Aurora melangkah keluar dari gedung perusahaannya dengan langkah tergesa. Matahari siang menyinari jalanan kota, tetapi tidak mampu mengurangi hawa panas yang ia rasakan di dadanya. Di sampingnya, Henry berjalan dengan santai, seolah tidak peduli dengan sorot mata karyawan yang memperhatikan mereka. Saat mereka tiba di lobi utama, Henry tiba-tiba meraih tangannya. Aurora tersentak, menoleh cepat. "Henry," bisiknya tajam, matanya melirik sekitar dengan gelisah. "Lepaskan tanganku!" Henry hanya menatapnya sekilas, bibirnya melengkung dalam senyum kecil yang tak terbaca. "Kenapa? Aku hanya menggandeng tangan istriku." Aurora menghela napas panjang, mencoba menarik tangannya dengan halus. Namun, genggaman Henry terlalu kuat. "Aku bukan istrimu lagi." Henry menunduk sedikit, mendekat ke telinganya, suaranya rendah namun penuh keyakinan. "Benarkah? Karena menurutku, aku masih mengingat dengan jelas bagaimana rasanya memiliki tangan ini di dalam genggamanku setiap hari." Aurora menegang
Henry menyandarkan tubuhnya, matanya tak lepas dari Aurora yang masih menatap meja dengan ekspresi rumit. Ia tersenyum kecil. "Kau sengaja membawa aku ke sini?" tanya Aurora akhirnya, menyilangkan tangan di dada, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Henry mengangkat alis. "Kenapa? Terlalu banyak kenangan?" Aurora mendengus pelan. Ia mengambil menu dan berpura-pura fokus memilih makanan, padahal pikirannya kacau. Sementara itu, Henry justru tak menyentuh menu sama sekali. Ia hanya menatap Aurora, seolah-olah sedang menghafal setiap detail wajahnya. "Kau tampak cantik hari ini." Aurora menghela napas, meletakkan menu dengan sedikit keras. "Henry, kita di sini untuk makan siang, bukan untuk bernostalgia." Henry tersenyum, menikmati reaksi Aurora yang berusaha keras menjaga batas. "Baiklah, kalau begitu aku akan langsung ke intinya." Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, mendekat ke meja, tatapannya lebih serius. "Aku ingin kita bicara soal kita lagi." Aurora menegang. Ia me
Henry duduk di belakang meja kerjanya begitu tiba di ruangannya. Secangkir kopi panas sudah tersedia di meja kerjanya. Ia menyesap kopinya perlahan, membiarkan pahitnya menyatu dengan pikirannya yang juga terasa getir. Perbincangannya dengan Aurora tadi terus terngiang di kepalanya, terutama bagaimana wanita itu menghindari tatapannya dan menarik tangannya dengan gemetar.Henry menyandarkan tubuhnya ke kursi, senyum kecil terulas di wajahnya. Ponselnya bergetar di meja. Henry menoleh dan melihat nama yang terpampang di layar. Archer.Seketika ekspresinya berubah. Senyumnya sirna, tergantikan oleh tatapan dingin dan rahang yang mengeras. Henry tidak langsung mengangkatnya. Ia menatap layar itu beberapa saat, mempertimbangkan apakah ia harus mengabaikan panggilan tersebut. Namun, ia tahu ayahnya bukan tipe yang menyerah begitu saja.Dengan napas berat, ia akhirnya mengangkatnya. "Ada apa?"Suara berat di seberang terdengar formal, seperti biasa. "Temui aku di Izakaya Hana pukul delapan
Archer hanya mengaduk sup misonya dengan sumpit, lalu berkata dengan nada datar, "Yang perlu kau tahu adalah aku tidak ingin kau bersamanya dan aku memperingatkanmu untuk menjauhinya." Henry mendecakkan lidah. "Dulu aku sudah menuruti kemauanmu, tapi tidak lagi. Aku tidak akan membiarkanmu mengatur hidupku lagi." Mata Archer menyipit. "Jangan terlalu percaya diri, Henry. Aku tidak akan tinggal diam." Mereka saling menatap dengan ketegangan yang hampir bisa dirasakan di udara. Kemudian, Archer menenangkan dirinya dan meletakkan sumpitnya. "Sebenarnya, aku memanggilmu ke sini untuk hal lain." Henry mengerutkan kening. "Aku sudah mengatur perjodohan untukmu." Dada Henry terasa seperti ditinju. "Apa?" "Dia putri dari rekan bisnisku. Wanita yang berkelas dan berasal dari keluarga terpandang." Henry terkekeh sinis. "Aku tidak tertarik." "Henry, ini bukan permintaan." Henry menyilangkan tangan di dada. "Aku tidak peduli. Aku tidak akan menikahi seseorang hanya karena kau mengingink
Aurora menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. Hatinya terasa sesak. Ia tahu ibunya hanya ingin melindunginya, tetapi mendengar permintaan itu dari mulut Rosamaria seperti pisau yang menusuk tepat ke jantungnya.“Ibu pikir aku akan lebih bahagia tanpa Henry?” suaranya bergetar, hampir berbisik.Rosamaria menatapnya dengan sorot mata penuh kasih, tapi juga ada ketegasan di sana. “Kadang, kebahagiaan bukan hanya tentang siapa yang kita cintai, tapi juga siapa yang membuat kita lebih baik.”Aurora terdiam. Kata-kata ibunya menggema dalam benaknya. Ia mengangkat wajah, matanya yang berkaca-kaca menatap lurus ke mata Rosamaria. “Ibu, apakah ini karena seseorang menyuruhmu mengatakan ini?”Rosamaria terkejut. Sekilas, matanya berkedip panik, tapi ia segera menyembunyikannya.“Aurora.”Aurora menggeleng, suaranya lebih kuat sekarang. “Ibu tidak akan tiba-tiba mengatakan ini kalau tidak ada sesuatu di baliknya.”Rosamaria terdiam. Ia ingin menyangkal, tetapi tatapan tajam putr
Aurora menutup matanya sejenak, berusaha menenangkan hatinya yang kacau. Sejak pertemuannya dengan ibunya tadi sore, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata Rosamaria dan bayangan Henry yang terus menghantuinya. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, jari-jarinya gemetar saat hendak menghubungi Henry. Namun, sebelum sempat menekan tombol panggilan, ponselnya bergetar. "Andrew Smith?" gumamnya saat melihat nama yang tertera di layar. Dengan sedikit ragu, ia menggeser ikon hijau dan menempelkan ponsel ke telinga. "Halo?" "Aurora, aku harap tidak mengganggumu." Suara Andrew terdengar ramah seperti biasa. "Tidak, ada apa, Andrew?" "Aku ingin bertemu denganmu untuk membahas beberapa dokumen penting terkait keluargamu. Bisa kita bertemu di restoran Saville malam ini?" tanyanya sopan. Aurora mengerutkan kening. "Dokumen penting? Terkait apa?" "Lebih baik kita bahas secara langsung. Aku janji ini tidak akan memakan banyak waktumu." Aurora berpikir sejenak. Ia memang mem
Henry menghela napas dalam, berusaha meredam emosi yang berkecamuk di dadanya. Begitu pintu lift terbuka di lantai tempat kantor Aurora berada, wanita itu segera melangkah keluar tanpa memberi Henry kesempatan untuk berbicara lebih jauh. Henry mengikutinya, langkahnya cepat menyusul Aurora yang sudah hampir mencapai ruangannya. "Aurora, kita perlu bicara," suara Henry terdengar lebih lembut, tetapi tetap penuh ketegasan. Aurora berhenti di depan pintu kantornya, tangannya menggenggam kenop pintu sejenak sebelum berbalik menghadap Henry. Tatapannya tajam dan penuh keteguhan. "Henry, aku lelah. Aku tidak ingin bertengkar denganmu saat ini." Henry mengusap wajahnya frustasi. "Aku tidak ingin bertengkar, Aurora. Aku hanya ingin kau mengerti. Aku tidak bisa diam saja melihatmu bersama pria lain tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku—" "Kau apa, Henry? Cemburu?" potong Aurora cepat. "Kau tidak punya hak untuk bersikap seperti ini padaku. Kita sudah bukan siapa-siapa lagi." Wajah H
Henry tidak langsung kembali ke kantornya. Ia keluar dari gedung itu tanpa tujuan jelas, berjalan menyusuri trotoar kota. Angin sore menusuk kulitnya, namun tak ada yang lebih dingin dari perasaan yang menyelimuti dadanya. Tatapan Aurora tadi—penuh keraguan dan ketegasan—masih terpatri jelas dalam pikirannya.Ia berhenti di sebuah kedai kopi kecil yang biasa mereka kunjungi dulu. Tempat itu kini terasa begitu asing. Duduk di sudut dekat jendela, Henry memandang kosong ke luar sambil menggenggam cangkir yang bahkan tak disentuh isinya. Kepalanya terus dipenuhi bayangan Aurora dan Jordan.Jordan.Nama itu terasa seperti duri. Ia tak pernah suka pria itu sejak awal. Terlalu sopan, terlalu sempurna, dan yang paling menyebalkan terlalu dekat dengan Aurora.***Sementara itu, Aurora termenung di ruangannya. Rapat yang menunggunya pukul lima terpaksa ia batalkan. Perasaannya terlalu kacau. Ia menatap ponsel di meja, berharap Henry menghubunginya. Tapi layar tetap gelap. Tak ada pesan, tak ad
Sebelum Aurora sempat bereaksi, semuanya terjadi begitu cepat.Pria itu tiba-tiba mendorong Andrew dengan kasar. Andrew terhuyung ke belakang sebelum jatuh tersungkur ke lantai marmer yang dingin.Aurora terbelalak. Apa yang terjadi?!Tanpa peringatan, pria itu mencengkeram lengannya dengan kasar. Jari-jarinya yang kuat mencengkeram pergelangan tangan Aurora hingga terasa sakit."Kamu harus ikut denganku!" Suaranya penuh ancaman.Aurora merasakan ketakutan menjalari tubuhnya. Bau alkohol dari pria itu semakin menusuk, membuat perutnya terasa mual."Lepaskan aku!" jeritnya panik, meronta sekuat tenaga.Ia menoleh ke belakang, berharap pada keajaiban.Andrew sudah bangkit! Wajahnya penuh amarah saat ia berusaha mengejar mereka.Namun, pria itu menyadarinya dan justru menyeret Aurora lebih cepat, hampir berlari ke arah pintu keluar gedung."Andrew, tolong aku!" teriaknya histeris."Aurora!" suara Andrew bergema di lorong, suaranya penuh kegelisahan.Di sisi lain gedung, Henry sedang berj
Aurora tampak gelisah. Itu memberinya sedikit kepuasan. Ia ingin wanita itu merasakan kegelisahan yang sama seperti yang ia rasakan sejak berhari-hari lalu. Namun, semua itu buyar saat ia melihat sesuatu yang membuat darahnya mendidih.Andrew Smith.Pria itu berdiri terlalu dekat dan kemudian, pria itu mengulurkan tangan, mengajak Aurora berdansa.Henry merasa tubuhnya menegang. Jari-jarinya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Ia menyaksikan bagaimana Andrew memimpin Aurora ke lantai dansa, bagaimana tangan pria itu menyentuh pinggangnya, bagaimana tubuh mereka bergerak seirama dengan dentingan musik.Cemburu adalah api yang membakar dari dalam dan malam ini, api itu hampir melahap kewarasannya. Sial. Dia tidak bisa membiarkan ini.Henry menghirup napas dalam, lalu melangkah mantap menuju mereka.Saat musik berubah lebih lambat, ia menyelip di antara para pasangan dansa, mendekati Aurora yang sedang tersenyum tipis pada Andrew dan kemudian dengan suara yang dalam dan dingin, ia
“Tidak ada lagi revisi setelah ini?” tanyanya dingin. “Tidak, ini final. Setelah ini merger akan diumumkan ke publik,” jawab Clara cepat, mencoba membaca suasana hati bosnya. Henry akhirnya mengambil pena itu. Dengan satu tarikan tegas, ia membubuhkan tanda tangannya. Seketika ruangan bergemuruh oleh suara ucapan selamat. Beberapa orang berdiri dan menjabat tangan Henry. Tapi dia hanya memberikan senyum tipis, sopan dan datar, seperti bayangan di kaca. “Terima kasih atas waktunya,” ucap Henry singkat, berdiri. “Saya ada penerbangan segera. Clara, koordinasikan sisanya.” Clara mengangguk, sedikit cemas. “Apakah saya perlu ikut ke Berlin, Tuan?” Henry berhenti sejenak, menatapnya. “Tidak. Ini urusan pribadi.” Kemudian ia berbalik, melangkah keluar ruang rapat tanpa banyak bicara. Langkahnya cepat, mantap, dan tanpa ragu. Kali ini, tidak ada yang akan menghalanginya. Tidak bisnis, tidak juga logika. Ia sudah terlalu lama menunda perasaannya. Kini, waktunya mengejar sesuatu yang
Yolanda menggigit bibir. "Aku… aku cuma—" Henry melangkah maju, nadanya dalam dan penuh tekanan. "Jangan bohong lagi, Yolanda! Aku dengar semuanya dari awal." Yolanda terdiam. Henry mendekat, sorot matanya menyala. "Kamu hancurkan hidupku. Kamu bikin aku menyakiti orang yang paling aku sayang di dunia ini. Kamu manipulasi aku waktu aku paling rapuh. Apa kamu sadar apa yang kamu lakukan?!" "Henry, aku cinta kamu!" pekik Yolanda tiba-tiba. "Aku cuma ingin kamu sadar kalau Aurora itu tidal layak untukmu!" "Diam!" bentak Henry, suaranya menggetarkan ruangan. "Cinta? Kamu sebut itu cinta?! Kamu cuma obsesif, Yolanda. Kamu tega menjatuhkan orang lain demi rasa posesifmu yang sakit." Wajah Yolanda mulai berkaca-kaca, tapi Henry tak goyah. "Mulai hari ini, kamu keluar dari hidupku. Satu langkah lagi kamu ganggu Aurora, dan aku pastikan kamu dihukum atas semua fitnah yang kamu sebarkan." Yolanda membuka mulut hendak membela diri, tapi Henry mengangkat tangan, menghentikannya.
Suasana kota London pagi itu terasa hening dari lantai atas apartemen Henry. Hujan rintik-rintik di pagi hari membasahi jendela kaca yang besar, menciptakan irama lembut yang menenangkan. Henry baru saja keluar dari kamarnya, hendak menuju dapur untuk mengambil air. Ia baru saja selesai mandi dan lupa membawa ponselnya yang tertinggal di meja nakas. Ia melangkah ringan di lorong, mengenakan kaus hitam dan celana tidur. Namun langkahnya terhenti seketika saat mendengar suara Yolanda dari kamarnya. Suara percakapan Yolanda yang begitu lantang membuatnya ragu. Ia menyipitkan mata, berdiri setengah tersembunyi di balik dinding. "Iya, semuanya berjalan sesuai rencana," suara Yolanda terdengar jelas, penuh kebanggaan. Ia sedang berbicara di telepon. Henry menahan napas, tubuhnya seketika kaku. "Dia mabuk berat malam itu. Dia bahkan tidak sadar apa yang terjadi." Yolanda tertawa kecil, geli sendiri. Henry membelalak. “Dan mengenai foto itu, saat Aurora dicium oleh Jordan, sepertinya
Kota Berlin di pagi hari terlihat indah dari balik jendela hotel bintang lima tempat mereka menginap. Aurora berdiri membelakangi pemandangan, menggenggam cangkir teh chamomile hangat. Hatinya masih kacau, pikirannya masih berputar pada Henry, meskipun ia sudah ratusan kali berkata pada dirinya bahwa ini sudah keputusan terbaik. Andrew mengetuk pintu kamarnya pelan. “Aurora?” Ia membuka pintu, masih mengenakan setelan tidur sutra abu-abu lembut. “Ada apa?” Andrew berdiri di ambang pintu dengan senyum ramah, mengenakan kaus putih dan celana lounge. "Tadi aku pesen cokelat panas. Kalau kamu mau—” Ponsel Aurora bergetar di tangan. Ia menunduk, mengerutkan alis. Nama pengirim: Yolanda. “Sebentar ya.” Ia mundur masuk ke kamar dan menutup pintu perlahan sebelum membuka pesan tersebut. Pesan pertama: Ada yang merindukan dia? Tertempel di bawahnya: sebuah foto. Aurora nyaris menjatuhkan ponsel saat melihat gambar itu. Sebuah tempat tidur berantakan, seprai putih, dan sosok Hen
Florien terdiam. Ia sebenarnya ingin tetap diam, ingin membiarkan Henry menanggung akibat dari kebodohannya sendiri. Tapi di satu sisi, ia tahu kakaknya masih mencintai Aurora dan jauh di dalam hati kecilnya, Florien percaya—mereka masih punya kesempatan. Ia akhirnya berkata pelan, “Dia ke Berlin.” Henry terkejut. “Berlin? Sendirian?” “Enggak juga. Dia pergi sama pengacaranya. Andrew Smith.” Seketika Henry merasa sesak. “Untuk apa?” tanyanya. Florien menjawab singkat, “Mengurus properti pribadi, dan menghadiri peluncuran koleksi perhiasan terbaru dari Beian.” Henry membeku. Acara itu internasional, dihadiri banyak tokoh penting. Aurora akan berada di pusat perhatian, mengenakan gaun terbaiknya, dengan tatapan tenang seperti biasa. Dan dia? Ia bahkan tak tahu kalau wanita yang ia cinta sudah sejauh itu meninggalkannya. “Mungkin ini waktumu membenahi segalanya,” ucap Florien pelan. “Atau kalau kamu tidak cepat, mungkin kamu harus siap kehilangan dia selamanya.” Telepon
Keesokan harinya, media sosial masih dipenuhi potongan-potongan video saat Henry memeluk Yolanda di acara peluncuran proyek. Judul-judul headline makin menggila: “Cinta CEO dan Pewaris Muda, Keluarga Besar Wilmington Group Restui Hubungan Mereka?” — “Aurora dan Henry Resmi Berakhir?” Aurora membaca semuanya dengan tatapan datar, tapi isi dadanya berkecamuk seperti kapal karam. Ia bukan lagi topik utama, tapi entah kenapa rasanya jauh lebih menyakitkan saat tidak diperhitungkan sama sekali. Florien menutup laptopnya, menghela napas. “Aku tahu kamu lelah.” Aurora mengangguk. “Aku lelah berharap.” “Kalau begitu berhentilah.” “Aku sudah, tapi rasa sakit ini tetap tinggal.” Florien menggenggam tangan Aurora. “Kalau kamu perlu pergi jauh untuk benar-benar sembuh." Aurora menoleh. “Meninggalkan semuanya?” “Untuk menyelamatkanmu dari dirimu sendiri.” *** Aurora duduk di ruangannya yang kini terasa terlalu besar, terlalu sunyi. Komputer menyala, email-email belum terbaca menumpuk, ta
Esok paginya, foto itu tersebar. Kini giliran Henry yang menjadi bahan gosip. Aurora melihatnya di ponsel Florien. Tidak ada satu otot pun di wajahnya yang bergerak. Ia hanya menyerahkan kembali ponsel itu dan berkata, “Kopi pagi ini hambar sekali, ya.” Florien hampir melempar meja. “Astaga, Aurora! Kamu nggak bisa terus-terusan mematikan perasaanmu seperti ini!” “Kalau kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan?” bisik Aurora sambil menatap Florien tajam. Florien terdiam. “Kalau kamu sudah menjelaskan, sudah memohon untuk dipercaya, tapi tetap dianggap pengkhianat, kamu masih akan berjuang?” Florien tidak menjawab. Aurora melanjutkan dengan lirih, “Aku hanya tidak ingin menghancurkan diriku sendiri untuk seseorang yang tidak pernah percaya padaku.” Sementara itu di apartemen Henry sore harinya, Henry kembali gelisah. Bukannya merasa menang, ia justru makin terpuruk. Aurora tetap tak bergeming. Tidak ada ledakan emosi, tidak ada air mata, tidak ada cinta? “Dia benar-benar sudah