Semilir angin pagi berhembus lembut saat Aurora melajukan mobil merahnya, menyusuri jalan yang mulai dipadati kendaraan. Di trotoar, anak-anak berjalan riang dengan tas punggung mereka, beberapa berlarian mengejar teman-temannya menuju sekolah.
Saat lampu lalu lintas berubah merah, Aurora menghentikan mobilnya. Seorang pria paruh baya melintas di depan kap mobilnya, lalu tersenyum ramah. Aurora membalas senyumnya, meski pikirannya jauh dari momen itu. Lampu hijau menyala. Aurora kembali melajukan mobilnya, tetapi dadanya terasa sesak. Jemarinya mencengkeram erat kemudi setiap kali bayangan Henry muncul di benaknya. Pria itu muncul begitu tiba-tiba, menatapnya dengan mata cokelat hangat yang dulu begitu ia sukai, tapi Aurora tidak akan tertipu lagi. Ada sesuatu di balik kehadiran Henry—ia yakin itu. Pria itu bukan tipe yang melakukan sesuatu tanpa alasan dan ia tidak boleh terjebak dalam permainan Henry lagi. Mobil merah itu akhirnya memasuki kawasan pelabuhan, di mana gedung pelelangan ikan Blue Sea Corps berdiri kokoh di tepi dermaga. Aurora memarkirkan mobilnya dengan mulus, lalu keluar. Angin laut menyambutnya, membawa aroma asin yang khas. Sepatu hak merahnya mengetuk jalanan beraspal, menciptakan irama tajam yang selaras dengan langkah cepatnya. Ia menuju kantor kakaknya tanpa ragu. "Apa Kakakku ada di dalam?" tanyanya pada sekretaris Vernon. "Tuan Stockwell ada di dalam." Tanpa menunggu, Aurora membuka pintu. Vernon, yang tengah fokus pada berkas-berkas di mejanya, mengangkat kepala dan menatap adiknya dengan dahi berkerut. "Ada apa kau datang pagi-pagi dengan wajah seperti itu?" Aurora menghela napas, lalu menatap kakaknya dengan ekspresi jengkel. "Aku bertemu dengan Henry." Vernon mengangkat alisnya. "Jadi itu yang membuatmu kesal pagi ini?" "Itu salah satunya. Yang lainnya adalah aku kesal padamu." Aurora menyilangkan tangan di dadanya. "Kau gagal mendapatkan investor. Seharusnya kau bisa memenangkan hati Tuan Lyod agar mau berinvestasi di sini!" Vernon mendesah dan bersandar di pinggir mejanya, menyilangkan kakinya dengan santai. "Hei, itu bukan sepenuhnya salahku. Dia mendapat tawaran yang lebih bagus dari perusahaan lain." Ia menatap Aurora penuh selidik. "Dan kau menerima tawaran Henry?" Aurora mendengus, melemparkan pandangan tajam ke arah kakaknya. "Apa kau sudah gila, Vernon? Aku tidak akan menerima bantuan dari pria yang gila kerja seperti dia! Yang ada di kepalanya hanya pekerjaan, pekerjaan, dan pekerjaan!" Vernon tidak langsung membalas. Ia menatap adiknya dalam diam, seolah menimbang-nimbang kata-kata yang ingin ia ucapkan. "Kalian berdua memang keras kepala," katanya akhirnya. "Sejak menikah, tak satu pun dari kalian mau mengalah. Kau dengan egomu, Henry dengan caranya sendiri, tapi setahuku, dia pria yang baik dan setia. Aku menyesal melihat kalian berakhir seperti ini, hanya karena tidak ada yang mau sedikit saja mengesampingkan egonya." Aurora mengalihkan pandangannya, merasakan sesuatu yang aneh menusuk hatinya. "Wanita butuh perhatian, Vernon," katanya dengan suara lebih pelan. "Dan aku tidak mendapatkannya dari Henry. Aku pikir dia akan menjadi pasangan yang hangat, seseorang yang bisa berbagi denganku, tapi ternyata dia pria dingin yang hanya peduli pada pekerjaannya. Dia bukan seperti yang kubayangkan." Dan mungkin, itulah kesalahan terbesar Aurora. Ia mencintai bayangan yang ia ciptakan sendiri, bukan pria yang sebenarnya berdiri di hadapannya. Vernon menghela napas kasar, menatap adiknya dengan pandangan penuh arti. "Jadi apa kau masih mencintainya?" Aurora terdiam sejenak. Pikirannya berputar, menggali sesuatu yang bahkan ia sendiri enggan untuk hadapi. "Aku tidak tahu bagaimana perasaanku padanya sekarang," jawabnya akhirnya, suaranya lirih namun penuh ketegangan. Vernon menatapnya lebih dalam. "Dan jika suatu hari nanti kau menyesal telah berpisah darinya?" Aurora mengepalkan tangan. Pertanyaan itu seperti tamparan. Dengan cepat, ia mencondongkan tubuhnya, kedua tangannya bertumpu di meja kerja Vernon, membuat jarak di antara mereka begitu dekat. "Aku tidak akan pernah menyesali perpisahan itu. Ingat itu!" hardiknya, suaranya bergetar oleh emosi yang sulit dijelaskan. Setelahnya, Aurora menarik napas panjang, menegakkan tubuh, lalu menyilangkan tangan di dada, seolah ingin menciptakan benteng yang lebih tinggi untuk melindungi dirinya dari kenyataan yang tak ingin ia akui. "Kita tidak punya banyak waktu untuk menyelamatkan perusahaan Ayah," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Ia memijat pelipisnya, lalu melangkah menuju kursi dekat jendela. "Semua ini membuatku sakit kepala." Vernon bersandar di kursinya, suaranya lebih tenang tapi penuh ketegasan. "Kita sudah melakukan segala cara. Jika keadaan tak berubah, kita harus siap menerima kenyataan kalau perusahaan ini akan bangkrut." Aurora menoleh tajam. "Jangan menyerah begitu saja! Aku yakin ada jalan keluar. Kita hanya belum menemukannya." Vernon menatapnya lama sebelum berkata, "Sebenarnya, kita sudah punya jalan keluar." Aurora mengangkat alis, tubuhnya menegang. "Apa maksudmu?" Vernon menghela napas, lalu menatap adiknya dengan serius. "Terimalah tawaran Henry." Aurora merasakan dadanya berdesir, bukan karena terkejut, tapi karena marah. "Aku tidak akan pernah meminta bantuannya," katanya tegas, setiap kata mengandung kepastian yang tak bisa digoyahkan. Vernon hanya mendesah pelan, seolah sudah menduga jawaban itu. "Kamu keras kepala sekali." Sebelum Aurora sempat membalas, ponselnya berdering. Dengan cepat, ia merogoh tasnya dan melihat nama di layar: Evelyn. Dahi Aurora berkerut. Tidak biasanya asisten rumah tangga ibunya menelepon di jam seperti ini. Ada sesuatu yang tidak beres. Tanpa pikir panjang, ia segera menjawab panggilan itu. "Ada apa, Evelyn?" suara Aurora terdengar panik, seketika detak jantungnya mempercepat. "Nyonya Rosamaria jatuh di kamar mandi, sekarang sudah dibawa ke rumah sakit Saint Bernard." "Apa?!" serunya, bibirnya gemetar karena terkejut. Pikiran Aurora langsung dipenuhi kekhawatiran yang mendalam. "Aku akan segera ke sana." Dia menutup sambungan telepon dan tanpa pikir panjang, langsung mengambil tasnya, matanya penuh ketegangan. "Ada apa?" tanya Vernon, kebingungan melihat adiknya yang tiba-tiba panik. "Ibu jatuh di kamar mandi dan sekarang ada di rumah sakit," jawabnya, nada suaranya serak. Vernon terkejut, ekspresinya berubah khawatir. "Tunggu apa lagi? Kita harus segera ke sana!" Mereka berdua terburu-buru meninggalkan ruangan, perasaan cemas menggantung di udara. Setibanya di rumah sakit, Evelyn terlihat melambaikan tangan di depan ruang perawatan, sementara napas Aurora tersengal-sengal karena terburu-buru. "Bagaimana keadaan Ibu?" tanyanya terburu-buru, bibirnya sedikit bergetar. "Kurang bagus. Nyonya terkena stroke." Jantung Aurora seperti terhenti mendengar kata-kata itu dan Vernon terlihat sangat terkejut. Mereka berdua masuk dan melihat ibu mereka terbaring tak sadarkan diri. Aurora tidak bisa menahan air matanya, tubuhnya terasa lemas. Dengan lembut, Vernon memeluknya, mencoba memberi sedikit kenyamanan. "Aku takut kehilangan Ibu," bisik Aurora dengan suara pecah. "Ibu akan baik-baik saja," ujar Vernon dengan suara lembut, mencoba meyakinkan adiknya meski hatinya sendiri tak lebih tenang. Aurora melepaskan pelukan kakaknya dan mendekati ibu mereka. Dengan tatapan penuh kasih, ia membelai rambut sang ibu yang tampak rapuh. "Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini," kata Aurora, suaranya pelan namun penuh berat, "tapi sepertinya kita harus menerima tawaran Henry. Kita tidak punya uang lagi untuk biaya perawatan Ibu, jadi aku mohon padamu singkirkan egomu demi Ibu." Aurora menatap kakaknya, air matanya menetes, dan ia menghapusnya cepat-cepat. Dia memandang Vernon dengan tatapan yang penuh keraguan, namun juga harapan. "Aku akan menemui Henry." Vernon terkejut, matanya membelalak. "Sungguh?" tanyanya, tak percaya dengan keputusan adiknya. Aurora mengangguk, kali ini ia rela mengorbankan harga dirinya demi ibu tercinta. Jika bukan karena Ibu, ia tak akan pernah meminta bantuan Henry. "Tolong jaga Ibu!" Dengan cepat, Aurora mengambil tasnya yang terletak di atas meja dan bergegas menuju mobil. Begitu berada di dalam mobil, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Jantungnya berdegup kencang seiring dengan setiap meter yang ia lewati, menuju tempat yang tak ingin ia datangi. Setibanya di gedung pencakar langit, Aurora memarkirkan mobilnya dan melangkah cepat menuju ruang Henry. Sebelum memasuki ruangannya, ia menarik napas sekali lagi, berusaha menenangkan kegelisahannya. "Nyonya," sapa sekretaris yang masih mengenalnya dengan jelas sebagai mantan istri bosnya. "Henry ada di dalam?" tanyanya, berusaha tetap tenang meski hatinya bergejolak. "Ya, dia ada di dalam." Aurora mengangguk dan membuka pintu, begitu masuk, matanya bertemu pandang dengan Henry yang tengah duduk di mejanya. Ruangan yang luas itu terasa begitu sempit, seolah hanya ada mereka berdua di dalamnya. Tubuh Aurora menegang, rasa canggung dan kebingungannya menguasai diri. "Aurora?" suara Henry terdengar dalam, berat, namun seakan penuh kejutan. Senyum menggoda mulai terukir di wajahnya yang tampan. Melihat senyum itu, Aurora merasa seolah seluruh dunia berhenti berputar sejenak. Henry selalu tahu bagaimana membuatnya merasa cemas dan tidak nyaman, namun juga tidak bisa menahan dirinya untuk sedikit terperangkap dalam pesona pria itu. Henry berdiri perlahan, matanya menatapnya dengan intens, seolah sedang menilai setiap gerakan Aurora. "Kau datang. Aku tidak menyangka akan melihatmu lagi," katanya, suaranya seolah menyentuh bagian terdalam hatinya. Aurora memandang Henry dengan tatapan tajam, meskipun hatinya berdebar, "Aku datang karena tidak ada pilihan lain." Henry mendekat, jaraknya semakin rapat, membuat Aurora merasa semakin terbakar oleh aura pria itu. "Kau tahu, Aurora," katanya dengan nada menggoda yang khas, "Aku selalu tahu, kita berdua tak bisa saling jauh terlalu lama." Aurora merasakan kedekatannya begitu intens, namun ia segera menarik napas dalam-dalam dan mengalihkan pandangannya. "Aku datang untuk urusan lain, Henry. Bukan untuk permainanmu."Dua tahun pernikahan dengan laki-laki itu telah berakhir dalam puing-puing perceraian, dan kini berdiri di hadapannya adalah seseorang yang pernah ia cintai sepenuh hati sekaligus melukai dan menghancurkannya tanpa ampun.Tatapannya penuh gejolak—amarah yang membara, kekecewaan yang menusuk, dan luka yang masih menganga. Perasaannya berantakan, seperti dihantam badai tanpa belas kasihan, menelannya dalam pusaran rasa sakit yang nyaris tak tertanggungkan.Aurora mengamati Henry dengan saksama, mencoba menemukan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang bisa membuatnya merasa lebih asing terhadap pria itu, tapi tidak. Henry masih seperti dulu. Rahang tegas yang terukir sempurna, senyum setengah malas yang pernah membuatnya jatuh cinta, hidung tinggi yang seakan menambah kesombongannya, dan bibir yang begitu mudah melontarkan janji-janji yang dulu ia percayai. Daya pikatnya tetap kuat, begitu memabukkan, seperti racun yang diam-diam menyelinap ke dalam darahnya.Henry adalah laki-laki yang tahu
Bibir Aurora merekah, menyambut sentuhan yang begitu akrab namun tetap membuai. Awalnya, ia membalasnya dengan ragu, malu-malu, tapi Henry tak memberi ruang untuk kebimbangan. Pria itu memperdalam ciumannya, lebih lembut, lebih menuntut, seakan ingin mengingatkan Aurora akan semua rasa yang dulu pernah mereka bagi.Dada Henry bergetar saat bibir ranum itu akhirnya sepenuhnya menyatu dengan miliknya. Napasnya semakin berat, seiring dengan hasrat yang menggelegak di dalam dirinya. Ia merasakan manisnya, merasakan Aurora yang perlahan-lahan menyerah dalam dekapannya.Ia ingin lebih. Ia butuh lebih."Aurora...." desah Henry, suaranya dalam dan serak, penuh gairah yang nyaris membuatnya kehilangan kendali.Aurora terperangkap dalam pesona Henry. Pria itu begitu tampan dalam cahaya temaram, dengan sorot matanya yang teduh namun berbahaya. Rahangnya yang kuat dan ekspresi menggoda membuat Aurora semakin tenggelam.Henry menarik diri, hanya untuk menempelkan dahinya ke dahi Aurora, berusaha m
Henry melangkah perlahan ke jendela, membuka daun jendela hingga sinar matahari pagi masuk dan menyelimuti ruangan dengan cahaya keemasan. Angin sepoi-sepoi membawa aroma laut yang segar, membuat suasana semakin tenang dan hangat.Matanya kemudian tertuju pada sosok yang masih terlelap di tempat tidur. Aurora tidur dengan damai, napasnya teratur, wajahnya begitu lembut dalam keheningan pagi. Sejenak Henry hanya berdiri, mengamati wanita yang selalu mengisi pikirannya, wanita yang dulu pernah menjadi miliknya.Dengan hati-hati, ia duduk di tepi tempat tidur, tatapannya tak lepas dari wajah Aurora. Rambut coklat wanita itu terserak di atas bantal, berkilauan tertimpa cahaya pagi. Kulitnya tampak bersih dan bercahaya, pundaknya yang telanjang terlihat begitu halus di bawah selimut yang melorot.Tanpa sadar, Henry mengulurkan tangan, membelai perlahan helaian rambut yang jatuh di pipi Aurora. Sentuhan ringan itu membuat wanita itu menggerakkan tubuhnya sedikit, kelopak matanya mulai berge
"Aurora?" Suara Henry terdengar dari arah pintu. Ada nada menggoda di dalamnya, tetapi juga sedikit gelisah. "Kamu sudah selesai mandi, Cantik?" Henry melangkah mendekat, napasnya terdengar sedikit lebih berat dari biasanya. Ponselnya kini telah dimatikan, percakapannya dengan William terputus begitu saja. Saat jaraknya kian menipis, ia menarik Aurora ke dalam pelukannya. Sejenak, Aurora menutup mata. Hangat. Dekapan Henry selalu membuatnya merasa aman. Namun, sesaat kemudian— "Dia tidak akan tahu bahwa aku penyebab kebangkrutan perusahaannya." Suara Henry kembali menggema di kepalanya. Aurora tersentak. Dalam sekejap, kehangatan yang tadi membungkusnya berubah menjadi bara yang membakar dada. Matanya terbelalak, tubuhnya menegang di dalam pelukan Henry sebelum ia akhirnya mendorong tubuh pria itu menjauh. Henry terkejut. Ia melihat Aurora mundur beberapa langkah, menciptakan jarak yang kini terasa begitu lebar. "Aurora." Aurora memejamkan mata erat-erat, mencoba mengendali
Tapi Aurora menggeleng. "Jangan sebut namaku dengan suara itu." Air matanya terus mengalir, tetapi matanya memancarkan amarah dan luka yang begitu dalam.Tatapannya menembus dada Henry, menghancurkan segala harapan yang ia bangun."Kamu brengsek!" serunya.Tanpa menunggu apa pun lagi, Aurora meraih pegangan pintu, membukanya dengan kasar, lalu melangkah pergi tanpa menoleh.Henry hanya bisa berdiri terpaku, matanya menatap punggung wanita yang semakin menjauh. Ia ingin berlari mengejarnya, ingin menahan tangan itu, ingin berlutut di hadapannya dan memohon kesempatan terakhir, tapi tubuhnya tetap tak bergerak, seolah jiwanya ikut pergi bersama wanita itu.Saat suara pintu tertutup dengan keras, Henry merosot lemas ke kursi."Brengsek!"Dengan amarah yang tak bisa ia arahkan ke siapa pun selain dirinya sendiri, Henry menghantam meja di depannya berulang kali. Suara dentuman keras memenuhi ruangan, tetapi itu tidak cukup untuk meredam rasa frustrasi yang membakar dadanya.Tubuhnya berget
Dengan sisa tenaga yang ia punya, ia bangkit, berjalan tertatih ke ranjangnya, lalu membiarkan tubuhnya terhempas ke atas kasur. Seluruh tenaganya habis, tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan Henry. Suara pria itu, tatapan matanya, semua terasa begitu nyata.Aurora menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia ingin melupakan. Ia ingin menghapus setiap jejak Henry dalam hidupnya. Namun, bagaimana caranya jika setiap napas yang ia hirup terasa begitu penuh dengan kehadiran pria itu?Perlahan, matanya terpejam. Ia terlalu lelah untuk melawan pikirannya sendiri. Namun, bahkan dalam tidurnya, bayangan Henry masih menghantuinya.Keesokan Paginya, Aurora terbangun dengan mata sembab dan kepala yang terasa berat. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—wajahnya pucat, kantung matanya menghitam, bibirnya kering.Ia menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan sisa keberaniannya. Tidak peduli seberapa hancurnya dirinya, hidup harus terus berjalan. Ia tidak akan membiarkan Henry menguasai pikirannya
Aurora mengangguk, rahangnya mengeras. "Benar. Kemarin kami bertemu dan kami sempat bermalam bersama." Keheningan mendadak menyergap ruangan. Mata Vernon dan Florien membelalak penuh keterkejutan, sementara Aurora menjatuhkan tubuhnya ke kursi, seakan bebannya menjadi semakin berat. Setiap kali membicarakan Henry, dadanya terasa sesak, emosinya semakin memuncak, seolah siap meledak kapan saja. "Itu artinya kalian kembali bersama?" Vernon bertanya, nadanya terdengar penuh harapan. Aurora tertawa pendek, namun tanpa kebahagiaan sedikit pun. "Hampir saja," suaranya penuh ironi. "Tapi Henry menghancurkan semuanya. Aku tidak peduli lagi dengan tawarannya. Tidak peduli dengan janji-janji manisnya!" Vernon menatapnya dengan kebingungan. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya, merasa tak mengerti bagaimana menghadapi adiknya yang kini terlihat seperti bom waktu yang siap meledak. Ruangan terasa semakin mencekam. Tatapan Aurora dipenuhi amarah, bola matanya yang biru seperti lautan
Lalu, ponselnya kembali berdering. Kali ini, dengan enggan, ia mengangkatnya. Suara nyaring Florien langsung meledak dari seberang, membuat Henry meringis dan menjauhkan ponsel dari telinganya. "Hei, pelankan suaramu!" "Kenapa kamu tidak menjawab teleponku dan tidak membalas pesanku?" Suara adiknya terdengar jelas kesal. Henry mengusap wajahnya dengan letih. "Maaf. Aku sibuk." Florien mendecak. "Ada apa denganmu? Aku mencarimu ke mana-mana. Kamu di mana sekarang?" "Di vila." Terdengar tarikan napas dari seberang. "Aku sudah tahu semuanya. Aku bertemu Aurora di kantor Vernon, dan dia… dia menceritakan semuanya." Dada Henry mencengkung, seakan seseorang menekan sesuatu yang berat di atasnya. "Jadi kamu bertemu dengannya?" "Iya. Dan dia sangat marah padamu." Henry tersenyum getir. "Tentu saja dia marah. Dia berhak marah." Florien terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Segeralah pulang! Aku ingin bicara denganmu." Henry menyandarkan kepalanya ke sofa, menatap lan
Kota Berlin menyala indah dari balik jendela hotel bintang lima tempat mereka menginap. Aurora berdiri membelakangi pemandangan, menggenggam cangkir teh chamomile hangat. Hatinya masih kacau, pikirannya masih berputar pada Henry, meskipun ia sudah ratusan kali berkata pada dirinya bahwa ini sudah keputusan terbaik.Andrew mengetuk pintu kamarnya pelan. “Aurora?”Ia membuka pintu, masih mengenakan setelan tidur sutra abu-abu lembut. “Ada apa?”Andrew berdiri di ambang pintu dengan senyum ramah, mengenakan kaus putih dan celana lounge. “Kamu nggak bisa tidur?”Aurora menggeleng. "Tadi aku pesen cokelat panas. Kalau kamu mau—”Ponsel Aurora bergetar di tangan. Ia menunduk, mengerutkan alis. Nama pengirim: Yolanda.“Sebentar ya.” Ia mundur masuk ke kamar dan menutup pintu perlahan sebelum membuka pesan tersebut.Pesan pertama: Ada yang merindukan dia? Tertempel di bawahnya: sebuah foto.Aurora nyaris menjatuhkan ponsel saat melihat gambar itu. Sebuah tempat tidur berantakan, seprai putih
Florien terdiam. Ia sebenarnya ingin tetap diam, ingin membiarkan Henry menanggung akibat dari kebodohannya sendiri. Tapi di satu sisi, ia tahu kakaknya masih mencintai Aurora dan jauh di dalam hati kecilnya, Florien percaya—mereka masih punya kesempatan. Ia akhirnya berkata pelan, “Dia ke Berlin.” Henry terkejut. “Berlin? Sendirian?” “Enggak juga. Dia pergi sama pengacaranya. Andrew Smith.” Seketika Henry merasa sesak. “Untuk apa?” tanyanya. Florien menjawab singkat, “Mengurus properti pribadi, dan menghadiri peluncuran koleksi perhiasan terbaru dari Beian.” Henry membeku. Acara itu internasional, dihadiri banyak tokoh penting. Aurora akan berada di pusat perhatian, mengenakan gaun terbaiknya, dengan tatapan tenang seperti biasa. Dan dia? Ia bahkan tak tahu kalau wanita yang ia cinta sudah sejauh itu meninggalkannya. “Mungkin ini waktumu membenahi segalanya,” ucap Florien pelan. “Atau kalau kamu tidak cepat, mungkin kamu harus siap kehilangan dia selamanya.” Telepon
Keesokan harinya, media sosial masih dipenuhi potongan-potongan video saat Henry memeluk Yolanda di acara peluncuran proyek. Judul-judul headline makin menggila: “Cinta CEO dan Pewaris Muda, Keluarga Besar Wilmington Group Restui Hubungan Mereka?” — “Aurora dan Henry Resmi Berakhir?” Aurora membaca semuanya dengan tatapan datar, tapi isi dadanya berkecamuk seperti kapal karam. Ia bukan lagi topik utama, tapi entah kenapa rasanya jauh lebih menyakitkan saat tidak diperhitungkan sama sekali. Florien menutup laptopnya, menghela napas. “Aku tahu kamu lelah.” Aurora mengangguk. “Aku lelah berharap.” “Kalau begitu berhentilah.” “Aku sudah, tapi rasa sakit ini tetap tinggal.” Florien menggenggam tangan Aurora. “Kalau kamu perlu pergi jauh untuk benar-benar sembuh." Aurora menoleh. “Meninggalkan semuanya?” “Untuk menyelamatkanmu dari dirimu sendiri.” *** Aurora duduk di ruangannya yang kini terasa terlalu besar, terlalu sunyi. Komputer menyala, email-email belum terbaca menumpuk, ta
Esok paginya, foto itu tersebar. Kini giliran Henry yang menjadi bahan gosip. Aurora melihatnya di ponsel Florien. Tidak ada satu otot pun di wajahnya yang bergerak. Ia hanya menyerahkan kembali ponsel itu dan berkata, “Kopi pagi ini hambar sekali, ya.” Florien hampir melempar meja. “Astaga, Aurora! Kamu nggak bisa terus-terusan mematikan perasaanmu seperti ini!” “Kalau kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan?” bisik Aurora sambil menatap Florien tajam. Florien terdiam. “Kalau kamu sudah menjelaskan, sudah memohon untuk dipercaya, tapi tetap dianggap pengkhianat, kamu masih akan berjuang?” Florien tidak menjawab. Aurora melanjutkan dengan lirih, “Aku hanya tidak ingin menghancurkan diriku sendiri untuk seseorang yang tidak pernah percaya padaku.” Sementara itu di apartemen Henry sore harinya, Henry kembali gelisah. Bukannya merasa menang, ia justru makin terpuruk. Aurora tetap tak bergeming. Tidak ada ledakan emosi, tidak ada air mata, tidak ada cinta? “Dia benar-benar sudah
Aurora berdiri di pantry kantor dengan secangkir kopi yang sudah dingin di tangannya. Kepalanya masih terasa berat oleh tatapan Henry pagi tadi—dingin, tanpa kata, namun menyakitkan. Langkah cepat seseorang membuatnya menoleh. “Aurora!” Florien muncul dengan wajah cemas dan napas terengah. “Aku langsung ke sini setelah lihat foto itu. Kamu… kamu baik-baik saja?” Aurora mengerjap, berusaha tersenyum meski lelah. “Sepertinya aku masih jadi pusat gosip." Florien menghela napas dalam-dalam, lalu menyodorkan ponselnya. Di layar masih terbuka foto yang sudah viral di lingkaran terbatas mereka: Aurora dan Jordan, tampak berciuman di balkon restoran. “Vernon yang nemu ini. Dia kaget setengah mati. Dia bahkan sempat pikir ini editan." “Aku dan dia tidak ada hubungan apa-apa,” sela Aurora dengan nada lirih. Florien terdiam, matanya menyiratkan simpati yang dalam. “Benarkah?" “Iya ” Aurora menatap cangkirnya dengan hampa. “Itu bukan ciuman yang kuminta, bahkan bukan ciuman sungguhan." F
Archer bersandar santai di kursinya. “Aku hanya menunjukkan pada dunia kebenaran, Henry atau kau ingin tetap buta pada perempuan yang jelas-jelas mengkhianatimu?” “Kau tidak tahu apa-apa tentang kami!” Henry membanting tangannya ke meja, wajahnya memerah. “Kau tidak tahu bagaimana aku mencintainya. Kau tidak berhak mencampuri urusan pribadiku!” Archer tidak mundur, tidak gentar. “Kau masih bertindak seperti anak kecil. Kau pikir cinta bisa menyelamatkan masa depanmu? Kau pewaris Wilmington. Hidupmu bukan hanya tentang perasaan. Kau butuh stabilitas. Yolanda memberimu itu.” Henry tertawa miris. “Apa itu? Stabilitas? Atau kendali? Kau ingin aku jadi boneka yang bisa kau arahkan sesuka hati?” Archer berdiri, perlahan. “Aku ingin kau menjadi pria yang tidak dikendalikan oleh kelemahan emosional. Kau pikir aku membangun ini semua dengan cinta? Dunia ini dibangun oleh pilihan logis dan aliansi strategis.” Henry menggeleng. “Kau membangun semuanya dengan kekejaman.” Keheningan menggant
Aurora bangkit dari kursinya, matanya mulai berkaca. "Kau tak bisa menuntut aku memilih sekarang, Henry. Aku juga sedang berjuang dengan diriku sendiri!" "Kau tidak bersikap seolah aku bukan siapa-siapa." "Dan kau? Kau pikir mudah bagiku? Kau selalu hadir tanpa memberi kepastian. Kau menuntut kejelasan dari hatiku, tapi kau sendiri belum menyembuhkan luka kita dulu." Henry menatapnya dalam-dalam. "Karena aku pikir, cinta itu bisa menyembuhkan sendiri." "Aku lelah!" Aurora berseru. "Aku lelah mencintaimu, lalu harus bersikap seolah aku tidak peduli hanya karena takut jatuh lagi. Aku lelah menahan semuanya sendiri." Henry menghela napas panjang. Wajahnya kini dipenuhi luka, kekecewaan, dan kesedihan. "Kalau begitu mungkin aku memang harus pergi," katanya pelan. Aurora menatapnya, terkejut. "Apa maksudmu?" "Aku mencintaimu, Aurora, tapi kalau kehadiranku justru membuatmu semakin ragu, mungkin aku memang harus menjauh." Aurora menggeleng. "Jangan lakukan ini!" Tapi Henr
Henry tidak langsung kembali ke kantornya. Ia keluar dari gedung itu tanpa tujuan jelas, berjalan menyusuri trotoar kota. Angin sore menusuk kulitnya, namun tak ada yang lebih dingin dari perasaan yang menyelimuti dadanya. Tatapan Aurora tadi—penuh keraguan dan ketegasan—masih terpatri jelas dalam pikirannya.Ia berhenti di sebuah kedai kopi kecil yang biasa mereka kunjungi dulu. Tempat itu kini terasa begitu asing. Duduk di sudut dekat jendela, Henry memandang kosong ke luar sambil menggenggam cangkir yang bahkan tak disentuh isinya. Kepalanya terus dipenuhi bayangan Aurora dan Jordan.Jordan.Nama itu terasa seperti duri. Ia tak pernah suka pria itu sejak awal. Terlalu sopan, terlalu sempurna, dan yang paling menyebalkan terlalu dekat dengan Aurora.***Sementara itu, Aurora termenung di ruangannya. Rapat yang menunggunya pukul lima terpaksa ia batalkan. Perasaannya terlalu kacau. Ia menatap ponsel di meja, berharap Henry menghubunginya. Tapi layar tetap gelap. Tak ada pesan, tak ad
Henry menghela napas dalam, berusaha meredam emosi yang berkecamuk di dadanya. Begitu pintu lift terbuka di lantai tempat kantor Aurora berada, wanita itu segera melangkah keluar tanpa memberi Henry kesempatan untuk berbicara lebih jauh. Henry mengikutinya, langkahnya cepat menyusul Aurora yang sudah hampir mencapai ruangannya. "Aurora, kita perlu bicara," suara Henry terdengar lebih lembut, tetapi tetap penuh ketegasan. Aurora berhenti di depan pintu kantornya, tangannya menggenggam kenop pintu sejenak sebelum berbalik menghadap Henry. Tatapannya tajam dan penuh keteguhan. "Henry, aku lelah. Aku tidak ingin bertengkar denganmu saat ini." Henry mengusap wajahnya frustasi. "Aku tidak ingin bertengkar, Aurora. Aku hanya ingin kau mengerti. Aku tidak bisa diam saja melihatmu bersama pria lain tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku—" "Kau apa, Henry? Cemburu?" potong Aurora cepat. "Kau tidak punya hak untuk bersikap seperti ini padaku. Kita sudah bukan siapa-siapa lagi." Wajah H