Aurora mengira malam itu akan berakhir seperti sebelumnya dengan perasaan yang menggantung, dengan kebingungan yang tak kunjung menemukan jalan keluar. Tetapi ketika ia menutup pintu kamarnya, tangannya masih menggenggam erat gantungan kunci yang diberikan Henry. Ia menatap benda kecil itu dalam diam. Bentuknya sederhana, tetapi detailnya menunjukkan perhatian. Henry mengingat bahwa ia menyukai kucing. Henry bahkan ingat inisialnya. Mengapa? Aurora mendesah, meletakkan gantungan kunci itu di meja, tetapi tetap tidak bisa mengalihkan pikirannya. Rasanya Henry selalu ada di sekitarnya, selalu memberikan perhatian-perhatian kecil yang membuatnya goyah. Keesokan harinya, Aurora bangun lebih pagi dari biasanya, berpikir bahwa ia bisa menghindari Henry jika turun ke restoran hotel sebelum pria itu tiba. Tetapi begitu ia memasuki ruangan, matanya langsung menangkap sosok yang duduk di dekat jendela, mengenakan kemeja putih bersih yang dilipat hingga siku. Aurora berhenti sejenak, mempert
Henry masih berdiri di depan pintu setelah Aurora pergi, menatap kosong ke arah koridor yang kini sepi. Pikirannya masih dipenuhi sosok wanita itu—cara matanya membelalak saat ia berbisik di dekatnya, bagaimana wajahnya memerah setiap kali ia menggoda. Sebuah ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya. Henry menghela napas dan melangkah ke pintu, membukanya dengan ekspresi datar. Di depan pintu berdiri seorang wanita dengan pakaian formal, rambutnya disanggul rapi, dan wajahnya menunjukkan profesionalisme yang tak tergoyahkan. Clara, sekretaris pribadinya. "Selamat pagi, Pak Wilmington!" sapanya dengan suara tenang. "Saya hanya ingin mengingatkan bahwa Anda masih memiliki satu pertemuan lagi dengan klien jam sepuluh nanti." Henry mengangguk pelan, "Aku mengerti." Clara mengamati ekspresi bosnya yang terlihat sedikit berbeda dari biasany seolah pikirannya sedang berada di tempat lain. "Apakah Anda ingin saya mengatur ulang jadwal jika Anda perlu waktu lebih lama untuk beristi
Aurora, tidak menyadari perubahan ekspresi Henry, mulai mempresentasikan produk mereka. "Kami sangat bangga memperkenalkan rangkaian produk makanan laut terbaru ini," katanya dengan suara jernih dan penuh semangat. Ia menggeser beberapa piring lebih dekat ke para klien. "Produk kami berasal dari sumber terbaik, ditangkap dengan metode ramah lingkungan, dan diproses menggunakan teknologi canggih untuk memastikan kesegarannya tetap terjaga." Sambil berbicara, Aurora mengambil satu piring kecil berisi scallop panggang yang berkilau dengan lapisan mentega bawang putih. Ia meletakkannya di depan Michael. "Silakan coba, Pak Gilroy," katanya. "Scallop ini langsung diambil dari perairan dalam dan hanya membutuhkan waktu kurang dari 24 jam sebelum sampai ke tangan Anda. Kami memastikan kualitas premium tanpa bahan tambahan yang dapat mengubah cita rasa aslinya." Michael mengambil garpunya dan mencicipi. Matanya sedikit melebar sebelum mengangguk puas. "Luar biasa. Rasanya manis alami, tida
Pukul tujuh pagi, Aurora Stockwell berdiri dalam antrean di depan konter kedai kopi. Aroma biji kopi yang baru digiling seharusnya menenangkan, tapi pikirannya terlalu kacau untuk menikmati itu. Perusahaan tempatnya bekerja yang juga warisan ayahnya dan kini dikelola oleh kakaknya berada di ambang kebangkrutan. Jika itu terjadi, bukan hanya pekerjaannya yang hilang, tapi juga mata pencaharian banyak keluarga yang bergantung pada perusahaan tersebut dan semua ini salah Henry. Aurora mengepalkan jemarinya, menahan kemarahan yang hanya bisa didengar oleh batinnya sendiri. Dulu, hidupnya berjalan stabil. Ia seorang staf ahli keuangan dengan karier yang menjanjikan hingga hari itu terjadi---saat ia menabrak seorang pria di depan lift. Byur!Secangkir kopi tumpah, mengotori jas mahal pria itu. Henry Wilmington. Alih-alih marah, Henry justru terpesona. Ia jatuh cinta pada Aurora pada pandangan pertama, terpikat oleh mata biru tajamnya. Aurora teringat bagaimana pria itu merayunya dengan
Semilir angin pagi berhembus lembut saat Aurora melajukan mobil merahnya, menyusuri jalan yang mulai dipadati kendaraan. Di trotoar, anak-anak berjalan riang dengan tas punggung mereka, beberapa berlarian mengejar teman-temannya menuju sekolah. Saat lampu lalu lintas berubah merah, Aurora menghentikan mobilnya. Seorang pria paruh baya melintas di depan kap mobilnya, lalu tersenyum ramah. Aurora membalas senyumnya, meski pikirannya jauh dari momen itu. Lampu hijau menyala. Aurora kembali melajukan mobilnya, tetapi dadanya terasa sesak. Jemarinya mencengkeram erat kemudi setiap kali bayangan Henry muncul di benaknya. Pria itu muncul begitu tiba-tiba, menatapnya dengan mata cokelat hangat yang dulu begitu ia sukai, tapi Aurora tidak akan tertipu lagi. Ada sesuatu di balik kehadiran Henry—ia yakin itu. Pria itu bukan tipe yang melakukan sesuatu tanpa alasan dan ia tidak boleh terjebak dalam permainan Henry lagi. Mobil merah itu akhirnya memasuki kawasan pelabuhan, di mana gedung pelel
Dua tahun pernikahan dengan laki-laki itu telah berakhir dalam puing-puing perceraian, dan kini berdiri di hadapannya adalah seseorang yang pernah ia cintai sepenuh hati sekaligus melukai dan menghancurkannya tanpa ampun.Tatapannya penuh gejolak—amarah yang membara, kekecewaan yang menusuk, dan luka yang masih menganga. Perasaannya berantakan, seperti dihantam badai tanpa belas kasihan, menelannya dalam pusaran rasa sakit yang nyaris tak tertanggungkan.Aurora mengamati Henry dengan saksama, mencoba menemukan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang bisa membuatnya merasa lebih asing terhadap pria itu, tapi tidak. Henry masih seperti dulu. Rahang tegas yang terukir sempurna, senyum setengah malas yang pernah membuatnya jatuh cinta, hidung tinggi yang seakan menambah kesombongannya, dan bibir yang begitu mudah melontarkan janji-janji yang dulu ia percayai. Daya pikatnya tetap kuat, begitu memabukkan, seperti racun yang diam-diam menyelinap ke dalam darahnya.Henry adalah laki-laki yang tahu
Bibir Aurora merekah, menyambut sentuhan yang begitu akrab namun tetap membuai. Awalnya, ia membalasnya dengan ragu, malu-malu, tapi Henry tak memberi ruang untuk kebimbangan. Pria itu memperdalam ciumannya, lebih lembut, lebih menuntut, seakan ingin mengingatkan Aurora akan semua rasa yang dulu pernah mereka bagi.Dada Henry bergetar saat bibir ranum itu akhirnya sepenuhnya menyatu dengan miliknya. Napasnya semakin berat, seiring dengan hasrat yang menggelegak di dalam dirinya. Ia merasakan manisnya, merasakan Aurora yang perlahan-lahan menyerah dalam dekapannya.Ia ingin lebih. Ia butuh lebih."Aurora...." desah Henry, suaranya dalam dan serak, penuh gairah yang nyaris membuatnya kehilangan kendali.Aurora terperangkap dalam pesona Henry. Pria itu begitu tampan dalam cahaya temaram, dengan sorot matanya yang teduh namun berbahaya. Rahangnya yang kuat dan ekspresi menggoda membuat Aurora semakin tenggelam.Henry menarik diri, hanya untuk menempelkan dahinya ke dahi Aurora, berusaha m
Henry melangkah perlahan ke jendela, membuka daun jendela hingga sinar matahari pagi masuk dan menyelimuti ruangan dengan cahaya keemasan. Angin sepoi-sepoi membawa aroma laut yang segar, membuat suasana semakin tenang dan hangat.Matanya kemudian tertuju pada sosok yang masih terlelap di tempat tidur. Aurora tidur dengan damai, napasnya teratur, wajahnya begitu lembut dalam keheningan pagi. Sejenak Henry hanya berdiri, mengamati wanita yang selalu mengisi pikirannya, wanita yang dulu pernah menjadi miliknya.Dengan hati-hati, ia duduk di tepi tempat tidur, tatapannya tak lepas dari wajah Aurora. Rambut coklat wanita itu terserak di atas bantal, berkilauan tertimpa cahaya pagi. Kulitnya tampak bersih dan bercahaya, pundaknya yang telanjang terlihat begitu halus di bawah selimut yang melorot.Tanpa sadar, Henry mengulurkan tangan, membelai perlahan helaian rambut yang jatuh di pipi Aurora. Sentuhan ringan itu membuat wanita itu menggerakkan tubuhnya sedikit, kelopak matanya mulai berge
Aurora, tidak menyadari perubahan ekspresi Henry, mulai mempresentasikan produk mereka. "Kami sangat bangga memperkenalkan rangkaian produk makanan laut terbaru ini," katanya dengan suara jernih dan penuh semangat. Ia menggeser beberapa piring lebih dekat ke para klien. "Produk kami berasal dari sumber terbaik, ditangkap dengan metode ramah lingkungan, dan diproses menggunakan teknologi canggih untuk memastikan kesegarannya tetap terjaga." Sambil berbicara, Aurora mengambil satu piring kecil berisi scallop panggang yang berkilau dengan lapisan mentega bawang putih. Ia meletakkannya di depan Michael. "Silakan coba, Pak Gilroy," katanya. "Scallop ini langsung diambil dari perairan dalam dan hanya membutuhkan waktu kurang dari 24 jam sebelum sampai ke tangan Anda. Kami memastikan kualitas premium tanpa bahan tambahan yang dapat mengubah cita rasa aslinya." Michael mengambil garpunya dan mencicipi. Matanya sedikit melebar sebelum mengangguk puas. "Luar biasa. Rasanya manis alami, tida
Henry masih berdiri di depan pintu setelah Aurora pergi, menatap kosong ke arah koridor yang kini sepi. Pikirannya masih dipenuhi sosok wanita itu—cara matanya membelalak saat ia berbisik di dekatnya, bagaimana wajahnya memerah setiap kali ia menggoda. Sebuah ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya. Henry menghela napas dan melangkah ke pintu, membukanya dengan ekspresi datar. Di depan pintu berdiri seorang wanita dengan pakaian formal, rambutnya disanggul rapi, dan wajahnya menunjukkan profesionalisme yang tak tergoyahkan. Clara, sekretaris pribadinya. "Selamat pagi, Pak Wilmington!" sapanya dengan suara tenang. "Saya hanya ingin mengingatkan bahwa Anda masih memiliki satu pertemuan lagi dengan klien jam sepuluh nanti." Henry mengangguk pelan, "Aku mengerti." Clara mengamati ekspresi bosnya yang terlihat sedikit berbeda dari biasany seolah pikirannya sedang berada di tempat lain. "Apakah Anda ingin saya mengatur ulang jadwal jika Anda perlu waktu lebih lama untuk beristi
Aurora mengira malam itu akan berakhir seperti sebelumnya dengan perasaan yang menggantung, dengan kebingungan yang tak kunjung menemukan jalan keluar. Tetapi ketika ia menutup pintu kamarnya, tangannya masih menggenggam erat gantungan kunci yang diberikan Henry. Ia menatap benda kecil itu dalam diam. Bentuknya sederhana, tetapi detailnya menunjukkan perhatian. Henry mengingat bahwa ia menyukai kucing. Henry bahkan ingat inisialnya. Mengapa? Aurora mendesah, meletakkan gantungan kunci itu di meja, tetapi tetap tidak bisa mengalihkan pikirannya. Rasanya Henry selalu ada di sekitarnya, selalu memberikan perhatian-perhatian kecil yang membuatnya goyah. Keesokan harinya, Aurora bangun lebih pagi dari biasanya, berpikir bahwa ia bisa menghindari Henry jika turun ke restoran hotel sebelum pria itu tiba. Tetapi begitu ia memasuki ruangan, matanya langsung menangkap sosok yang duduk di dekat jendela, mengenakan kemeja putih bersih yang dilipat hingga siku. Aurora berhenti sejenak, mempert
Henry tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata dengan suara rendah, "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja." Aurora menelan ludah. "Aku baik-baik saja." Henry mengangguk pelan, tetapi tidak pergi. Aurora bisa merasakan udara di antara mereka berubah. Ada sesuatu yang tidak terucap, sesuatu yang menggantung di udara. "Aurora." Henry berbisik, suaranya hampir seperti doa. Aurora menatapnya. "Ya?" Henry menatapnya dalam, seolah-olah ini adalah kesempatan terakhirnya untuk mengatakan sesuatu yang penting. Tetapi pada akhirnya, ia hanya tersenyum kecil, lalu berkata, "Selamat malam!" Aurora hanya bisa menatap punggungnya saat ia pergi, meninggalkan perasaan yang semakin rumit di dalam dadanya.***Keesokan harinya, Aurora berpikir semuanya akan kembali normal, bahwa kejadian di dalam mobil dan di depan pintu kamarnya semalam hanyalah momen sesaat yang bisa ia lupakan. Tetapi Henry membuktikan bahwa ia salah.Saat mereka turun ke lobi hotel u
Henry menatapnya dengan serius. “Perusahaan ini memiliki utang yang lebih besar dari yang kau kira. Jika bukan aku yang mengambil alih, maka investor lain yang tidak peduli dengan apa pun selain keuntungan mereka akan melakukannya. Aku tahu betapa pentingnya perusahaan ini bagimu, dan aku tidak bisa membiarkan orang lain menghancurkannya.” Aurora terdiam. Ia memang tahu bahwa kondisi keuangan perusahaannya tidak stabil, tetapi ia tidak menyangka bahwa situasinya seburuk ini. Henry melanjutkan, “Aku tidak bisa memberitahumu sebelumnya, karena aku tahu kau tidak akan mau menerimanya. Aku harus melakukannya dengan cara yang akan memastikan kau tetap memiliki tempat di sini, bukan di bawah kendali orang lain yang hanya ingin meraup keuntungan.” Aurora menatapnya, mencoba mencari kebohongan di wajah pria itu. Tetapi yang ia lihat hanyalah kelelahan dan sesuatu yang menyerupai rasa sakit. Ia menggigit bibirnya. “Kenapa kau peduli?” Henry tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan d
Ruangan itu langsung hening. Erik mengerjapkan mata, tampak tidak siap dengan jawaban itu. Beberapa orang yang sebelumnya tampak skeptis kini mulai duduk lebih tegak, menunggu reaksi selanjutnya. Aurora tidak memberinya waktu untuk membalas. Ia meletakkan beberapa laporan di atas meja, lalu melanjutkan, "Aku tidak meminta kalian untuk langsung setuju denganku sekarang. Aku hanya ingin kalian memberi kesempatan untuk melihat datanya lebih dalam. Kita akan membahas ulang dalam dua hari. Deal?" Beberapa orang saling bertukar pandang sebelum akhirnya mengangguk pelan. Aurora menahan napas sejenak, merasakan ketegangan di bahunya mulai mengendur. Ini baru langkah pertama, tapi setidaknya ia berhasil mengendalikan situasi. Setelah rapat berakhir, Aurora kembali ke ruangannya. Ia menghempaskan diri ke kursi, membiarkan kepalanya bersandar beberapa detik. Namun, sesuatu di mejanya membuatnya terhenti. Secangkir kopi. Aroma pahit dan hangatnya begitu familiar, menyelinap masuk ke
Setelah rapat selesai dan semua dokumen ditandatangani, Aurora merasakan dadanya sesak. Rasanya seperti menjual bagian dari hidupnya sendiri—sebagian besar Blue Sea Corp bukan lagi miliknya, melainkan bagian dari Wilmington Group yang dipimpin oleh pria yang pernah ia cintai dan benci dalam waktu yang bersamaan. Vernon menepuk punggungnya dengan lembut. “Kau baik-baik saja?” Aurora menarik napas dalam dan mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja.” Tapi itu bohong. Ketika Henry berdiri dari kursinya, memasukkan tangannya ke dalam saku jas dengan ekspresi yang nyaris tak terbaca, Aurora merasakan amarah sekaligus perasaan lain yang tak bisa ia jelaskan. Pria itu telah mengambil segalanya darinya, dan sekarang, ia juga mengambil kendali atas hidupnya di perusahaan. Sebelum Henry berbalik pergi, Aurora berbicara, suaranya rendah tapi tajam. “Kau menikmati ini, bukan?” Henry berhenti di tempatnya, lalu menoleh. Tatapan matanya dalam, ada sesuatu yang mengintai di sana—sebuah emosi
Lalu, ponselnya kembali berdering. Kali ini, dengan enggan, ia mengangkatnya. Suara nyaring Florien langsung meledak dari seberang, membuat Henry meringis dan menjauhkan ponsel dari telinganya. "Hei, pelankan suaramu!" "Kenapa kamu tidak menjawab teleponku dan tidak membalas pesanku?" Suara adiknya terdengar jelas kesal. Henry mengusap wajahnya dengan letih. "Maaf. Aku sibuk." Florien mendecak. "Ada apa denganmu? Aku mencarimu ke mana-mana. Kamu di mana sekarang?" "Di vila." Terdengar tarikan napas dari seberang. "Aku sudah tahu semuanya. Aku bertemu Aurora di kantor Vernon, dan dia… dia menceritakan semuanya." Dada Henry mencengkung, seakan seseorang menekan sesuatu yang berat di atasnya. "Jadi kamu bertemu dengannya?" "Iya. Dan dia sangat marah padamu." Henry tersenyum getir. "Tentu saja dia marah. Dia berhak marah." Florien terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Segeralah pulang! Aku ingin bicara denganmu." Henry menyandarkan kepalanya ke sofa, menatap lan
Aurora mengangguk, rahangnya mengeras. "Benar. Kemarin kami bertemu dan kami sempat bermalam bersama." Keheningan mendadak menyergap ruangan. Mata Vernon dan Florien membelalak penuh keterkejutan, sementara Aurora menjatuhkan tubuhnya ke kursi, seakan bebannya menjadi semakin berat. Setiap kali membicarakan Henry, dadanya terasa sesak, emosinya semakin memuncak, seolah siap meledak kapan saja. "Itu artinya kalian kembali bersama?" Vernon bertanya, nadanya terdengar penuh harapan. Aurora tertawa pendek, namun tanpa kebahagiaan sedikit pun. "Hampir saja," suaranya penuh ironi. "Tapi Henry menghancurkan semuanya. Aku tidak peduli lagi dengan tawarannya. Tidak peduli dengan janji-janji manisnya!" Vernon menatapnya dengan kebingungan. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya, merasa tak mengerti bagaimana menghadapi adiknya yang kini terlihat seperti bom waktu yang siap meledak. Ruangan terasa semakin mencekam. Tatapan Aurora dipenuhi amarah, bola matanya yang biru seperti lautan