Aku berada di depan cermin lebar, meja rias yang ada dalam kamar hotel. Aku kaget melihat rambutku berantakan, dan wajahku serupa dengan Suzzana. Maskara hitam yang meluber, dan sapuan riasan mata membiru. Oh, kenapa aku lupa menghapus riasanku ini. Dari balik jendela, sinar kemerahan menembus tirai-tirai dan bertumpu pada Biru yang meringkuk di balik selimut. Aku tersenyum. Aku heran bisa bertahan hingga pagi, sementara Biru tampak kelelahan di atas ranjang. Kamar diterangi cahaya lampu samar. Aku harus mandi, sebentar lagi ada acara lain. Sarapan bersama keluarga besar Biru. "Duh, sialan," umpatku sedikit keras, kenapa bisa seperti ini sih tampilanku. Kenapa Biru bisa bertahan semalaman melihatku seperti ini? Aku jadi teringat saat aku sakit dahulu, dia begitu telaten dan penuh perhatian mengurusku. Padahal, aku begitu jelek. Make up dan semuanya membuat tampilanku tak bisa dilihat kamera apapun termasuk kamera Bang Napi yang pemilih itu. "Jani," Biru menggeliat, ia menyelimut
"Kau tidak bertanya lagi, Jani?" Biru meremas bahuku lembut, ia tersenyum dan tampak penasaran dengan pikiranku sekarang.Apa yang kupikirkan sekarang ini? Cara menghadapi masa lalu suamiku, ya begitulah aku. Aku perempuan 'primitif' yang akan dibakar rasa cemburu.Aku memandangnya dengan tajam, dan sedikit lama. Ada pendar-pendar bahagia di pernik matanya, aku berharap saat seperti ini tidak akan pernah berakhir.Saat bulan madu adalah saat-saat membahagiakan dan menggetarkan, namun kau tidak akan pernah tahu masa depan, bukankah demikian?Dahulu, kukira, nasib jodohku adalah dengan Argo hingga aku ataupun dia menutup mata. Namun, dia malah menusukku dengan perselingkuhan. Dilakukan ketika aku bekerja, dan mereka melakukannya di atas ranjang utama rumah kami.Rumah kami. Sekarang, rumah itu sudah milik Argo sepenuhnya. Aku malas sekali mengurus harta gono gini, dia sepertinya juga enggan mengurusnya. Dia malah memintaku kembali kalau menginginkan rumah itu.Apa-apaan itu?Jadi, aku
Aku curiga, dia mengulur waktu agar bisa berdekatan dengan Biru.Ada-ada saja.Salah siapa jika gadis itu bersikap jelalatan memalukan begini? Hari ini sikap Biru begitu manis. Biru yang biasanya sedikit galak, dan menakutkan namun tetap saja menawan sepanjang masa—sekarang dengan manis dan sopan sedang menyelesaikan administrasi.Sesuatu yang paling menarik di hotel ini ada di sampingku.Setelah mengucapkan terima kasih, aku melenggang dan Biru melingkarkan tangannya di pinggangku. Sepertinya gadis itu melihatnya. Ia seperti terkejut, mendapati Biru bersamaku.Aku mengibaskan cincin berlian branded di udara, memastikan mata jelalatan gadis itu menangkap kilau berlian tersebut. Nah, ia tahu sekarang. Wajahnya merah padam. Ia pasti tahu, kalau Biru sekarang milikku, ya kan?"Kenapa?" tanya Biru."Gadis resepsionisnya rese, Mas.""Cemburu?""Enggak!""Bilang saja, iya. Tadi ngapain mamerin cincin berlian.""Biar dia iri!" jawabku galak.Saat keluar dari hotel, Biru tertawa mendengar jaw
Papa duduk di kepala meja sembari membaca sesuatu, mungkin majalah. Oh, bukan! Itu jurnal kedokteran, ya Tuhan. Aku sampai geli. Karena jamuan belum dimulai, maka ia tak mengindahkan orang lain di sini, termasuk putranya yang sudah menjauh selama empat tahun lamanya."Maaf ya, mungkin EO lupa memberi tahu restoran ini kalau kursinya kurang," Mama menjelaskan perlahan, dia duduk di sebelah Papa. Sementara di kepala kursi lainnya, duduklah anggota dewan kita yang terhormat Pak Wijaya Kusuma. Mantan mertua Biru.Sungguh reuni kecil yang menggelisahkan.Aku membalas ucapan Mama dengan tersenyum, "Tak apa-apa, Ma. Mungkin mereka lupa atau memang terselip intruksinya.""Memang begitu kan, kalau begitu banyak acara, Sayang?" kata Mama kembali menekankan kalau masalah kursi itu bukan masalah besar.Aku mengangguk, tapi Biru tidak memberikan reaksi. Wajahnya datar. Aku takut, ia menjadi ciut nyalinya di sini, gara-gara kursinya tidak disiapkan dulu."Oh, iya Biru, terima kasih hadiahnya," sapa
"Sudah—sudah, tidak perlu ribut. Kenapa kalian ini bisa jatuh cinta pada Biru. Semua perempuan di sini, padahal dia satu-satunya anakku yang tidak layak," Papa berseloroh, suaranya seperti menggema hingga ke ujung ruangan. Begitu besar dan keras, tanpa keraguan.Oh, jangan sampai dia membuat Biru kehilangan muka lagi."Aku masih heran, di antara anak-anakku, Biru yang paling mirip denganku secara fisik—ingat secara fisik. Tapi, dia tidak bisa menyamaiku dalam intelektualitas dan profesionalisme. Bagaimana bisa kau DO dari kuliahmu di kedokteran dulu? Siapa pun bisa saja mengambil S2 Manajemen atau apalah itu," Papa meletakkan sendok dan garpunya, ia menyisakan sedikit sisa sayur dan buah di piringnya. Dia betul-betul takut dengan lemak."Pa, aku tidak bisa menjadi dokter sepertimu, atau seperti Bumi dan Samu. Tapi, aku menyelesaikan S2 dengan bekerja keras dan membesarkan JMTV, menghadapi semua kesulitan secara mandiri. Kau bahkan tidak tahu, aku lulus cum laude, ada banyak tawaran ke
"Maaf ya, kalau aku tadi membuat suasana kurang nyaman. Tapi, aku menikmati sekali sarapan pagi ini. Aku juga menyukai kalian semua," aku menatap mereka secara bergantian.Rasa-rasanya suaraku sudah tenang. Warna suaraku tampak jelas, dan aku merasa sedang duduk di balik mic studio. Inilah yang akan kau dapatkan saat kau menikahi mantan penyiar dan seorang reporter, sebuah advokasi tak ternilai. Aku menoleh, tersenyum pada Biru. Di ujung meja, kulihat Papa masih duduk dengan bahu lemas. Beberapa kali Mama mengelus lengannya yang besar, dan ia tampak memandang Biru dengan pandangan menerawang. Seolah Biru tembus pandang, apa yang sedang ia pikirkan sebenarnya? "Aku sudah lama menghabiskan waktu dengan Biru. Ia begitu mencintai keluarganya, Papa dan Mama, saudara-saudaranya. Bahkan berita-berita di JMTV baru-baru ini kusadari adalah bentuk advokasi untuk pekerja kemanusiaan, untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya Kesehatan dan layanan medis. Dunia televisi tidak melulu hinga
Aku sekarang mengerti, kenapa Biru tampak kesulitan membangun komunikasi. Dia terkadang memiliki mood berbeda, tidak semua yang dilakukannya ia ceritakan padaku. Mungkin, ia memang begitu. Itu sisi lain dirinya, seharusnya aku yang lebih pro-aktif, seharusnya aku bisa memahami dirinya dengan baik. Ketika acara usai, Biru menarik tanganku dan berjalan menuju Melissa dan Samu. Kami mengucapkan salam dan terima kasih. Lalu ke arah Papa dan Mama. Kami berpamitan. Mama mencium pipiku, dan aku mencium punggung tangan Mama dan Papa. Aku hanya melempar senyum. Lalu beriringan berjalan keluar bersama Biru. Di pintu keluar, seorang pegawai menghampiriku, "Mbak, tadi keren banget sih speech-nya. Saya jadi terharu. Kayak lihat adegan sinetron." Aku hanya tersenyum, sementara Biru tertawa. Aku menjinjing tas mungilku, dan kulihat ada pesan dari Bumi. Pengirim: Bumi Mada Kak, terima kasih ya. Sudah membawa Kak Biru lagi pada kami. Salam dariku dan Kak Samu.Aku melangkahkah kaki dan kulihat
Jemari kaki telanjangku yang pegal dengan heels seketika merasa hangat, manakala tenggelam ke pasir putih yang terasa hangat. Sepatu berhak tinggi sudah kusimpan di dalam mobil. Rasa-rasanya aku merasa begitu bebas.Matahari berpendar kekuningan di langit. Membiaskan warna laut kebiruan, mengantarkan aroma garam yang khas. Pohon-pohon di sekitar pantai begitu landai tertiup angin. Aku merasa berada di tempat baru. Suatu tempat yang belum pernah kukunjungi. Aku pernah melewati daerah pantai utara Jawa ini, namun tidak sering melakukan touring. Menurut Bapak sedikit berbahaya, kita harus pandai membaur dengan pemakai jalan lainnya.Banyak truk-truk besar, dan bis-bis raksasa yang ugal-ugalan di jalan. Sehingga harus selalu waspada. Namun, sajian pemandangan di saat kita berkendara melewati jalur-jalur bebas dan liar, terasa menggetarkan. Mungkin itu yang diinginkan Biru. Aku merasa harus banyak mengenalnya, aku tentu saja tidak ingin pernikahan ini berakhir seperti layaknya pernikahank