Aurora merasa tubuhnya memanas. Bukan hanya karena kata-kata Henry yang begitu intens, tetapi juga karena caranya menatapnya seolah-olah ia adalah satu-satunya wanita di dunia ini.Namun, sebelum ia sempat mengeluarkan satu kata pun, Henry mundur sedikit, masih dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia lalu meraih tangan Aurora dan menggenggamnya lembut, tetapi dengan cengkeraman yang cukup kuat untuk memberi tahu bahwa ia serius."Ayo, kita kembali ke kamar hotel!" kata Henry.Aurora berusaha menarik tangannya, tapi Henry tidak membiarkannya. "Aku bisa jalan sendiri, Henry.""Tentu saja bisa," katanya, tetapi tetap menggenggam tangannya erat, membimbingnya menuju lift.Setibanya di kamar hotel, Aurora menghempaskan dirinya ke sofa, mencoba menenangkan diri. Ia berpikir bahwa Henry akan duduk di kursi di seberangnya, tetapi ternyata tidak. Ia justru berdiri di dekatnya, menatapnya dari atas dengan ekspresi penuh ketegangan."Aku ingin tahu satu hal," kata Henry tiba-tiba.Aurora mengan
Setelah kepergian Henry, Aurora segera masuk ke apartemennya, mencoba mengabaikan debaran jantungnya yang tidak beraturan. Ia menggigit bibir, meneguk segelas air dingin untuk menenangkan diri. Namun, ia tidak punya waktu untuk terlalu lama memikirkan Henry. Esok hari ada rapat penting yang sudah tertunda selama tiga hari gara-gara Henry mengajaknya bertemu klien di luar kota terpaksa Aurora harus memundurkan jadwal yang sudah di susun.Mila, sekretarisnya, sudah menghubunginya sejak tadi pagi, mengingatkan hari ini ada rapat dengan staf marketing.Aurora segera mandi dan bersiap. Ia mengenakan setelan berwarna merah, memoleskan sedikit riasan untuk menyamarkan kelelahan di wajahnya, lalu bergegas menuju kantor.Begitu ia tiba, Mila langsung menghampirinya.."Bu Aurora. Para staf marketing sudah berkumpul di ruang rapat," bisik Mila.Aurora mengangguk. "Aku mengerti. Mari kita mulai."Ia melangkah ke ruang rapat dengan percaya diri, meskipun ia bisa merasakan tatapan penuh ekspektasi
Aurora melangkah keluar dari gedung perusahaannya dengan langkah tergesa. Matahari siang menyinari jalanan kota, tetapi tidak mampu mengurangi hawa panas yang ia rasakan di dadanya. Di sampingnya, Henry berjalan dengan santai, seolah tidak peduli dengan sorot mata karyawan yang memperhatikan mereka. Saat mereka tiba di lobi utama, Henry tiba-tiba meraih tangannya. Aurora tersentak, menoleh cepat. "Henry," bisiknya tajam, matanya melirik sekitar dengan gelisah. "Lepaskan tanganku!" Henry hanya menatapnya sekilas, bibirnya melengkung dalam senyum kecil yang tak terbaca. "Kenapa? Aku hanya menggandeng tangan istriku." Aurora menghela napas panjang, mencoba menarik tangannya dengan halus. Namun, genggaman Henry terlalu kuat. "Aku bukan istrimu lagi." Henry menunduk sedikit, mendekat ke telinganya, suaranya rendah namun penuh keyakinan. "Benarkah? Karena menurutku, aku masih mengingat dengan jelas bagaimana rasanya memiliki tangan ini di dalam genggamanku setiap hari." Aurora menegang
Henry menyandarkan tubuhnya, matanya tak lepas dari Aurora yang masih menatap meja dengan ekspresi rumit. Ia tersenyum kecil."Kau sengaja membawa aku ke sini?" tanya Aurora akhirnya, menyilangkan tangan di dada, mencoba menyembunyikan kegugupannya.Henry mengangkat alis. "Kenapa? Terlalu banyak kenangan?"Aurora mendengus pelan. Ia mengambil menu dan berpura-pura fokus memilih makanan, padahal pikirannya kacau.Sementara itu, Henry justru tak menyentuh menu sama sekali. Ia hanya menatap Aurora, seolah-olah sedang menghafal setiap detail wajahnya. "Kau tampak cantik hari ini."Aurora menghela napas, meletakkan menu dengan sedikit keras. "Henry, kita di sini untuk makan siang, bukan untuk bernostalgia."Henry tersenyum, menikmati reaksi Aurora yang berusaha keras menjaga batas. "Baiklah, kalau begitu aku akan langsung ke intinya."Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, mendekat ke meja, tatapannya lebih serius."Aku ingin kita bicara soal kita lagi."Aurora menegang. Ia merasakan udara di
Pukul tujuh pagi, Aurora Stockwell berdiri dalam antrean di depan konter kedai kopi. Aroma biji kopi yang baru digiling seharusnya menenangkan, tapi pikirannya terlalu kacau untuk menikmati itu. Perusahaan tempatnya bekerja yang juga warisan ayahnya dan kini dikelola oleh kakaknya berada di ambang kebangkrutan. Jika itu terjadi, bukan hanya pekerjaannya yang hilang, tapi juga mata pencaharian banyak keluarga yang bergantung pada perusahaan tersebut dan semua ini salah Henry. Aurora mengepalkan jemarinya, menahan kemarahan yang hanya bisa didengar oleh batinnya sendiri. Dulu, hidupnya berjalan stabil. Ia seorang staf ahli keuangan dengan karier yang menjanjikan hingga hari itu terjadi---saat ia menabrak seorang pria di depan lift. Byur!Secangkir kopi tumpah, mengotori jas mahal pria itu. Henry Wilmington. Alih-alih marah, Henry justru terpesona. Ia jatuh cinta pada Aurora pada pandangan pertama, terpikat oleh mata biru tajamnya. Aurora teringat bagaimana pria itu merayunya dengan
Semilir angin pagi berhembus lembut saat Aurora melajukan mobil merahnya, menyusuri jalan yang mulai dipadati kendaraan. Di trotoar, anak-anak berjalan riang dengan tas punggung mereka, beberapa berlarian mengejar teman-temannya menuju sekolah. Saat lampu lalu lintas berubah merah, Aurora menghentikan mobilnya. Seorang pria paruh baya melintas di depan kap mobilnya, lalu tersenyum ramah. Aurora membalas senyumnya, meski pikirannya jauh dari momen itu. Lampu hijau menyala. Aurora kembali melajukan mobilnya, tetapi dadanya terasa sesak. Jemarinya mencengkeram erat kemudi setiap kali bayangan Henry muncul di benaknya. Pria itu muncul begitu tiba-tiba, menatapnya dengan mata cokelat hangat yang dulu begitu ia sukai, tapi Aurora tidak akan tertipu lagi. Ada sesuatu di balik kehadiran Henry—ia yakin itu. Pria itu bukan tipe yang melakukan sesuatu tanpa alasan dan ia tidak boleh terjebak dalam permainan Henry lagi. Mobil merah itu akhirnya memasuki kawasan pelabuhan, di mana gedung pelel
Dua tahun pernikahan dengan laki-laki itu telah berakhir dalam puing-puing perceraian, dan kini berdiri di hadapannya adalah seseorang yang pernah ia cintai sepenuh hati sekaligus melukai dan menghancurkannya tanpa ampun.Tatapannya penuh gejolak—amarah yang membara, kekecewaan yang menusuk, dan luka yang masih menganga. Perasaannya berantakan, seperti dihantam badai tanpa belas kasihan, menelannya dalam pusaran rasa sakit yang nyaris tak tertanggungkan.Aurora mengamati Henry dengan saksama, mencoba menemukan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang bisa membuatnya merasa lebih asing terhadap pria itu, tapi tidak. Henry masih seperti dulu. Rahang tegas yang terukir sempurna, senyum setengah malas yang pernah membuatnya jatuh cinta, hidung tinggi yang seakan menambah kesombongannya, dan bibir yang begitu mudah melontarkan janji-janji yang dulu ia percayai. Daya pikatnya tetap kuat, begitu memabukkan, seperti racun yang diam-diam menyelinap ke dalam darahnya.Henry adalah laki-laki yang tahu
Bibir Aurora merekah, menyambut sentuhan yang begitu akrab namun tetap membuai. Awalnya, ia membalasnya dengan ragu, malu-malu, tapi Henry tak memberi ruang untuk kebimbangan. Pria itu memperdalam ciumannya, lebih lembut, lebih menuntut, seakan ingin mengingatkan Aurora akan semua rasa yang dulu pernah mereka bagi.Dada Henry bergetar saat bibir ranum itu akhirnya sepenuhnya menyatu dengan miliknya. Napasnya semakin berat, seiring dengan hasrat yang menggelegak di dalam dirinya. Ia merasakan manisnya, merasakan Aurora yang perlahan-lahan menyerah dalam dekapannya.Ia ingin lebih. Ia butuh lebih."Aurora...." desah Henry, suaranya dalam dan serak, penuh gairah yang nyaris membuatnya kehilangan kendali.Aurora terperangkap dalam pesona Henry. Pria itu begitu tampan dalam cahaya temaram, dengan sorot matanya yang teduh namun berbahaya. Rahangnya yang kuat dan ekspresi menggoda membuat Aurora semakin tenggelam.Henry menarik diri, hanya untuk menempelkan dahinya ke dahi Aurora, berusaha m
Henry menyandarkan tubuhnya, matanya tak lepas dari Aurora yang masih menatap meja dengan ekspresi rumit. Ia tersenyum kecil."Kau sengaja membawa aku ke sini?" tanya Aurora akhirnya, menyilangkan tangan di dada, mencoba menyembunyikan kegugupannya.Henry mengangkat alis. "Kenapa? Terlalu banyak kenangan?"Aurora mendengus pelan. Ia mengambil menu dan berpura-pura fokus memilih makanan, padahal pikirannya kacau.Sementara itu, Henry justru tak menyentuh menu sama sekali. Ia hanya menatap Aurora, seolah-olah sedang menghafal setiap detail wajahnya. "Kau tampak cantik hari ini."Aurora menghela napas, meletakkan menu dengan sedikit keras. "Henry, kita di sini untuk makan siang, bukan untuk bernostalgia."Henry tersenyum, menikmati reaksi Aurora yang berusaha keras menjaga batas. "Baiklah, kalau begitu aku akan langsung ke intinya."Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, mendekat ke meja, tatapannya lebih serius."Aku ingin kita bicara soal kita lagi."Aurora menegang. Ia merasakan udara di
Aurora melangkah keluar dari gedung perusahaannya dengan langkah tergesa. Matahari siang menyinari jalanan kota, tetapi tidak mampu mengurangi hawa panas yang ia rasakan di dadanya. Di sampingnya, Henry berjalan dengan santai, seolah tidak peduli dengan sorot mata karyawan yang memperhatikan mereka. Saat mereka tiba di lobi utama, Henry tiba-tiba meraih tangannya. Aurora tersentak, menoleh cepat. "Henry," bisiknya tajam, matanya melirik sekitar dengan gelisah. "Lepaskan tanganku!" Henry hanya menatapnya sekilas, bibirnya melengkung dalam senyum kecil yang tak terbaca. "Kenapa? Aku hanya menggandeng tangan istriku." Aurora menghela napas panjang, mencoba menarik tangannya dengan halus. Namun, genggaman Henry terlalu kuat. "Aku bukan istrimu lagi." Henry menunduk sedikit, mendekat ke telinganya, suaranya rendah namun penuh keyakinan. "Benarkah? Karena menurutku, aku masih mengingat dengan jelas bagaimana rasanya memiliki tangan ini di dalam genggamanku setiap hari." Aurora menegang
Setelah kepergian Henry, Aurora segera masuk ke apartemennya, mencoba mengabaikan debaran jantungnya yang tidak beraturan. Ia menggigit bibir, meneguk segelas air dingin untuk menenangkan diri. Namun, ia tidak punya waktu untuk terlalu lama memikirkan Henry. Esok hari ada rapat penting yang sudah tertunda selama tiga hari gara-gara Henry mengajaknya bertemu klien di luar kota terpaksa Aurora harus memundurkan jadwal yang sudah di susun.Mila, sekretarisnya, sudah menghubunginya sejak tadi pagi, mengingatkan hari ini ada rapat dengan staf marketing.Aurora segera mandi dan bersiap. Ia mengenakan setelan berwarna merah, memoleskan sedikit riasan untuk menyamarkan kelelahan di wajahnya, lalu bergegas menuju kantor.Begitu ia tiba, Mila langsung menghampirinya.."Bu Aurora. Para staf marketing sudah berkumpul di ruang rapat," bisik Mila.Aurora mengangguk. "Aku mengerti. Mari kita mulai."Ia melangkah ke ruang rapat dengan percaya diri, meskipun ia bisa merasakan tatapan penuh ekspektasi
Aurora merasa tubuhnya memanas. Bukan hanya karena kata-kata Henry yang begitu intens, tetapi juga karena caranya menatapnya seolah-olah ia adalah satu-satunya wanita di dunia ini.Namun, sebelum ia sempat mengeluarkan satu kata pun, Henry mundur sedikit, masih dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia lalu meraih tangan Aurora dan menggenggamnya lembut, tetapi dengan cengkeraman yang cukup kuat untuk memberi tahu bahwa ia serius."Ayo, kita kembali ke kamar hotel!" kata Henry.Aurora berusaha menarik tangannya, tapi Henry tidak membiarkannya. "Aku bisa jalan sendiri, Henry.""Tentu saja bisa," katanya, tetapi tetap menggenggam tangannya erat, membimbingnya menuju lift.Setibanya di kamar hotel, Aurora menghempaskan dirinya ke sofa, mencoba menenangkan diri. Ia berpikir bahwa Henry akan duduk di kursi di seberangnya, tetapi ternyata tidak. Ia justru berdiri di dekatnya, menatapnya dari atas dengan ekspresi penuh ketegangan."Aku ingin tahu satu hal," kata Henry tiba-tiba.Aurora mengan
Aurora, tidak menyadari perubahan ekspresi Henry, mulai mempresentasikan produk mereka. "Kami sangat bangga memperkenalkan rangkaian produk makanan laut terbaru ini," katanya dengan suara jernih dan penuh semangat. Ia menggeser beberapa piring lebih dekat ke para klien. "Produk kami berasal dari sumber terbaik, ditangkap dengan metode ramah lingkungan, dan diproses menggunakan teknologi canggih untuk memastikan kesegarannya tetap terjaga." Sambil berbicara, Aurora mengambil satu piring kecil berisi scallop panggang yang berkilau dengan lapisan mentega bawang putih. Ia meletakkannya di depan Michael. "Silakan coba, Pak Gilroy," katanya. "Scallop ini langsung diambil dari perairan dalam dan hanya membutuhkan waktu kurang dari 24 jam sebelum sampai ke tangan Anda. Kami memastikan kualitas premium tanpa bahan tambahan yang dapat mengubah cita rasa aslinya." Michael mengambil garpunya dan mencicipi. Matanya sedikit melebar sebelum mengangguk puas. "Luar biasa. Rasanya manis alami, tida
Henry masih berdiri di depan pintu setelah Aurora pergi, menatap kosong ke arah koridor yang kini sepi. Pikirannya masih dipenuhi sosok wanita itu—cara matanya membelalak saat ia berbisik di dekatnya, bagaimana wajahnya memerah setiap kali ia menggoda. Sebuah ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya. Henry menghela napas dan melangkah ke pintu, membukanya dengan ekspresi datar. Di depan pintu berdiri seorang wanita dengan pakaian formal, rambutnya disanggul rapi, dan wajahnya menunjukkan profesionalisme yang tak tergoyahkan. Clara, sekretaris pribadinya. "Selamat pagi, Pak Wilmington!" sapanya dengan suara tenang. "Saya hanya ingin mengingatkan bahwa Anda masih memiliki satu pertemuan lagi dengan klien jam sepuluh nanti." Henry mengangguk pelan, "Aku mengerti." Clara mengamati ekspresi bosnya yang terlihat sedikit berbeda dari biasany seolah pikirannya sedang berada di tempat lain. "Apakah Anda ingin saya mengatur ulang jadwal jika Anda perlu waktu lebih lama untuk beristi
Aurora mengira malam itu akan berakhir seperti sebelumnya dengan perasaan yang menggantung, dengan kebingungan yang tak kunjung menemukan jalan keluar. Tetapi ketika ia menutup pintu kamarnya, tangannya masih menggenggam erat gantungan kunci yang diberikan Henry. Ia menatap benda kecil itu dalam diam. Bentuknya sederhana, tetapi detailnya menunjukkan perhatian. Henry mengingat bahwa ia menyukai kucing. Henry bahkan ingat inisialnya. Mengapa? Aurora mendesah, meletakkan gantungan kunci itu di meja, tetapi tetap tidak bisa mengalihkan pikirannya. Rasanya Henry selalu ada di sekitarnya, selalu memberikan perhatian-perhatian kecil yang membuatnya goyah. Keesokan harinya, Aurora bangun lebih pagi dari biasanya, berpikir bahwa ia bisa menghindari Henry jika turun ke restoran hotel sebelum pria itu tiba. Tetapi begitu ia memasuki ruangan, matanya langsung menangkap sosok yang duduk di dekat jendela, mengenakan kemeja putih bersih yang dilipat hingga siku. Aurora berhenti sejenak, mempert
Henry tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata dengan suara rendah, "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja." Aurora menelan ludah. "Aku baik-baik saja." Henry mengangguk pelan, tetapi tidak pergi. Aurora bisa merasakan udara di antara mereka berubah. Ada sesuatu yang tidak terucap, sesuatu yang menggantung di udara. "Aurora." Henry berbisik, suaranya hampir seperti doa. Aurora menatapnya. "Ya?" Henry menatapnya dalam, seolah-olah ini adalah kesempatan terakhirnya untuk mengatakan sesuatu yang penting. Tetapi pada akhirnya, ia hanya tersenyum kecil, lalu berkata, "Selamat malam!" Aurora hanya bisa menatap punggungnya saat ia pergi, meninggalkan perasaan yang semakin rumit di dalam dadanya.***Keesokan harinya, Aurora berpikir semuanya akan kembali normal, bahwa kejadian di dalam mobil dan di depan pintu kamarnya semalam hanyalah momen sesaat yang bisa ia lupakan. Tetapi Henry membuktikan bahwa ia salah.Saat mereka turun ke lobi hotel u
Ruangan itu langsung hening.Erik mengerjapkan mata, tampak tidak siap dengan jawaban itu. Beberapa orang yang sebelumnya tampak skeptis kini mulai duduk lebih tegak, menunggu reaksi selanjutnya.Aurora tidak memberinya waktu untuk membalas. Ia meletakkan beberapa laporan di atas meja, lalu melanjutkan, "Aku tidak meminta kalian untuk langsung setuju denganku sekarang. Aku hanya ingin kalian memberi kesempatan untuk melihat datanya lebih dalam. Kita akan membahas ulang dalam dua hari. Deal?"Beberapa orang saling bertukar pandang sebelum akhirnya mengangguk pelan.Aurora menahan napas sejenak, merasakan ketegangan di bahunya mulai mengendur. Ini baru langkah pertama, tapi setidaknya ia berhasil mengendalikan situasi.Setelah rapat berakhir, Aurora kembali ke ruangannya. Ia menghempaskan diri ke kursi, membiarkan kepalanya bersandar beberapa detik. Namun, sesuatu di mejanya membuatnya terhenti.Secangkir kopi.Aroma pahit dan hangatnya begitu familiar, menyelinap masuk ke dalam memorin