Layla tidak tahu seberapa lama ia menangis malam tadi, yang pasti ketika bangun kepalanya sangat sakit. Ia bahkan sampai muntah-muntah di kamar mandi saking pusingnya. Begitu melihat wajahnya sendiri di cermin, itu tidak ada bedanya dari seorang mayat.
Wah... jadi gini ya wajahku kalau udah mati? Pikiran Layla mulai berkelana.
Ini adalah hari Minggu—untung saja—jadi Layla tidak perlu pergi ke sekolah. Ia juga tidak perlu mandi buru-buru, hanya mencuci muka dan menggosok gigi sebelum pergi ke dapur untuk makan sarapan. Ia tidak tahu apakah Aldimas masih ada di rumah atau pergi ke kantor lagi. Untuk sekarang, Layla mencoba untuk mengabaikan pria itu.
“Udah bangun?”
Layla mengangkat kepalanya begitu mendengar suara Aldimas. Pria itu ternyata sudah duduk di atas meja makan dengan secangkir kopi dan roti tawar dengan kental manis. Biasanya, Layla suka bangun lebih dulu dan menyiapkan sarapan, tapi tidak dengan pag
Pesta berjalan dengan lancar. Setelah Aldimas memberikan kata sambutannya, ia kembali berbaur dengan para kolega. Sepanjang itu, ia tidak melepaskan tangannya dari Layla. Sebenarnya itu bukan hal yang buruk, hanya saja Layla mulai merasa lelah sekarang.Kakinya terasa sakit karena lama berdiri menggunakan sepatu hak tinggi. Belum lagi aroma samar alkohol dari minuman yang berjajar di sana dan campuran berbagai macam parfum. Kepala Layla terasa berputar, sampai perutnya kembali bergejolak.“Mas,” panggil Layla pelan sambil menarik sedikit ujung jas Aldimas. “Aku boleh duduk di sana?”Aldimas menoleh dan tampak terkejut dengan dirinya sendiri. Sepertinya ia baru sadar kalau sudah membawa Layla berkeliling tanpa henti sedari tadi.“Mau Mas temenin?” tanya Aldimas.Layla menggeleng. “Gak apa-apa. Mas ngobrol aja, aku tunggu di sana.”Aldimas tidak langsung menjawab. Wajahnya terlihat
“Ck! Norak banget emang si Mike!”Layla tidak bisa berhenti menggerutu sambil menatap layar ponselnya. Beberapa menit setelah mobil mereka berjalan, ponselnya terus berdering. Bukan telepon dari nenek atau mamanya, apalagi grup sekolah, melainkan notifikasi dari Instagram-nya yang jarang sekali dibuka itu. Semua ini gara-gara Mike.Setelah menahan Layla dan Aldimas, pria itu berinisiatif mengambil swafoto bersama mereka. Katanya, sebagai branding diri sebagai influencer sekaligus brand ambassador aplikasi. Dia harus menunjukkan keakraban diri kepada para petinggi ini untuk membangun nilainya nanti.Benar-benar kapitalis!Masalahnya, Mike sekaligus menandai akun Instagram-nya yang sepi itu. Dan dalam sekejap, akun itu sudah dibanjiri followers baru sampai Layla terpaksa membuat akunnya jadi privat.“Notif aku gak berhenti dari tadi,&rdq
Aldimas menghela napas, lalu berjalan masuk. Ia berdiri tepat di depan Layla, sebelum dengan lembut merembut ponsel itu dari tangannya. Ia membawa kepala Layla ke dalam pelukannya.“Jangan lihat lagi. Aku yang akan menanganinya,” ucap Aldimas kemudian.Layla hanya mengangguk. Sepertinya, ia masih setengah sadar karena kata-kata yang dilihatnya pagi ini. Ia masih linglung, pikirannya setengah kosong bahkan saat berdiri dari kasur.“Mau ke mana?” tanya Aldimas begitu Layla beranjak dari kasur.“Kerja....”“Gak mau cuti dulu?”Layla menggeleng lemah. “Aku gak apa-apa....”Aldimas tidak menahannya lagi ketika Layla berjalan ke arah kamar mandi. Namun, begitu sampai di depan wastafel, Layla tidak bisa menahan dirinya lagi. Air matanya mengalir deras, bersamaan dengan sesak yang terus menghimpit dadanya. Seluruh tubuhnya gemetaran. Ini adalah perasaan takut yang tidak
Walaupun Mike memang menyebalkan, tapi ia tidak pernah benar-benar membentak dan marah kepada Layla. Ini adalah pertama kalinya Layla melihat Mike semarah ini. Jantungnya langsung berdebar keras, membuat seluruh tubuhnya kaku. Bibir Layla bergetar, ingin menjawab, tetapi tidak bisa.“A-aku... aku....”Mike menghela napas sambil mengusap wajahnya dengan kasar. “Ayo, duduk dulu.”Entah siapa yang tuan rumah di sini, tapi justru Mike yang membawa Layla duduk di sofa. Tangannya menggenggam tangan wanita itu, mengusapnya pelan. Layla tahu, pria itu pasti sedang berusaha menenangkannya.“Udah dong, jangan nangis. Aku kan cuma nanya,” ucap Mike.“Tapi, kamu bentak aku....”“Kamu bahkan pernah pukulin aku, tapi aku biasa aja.”Layla mendengus. Bahkan dalam keadaan seperti ini, Mike masih saja bisa bercanda. Ia pun m
Tidak seperti biasanya, tidak ada senyuman di wajah pria itu. Wajah Satria tampak dingin dan kaku, dan terus menatap lurus ke arah Layla. Kakinya melangkah, menimbulkan suara yang terasa membekukan atmosfer di sana.Layla mengerutkan dahi. Ada apa dengannya hari ini?“Aku mau bicara,” ucap Satria datar.Layla tampak bingung, tapi mempersilakan Satria masuk juga. “Masuk dulu, kita ngobrol di dalam aja.”Satria tidak menjawab saat Layla membukakan pintu untuknya. “Kamu abis dari kantor?” tanya Layla berbasa-basi sambil melangkah masuk.“Aku tadi ke sekolah, tapi mereka bilang kamu izin. Jadi, aku langsung ke sini.”“Oh, gitu—““Kamu udah tau siapa aku sebenarnya, kan?” sebelum Layla sempat menawari duduk, pria itu sudah memotong ucapannya dengan pertanyaan.Layla berbalik badan. &l
Ciuman Aldimas tidak terputus meskipun mereka sudah berada di dalam kamar. Ia melempar Layla ke atas kasur, hingga ciuman itu lepas sejenak. Hal itu dimanfaatkan Aldimas untuk melepaskan blazer dan kaus turtle-neck hitam yang dikenakannya. Ia juga melepas kacamata dan membuangnya sembarangan, sambil matanya itu tidak terlepas dari Layla yang tampak tak berdaya di bawah tubuhnya.Gerakannya sangat terburu-buru. Kapan terakhir kali mereka melakukannya? Entahlah, tapi dorongan itu lebih besar sekarang. Rasanya Aldimas tidak pernah puas dengan tubuh Layla, meskipun wanita itu masih berpakaian lengkap sekarang.Aldimas kembali merendahkan tubuhnya dan menangkap bibir Layla lagi. Ciumannya memang dalam dan sedikit tidak sabaran, tapi ia menuangkan kelembutan di sana. Layla juga sepertinya sudah terbiasa dengan ciuman Aldimas, dan bisa menyeimbanginya dengan mudah. Tanpa diminta, ia membuka mulutnya, membiarkan lidah Aldimas membelit lidahnya dan mengabsen setiap giginya.
Langit di luar mulai terlihat terang, dan jam dinding di kamar menunjukkan pukul setengah enam pagi. Layla masih tertidur lelap berbalut selimut di pelukan Aldimas. Sedangkan pria itu sudah terbangun sedari tadi, sibuk memandangi wajah istrinya sambil sesekali menciumi pipi wanita itu.Aldimas menggenggam tangan Layla dan memainkan jari-jarinya. Rambut ikal wanita itu membingkai pipinya yang sedikit berisi itu. Matanya yang bulat, dengan bulu mata yang tidak begitu lentik. Layla memang tidak mancung, tapi hidungnya terlihat manis. Dan bibirnya... yang selalu ingin Aldimas kecup setiap kali mengoceh panjang lebar. Pasti rasanya menyenangkan jika melihat semua kecantikan Layla dalam bentuk mini.Ia kembali teringat dengan pikirannya tadi malam saat melihat Layla dalam keadaan polos di bawah kuasanya.Anak.Haruskah ia mengatakannya itu sekarang?Tapi... bagaimana kalau Layla terlibat bahaya gara-gara keinginan bodohnya ini?Atau
Kalau kemarin Layla masih memiliki sedikit motivasi untuk berangkat kerja, hari ini sirna sudah. Ia terbaring seperti orang lumpuh di kasur. Ia sama sekali tidak mau keluar kamar dan bertemu Aldimas.Asam lambung dan migainnya semakin parah. Ia bahkan memaksakan diri untuk meminum obat meskipun belum makan apa pun pagi itu. Aldimas hanya mengiriminya pesan singkat, bahwa ia sudah menyiapkan bubur di atas meja makan. Namun tentu saja, Layla mengabaikan itu.Setelah kembali dari kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya, Layla kembali ke atas kasur. Tepat saat itu, ponselnya berdering tanda panggilan masuk dari mamanya. Ocehan panjang penuh kekhawatiran langsung dituangkan wanita paruh baya itu, sedangkan Layla masih diam mendengarkan.“Gimana keadaan kamu sekarang, Sayang? Mike bilang kemarin kamu muntah-muntah. Asam lambung kamu naik lagi? Mimisan gak? Sudah minum obat?”&ldquo