Papa duduk di kepala meja sembari membaca sesuatu, mungkin majalah. Oh, bukan! Itu jurnal kedokteran, ya Tuhan. Aku sampai geli. Karena jamuan belum dimulai, maka ia tak mengindahkan orang lain di sini, termasuk putranya yang sudah menjauh selama empat tahun lamanya."Maaf ya, mungkin EO lupa memberi tahu restoran ini kalau kursinya kurang," Mama menjelaskan perlahan, dia duduk di sebelah Papa. Sementara di kepala kursi lainnya, duduklah anggota dewan kita yang terhormat Pak Wijaya Kusuma. Mantan mertua Biru.Sungguh reuni kecil yang menggelisahkan.Aku membalas ucapan Mama dengan tersenyum, "Tak apa-apa, Ma. Mungkin mereka lupa atau memang terselip intruksinya.""Memang begitu kan, kalau begitu banyak acara, Sayang?" kata Mama kembali menekankan kalau masalah kursi itu bukan masalah besar.Aku mengangguk, tapi Biru tidak memberikan reaksi. Wajahnya datar. Aku takut, ia menjadi ciut nyalinya di sini, gara-gara kursinya tidak disiapkan dulu."Oh, iya Biru, terima kasih hadiahnya," sapa
"Sudah—sudah, tidak perlu ribut. Kenapa kalian ini bisa jatuh cinta pada Biru. Semua perempuan di sini, padahal dia satu-satunya anakku yang tidak layak," Papa berseloroh, suaranya seperti menggema hingga ke ujung ruangan. Begitu besar dan keras, tanpa keraguan.Oh, jangan sampai dia membuat Biru kehilangan muka lagi."Aku masih heran, di antara anak-anakku, Biru yang paling mirip denganku secara fisik—ingat secara fisik. Tapi, dia tidak bisa menyamaiku dalam intelektualitas dan profesionalisme. Bagaimana bisa kau DO dari kuliahmu di kedokteran dulu? Siapa pun bisa saja mengambil S2 Manajemen atau apalah itu," Papa meletakkan sendok dan garpunya, ia menyisakan sedikit sisa sayur dan buah di piringnya. Dia betul-betul takut dengan lemak."Pa, aku tidak bisa menjadi dokter sepertimu, atau seperti Bumi dan Samu. Tapi, aku menyelesaikan S2 dengan bekerja keras dan membesarkan JMTV, menghadapi semua kesulitan secara mandiri. Kau bahkan tidak tahu, aku lulus cum laude, ada banyak tawaran ke
"Maaf ya, kalau aku tadi membuat suasana kurang nyaman. Tapi, aku menikmati sekali sarapan pagi ini. Aku juga menyukai kalian semua," aku menatap mereka secara bergantian.Rasa-rasanya suaraku sudah tenang. Warna suaraku tampak jelas, dan aku merasa sedang duduk di balik mic studio. Inilah yang akan kau dapatkan saat kau menikahi mantan penyiar dan seorang reporter, sebuah advokasi tak ternilai. Aku menoleh, tersenyum pada Biru. Di ujung meja, kulihat Papa masih duduk dengan bahu lemas. Beberapa kali Mama mengelus lengannya yang besar, dan ia tampak memandang Biru dengan pandangan menerawang. Seolah Biru tembus pandang, apa yang sedang ia pikirkan sebenarnya? "Aku sudah lama menghabiskan waktu dengan Biru. Ia begitu mencintai keluarganya, Papa dan Mama, saudara-saudaranya. Bahkan berita-berita di JMTV baru-baru ini kusadari adalah bentuk advokasi untuk pekerja kemanusiaan, untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya Kesehatan dan layanan medis. Dunia televisi tidak melulu hinga
Aku sekarang mengerti, kenapa Biru tampak kesulitan membangun komunikasi. Dia terkadang memiliki mood berbeda, tidak semua yang dilakukannya ia ceritakan padaku. Mungkin, ia memang begitu. Itu sisi lain dirinya, seharusnya aku yang lebih pro-aktif, seharusnya aku bisa memahami dirinya dengan baik. Ketika acara usai, Biru menarik tanganku dan berjalan menuju Melissa dan Samu. Kami mengucapkan salam dan terima kasih. Lalu ke arah Papa dan Mama. Kami berpamitan. Mama mencium pipiku, dan aku mencium punggung tangan Mama dan Papa. Aku hanya melempar senyum. Lalu beriringan berjalan keluar bersama Biru. Di pintu keluar, seorang pegawai menghampiriku, "Mbak, tadi keren banget sih speech-nya. Saya jadi terharu. Kayak lihat adegan sinetron." Aku hanya tersenyum, sementara Biru tertawa. Aku menjinjing tas mungilku, dan kulihat ada pesan dari Bumi. Pengirim: Bumi Mada Kak, terima kasih ya. Sudah membawa Kak Biru lagi pada kami. Salam dariku dan Kak Samu.Aku melangkahkah kaki dan kulihat
Jemari kaki telanjangku yang pegal dengan heels seketika merasa hangat, manakala tenggelam ke pasir putih yang terasa hangat. Sepatu berhak tinggi sudah kusimpan di dalam mobil. Rasa-rasanya aku merasa begitu bebas.Matahari berpendar kekuningan di langit. Membiaskan warna laut kebiruan, mengantarkan aroma garam yang khas. Pohon-pohon di sekitar pantai begitu landai tertiup angin. Aku merasa berada di tempat baru. Suatu tempat yang belum pernah kukunjungi. Aku pernah melewati daerah pantai utara Jawa ini, namun tidak sering melakukan touring. Menurut Bapak sedikit berbahaya, kita harus pandai membaur dengan pemakai jalan lainnya.Banyak truk-truk besar, dan bis-bis raksasa yang ugal-ugalan di jalan. Sehingga harus selalu waspada. Namun, sajian pemandangan di saat kita berkendara melewati jalur-jalur bebas dan liar, terasa menggetarkan. Mungkin itu yang diinginkan Biru. Aku merasa harus banyak mengenalnya, aku tentu saja tidak ingin pernikahan ini berakhir seperti layaknya pernikahank
Dari deretan pantai utara Jawa yang eksotis, mobil kami menyusuri pantai-pantai meliuk di pesisir Tuban, Lamongan, Gresik, hingga akhirnya, seperti kilat yang menyambar begitu cepat, sampailah kami di kota Pahlawan. Kotaku. Karena aku pahlawannya di acara sarapan itu. Aku memang sok penting.Mobil Biru meliuk dengan lincah karena saat menjelang Subuh jalanan masih sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. Tapi, beberapa jam lagi tentu saja jalanan ini akan sangat ramai. Hawa metropolis akan segera menguapkan asap tebal dan pekat. Membuat orang berlomba dalam menentukan prioritas hidup.Kami berhenti di Athena Palace dan serta merta, disambut oleh senyum resepsionis dan room boy. Aku melihat puncak apartemen berkelas ini, serasa bukan duniaku. Tapi, akan segera menjadi tempat tinggalku.Aku menarik napas dalam, Biru menggenggam tanganku. Badanku serasa remuk redam, bagaimana ia bisa bertahan di dalam mobil MPV biasa dan tidak terlihat keberatan atau lelah?"Kenapa kau memakai m
Kau tahu kenapa Biru menikahimu? Bukan persoalan cinta semata. Dia sangat membenci Argo. Karena Argo sudah membuatnya murka.Aku segera saja menghapus SMS dengan nomor asing ini. Kali ini, nomor dari Kazakhstan. Mungkin besok bisa jadi nomor dari negeri-negeri asing lainnya. Nomor-nomor acak yang bisa didapatkan dengan mudah lewat internet.Jelas sekali, ini hanya dikirimkan kepadaku saja. Karena sangat bersifat pribadi. Kalau ini SMS penipuan, umumnya dikirimkan secara random pada ribuan nomor. Begitulah modus klasik para scammer (penipu).Aku berdiri di sisi mobil van milik Bang Napi. Ia tersenyum. Tampaknya, ia mulai memahami jika aku sudah menjalin hubungan special dengan CEO JMTV. Hanya, dia tak begitu mengerti mungkin bagaimana seriusnya hubungan kami.Mungkin dia mengira aku dan Biru menikah siri. Itu seminggu yang lalu sebelum Bapak mengirimkan pesan wasiat, dan mengatakan kalau surat-suratnya beres. Biru mengirimkan pengacaranya ke sana. Sebenarnya, ingin sekali aku dan Biru
Jadi, aku membuka pintu gerbang besi tempanya, segera saja suara logam berdentang terdengar memekakkan telinga. Bang Napi turun, tapi nampaknya ia tak tertarik masuk ke dalam pagar. Malah, menghampiri depot makanan yang terletak di depan rumahku—eh rumah Argo ini.Aku berjongkok mencari tempat rahasia itu. Jemariku terasa gemetar saat aku mengusap deretan keramik di taman. Di sanalah kami biasa meletakkan kunci rumah. Kalau-kalau kunci duplikat kami ketinggalan. Aku mengambil satu keramik, lalu melihat isi di baliknya. Ada kunci yang tergeletak begitu saja di dalam lubang berbentuk persegi.Aku mengambilnya dengan cepat. Seolah sedang memegang barang yang panas. Ada rasa-rasa tak menentu di dada. Seolah aku sedang berada di rumah ini. Tujuh tahun lalu.Dadaku terasa sesak. Namun, aku menahannya.Entahlah, kenapa Biru harus menyiksaku begini? Apa dia tidak percaya padaku?Aku berdiri, melangkah menuju pintu utama. Aku menggerakkan kunci dan terbukalah pintu itu. Perlahan, aku masuk. Se