Aldimas menghela napas, lalu berjalan masuk. Ia berdiri tepat di depan Layla, sebelum dengan lembut merembut ponsel itu dari tangannya. Ia membawa kepala Layla ke dalam pelukannya.
“Jangan lihat lagi. Aku yang akan menanganinya,” ucap Aldimas kemudian.
Layla hanya mengangguk. Sepertinya, ia masih setengah sadar karena kata-kata yang dilihatnya pagi ini. Ia masih linglung, pikirannya setengah kosong bahkan saat berdiri dari kasur.
“Mau ke mana?” tanya Aldimas begitu Layla beranjak dari kasur.
“Kerja....”
“Gak mau cuti dulu?”
Layla menggeleng lemah. “Aku gak apa-apa....”
Aldimas tidak menahannya lagi ketika Layla berjalan ke arah kamar mandi. Namun, begitu sampai di depan wastafel, Layla tidak bisa menahan dirinya lagi. Air matanya mengalir deras, bersamaan dengan sesak yang terus menghimpit dadanya. Seluruh tubuhnya gemetaran. Ini adalah perasaan takut yang tidak
Walaupun Mike memang menyebalkan, tapi ia tidak pernah benar-benar membentak dan marah kepada Layla. Ini adalah pertama kalinya Layla melihat Mike semarah ini. Jantungnya langsung berdebar keras, membuat seluruh tubuhnya kaku. Bibir Layla bergetar, ingin menjawab, tetapi tidak bisa.“A-aku... aku....”Mike menghela napas sambil mengusap wajahnya dengan kasar. “Ayo, duduk dulu.”Entah siapa yang tuan rumah di sini, tapi justru Mike yang membawa Layla duduk di sofa. Tangannya menggenggam tangan wanita itu, mengusapnya pelan. Layla tahu, pria itu pasti sedang berusaha menenangkannya.“Udah dong, jangan nangis. Aku kan cuma nanya,” ucap Mike.“Tapi, kamu bentak aku....”“Kamu bahkan pernah pukulin aku, tapi aku biasa aja.”Layla mendengus. Bahkan dalam keadaan seperti ini, Mike masih saja bisa bercanda. Ia pun m
Tidak seperti biasanya, tidak ada senyuman di wajah pria itu. Wajah Satria tampak dingin dan kaku, dan terus menatap lurus ke arah Layla. Kakinya melangkah, menimbulkan suara yang terasa membekukan atmosfer di sana.Layla mengerutkan dahi. Ada apa dengannya hari ini?“Aku mau bicara,” ucap Satria datar.Layla tampak bingung, tapi mempersilakan Satria masuk juga. “Masuk dulu, kita ngobrol di dalam aja.”Satria tidak menjawab saat Layla membukakan pintu untuknya. “Kamu abis dari kantor?” tanya Layla berbasa-basi sambil melangkah masuk.“Aku tadi ke sekolah, tapi mereka bilang kamu izin. Jadi, aku langsung ke sini.”“Oh, gitu—““Kamu udah tau siapa aku sebenarnya, kan?” sebelum Layla sempat menawari duduk, pria itu sudah memotong ucapannya dengan pertanyaan.Layla berbalik badan. &l
Ciuman Aldimas tidak terputus meskipun mereka sudah berada di dalam kamar. Ia melempar Layla ke atas kasur, hingga ciuman itu lepas sejenak. Hal itu dimanfaatkan Aldimas untuk melepaskan blazer dan kaus turtle-neck hitam yang dikenakannya. Ia juga melepas kacamata dan membuangnya sembarangan, sambil matanya itu tidak terlepas dari Layla yang tampak tak berdaya di bawah tubuhnya.Gerakannya sangat terburu-buru. Kapan terakhir kali mereka melakukannya? Entahlah, tapi dorongan itu lebih besar sekarang. Rasanya Aldimas tidak pernah puas dengan tubuh Layla, meskipun wanita itu masih berpakaian lengkap sekarang.Aldimas kembali merendahkan tubuhnya dan menangkap bibir Layla lagi. Ciumannya memang dalam dan sedikit tidak sabaran, tapi ia menuangkan kelembutan di sana. Layla juga sepertinya sudah terbiasa dengan ciuman Aldimas, dan bisa menyeimbanginya dengan mudah. Tanpa diminta, ia membuka mulutnya, membiarkan lidah Aldimas membelit lidahnya dan mengabsen setiap giginya.
Langit di luar mulai terlihat terang, dan jam dinding di kamar menunjukkan pukul setengah enam pagi. Layla masih tertidur lelap berbalut selimut di pelukan Aldimas. Sedangkan pria itu sudah terbangun sedari tadi, sibuk memandangi wajah istrinya sambil sesekali menciumi pipi wanita itu.Aldimas menggenggam tangan Layla dan memainkan jari-jarinya. Rambut ikal wanita itu membingkai pipinya yang sedikit berisi itu. Matanya yang bulat, dengan bulu mata yang tidak begitu lentik. Layla memang tidak mancung, tapi hidungnya terlihat manis. Dan bibirnya... yang selalu ingin Aldimas kecup setiap kali mengoceh panjang lebar. Pasti rasanya menyenangkan jika melihat semua kecantikan Layla dalam bentuk mini.Ia kembali teringat dengan pikirannya tadi malam saat melihat Layla dalam keadaan polos di bawah kuasanya.Anak.Haruskah ia mengatakannya itu sekarang?Tapi... bagaimana kalau Layla terlibat bahaya gara-gara keinginan bodohnya ini?Atau
Kalau kemarin Layla masih memiliki sedikit motivasi untuk berangkat kerja, hari ini sirna sudah. Ia terbaring seperti orang lumpuh di kasur. Ia sama sekali tidak mau keluar kamar dan bertemu Aldimas.Asam lambung dan migainnya semakin parah. Ia bahkan memaksakan diri untuk meminum obat meskipun belum makan apa pun pagi itu. Aldimas hanya mengiriminya pesan singkat, bahwa ia sudah menyiapkan bubur di atas meja makan. Namun tentu saja, Layla mengabaikan itu.Setelah kembali dari kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya, Layla kembali ke atas kasur. Tepat saat itu, ponselnya berdering tanda panggilan masuk dari mamanya. Ocehan panjang penuh kekhawatiran langsung dituangkan wanita paruh baya itu, sedangkan Layla masih diam mendengarkan.“Gimana keadaan kamu sekarang, Sayang? Mike bilang kemarin kamu muntah-muntah. Asam lambung kamu naik lagi? Mimisan gak? Sudah minum obat?”&ldquo
Layla refleks menendang meja di depannya sampai kotak itu pun terjatuh. Isi kotak pun berserakan ke luar, membuat Layla bisa melihat jelas apa yang ada di dalam sana sekarang. Sebuah boneka beruang kecil berbulu putih itu terkotori dengan darah segar—entah darah apa itu. Sebuah kertas kecil tertempel di bentuk hati yang dipegang beruang itu—yang biasanya tertulis ‘I Love You’.Kamu Akan Mati.Bau anyirnya memenuhi rongga dada Layla, membuat wanita itu buru-buru berdiri dari sofa. Langkahnya terburu-buru menuju kamar mandi, bahkan beberapa kali Layla hampir terpeleset. Ia memuntahkan isi perutnya di wastafel kamar mandi..Mas Aldi... Mas Aldi mengirimkan itu? Tidak mungkin.Layla mengangkat kepala, menatap cermin yang ada di depannya. Wajahnya sudah sepucat mayat, dengan bola mata bergetar. Semakin hari, kondisi tubuhnya semakin buruk. Asam lambungnya selalu kambuh, m
“Lihat kamu tenang-tenang begini, kayaknya kamu belum dapat kabar yang baru, ya?” ucap Yunita sambil melangkah masuk.Aldimas yang ada di belakangnya pun mengerutkan dahi.Tanpa dipersilakan, Yunita langsung duduk di sofa dan menyilangkan kakinya. Sedangkan Aldimas masih berdiri di sana. Ia menunggu Yunita menjelaskan apa maksud ucapannya tadi.Yunita sepertinya kesenangan melihat ekspresi Aldimas yang seperti itu. Senyumnya tidak pudar, malah semakin merekah. Dengan satu gerakan, ia mengeluarkan sebuah amplop dari tas merah mahalnya.“Open it,” katanya.“Apa itu?” Aldimas tidak langsung mengambilnya. Ia menatap amplop di atas meja itu penu sangsi.“Kalau kamu penasaran, kenapa gak lihat sendiri?” tantang Yunita.Aldimas sekali lagi menatap amplop dan Yunita bergantian. Senyum penuh kepercayaan diri itu pada ak
Aldimas kira, soal Layla dan Yunita adalah hal terburuk di hari itu, tapi ternyata tidak. Lima belas menit setelah Yunita meninggalkan kamar hotelnya, sebuah telepon darurat dari kantor pusat datang. Ia meminta Aldimas untuk segera pulang dan menghadiri rapat direksi darurat yang diadakan malam itu juga.Dengan terpaksa, ia meminta Anggita untuk memesankannya tiket pesawat tercepat. Untuk sementara, sisa pekerjaan ia limpahkan kepada Anggita. Begitu sampai di bandara, sebuah mobil sudah menunggunya, siap mengantarkan Aldimas ke kantor. Benar saja, seluruh dewan direksi sudah berkumpul di ruang rapat yang besar itu, termasuk ibu tirinya dan Norman—orang kepercayaan Opa Hardian.“Saya tidak tahu apa yang membuat saya dikecualikan dalam pemberitahuan rapat ini sebelumnya,” ucap Aldimas sambil berjalan menuju kursinya.Brak!Sang ibu tiri langsung melemparkan foto-foto ke depan meja Aldimas. Tanpa dijelaskan, Aldimas sepertinya tahu foto apa itu.“Aku gak kaget saat dapat kabar istrimu la