Aku menghabiskan soreku di rumah Mas Seno dan Mbak Shanti. Sejak turun dari mobil, dan memasuki rumah mungil di kawasan Depok yang lumayan sejuk, tidak sepanas saat aku berada di taman hotel, lututku lunglai.Namun, keriangan dari dua bersaudara keponakanku, Amir dan Amelia, serta merta membuat hatiku sedikit riang. Kepalaku dipenuhi oleh bayangan Biru. Juga obrolan singkat dengan Bumi—adik iparku. Duh, aku berani mengatakannya sebagai ipar sekarang.Kenapa ipar-iparku keren-keren semuanya?Apa aku sekeren mereka? Itu tidak penting, karena hari ini sudah memasuki malam. Awan mendung menggantung kecil di langit yang berhias taburan bintang. Ini malam yang sangat menyebalkan dan sepertinya sia-sia saja.Aku di sini—di rumah Mas Seno, tapi pikiranku melayang pada Biru, dan keluarganya. Apa ada resepsi juga di malam hari? Misalnya gala dinner begitu?Sedari tadi, aku mondar mandir ke sana ke mari. Namun, akhirnya aku pun menelpon Biru. Lama sekali tidak diangkat. Sehingga dadaku semakin l
Aku tahu, aku sedang berperilaku tidak wajar. Aku berdehem untuk memahami semua.Aku kembali memijit nomor Biru, jangan sampai ia mengabaikan panggilanku lagi sekarang.Tapi, tiba-tiba rasa malu membuatku memutuskan lagi sambungan itu. Aku melemparkan gawai di ranjang. Mirip seperti melempar granat. Harusnya aku sedikit menjaga citra diri dong. Harusnya begitu lah.Sedikit jaim dong, Jani. Jangan malu-maluin lagi.Gawaiku berdering dan nama Biru melayang-layang di monitornya. Aku tersengat."Ya, Mas?" aku berkata dengan nada tenang yang penuh kepura-puraan. Aku menekan panggal tangan ke pelipis. Rasa-rasanya aku tidak punya martabat."Tadi, ada panggilan masuk. Masih ada ya, musim miscalled di era pesan instan begini?" ia menyindirku, itu sudah pasti. Di belakangnya, musik berdentum-dentum dengan kerasnya. Di mana dia sekarang? Aku tiba-tiba curiga dia turun ke lantai diskotik, dan meliuk-liuk dengan belasan model berbaju cantik, ketat, dan seksi."Di mana sih ini Mas?" loh kok aku ma
Gawaiku mendengung sementara aku memacu langkah lebih cepat dan hampir saja memasuki area lobi. Aku merogoh saku blusku, dan rokku melambai-lambai di sepanjang jalan. Angin cukup kencang, aku seperti melihat bayangan Marilyn Monroe di sini. Mirip nggak sih denganku—eh bajuku ini.Ada nama Biru melayang di layar LED-nya. Ia takut sekali rupanya, berlomba denganku kali ini."Kamu sudah sampai mana, Jani?"Aku hanya mendesah, dan berpacu lagi dengan langkah-langkahku. Kini aku sampai di dalam lobi, aku melihat beberapa resepsionis mengucapkan salam. Aku tersenyum, mereka pasti mengingatku.Gadis biasa yang datang bersama laki-laki paling ganteng di hotel ini. Jadi, aku sangat gampang diingat. Karena menimbulkan tatapan iri dari para pegawai perempuan yang bekerja di lobi. Aku memang seberuntung itu, Girls. Aku terkekeh."Aku sudah sampai lobi. Aku menang!" teriakku pada gawai di telingaku.Sepatu hak tinggi merahku menggema di seluruh gedung, dan sepertinya perlombaan ini menghasilkan p
Dia kumat, dan pipiku memerah, "Kenapa kau ke sini lagi? Kangen? Atau mau menyerahkan diri secara baik-baik?"Dia menurunkanku di sofa panjang. Aku melesak ke atas sofa, seolah-olah terhisap busa dan kainnya. Aku meraih bantal sofa, memeluknya dengan erat lalu berguling."Jadi, apa jawabanmu?" ia bertanya lagi."Apa Mas nggak lapar?" aku pandai sekali mengalihkan percakapan yang kurang menguntungkan posisiku sebagai perempuan. Ia mengelus perutnya. Ia masih memakai kaos olahraga yang besar.Ia membungkuk, melepas kaos sweater, ia mengenakan kaos tanpa lengan di baliknya. Aku menatap bahu dan punggung terlatih itu dengan air liur menetes. Aku sungguh menyedihkan."Kenapa badanmu bagus?""Aku suka ke gym, kan sudah kubilang dulu.""Tidak. Apa nggak terlalu sibuk?""Aku pengangguran Jani, jadi kalau aku bosan aku ke gym.""Enak sekali punya hobi olahraga.""Nanti akan kau akan kuajak ke gym.""Gym pribadi?" mataku mendelik, "aku memakai hijab, kalau di gym umum gerah.""Boleh."Ia sepert
"Ada apa dengan besok pagi?" aku masih bersandar padanya. Dia berdehem sebentar."Tidak ada apa-apa. Bumi pasti mengerjaimu.""Tapi, kedengarannya sangat serius.""Tidak, Jani.""Oh, begitu," aku mendesah kecewa, "apa kau kesulitan untuk terbuka padaku, Mas? Bukankah lebih baik jika dibicarakan saja?"Dia menoleh, memandangku dengan ekspresi mata yang lembut dan jahil."Lihat, tungkaiku terasa sakit saat aku berlari ke sini. Hak tinggi yang bikin senewen," keluhku kemudian."Pakai sepatu flats saja.""Tidak seksi. Aku memakai sepatu merah untukmu.""Oh. Aku tersanjung," di tertawa, "apa kau tahu ketika aku memacu mobil ke sini aku tertawa-tawa di jalanan seperti orang gila.""Kenapa kau begitu?" aku memandangnya."Aku ingin melihat wajah cantikmu.""Kau menggombal lagi.""Tapi, itu betulan kok."Aku merasakan dadaku mengembang karena gelembung rasa bahagia. Aku menegakkan diri, dan kembali bersandar kepadanya. Kepalaku rebah dengan mudah ke lekuk lehernya. Benar sekali, aku sungguh se
"Aku nggak ngerti, Sayang."Aku melengos, moodku tiba-tiba memburuk. "Aku mau tidur sendiri. Mas tidur di sofa saja." Kataku, lalu beranjak menuju tempat tidur."Hei, mana bisa begitu?" ia mulai sedikit panik."Bisa dong. Kan memang begitu sejak dulu, suratnya belum keluar.""Suratnya sudah keluar Jani. Bapak sudah menghubungiku, jadi sekarang tidak ada alasan lagi.""Aku nggak mau tahu, aku capek dengan masa lalumu. Melani Melissa, kenapa kau bisa mengencani dua orang perempuan sekaligus begitu? Apa kau tidak geli?" aku memasang roman jijik, tapi rasa-rasanya Biru sudah naik pitam."Apa maksudmu? Melissa dulu hanya pacar sebentar, lalu aku menikah dengan Melani. Bukankah sudah kuberitahu berulang kali?"Aku menghindar dari pandangannya, aku berjalan memutar. Mencoba memberi ilusi jarak."Mas, jangan ke sini. Kau tidur di sofa depan tivi.""No. Aku ke sini mau tidur di ranjang."Aku berlari kecil, melintasi kamar dan berkacak pinggang, rasa-rasanya tubuhku memanas. Biru terlihat monda
Dia tertawa. Entah tawa macam apa di sesi konsultasi psikologi ini. Itu bukan keahlianku. Tapi, aku bisa melihat ia begitu ingin bercerita lagi. Seolah-olah semua yang ia pendam ingin ia muntahkan malam ini. "Aku pernah berpikir, jika aku menjadi dokter mungkin Papa akan lebih baik menerimaku.""Apa dia begitu?""Tampaknya tidak, Jani. Apalagi aku menjadi mahasiswa DO di fakultas kedokteran, tentu saja hal ini sangat memalukan bagi Papa.""Bagiku tidak, Mas."Ia menoleh, tersenyum lalu menarik kepalaku ke pangkuannya. Rasa-rasanya aku ingin sekali mengantuk dan tertidur, tapi aku tahu sekarang perhatianku masih pada Biru. "Aku sama sekali tidak ingin diduakan, Jani. Aku tidak ingin menjadi yang kedua. Tapi, Samu dan Bumi selalu ada di atasku."Aku melihat kemarahan seperti mengepul dari kepala dan pori-pori kulitnya. "Mas, kau selalu menjadi nomor satu untukku."Ia menatapku dalam, seperti memastikan kalau apa yang kukatakan bukan bualan biasa. "Jani, jangan berkata yang kau tidak
Aku berada di depan cermin lebar, meja rias yang ada dalam kamar hotel. Aku kaget melihat rambutku berantakan, dan wajahku serupa dengan Suzzana. Maskara hitam yang meluber, dan sapuan riasan mata membiru. Oh, kenapa aku lupa menghapus riasanku ini. Dari balik jendela, sinar kemerahan menembus tirai-tirai dan bertumpu pada Biru yang meringkuk di balik selimut. Aku tersenyum. Aku heran bisa bertahan hingga pagi, sementara Biru tampak kelelahan di atas ranjang. Kamar diterangi cahaya lampu samar. Aku harus mandi, sebentar lagi ada acara lain. Sarapan bersama keluarga besar Biru. "Duh, sialan," umpatku sedikit keras, kenapa bisa seperti ini sih tampilanku. Kenapa Biru bisa bertahan semalaman melihatku seperti ini? Aku jadi teringat saat aku sakit dahulu, dia begitu telaten dan penuh perhatian mengurusku. Padahal, aku begitu jelek. Make up dan semuanya membuat tampilanku tak bisa dilihat kamera apapun termasuk kamera Bang Napi yang pemilih itu. "Jani," Biru menggeliat, ia menyelimut