"Maaf ya, kalau aku tadi membuat suasana kurang nyaman. Tapi, aku menikmati sekali sarapan pagi ini. Aku juga menyukai kalian semua," aku menatap mereka secara bergantian.Rasa-rasanya suaraku sudah tenang. Warna suaraku tampak jelas, dan aku merasa sedang duduk di balik mic studio. Inilah yang akan kau dapatkan saat kau menikahi mantan penyiar dan seorang reporter, sebuah advokasi tak ternilai. Aku menoleh, tersenyum pada Biru. Di ujung meja, kulihat Papa masih duduk dengan bahu lemas. Beberapa kali Mama mengelus lengannya yang besar, dan ia tampak memandang Biru dengan pandangan menerawang. Seolah Biru tembus pandang, apa yang sedang ia pikirkan sebenarnya? "Aku sudah lama menghabiskan waktu dengan Biru. Ia begitu mencintai keluarganya, Papa dan Mama, saudara-saudaranya. Bahkan berita-berita di JMTV baru-baru ini kusadari adalah bentuk advokasi untuk pekerja kemanusiaan, untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya Kesehatan dan layanan medis. Dunia televisi tidak melulu hinga
Aku sekarang mengerti, kenapa Biru tampak kesulitan membangun komunikasi. Dia terkadang memiliki mood berbeda, tidak semua yang dilakukannya ia ceritakan padaku. Mungkin, ia memang begitu. Itu sisi lain dirinya, seharusnya aku yang lebih pro-aktif, seharusnya aku bisa memahami dirinya dengan baik. Ketika acara usai, Biru menarik tanganku dan berjalan menuju Melissa dan Samu. Kami mengucapkan salam dan terima kasih. Lalu ke arah Papa dan Mama. Kami berpamitan. Mama mencium pipiku, dan aku mencium punggung tangan Mama dan Papa. Aku hanya melempar senyum. Lalu beriringan berjalan keluar bersama Biru. Di pintu keluar, seorang pegawai menghampiriku, "Mbak, tadi keren banget sih speech-nya. Saya jadi terharu. Kayak lihat adegan sinetron." Aku hanya tersenyum, sementara Biru tertawa. Aku menjinjing tas mungilku, dan kulihat ada pesan dari Bumi. Pengirim: Bumi Mada Kak, terima kasih ya. Sudah membawa Kak Biru lagi pada kami. Salam dariku dan Kak Samu.Aku melangkahkah kaki dan kulihat
Jemari kaki telanjangku yang pegal dengan heels seketika merasa hangat, manakala tenggelam ke pasir putih yang terasa hangat. Sepatu berhak tinggi sudah kusimpan di dalam mobil. Rasa-rasanya aku merasa begitu bebas.Matahari berpendar kekuningan di langit. Membiaskan warna laut kebiruan, mengantarkan aroma garam yang khas. Pohon-pohon di sekitar pantai begitu landai tertiup angin. Aku merasa berada di tempat baru. Suatu tempat yang belum pernah kukunjungi. Aku pernah melewati daerah pantai utara Jawa ini, namun tidak sering melakukan touring. Menurut Bapak sedikit berbahaya, kita harus pandai membaur dengan pemakai jalan lainnya.Banyak truk-truk besar, dan bis-bis raksasa yang ugal-ugalan di jalan. Sehingga harus selalu waspada. Namun, sajian pemandangan di saat kita berkendara melewati jalur-jalur bebas dan liar, terasa menggetarkan. Mungkin itu yang diinginkan Biru. Aku merasa harus banyak mengenalnya, aku tentu saja tidak ingin pernikahan ini berakhir seperti layaknya pernikahank
Dari deretan pantai utara Jawa yang eksotis, mobil kami menyusuri pantai-pantai meliuk di pesisir Tuban, Lamongan, Gresik, hingga akhirnya, seperti kilat yang menyambar begitu cepat, sampailah kami di kota Pahlawan. Kotaku. Karena aku pahlawannya di acara sarapan itu. Aku memang sok penting.Mobil Biru meliuk dengan lincah karena saat menjelang Subuh jalanan masih sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. Tapi, beberapa jam lagi tentu saja jalanan ini akan sangat ramai. Hawa metropolis akan segera menguapkan asap tebal dan pekat. Membuat orang berlomba dalam menentukan prioritas hidup.Kami berhenti di Athena Palace dan serta merta, disambut oleh senyum resepsionis dan room boy. Aku melihat puncak apartemen berkelas ini, serasa bukan duniaku. Tapi, akan segera menjadi tempat tinggalku.Aku menarik napas dalam, Biru menggenggam tanganku. Badanku serasa remuk redam, bagaimana ia bisa bertahan di dalam mobil MPV biasa dan tidak terlihat keberatan atau lelah?"Kenapa kau memakai m
Kau tahu kenapa Biru menikahimu? Bukan persoalan cinta semata. Dia sangat membenci Argo. Karena Argo sudah membuatnya murka.Aku segera saja menghapus SMS dengan nomor asing ini. Kali ini, nomor dari Kazakhstan. Mungkin besok bisa jadi nomor dari negeri-negeri asing lainnya. Nomor-nomor acak yang bisa didapatkan dengan mudah lewat internet.Jelas sekali, ini hanya dikirimkan kepadaku saja. Karena sangat bersifat pribadi. Kalau ini SMS penipuan, umumnya dikirimkan secara random pada ribuan nomor. Begitulah modus klasik para scammer (penipu).Aku berdiri di sisi mobil van milik Bang Napi. Ia tersenyum. Tampaknya, ia mulai memahami jika aku sudah menjalin hubungan special dengan CEO JMTV. Hanya, dia tak begitu mengerti mungkin bagaimana seriusnya hubungan kami.Mungkin dia mengira aku dan Biru menikah siri. Itu seminggu yang lalu sebelum Bapak mengirimkan pesan wasiat, dan mengatakan kalau surat-suratnya beres. Biru mengirimkan pengacaranya ke sana. Sebenarnya, ingin sekali aku dan Biru
Jadi, aku membuka pintu gerbang besi tempanya, segera saja suara logam berdentang terdengar memekakkan telinga. Bang Napi turun, tapi nampaknya ia tak tertarik masuk ke dalam pagar. Malah, menghampiri depot makanan yang terletak di depan rumahku—eh rumah Argo ini.Aku berjongkok mencari tempat rahasia itu. Jemariku terasa gemetar saat aku mengusap deretan keramik di taman. Di sanalah kami biasa meletakkan kunci rumah. Kalau-kalau kunci duplikat kami ketinggalan. Aku mengambil satu keramik, lalu melihat isi di baliknya. Ada kunci yang tergeletak begitu saja di dalam lubang berbentuk persegi.Aku mengambilnya dengan cepat. Seolah sedang memegang barang yang panas. Ada rasa-rasa tak menentu di dada. Seolah aku sedang berada di rumah ini. Tujuh tahun lalu.Dadaku terasa sesak. Namun, aku menahannya.Entahlah, kenapa Biru harus menyiksaku begini? Apa dia tidak percaya padaku?Aku berdiri, melangkah menuju pintu utama. Aku menggerakkan kunci dan terbukalah pintu itu. Perlahan, aku masuk. Se
Gawai itu jatuh dari genggamanku, membentur karpet halus yang tipis. Aku seperti merasakan jika jiwaku melayang-layang. Seperti bermimpi. Apakah ini mimpi? Bagaimana mungkin, aku tidak mengenali mantan suamiku dahulu? Sampai sejauh mana ia berpetualang dengan perempuan-perempuan simpanannya itu?Argo orang yang baik, lembut, terpelajar,sedikit flamboyant, terkadang mungkin terlihat posesif tapi selama menjadi seorang suami—ia tampak biasa-biasa saja. Namun, kenapa ia memiliki hobi seperti ini? Apa ia ini tidak takut murka Allah?Duh, Gusti Allah. Apa salahku?Selama aku bekerja dengan Biru, selama itu pula ia mengingatkanku agar berhati-hati dengan sikap Biru yang konon menurutnya predator.Aku tertawa kering, nyaris hingga mataku berair.Kenapa ia membalikkan semua tuduhan pada Biru? Bukankah dia ini yang justru menjadi predator perempuan?Aku mendongak. Tertawa miris. Air mata berlinang-linang di pipiku. Rasanya perih, sakit, dan kesal, telah berkali-kali dikhianati.Aku pun mulai
Aku membuka folder galeri. Ada foto-foto saat mereka bersama. Foto-foto yang diambil di saat mereka ada di kafe, tepi pantai, tempat-tempat pribadi. Sebagian tidak kukenal. Sebagian mungkin orang lain.Mungkin istri laki-laki lain.Seperti Shely dan Melani.OOOSepotong ingatan melayang-layang kembali. Berlanjut pada ingatan berikutnya. Sepertinya, aku mulai memahami—kenapa aku tidak bisa mencium gelagat aneh Argo selama ini.Dulu, aku terlalu memercayainya. Menyerahkan seluruh cintaku padanya. Ia menghipnotisku—dalam sebuah diksi bernama cinta. Ia berkata—selalu mencintai dan mendukungku. Namun, pada saat yang sama ia melakukan dosa-dosa yang tidak bisa kumaafkan.Mataku terasa berat, dan rasa-rasanya aku tidak mau menangis lagi. Aku merasa seperti terlahir dalam sosok yang baru. Aku bisa memindai episode kehidupan yang sedang kujalani ini.Di bawah, terdengar suara-suara Bang Napi dan tim. Lalu, terdengar pintu terbuka dan tertutup. Sepertinya, Argo sudah pulang. Aku melihat jam din