cinta CEO dan Pewaris Muda, Keluarga Besar Wilmington Group Restui Hubungan Mereka?” — “Aurora dan Henry Resmi Berakhir?” Aurora membaca semuanya dengan tatapan datar, tapi isi dadanya berkecamuk seperti kapal karam. Ia bukan lagi topik utama, tapi entah kenapa rasanya jauh lebih menyakitkan saat tidak diperhitungkan sama sekali. Florien menutup laptopnya, menghela napas. “Aku tahu kamu lelah.” Aurora mengangguk. “Aku lelah berharap.” “Kalau begitu berhentilah.” “Aku sudah, tapi rasa sakit ini tetap tinggal.” Florien menggenggam tangan Aurora. “Kalau kamu perlu pergi jauh untuk benar-benar sembuh." Aurora menoleh. “Meninggalkan semuanya?” “Untuk menyelamatkanmu dari dirimu sendiri.” *** Aurora duduk di ruangannya yang kini terasa terlalu besar, terlalu sunyi. Komputer menyala, email-email belum terbaca menumpuk, ta
Esok paginya, foto itu tersebar. Kini giliran Henry yang menjadi bahan gosip. Aurora melihatnya di ponsel Florien. Tidak ada satu otot pun di wajahnya yang bergerak. Ia hanya menyerahkan kembali ponsel itu dan berkata, “Kopi pagi ini hambar sekali, ya.” Florien hampir melempar meja. “Astaga, Aurora! Kamu nggak bisa terus-terusan mematikan perasaanmu seperti ini!” “Kalau kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan?” bisik Aurora sambil menatap Florien tajam. Florien terdiam. “Kalau kamu sudah menjelaskan, sudah memohon untuk dipercaya, tapi tetap dianggap pengkhianat, kamu masih akan berjuang?” Florien tidak menjawab. Aurora melanjutkan dengan lirih, “Aku hanya tidak ingin menghancurkan diriku sendiri untuk seseorang yang tidak pernah percaya padaku.” Sementara itu di apartemen Henry sore harinya, Henry kembali gelisah. Bukannya merasa menang, ia justru makin terpuruk. Aurora tetap tak bergeming. Tidak ada ledakan emosi, tidak ada air mata, tidak ada cinta? “Dia benar-benar sudah
Aurora berdiri di pantry kantor dengan secangkir kopi yang sudah dingin di tangannya. Kepalanya masih terasa berat oleh tatapan Henry pagi tadi—dingin, tanpa kata, namun menyakitkan. Langkah cepat seseorang membuatnya menoleh. “Aurora!” Florien muncul dengan wajah cemas dan napas terengah. “Aku langsung ke sini setelah lihat foto itu. Kamu… kamu baik-baik saja?” Aurora mengerjap, berusaha tersenyum meski lelah. “Sepertinya aku masih jadi pusat gosip." Florien menghela napas dalam-dalam, lalu menyodorkan ponselnya. Di layar masih terbuka foto yang sudah viral di lingkaran terbatas mereka: Aurora dan Jordan, tampak berciuman di balkon restoran. “Vernon yang nemu ini. Dia kaget setengah mati. Dia bahkan sempat pikir ini editan." “Aku dan dia tidak ada hubungan apa-apa,” sela Aurora dengan nada lirih. Florien terdiam, matanya menyiratkan simpati yang dalam. “Benarkah?" “Iya ” Aurora menatap cangkirnya dengan hampa. “Itu bukan ciuman yang kuminta, bahkan bukan ciuman sungguhan." F
Archer bersandar santai di kursinya. “Aku hanya menunjukkan pada dunia kebenaran, Henry atau kau ingin tetap buta pada perempuan yang jelas-jelas mengkhianatimu?” “Kau tidak tahu apa-apa tentang kami!” Henry membanting tangannya ke meja, wajahnya memerah. “Kau tidak tahu bagaimana aku mencintainya. Kau tidak berhak mencampuri urusan pribadiku!” Archer tidak mundur, tidak gentar. “Kau masih bertindak seperti anak kecil. Kau pikir cinta bisa menyelamatkan masa depanmu? Kau pewaris Wilmington. Hidupmu bukan hanya tentang perasaan. Kau butuh stabilitas. Yolanda memberimu itu.” Henry tertawa miris. “Apa itu? Stabilitas? Atau kendali? Kau ingin aku jadi boneka yang bisa kau arahkan sesuka hati?” Archer berdiri, perlahan. “Aku ingin kau menjadi pria yang tidak dikendalikan oleh kelemahan emosional. Kau pikir aku membangun ini semua dengan cinta? Dunia ini dibangun oleh pilihan logis dan aliansi strategis.” Henry menggeleng. “Kau membangun semuanya dengan kekejaman.” Keheningan menggant
Aurora bangkit dari kursinya, matanya mulai berkaca. "Kau tak bisa menuntut aku memilih sekarang, Henry. Aku juga sedang berjuang dengan diriku sendiri!" "Kau tidak bersikap seolah aku bukan siapa-siapa." "Dan kau? Kau pikir mudah bagiku? Kau selalu hadir tanpa memberi kepastian. Kau menuntut kejelasan dari hatiku, tapi kau sendiri belum menyembuhkan luka kita dulu." Henry menatapnya dalam-dalam. "Karena aku pikir, cinta itu bisa menyembuhkan sendiri." "Aku lelah!" Aurora berseru. "Aku lelah mencintaimu, lalu harus bersikap seolah aku tidak peduli hanya karena takut jatuh lagi. Aku lelah menahan semuanya sendiri." Henry menghela napas panjang. Wajahnya kini dipenuhi luka, kekecewaan, dan kesedihan. "Kalau begitu mungkin aku memang harus pergi," katanya pelan. Aurora menatapnya, terkejut. "Apa maksudmu?" "Aku mencintaimu, Aurora, tapi kalau kehadiranku justru membuatmu semakin ragu, mungkin aku memang harus menjauh." Aurora menggeleng. "Jangan lakukan ini!" Tapi Henr