Semuanya berlangsung cepat untuk Layla. Setelah Aldimas mendapat panggilan dadakan itu, mereka langsung bersiap dan pergi ke rumah sakit. Ketika mereka tiba, jenazah Opa sudah rapi, tinggal dibawa ke rumah duka.
Bisa Layla simpulkan bahwa Aldimas memang tidak diberitahu sejak awal. Entah itu karena permintaan Opa, atau memang karena... statusnya.
Sekarang, Layla sudah berada di rumah duka, dengan banyaknya pelayat yang datang. Nenek dan mamanya adalah salah satunya. Mereka juga sempat menyapa Layla dan Aldimas sebentar, sebelum pulang.
Sebagai menantu baru keluarga Mandrawoto, peran Layla seperti anggap-tak dianggap. Ia bingung harus melakukan apa, dan ketika ingin membantu, akan ada orang lain yang mengambil pekerjaannya lebih dulu. Alhasil, Layla lebih banyak duduk di salah satu kursi, sedangkan Aldimas sibuk menyapa para pelayat.
Aldimas....
Wajahnya yang beberapa hari terakhi
Semua berawal ketika Aldimas pertama kali menginjakkan kaki ke rumah utama Mandrawoto. Wirdha Mandrawoto, pria yang meninggalkan Aldimas dan ibunya setahun yang lalu, tiba-tiba kembali datang dengan wajah dingin. Lalu, tanpa banyak berucap, Wirdha mengajak Aldimas untuk pergi bersamanya.Itulah pertama kalinya Aldimas melihat ada rumah bak istana di depan matanya. Ia tidak tahu harus senang atau sedih—senang karena bisa masuk ke rumah besar itu, atau sedih karena harus meninggalkan sang ibu tanpa tahu kapan akan bertemu lagi. Tangan dingin dan kasar Wirdha terus menggandengnya sampai ke ruang tengah rumah itu.“Ini Al, anakku.”Hanya itu yang Aldimas ingat dari ucapan ayahnya.Hardian Mandrawoto, sang kepala keluarga, hanya menatap Aldimas dengan dingin. Di sebelahnya, sang istri yang bernama Tati Mandrawoto pun sudah tampak sesak napas. Ada satu orang lagi yang duduk di sana bersama seorang anak laki-laki yang leb
Kepada anak-anak dan cucu-cucuku. Ini adalah hal terakhir yang bisa aku lakukan buat keluarga ini. Aku bukan orang yang baik, banyak dosa yang tercipta dari tangan penuh keriput ini.Satu-satunya yang bisa aku lakukan untuk menebusnya adalah dengan cara ini. Aku harap, semua orang menghormatinya dan patuh dengan apa yang kutulis. Jangan coba-coba mengancam Pak Edi, karena ini semua adalah perintahku! Jika ada yang menentangnya, silakan bicara padaku secara langsung.Terdengar seperti lelucon, tapi semua orang wajahnya pucat.Edi pun melanjutkan, “Yayasan sekolah milik Bu Tati Mandrawoto akan dialihkan ke perusahaan utama MD Group untuk sementara sampai dewan komite menentukan pimpinan melalui rapat terbuka. Dan untuk kepemilikan sahamnya di MD Group sebanyak 11% akan diserahkan kepada Satria Mandrawoto sebanyak 6% dan sisanya diserahkan kepada publik.”Farah tersenyum m
Brak!“Kenapa jadi kayak gini, sih, Mas?!”Suara guci keramik yang terjatuh ke lantai terdengar bersamaan dengan pekikkan wanita itu. Seketika, ruangan yang hening itu menjadi tegang. Dua orang di dalam sana sama-sama berwajah tegang.Sang pria hanya mengalihkan pandangannya ke arah dokumen-dokumen yang berserakan di atas meja. Dia pun tak mengerti. Kenapa rencana yang sudah tersusun sedemikian rupa, bisa gagal pada akhirnya. Apa gunanya dia bertahan selama ini?“A-aku... aku juga gak ngerti...,” jawab si pria sambil meremas kepalanya. Dia tampak sangat frustrasi.“Mas ini kan selalu ada di samping Ayah, kenapa bisa kecolongan kayak gini?!” sang wanita berteriak lagi. “Kata Mas, semua sudah disusun sesuai rencana kita, terus kenapa wasiat yang ditinggal Ayah sangat berbeda dari yang terakhir kita lihat?!”“AKU JUGA
Seperti ucapan Aldimas beberapa hari lalu, pria itu berubah menjadi manusia super sibuk yang bahkan tidak ada waktu untuk bernapas. Aldimas memang biasanya sudah sibuk, tapi kali ini ia berada di level berbeda.Kalau biasanya Aldimas masih bisa pulang pukul 6 sore—atau paling lama jam 7 malam kalau lembur, kali ini paling cepat pukul 10 malam. Layla hanya menemuinya saat sarapan. Sudah beberapa malam ini ia makan sendiri, bahkan tidak tahu kapan Aldimas naik ke atas kasur. Pesannya memang masih dibalas Aldimas, tapi itu butuh beberapa jam kemudian.Hari ini yang paling parah. Aldimas memilih untuk menginap di kantor dan hanya pulang untuk mengambil baju ganti. Jadinya, Layla pun sarapan sendirian tadi pagi. Wanita itu menghela napas sambil melirik ponselnya yang sunyi. Suaminya itu bahkan tidak mengiriminya satu pesan pun pagi ini.Udah berapa hari ya ini? Atau udah berapa minggu?Lay
Tadinya, Layla ingin lanjut berbelanja bersama Poppy, tapi tiba-tiba temannya itu membatalkan niatnya. Sebelum Layla membujuknya lebih jauh, sebuah mobil hitam yang datang menjemput Poppy seolah menjadi jawaban. Mau tidak mau, Layla pun melepaskan wanita itu dengan senyum menggoda.Ternyata temannya itu sudah punya pacar.Di perjalanan, Layla kembali teringat penjual rujak di dekat kantor Aldimas. Berhubung pria itu juga masih ada di kantor, jadi pasti tidak apa-apa kan kalau Layla sekalian mampir dan membawa rujak itu? Kalau beruntung, mereka mungkin bisa menyantapnya bersama.“Rujak udah aman, kita berangkaaat!” Layla berkata pada dirinya sendiri setelah membeli dua bungkus rujak dan kembali ke mobilnya.Tidak seperti sebelumnya, kali ini Layla bisa naik ke ruangan Aldimas tanpa penahanan di resepsionis. Begitu sampai di lantai 45, Layla dengan yakin melangkah di lorong. Dia juga berte
Akhir pekan yang harusnya dijadikan hari bersantai orang-orang, malah dihabiskan Adlimas dengan bekerja. Pria itu semakin sibuk setiap harinya. Bahkan hari ini, Aldimas baru sampai ke rumah pukul setengah 11 malam.Keadaan rumahnya sudah sepi—tentu saja, seperti beberapa malam belakangan. Sejak Aldimas meminta Layla jangan menunggunya pulang, wanita itu memang selalu tidur lebih dulu. Paling hanya ada sebuah pesan di meja makan yang mengatakan Aldimas bisa memanaskan makan malam di kulkas jika lapar.Namun anehnya, hari ini tidak ada.Jadi, Aldimas pun langsung saja melangkah ke kamar. Ia melihat Layla tertidur di atas kasur, bergelung dengan selimutnya. Perlahan, Aldimas berjalan ke sisi kasur untuk melihat wajah wanita itu.“Mas?”Baru saja Aldimas duduk di tepi kasur, Layla sudah menyapa. “Aku bangunin kamu, ya? Maafin Mas, ya....”Layla menggel
Layla tidak tahu seberapa lama ia menangis malam tadi, yang pasti ketika bangun kepalanya sangat sakit. Ia bahkan sampai muntah-muntah di kamar mandi saking pusingnya. Begitu melihat wajahnya sendiri di cermin, itu tidak ada bedanya dari seorang mayat.Wah... jadi gini ya wajahku kalau udah mati? Pikiran Layla mulai berkelana.Ini adalah hari Minggu—untung saja—jadi Layla tidak perlu pergi ke sekolah. Ia juga tidak perlu mandi buru-buru, hanya mencuci muka dan menggosok gigi sebelum pergi ke dapur untuk makan sarapan. Ia tidak tahu apakah Aldimas masih ada di rumah atau pergi ke kantor lagi. Untuk sekarang, Layla mencoba untuk mengabaikan pria itu.“Udah bangun?”Layla mengangkat kepalanya begitu mendengar suara Aldimas. Pria itu ternyata sudah duduk di atas meja makan dengan secangkir kopi dan roti tawar dengan kental manis. Biasanya, Layla suka bangun lebih dulu dan menyiapkan sarapan, tapi tidak dengan pag
Pesta berjalan dengan lancar. Setelah Aldimas memberikan kata sambutannya, ia kembali berbaur dengan para kolega. Sepanjang itu, ia tidak melepaskan tangannya dari Layla. Sebenarnya itu bukan hal yang buruk, hanya saja Layla mulai merasa lelah sekarang.Kakinya terasa sakit karena lama berdiri menggunakan sepatu hak tinggi. Belum lagi aroma samar alkohol dari minuman yang berjajar di sana dan campuran berbagai macam parfum. Kepala Layla terasa berputar, sampai perutnya kembali bergejolak.“Mas,” panggil Layla pelan sambil menarik sedikit ujung jas Aldimas. “Aku boleh duduk di sana?”Aldimas menoleh dan tampak terkejut dengan dirinya sendiri. Sepertinya ia baru sadar kalau sudah membawa Layla berkeliling tanpa henti sedari tadi.“Mau Mas temenin?” tanya Aldimas.Layla menggeleng. “Gak apa-apa. Mas ngobrol aja, aku tunggu di sana.”Aldimas tidak langsung menjawab. Wajahnya terlihat